Friday, July 29, 2011

The Last Choice (1)

Katty sangant menyadari bahwa dirinya adalah seorang safety player. Dia selalu berfikir simple dan menghindari konflik, tidak mau menyengsarakan diri sendiri dengan hal-hal yang tidak perlu serta berdamai dengan siapapun karena paling benci punya musuh. Dia juga tidak mau merusak maupun mengganggu orang lain semata dengan harapan agar hidup dan kenyamanannya tidak terusik oleh orang lain. Dia menjalani hidup dengan tenang, ceria dan bahagia. Menikmati hidup apa adanya dan bersyukur atas semua yang dimilikinya serta membuang jauh-jauh rasa iri terhadap orang lain.

Kalaupun ada orang yang mampu menjungkir balikkan dunia tenangnya, maka Sev bisa dikatakan satu-satunya yang cukup punya nyali, atau kurang kerjaan dalam istilah Katty, yang bisa membuat Katty mengeluarkan segala sifat bertolak belakang dari yang selama ditampilkannya di depan kebanyakan orang. Tetapi Sev memang bukan dalam kategori orang kebanyakan. Hubungan keduanya sudah seperti kakak adik karena memang mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Meski terlalu berlebihan untuk dikatakan mereka tumbuh bersama, namun kenyataannya memang begitu. Dan walaupun secara kondisi fisik dan sifat mereka bertolak seratus delapan puluh derajat, bukan berarti mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Terlalu baik malah, sehingga pengenalan masing-masing akan kepribadian yang lainnya agak menakutkan.

Sev yang dianugerahi otak dan fisik menawan terlahir menjadi playboy kelas atas yang berganti teman kencan semudah para gadis berganti busana. Sementara Katty, meski memiliki sepasang mata indah berwarna almond dan bibir bak delima merekah, namun wajah segitiga yang dimilikinya tak memiliki keistimewaan apapun. Apalagi dengan hidung mungil mencuat yang sering dikategorikan sebagai ‘lancang’ oleh Sev, tak memberi nilai plus sedikitpun pada postur tubuhnya yang termasuk kecil, di saat trend gadis-gadis saat ini berbodi kurus menjulang dengan tulang bertonjolan bak peragawati. Katty yang merasa pembawaannya sudah mentok kemana-mana akhirnya memilih gaya busana yang ‘seadanya’. Sev sering mengeluh bahwa penampilan Katty sering membuatnya sakit mata, protes yang selalu berhasil diabaikan oleh Katty.

Namun saat ini kemarahan justru berkobar-kobar di mata Katty menghadapi Sev, yang dengan gaya congkak mengejeknya yang khas, hanya bersandar dengan cuek di sebelah perapian ruang duduk kediaman Katty yang belum berubah dekorasinya entah sejak kapan. Tampak sekali Sev sangat menikmati memancing emosi gadis mungil di depannya ini. Kemarahan Katty sangat sulit terpancing. Namun sekali muncul Katty bisa mengamuk bak tornado kecil yang tak akan mudah ditaklukkan.

“Kau konyol sekali,” komentar Sev santai, “Orang yang tidak tahu pasti mengira kaulah yang sedang patah hati.”

“Semaumulah!” sembur Katty gemas. “Orang yang punya mata pasti tahu kalau orang patah hati tidak akan mengamuk, melainkan akan menangis sesenggukan di kamar seperti yang dilakukan Virginia sekarang.”

“Ah ya, Virginia, gadis yang tak kalah konyol yang menyamar sebagai adikmu itu.”

“Sev! Setelah mematahkan hatinya setidaknya kau cukup punya sopan santun untuk tidak terus-menerus memojokannya! Kasihan sekali Virginia. Apa sih yang ada dalam otak tololmu itu ketika memutuskan untuk bikin gara-gara dengannya?”

“Apapun itu yang pasti itu adalah tindakan paling masuk akal yang bisa kulakukan untuk mencegah Virginia berbuat sesuatu yang lebih memalukan bagi dirinya sendiri.”

“Kalau kau berfikir mematahkan hati seorang gadis yang masih polos adalah tindakan masuk akal, maka otakmu memang sakit.”

“Polos katamu? Virginia polos? Kupikir kau tidak sebodoh dan senaif itu untuk membiarkan setan kecil itu menipumu mentah-mentah. Lagi pula Virginia tidak patah hati, paling dia terluka sedikit harga dirinya, tapi tak lebih. Tunggu saja, tak sampai hari ini berakhir dia sudah akan pergi keluar lagi untuk berpesta dengan para laki-laki tolol yang selama ini telah antri untuk mengencaninya.”

“Tapi dia menangis sejak semalam kau mengantarnya pulang dari kencan kalian. Aku harus beranggapan apalagi? Dia hanya menjawab bahwa kau telah memutuskan hubungan kalian secara sepihak. Nah, kau mau menyangkal apalagi?” Katty membelalakkan matanya.

“Katarina!” Sev berkata dengan nada tinggi. Katty sangat hafal bila Sev memanggilnya begitu berarti laki-laki itu sangat serius. “Kau tentunya tak akan merendahkan intelektual kita berdua dengan menganggap Virginia punya hati yang bisa dipatahkan bukan? Lagi pula untuk memutuskan sebuah hubungan diperlukan jalinan hubungan itu sendiri yang seperti kau tahu bahwa tidak ada apapun antara aku dan Virginia.”

“Kau sudah mengencaninya hampir setahun ini!”

“Kau tahu sekali bahwa yang aku dan Virginia lakukan bukanlah berkencan. Aku hanyalah-menuruti permintaanmu, ingat?- mengenalkankannya pada pergaulan yang lebih pantas untuk mencegah dia berbuat ketololan yang hanya membuatmu pusing kepala. Tak lebih. Aku membawanya ke kelompok sosial yang baik dan layak, mengenalkannya ke restoran dan club berkelas dimana dia bisa bertemu para gentlemen, bukannya mengumbar dirinya ke club-club rendahan tempat para pemuda mabuk dan teler berada. Dan sekarang dia sudah cukup dewasa untuk meneruskan aktifitasnya sendiri dan mencari pemuda yang layak untuk mendampinginya. Tugasku selesai.”

“Tetapi Sev, dia jatuh cinta kepadamu!”

“Dia hanya membayangkan dirinya jatuh cinta kepadaku, tetapi dia tidak jatuh cinta kepadaku. Ayolah, jangan konyol, mana ada sih gadis dua puluh tahun yang jatuh cinta pada laki-laki yang lima belas tahun lebih tua darinya?”

“Tetapi dia sudah membayangkan menjadi pengantinmu, Sev! Dia sudah bercerita kepada semua temannya bahwa dia sedang memilih cincin pertunangannya. Dia juga sudah menentukan tempat dimana dia akan membuat gaun pengantinnya. Kalau ada orang yang disalahkan karena memberinya harapan setinggi itu, maka orang itu adalah kau!”

“Virginia memang bodoh dan sering berbuat tolol, tetapi bukan berarti aku harus menanggungnya. Aku sama sekali tak pernah memberinya harapan apapun. Aku melakukan semuanya karena aku sudah tak sanggup mendengar segala keluhanmu tentang betapa sulitnya mengendalikan gadis liar menyebalkan yang sedang mekar-mekarnya seperti adikmu itu. Namun yang terjadi adalah adikmu itu semakin menggila, berpikir yang tidak-tidak atas sesuatu yang tidak nyata, makanya aku harus cepat-cepat bertindak sebelum aku ikut-ikutan menjadi gila, mengerti?”

“Apakah kau sama sekali tak tertarik pada Virginia? Ayolah Sev, jangan bilang dia bukan tipemu. Virginia toh tidak terlalu berbeda dengan barisan cewek konyol yang selama ini naik turun ranjangmu. Mereka sama-sama pirang dan cantik bak foto model dan memuja gaya hidup hedonis sepertimu. Jangan katakan kau mencari perempuan berdasarkan kapasitas otaknya, karena aku tahu betul bahwa intelegensi berada di urutan terakhir daftar kriteria teman kencanmu. Area pandangan matamu hanya seputar wajah, dada, paha, dan apa yang ada di antaranya. Semua ada pada Virginia. Dengan bonus kau mendapatkan gadis lugu yang belum ternoda dari keturunan baik-baik, serta kau mengenal dengan baik pula walinya, yaitu aku. Aku akan tenang sekali bila adikku bisa menjadi pasangan dari sahabatku. Kalian akan cocok satu sama lain,” Katty nyerocos tanpa sadar pada mata hitam Sev yang berkilat tajam.

“Bila serendah itu pandanganmu tentang kehidupan seksualku, Katty, aku sangat tersinggung,” geramnya marah.

“Maaf, Sev, aku tahu aku bicara kasar, namun aku sama sekali tak mengerti alasan semua ini. Kalian tampak baik-baik saja selama ini dan aku sudah membayangkan diriku akan menjadi pendamping pengantin saat tiba-tiba Virgia pulang semalam dari kencan bersamamu sambil berurai air mata dan mengatakan semua sudah berakhir antara kau dan dirinya. Dan yang lebih mengherankankan lagi kenapa juga namaku disangkut pautkan? Aku sama sekali tak mengerti kenapa Virginia menuduhku berada di balik semua ini. Memangny apa yang telah kulakukan?”

“Aku memutuskan bahwa Virginia sudah cukup dewasa dan harus mengetahui semua alasan di balik hubungan semu ini. Aku menjelaskan kepadanya bahwa semua tak lebih dari upayaku untuk membantumu dalam mengasuhnya.”

Katty menatap Sev dengan pandangan ngeri. “Demi Tuhan, Severus!” teriaknya tercekat, “Dari semua makhluk di rumah ini ternyata kau begitu bodoh!” semburnya penuh kemarahan. Dan didorong insting kanak-kanak yang selalu muncul setiap dia bertengkar dengan Sev, tangan mungilnya segera bergerak menjangkau lengan Sev dan mencubitnya keras-keras.

Tentu saja Sev yang tidak menyangka akan serangan serupa, menjerit keras. “Ya ampun, Katty, kita toh sudah bukan anak-anak lagi!” teriaknya buru-buru menangkap tangan Katty dan memenjarakannya dalam genggamannya yang sekeras baja.

“Masih untung aku tidak meninju kepala tololmu itu! Kau tahu akibat kata-kata lancangmu pada hubungan persaudaraan kami,” Katty yang masih marah berusaha sekuat tenaga melepaskan tangannya dari Sev dan melancarkan serangan dengan tangan yang lainnya, yang juga dengan sukses berhasil diringkus oleh Sev.

“Demi Tuhan, Katty, kalau reaksimu seperti ini kepada setiap laki-laki, aku tak akan bermimpi melepasmu dalam komunitas genderku,” geramnya. “Aku akan dengan senang hati menikmat keagresifanmu untukku sendiri.”

“Kau gila, Sev!”

“Dan kau sakit jiwa!”

Tiba-tiba pintu ruang duduk terbuka. Virginia, dengan rambut pirang spektakuler yang berantakan dan mata sembab karena tangis membelalakkan mata dan menutup mulutnya yang ternganga terkejut melihat pemandangan dua orang dewasa yang sedang bergulat di ruangan ini. Tanpa bisa dicegah dia menjerit histeris. “Kalian!” jeritnya.

Menyadari posisi dirinya yang sedang diringkus Sev, Katty buru-buru melepaskan diri. “Virgie, kau salah paham!” serunya membela diri.

“Kau memang pengkhianat, Katty! Aku tak bisa mempercayai omongan Sev semalam saat dia mengatakan dia mengencaniku karena permintaanmu. Namun sekarang....,” tubuh Virginia bergetar penuh kemarahan.

“Virgie...”

“Biarkan saja dia berfikir semaunya!” potong Sev cepat.

“Kalian keterlaluan! Dan kau Sev, kau memang buta bila lebih memilih perawan tua membosankan ini dari pada aku. Asal kau tahu, tubuh tua Katty tak akan pernah bisa memuaskanmu karena tubuhnya telah membusuk di neraka berabad-abad yang lalu!” Virginia mendidih dalam kemarahan. Tubuh langsingnya yang terbalut gaun tidur sutra tipis memaparkan pemandangan yang menggiurkan pada mata laki-laki.

Katty, di luar segala nalarnya, malah melirik penuh rasa ingin tahu akan reaksi Sev melihat pemandangan itu. Namun yang didapatinya Sev malah mendidih penuh kemarahan dan dengan cepat menarik lengan langsing Virginia dan memutarnya ke belakang membuat gadis itu menjerit kesakitan. “Sekali lagi kau mengatakan hal-hal mengerikan tentang kakak yang selama ini kau tumpangi, akan kupatahkan lengan cantikmu dan membuatmu menyesal pernah lahir ke dunia ini. Kau harus minta maaf sekarang!”

Dengan kasar Sev mendorong Virginia. Namun gadis itu tak juga menyerah. Segera diraihnya vas bunga terdekat dan melemparnya ke kepala Katty. Namun Sev bergerak cepat. Dalam sekejap Katty telah diraihnya dan dengan tubuh besarnya di dorongnya Katty menunduk menghindari lemparan Virginia. Virginia menjerit marah dan dengan membanting pintu hingga bergetar dia pergi.

Suasana sunyi terasa sangat kontras dibanding keributan yang baru saja terjadi. Katty, yang masih berada dalam rengkuhan kuat Sev menghela nafas panjang.Wajahnya pucat pasi. Menyadari apa yang mungkin saja terjadi Katty tiba-tiba gemetar. “Aku tak menyangkan ruangan kuno ini hampir saja bisa menyebabkan tragedi pembunuhan,” gumamnya seperti pada diri sendiri.

Sev melepaskan tangannya dari tubuh Katty, menegakkan kembali gadis itu. “Sekarang kau sadar kan kalau adikmu itu seorang maniak gila?” tanyanya dengan nada mengejek. “Kuharap kau punya minuman yang cukup keras yang bisa membantuku melupakan kekonyolan yang baru saja terjadi.” Sev pun membuka lemari kecil di bawah rak hias dan menemukan sebotol whiskey yang disimpan Katty entah sejak berapa lama, sebagai persiapan bila ada yang membutuhkan.

“Kukira secangkir teh panas akan menenangkanku,” kata Katty.

Sev tak mau mendengar. Dituangnya whiskey dan disodorkannya ke depan bibir Katty, “Minum ini, akan membuatmu merasa lebih baik,” perintahnya dan membuat gadis itu mau tidak mau meminumnya. Namun Sev benar. Saat cairan panas itu telah sampai ke perutnya, kehangatannya menyebar ke seluruh tubuh dan membuatnya rileks.

Sev menarik Katty duduk di sebelahnya di sofa panjang yang ada di ruang itu, memandang ke luar melalui jendela pada suasana musim semi di pagi hari Minggu itu. Keduanya tak berbicara lagi. Tetapi Sev menggenggam tangan Katty, memberinya ketenangan seperti yang selalu dilakukannya sejak mereka masih kanak-kanak. Katty pun menyandarkan kepalanya di pundak Sev.

“Tak usah dipikir terlalu keras. Virginia sudah dewasa. Adalah hak gadis bodoh itu untuk menghancurkan hidupnya sendiri. Kau tak punya tanggung jawab apapun terhadapnya. Yang telah kau tawarkan selama ini, tempat tinggal dan hidup gratis, sudah lebih dari cukup. Sudah waktunya bagi dia untuk menyadari posisinya di rumah ini tak lebih dari seorang penumpang dan dia tak berhak mengucapkan kata-kata mengerikan tentangmu. Aku akan memastikan kepala cantiknya yang kosong itu tahu batasnya di rumah ini.”

“Terima kasih, Sev, kami berdua telah sangat menyusahkanmu. Kau selalu baik kepadaku. Kau benar-benar seperti kakak laki-lakiku sendiri.”

“Kakak laki-laki heh?” Sev tertawa mengejek. “Sekarang lebih baik kau ambil jaketmu. Kita keluar dari sini.”

“Eh? Kemana?”

“Ke rumahku. Pelayanku akan menyiapkan makan siang yang layak bagi kita berdua. Lagipula aku baru saja membeli beberapa buku baru yang mungkin kau sukai.”

Berdua mereka berjalan beriringan menuju Drake Castle, rumah Sev. Katty sudah tak ingat lagi sejak kapan rumah Sev menjadi pelarian yang aman baginya. Mereka bertetangga sudah sejak lama. Orang tua Katty membawanya pindah ke Stockley House ini waktu Katty masih berusia tiga tahun sementara keluarga Sev adalah generasi Drake entah yang keberapa yang menghuni bangunan megah yang pekarangannya berbatasan dengan rumah baru Katty. Sev tujuh tahun lebih tua dari Katty. Namun yang diingat Katty dia sering bermain bersama Sev karena ibu Sev, wanita yang lembut dan baik hati, sering membawa Katty ke rumahnya bila pengasuhnya libur dan ibunya harus bekerja. Tak jarang Katty kecil menginap di rumah Sev dan dimanjakan oleh barisan pelayan di rumah besar itu.

Pada umur lima tahun ibu Katty secara mengejutkan sakit parah dan akhirnya meninggal. Katty kecil yang belum terlalu mengerti tentang kehilangan lagi-lagi menerima begitu saja tanpa bertanya-tanya kenapa ibu Sev yang lebih banyak muncul dalam hari-harinya sementara ibunya sendiri menghilang. Namun ketika dua tahun kemudian ayahnya membawa istri barunya ke Stockley House, Elizabeth, barulah Katty mengerti bahwa ibu kandungnya telah tiada. Kini yang tersisa hanyalah ibu Sev yang lembut penuh kasih sayang atau istri baru ayahnya yang cantik namun tak dikenalnya. Tentu saja insting kanak-kanaknya lebih memilih berlari dalam perlindungan kasih sayang tetangganya. Apalagi ketika setahun kemudian seorang bayi kecil cantik berambut pirang dan berkulit sewarna zaitun, Virginia, lahir. Maka rumah Sev menjadi pelarian permanen bagi Katty karena ibu barunya lebih sibuk dengan kegiatan sosial dan bayinya sendiri dari pada memperhatikan Katty kecil yang haus kasih sayang.

Tahun-tahun berlalu. Meski Sev harus masuk sekolah asrama dan dilanjutkan ke universitas hingga ke sekolah hukum yang membuat Katty jarang bertemu dengannya, namun posisi Katty di Drake Castle tetap sama. Hampir setiap malam Katty hadir di meja makan keluarga Drake dan seolah menjadi penghuni tetap rumah besar itu, dikenalkan sebagai “Gadis Kecil Sev” oleh orang tua Sev kepada setiap kerabat dan teman yang bertanya. Ketika tiba saatnya Katty harus bersekolah asrama dan masuk universitas, Sev telah tinggal di City dan mengawali kariernya sebagai pengacara korporasi di biro hukum paling bergengsi yang bereputasi internasional.

Kesibukan membuat Sev jarang meluangkan waktunya pulang ke Oxford. Sementara Katty sendiri begitu lulus dari universitas telah mengawali kariernya di sebuah perusahaan penerbitan sebagai illustrator lepas pada proyek cover buku maupun cerita bergambar untuk anak-anak. Dari ibu dan nenek pihak ibunya Katty mewarisi sejumlah uang dan pendapatan yang cukup untuk menunjang hidupnya. Katty memutuskan untuk membeli flat berukuran sedang di daerah yang lumayan bagus di London, dekat dengan kantor penerbitan tempatnya bekerja yang dia gunakan juga sebagai studio pribadinya. Sedangkan Sev yang sedang dalam masa kritis kariernya yang melesat bak meteor dan kala itu menjadikannya kandidat rekanan termuda di firma hukumnya mengatakan bahwa dia telah membeli sebuah mansion dengan design tahun 1930-an yang mahal dan elegan di wilayah bergengsi London.

Saat itu menjadi tahun paling janggal dalam hubungan keduanya. Katty hanya bertemu Sev kadang-kadang bila keduanya kebetulan berakhir pekan atau menghabiskan libur natal di Oxford. Selain itu meskipun mereka sama-sama tinggal di London namun lingkup pergaulan keduanya ternyata terpisah jauh. Sev tumbuh menjadi laki-laki menawan, dengan mansion bagus, mobil jaguar, karier cemerlang, ditunjang fisiknya yang selalu tampil chic dan berkelas, busana-busana mahal membalut tubuh kekarnya yang lebih tinggi sekepala di antara orang kebanyakan, wajah keras dengan dagu persegi dan mata hitamnya yang tajam serta rambut hitam bergelombang hasil penata rambut profesional, tak heran bila menjadikannya bujangan paling paling diincar oleh para perempuan cantik. Sementara Katty, pada masa dewasanya tidak banyak berubah. Penampilan fisiknya tak mengesankan kelebihan apapun, dengan karier yang tidak terlalu bisa dibanggakan, namun akal sehat menuntunnya untuk menjalani hidup apa adanya dan menikmatinya. Katty tetaplah gadis dusun pemalu yang tersesat di belantara London yang gemerlap.

Suatu ketika takdir mempertemukan mereka dalam sebuah pesta. Perusahaan penerbitan tempat Katty bekerja mengadakan gala dinner yang mengundang seluruh karyawan baik yang tetap maupun freelance untuk hadir. Ternyata Sev juga hadir mewakili firma hukumnya karena ternyata perusahaan Katty adalah salah satu klien perusahaan Sev. Kehadiran Sev sendiri telah menebarkan pesona tersendiri dalam pesta tersebut. Daya tarik maskulin yang terpancar kuat pada diri Sev menjadikannya pusat perhatian dan para wanita, tua muda, saling berebut perhatiannya. Padahal saat itu Sev tidak hadir sendiri. Seorang makhluk cantik dengan penampilan spektakuler bak muncul dari cover majalah Vogue menempel ketat di sebelahnya. Dari kejauhan, Katty yang memilih lingkaran aman di antara para pasangan paro baya hanya mengamati saja tanpa ada keberanian sedikitpun untuk mendekati lelaki yang semasa kecil dulu sering menggendongnya di punggung itu.

Namun Sev bukanlah Sev bila tak memiliki pandangan setajam elang. Dalam sekejap dia segera mengetahui tempat persembunyian Katty dan menghampirinya. Diiringi pandangan kagum seluruh undangan Sev membawa Katty ke lantai dansa. Setelah berdansa tiga kali Sev pun mengajak Katty berkeliling dan memperkenalkannya kepada para undangan lain. Tidak ada yang lebih menyebalkan dalam hidup Katty selain tatapan heran orang-orang menyaksikan keakraban mereka berdua. Apalagi Sev mengenalkannya sebagai “my precious little girl” yang mengundang tatapan penasaran dari para undangan. Terpaksa Katty mengambil kendali dan kepada para kolega Katty menjelaskan dengan suara tegas dan jernih bahwa mereka adalah teman kecil yang sudah seperti saudara. Penjelasan yang mengundang tatapan gemas dari Sev. “Kau tetap pemalu kan, Katty?” tanyanya dengan sorot mata mengoda. Saat Sev mencium pipinya lembut dan memberinya pelukan persaudaraan saat mereka berpisah, Katty meyakini satu hal bahwa baginya Sev tidak pernah berubah.

Kematian ayah Katty memaksa Katty kembali pulang ke Oxford. Dalam wasiatnya ayahnya mewariskan Stockley House dan sejumlah besar uang kepada Katty, hal yang cukup masuk akal karena Stockley House dibeli atas nama ayah dan ibu Katty. Juga bisnis transportasi yang selama ini dikelola oleh ayahnya pemodalannya menggunakan uang warisan ibu Katty. Kepada Elizabeth ayahnya memberikan tunjangan yang meski cukup besar namun masih jauh lebih kecil dari selama ini dinikmati ibu tiri Katty. Sementara Virginia yang saat itu masih bersekolah di sebuah sekolah putri berasrama yang mahal mendapat dana perwalian yang diwakili oleh Elizabeth, dengan jumlah yang cukup untuk membiayai pendidikan gadis itu hingga tamat.

Namun ternyata Elizabeth tidak bisa menerima hal itu dengan lapang dada. Dia marah karena harus keluar dari Stockley House yang telah menjadi milik Katty. Berkali-kali dia mengeluhkan nasibnya yang mengenaskan, mendiang suaminya yang tidak cukup menghargainya dan meninggalkannya dalam keadaan miskin, nasib putri kecilnya yang malang karena harus meninggalkan semua kemewahan yang selama ini menjadi haknya, serta menyalahkan Katty, menuduhnya begitu rakus setelah menerima warisan dari begitu banyak pihak, mempunyai pekerjaan berpenghasilan besar, namun tak cukup murah hati untuk memberikan Stockley House kepada dirinya. Tuduhan yang diterima Katty dengan hati terluka dan berkali-kali membuatnya hampir menyerah dan menuruti kemauan Elizabeth. Namun Sev selalu mendampinginya dan menguatkan Katty bahwa semua itu memang haknya. Bahwa Elizabeth tak lebih dari seorang pemburu kekayaan yang memanfaatkan kecantikan hanya untuk memenuhi semua ambisinya. Ayah Katty telah bertindak sangat bijaksana dengan meninggalkan rumah dan seluruh sisa kekayaannya kepada Katty karena di tangah Elizabeth semuanya hanya akan menjadi hancur.

Periode kelam perseteruannya dengan Elizabeth berakhir ketika wanita itu meninggal dalam kecelakaan mobil yang dikendarai kekasih terbarunya, seorang pria kaya raya yang mengemudikan mobil Roll Royce dalam kondisi mabuk. Yang lebih menyedihkan lagi bahwa Elizabeth telah menghabiskan seluruh warisan Virginia untuk berfoya-foya membiaya gaya hidup kelas atas yang dijalaninya sejak menjanda. Jadilah gadis yatim piatu itu berada di bawah asuhan Katty, kakak tirinya, yang membiayai seluruh pendidikannya.

Katty menetapkan Stockley House sebagai kediaman resminya. Statusnya sebagai illustrator lepas memungkinkan dirinya hanya pergi ke London saat diperlukan. Namun Katty tetap tidak melepaskan flatnya karena dia masih membutuhkan akomodasi bila harus bekerja di London. Sedangkan di Oxford Katty banyak meluangkan waktunya di Drake Castle menemani orang tua Sev. Tentu saja pasangan usia senja itu menyambut hangat kehadiran Katty kembali ke tengah-tengah mereka. Apalagi sejak kedatangan Katty Sev juga semakin sering pulang meski alasan yang diyakini Katty adalah Sev mengkhawatirkan kesehahatan ayah ibunya. Sev semakin banyak menghabiskan waktu di Drake Castle ketika ayahnya mulai sakit. Karena lelaki tua itu menolak kehadiran perawat profesional, maka Katty lah yang akhirnya merawatnya hingga lelaki tua yang baik hati itu menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah kematian suaminya kesehatan ibu Sev menurun drastis dan dalam waktu sebulan berselang wanita lembut hati itu meninggal dengan tenang dalam pengawasan Katty dan Sev. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ibu Sev mengatakan betapa bahaginya dia atas kehadiran Katty dalam hidup mereka dan mengharapkan Katty dan Sev saling menjaga.

Hidup tidaklah mudah bagi Katty ketika dua tahun lalu Virginia lulus dari sekolahnya. Gadis itu telah menjelma menjadi makhluk cantik nan rupawan. Namun pergaulannya dengan gadis-gadis kaya membuatnya kehilangan pemahaman akan kondisi dirinya yang hidup dalam belas kasihan Katty. Gadis itu menganggap kecantikan membuatnya menjadi makhluk istimewa dan semua orang di sekitarnya harus memenuhi segala keinginannya. Sama egois dan berhati dingin seperti ibunya, Katty harus menanggung segala biaya kehidupannya yang mewah, pesta-pesta hampir tiap malam, gaun-gaun indah, semuanya. Virginia menganggap sumber keuangan Katty tak terbatas dan dia berhak menggunakannya sesuka hati. Sama sekali tak terfikir olehnya betapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan rumah sebesar Stockley House. Bila Katty menasihatinya, Virginia hanya mencibir tak peduli. “Kau hanya iri padaku, Katty. Lagipula uangmu itu tak akan berguna untuk gadis membosankan sepertimu.”

Segala cara ditempuh Katty untuk membuat Virginia bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Termasuk menutup semua akses keuangan dan kartu kreditnya. Namun Katty justru dipusingkan dengan tagihan dari teman-teman Virginia karena ternyata gadis bandel itu meminjam uang kepada mereka dan menempatkan Katty sebagai penjamin pinjamannya.

Keadaan baru teratasi sewaktu Sev akhirnya turun tangan untuk menjinakkan Virginia. Hampir setahun terakhir ini Sev mengencani Virginia, mengajaknya ke klub-klub mahal di London, mengenalkannya pada lingkungan yang baik, dan yang paling utama Katty bisa bernafas lega ketika Virginia akhirnya memutuskan bekerja di sebuah butik di London untuk menyokong hidupnya. Katty tak tahu bujukan model apa yang dilakukan Sev hingga membuat gadis keras kepala itu bisa berubah fikiran. Memang Katty masih harus membayar beberapa tagihan Virginia, namun tidak sebanyak dulu. Ketika Virginia mengatakan bahwa hanya tinggal tunggu waktu hingga Sev melamarnya, Katty menanggapinya penuh suka cita. Akhirnya dua orang dekatnya menemukan kecocokan. Mereka begitu serasi berdua. Tak ada gadis yang lebih cantik dari Virginia yang pantas mendampingi laki-laki setampan Sev.

Namun siapa sangka semua akan berakhir semalam? Jujur Katty mengakui bahwa dia tidak bisa menimpakan semua kesalahan pada Sev. Virginia bukanlah gadis yang mudah untuk dipuaskan. Dan Sev memiliki hak sepenuhnya untuk memutuskan siapa gadis yang layak mendampinginya.

***

Setelah makan siang dengan hidangan lezat yang berhasil diciptakan juru masak Sev, Katty mengikuti Sev menuju ke perpustakaan yang merupakan ruang studi pribadi Sev. Koleksi buku yang dimiliki Sev membuat Katty selalu menitikkan air liur. Kegiatan mengkoleksi literatur telah dimulai oleh nenek moyang keluarga Drake seabad yang lalu. Katty banyak menemukan buku-buku kuno dalam edisi asli yang saat ini pasti membuat kolektor rela merogoh kocek ribuan pound untuk mendapatkannya. Katty sendiri sangat sering menggunakan koleksi tersebut sebagai sumber inspirasi pekerjaannya. Namun tak jarang Katty hanya bergelung di sofa panjang yang ada di ruang itu sambil menikmati bacaannya. Seperti yang dilakukannya saat ini sementara Sev harus sibuk dengan dokumen-dokumen hukum yang harus diperiksanya.

Ketenangan mereka terganggu ketika Jolly, kepala pelayan keluarga Drake mengabarkan bahwa Sarah, pengurus rumah tangga Stockley House, baru saja menelepon dan mengabarkan bahwa Miss Virginia telah pergi dan berpesan bahwa dia tidak akan pulang untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.

“Gadis kurang ajar!’ umpat Sev pelan. “Sulit dipercaya bahwa kalian berasal dari ayah yang sama.”

Katty tersenyum melamun, “Darah Dad mengalir dalam diri Virginia. Dia satu-satunya saudara yang kumiliki.”

“Ada rencana ke London dalam waktu dekat ini?” tanya Sev sambil lalu.

“Besok. Aku ada janji temu dengan penerbit. Kenapa?”

“Kau bisa berangkat bersamaku.”

“Ehm... sepertinya lebih baik aku membawa mobil sendiri. Aku berencana tinggal untuk beberapa hari di London.”

“Oh ya?”

“Salah seorang temanku berniat menyewa flatku. Aku akan membuat beberapa pengaturan dengannya karena kupikir kalau temanku sendiri yang menyewa maka aku masih akan leluasa menyisakan satu kamar untukku sendiri sebagai cadangan bila sewaktu-waktu aku harus tinggal beberapa hari di London. Semula aku berniat melepasnya saja. Namun dengan kondisi pekerjaanku aku masih akan membutuhkan tempat tinggal di London. Makanya tawaran dari temanku ini kuanggap sebagai jawaban.”

“Meskipun begitu kau tetap bisa berangkat bersamaku, Katty.”

“Tidak. Lebih baik aku membawa mobil karena aku membutuhkan transportasi di London. Aku ingin belanja beberapa baju.”

“Aku akan mengantarmu.”

Katty menyipitkan mata menatap Sev dengan pandangan skeptis. “Wow, ada apakah gerangan ini? Tak biasanya kau ngotot begitu.”

“Jangan konyol. Ini bukan pertama kalinya aku memberimu tumpangan,” sembur Sev tiba-tiba jengkel.

Katty terbahak. “Ternyata Mr. Severus Drake yang agung bisa sewot juga,” gelaknya.

“Aku hanya menawarkan kepadamu kenyamanan dan membebaskanmu dari keharusan mengemudi dalam lalu lintas London yang padat, dan kau menanggapinya seolah aku mengajakmu ke medan perang,” Sev berkata masam.

“Oke...oke.. aku hargai tawaranmu. Maaf bila aku menyinggung perasaanmu. Aku hanya tak mau merepotkan?”

“Kau, dengan berada di sini saja sudah cukup merepotkan buatku. Memberimu tumpangan tak akan banyak merubah keadaan. Lagipula kau tadi bilang mau berbelanja kan? Aku akan mengantarmu. Sudah waktunya ada orang yang mengoreksi caramu berpakaian.”

“Ha?!” Katty membelalak ngeri. “Jangan coba-coba menginterfensi kegiatan belanjaku! Aku bukan Virginia ataupun barisan cewek-cewek model teman kencanmu yang bisa kau dandani semaunya!” protesnya keras.

“Benarkah?” Sev mencibir. Sinar geli bermain-main di mata gelapnya. “Kujemput kau pukul delapan pagi. Kau bisa mengundangku sarapan besok lalu kita langsung berangkat.”

Katty membelalak sewot melihat Sev nyengir berpuas diri. Dengan gemas dilemparnya sebuah buku ke arah Sev yang dengan tangkas berhasil ditangkap oleh lelaki itu. “Hei! Kalau kau sewot, setidaknya jangan lampiaskan kepada buku-buku berharga ini!” tegurnya masih dengan tertawa. “Lagipula gadis-gadis lain akan menyembah demi mendapat kesempatan aku kawal secara ekslusif berbelanja. Reaksimu membuatku egoku terluka.”

“Semaumulah!” sembur Katty sambil melangkah pergi, meninggalkan Sev yang masih terbahak-bahak dengan kemarahannya.

“Pukul delapan tepat!” teriak Sev sebelum pintu terbanting tertutup di belakang Katty.

***

Senin pagi. Katty telah siap lima belas menit sebelum pukul delapan. Gadis itu menuju ke ruang sarapan kecil yang terletak berbatasan dengan beranda samping yang bermandikan sinar matahari pagi yang cerah. Sesuai janjinya tidak ada tanda-tanda kehadiran Virginia. Kamarnya tampak seperti kapal pecah dengan aneka pakaian yang seperti sengaja di acak-acak. Juga ada pecahan botol-botol kosmetik dan make up yang menjadi simbol kemarahan Virginia. Katty melarang pelayan untuk membereskannya. Dia juga mengunci dan menyembunyikan kunci pintu kamar pribadinya serta meminta para pelayan berjaga-jaga bila nanti Virginia pulang sebelum Katty kembali dari London, serta meluapkan kemarahannya dengan merusak barang-barang berharga di rumah itu.

Lima menit kemudian Severus muncul. Tampak begitu tampan dan elegan dalam salah satu setelan resminya yang mahal. Katty yang terbiasa merasa seperti seonggok kentang sayur bila berada di dekat Severus dalam busana resminya hanya mendenguskan selamat pagi seraya dengan sedih melihat ke setelannya sendiri yang meski bermutu tinggi namun sama sekali tanpa gaya dalam warna biru tua membosankan. Rambutnya pun hanya diikat ekor kuda yang jelas-jelas hanya demi kepraktisan tanpa mengindahkan penampilan. Katty membunyikan bel dan begitu Sarah muncul, meminta wanita itu menyiapkan sarapan buat Master Severus.

“Bagaimana kabar gadis manja kita?” tanya Severus sambil menyeruput kopinya.

“Dia memilih tidak pulang setelah seharian mengamuk. Aku sudah mengatur para pelayan untuk menjaga barang-barang dari amukan berikutnya bila dia pulang sebelum aku kembali dari London.”

Severus mengangkat sebelah alisnya. “Kau sudah membaca surat kabar pagi ini?”

“Belum. Kenapa?”

“Kusarankan kau membacanya sekarang juga.”

Dengan heran Katty meraiha surat kabar yang sudah disiapkan pelayannya di atas meja sarapannya namun belum sempat diliriknya. Segera dia membukanya. Severus memintanya membuka sebuah halaman. Katty menuruti. Tiba-tiba matanya membelalak ngeri membaca berita yang terpampang mengisi setengah halaman penuh surat kabar nasional itu. Berita pertunangan antara Katarina Anne Metcalf dan Severus Alexander Drake. Pertunangan antara dirinya dan Severus.

“Kurang ajar!” teriaknya.

“Betul! Makhluk mengerikan yang mengaku adikmu itu memang kurang ajar,” sahut Sev kalem.

“Sev! Kenapa kau begitu santai sih? Ini konyol! Lagipula ini... ya ampun... semua kolegamu akan membacanya...” Katty tiba-tiba merasa lemas.

“Agaknya Virginia ingin mengerjai kita berdua,” Sev dengan tenang menikmati rotinya.

“Aku akan mengirimkan berita penyangkalan secepatnya,” Katty memutuskan dengan cepat. “Tetapi ini akan begitu memalukan, terutama buatmu.”

“Tepat seperti yang diinginkan Virginia, yaitu mempermalukan kita berdua di muka publik.”

“Lalu apa alternatif lain yang harus kita lakukan?”

“Hm...,” Sev memandang gadis di depannya dengan pandangan geli. “Kita ikuti saja plot Virginia. Kita bertunangan,” jawabnya santai.

“Kita bertunangan? Kau gila!” sembur Katty. “Kau bisa serius tidak sih?”

“Katty, bertunangan denganku apa susahnya sih?”

“Ha?” Katty menjadi linglung. Dipandanginya dengan gemas laki-laki tampan yang sedang menikmati sarapannya dengan santai itu seolah tidak terjadi masalah. “Terserahlah! Itu urusanmu. Lagipula di sini bukanlah reputasiku yang jadi persoalan karena yang dikenal secara nasional kan kau, bukan aku. Orang tak akan peduli kepada siapa aku bertunangan,” omelnya kesal.

“Benarkah?” Sev menyipitkan mata menatap Katty yang sedang bersungut-sungut. “Tunggu saja nona, dalam beberapa jam lagi kau akan mengerti tentang bagaimana reputasimu dipertaruhkan setelah bertunangan dengan Severus Drake sang pengacara. Aku pasti harus sering-sering sakit perut menahan tawa melihatmu menelan mentah-mentah perkataanmu sendiri.”

“Severus! Kau benar-benar menjengkelkan!”

“Dan kau, Katarina! Sudah saatnya seorang laki-laki yang pantas menjinakkanmu!”

Saturday, July 23, 2011

THIRTEENTH : Dancing With The Stars

Kedai minum sederhana itu tak berubah meski sudah bertahun-tahun berada di pinggir jalan kecil sebuah gang di kota Tokyo yang padat. Laju kemajuan yang mewarnai daerah pemukiman di sepanjang lokasi itu seolah tak berpengaruh sama sekali. Hanya saja sekarang pengunjungnya yang berubah. Orang-orang lama telah banyak pergi digantikan wajah-wajah baru. Kecuali seorang lelaki paruh baya bercambang tebal dan berkaca mata yang sedang menikmati sake botol keduanya. Lelaki itu tidak seperti orang lain pada umumnya yang sebentar-sebentar mengecek waktu di jam tangan ataupun mengecek pesan di ponsel. Dia minum dengan tenang dan menikmatinya seolah tidak ada satu pun urusan di dunia yang bisa mengganggunya.

Namun dia menoleh dan wajahnya yang keras tersenyum manakala seorang lelaki muda di pertengahan tiga puluhan dengan dandanan rapi dan mahal memasuki kedai kecil itu dan mengedarkan pandangannya mencari seseorang. Saat dijumpainya sosok yang dicarinya, lelaki itu melangkah mendekati kursi dimana si cambang berkaca mata duduk.

“Pak Hayami, lama sekali tidak berjumpa,” sapanya ramah kepada yang lebih muda.

“Pak Kuronuma, maaf membuat Anda menunggu,” lelaki muda itu membungkuk sedikit sebelum akhirnya duduk.

Kepada penjual tua, yang dipanggil Kuronuma meneriakkan pesanannya, yang disambut dengan hangat oleh Masumi.

“Seperti masa lalu,” katanya sambil menuang sake ke mangkuk kecil di depannya.

“Iya, seperti masa lalu,” jawab Pak Kuronuma. “Meski saya sangat heran saat Anda mau menemui saya di sini, Pak Hayami. Karena orang penting seperti Anda tak akan melewatkan waktu berada di tempat seperti ini hanya sekedar untuk minum dan mengobrol saja.

Masumi tertawa. “Setelah sekian lama ternyata Anda tak kehilangan ketajaman dalam berbicara.”

Mereka menikmati minuman selama beberapa saat sambil berbicara sesuatu yang tidak begitu penting. Pak Kuronuma berbicara tentang pementasan yang sedang dikerjakannya sebelum akhirnya menyinggung soal pementasan kembali Bidadari Merah.

“Persatuan Drama Nasional sudah menghubungi saya sehubungan dengan kembalinya Maya ke Jepang,” katanya ringan. “Perlu sedikit waktu untuk kembali mengumpulkan tim yang dulu sekaligus menyesuaikan jadwal karena baik Maya dan Sakurakoji, kedua pemeran utama, saat ini sedang sibuk dengan proyek pribadi mereka. Dan bukankah mereka dua-duanya sekarang bekerja di bawah manajemen milik Daito?”

“Benar sekali,” Masumi mengiyakan. “Pementasan Bidadari Merah sendiri masih memerlukan persiapan yang tidak sedikit. Terutama berkaitan dengan tender perusahaan mana yang mendapat kesempatan sebagai penyelenggaranya.”

Pak Kuronuma tertawa. “Saya tidak akan heran kalau nanti Daito yang akan memenangkannya.”

“Anda yakin?”

“Dengan Anda, Pak Masumi Hayami yang berada di pucuk pimpinan Daito, apa yang tidak mungkin? Meski Pak Eisuke Hayami ayah Anda punya sejarah yang tidak menyenangkan dengan Bu Mayuko, namun bukan berarti Anda di posisi yang sama dengan beliau ketika berhadapan dengan Maya Kitajima.”

Masumi kembali tertawa. “Terima kasih atas pujian Anda,” diteguknya sakenya sebelum melanjutkan, “Saya akan menikah, Pak Kuronuma.”

“Oh, sudah waktunya memang. Siapa kali ini calonnya? Apa dari publik figur yang saya kenal?” tanya Pak Kuronuma, tetap datar tanpa menunjukkan ketertarikan sedikitpun.

“Anda mengenalnya dengan baik karena gadis yang akan saya nikahi itu Bidadari Merah itu sendiri, Maya Kitajima.”

Pak Kuronuma begitu terkejut hingga sake yang diminumnya tersembur dari mulutnya. “Anda serius?”

“Anda cukup tahu kalau saya tak pernah main-main dengan omongan saya.”

“Maya sendiri? Apakah sudah mengetahui rencana Anda?”

“Kami membicarakan pernikahan ini bersama, dan baik saya maupun setuju untuk meminta Anda dan Pak Genzo sebagai wakil dari keluarga Maya.”

Pak Kuronuma terdiam sejenak. “Itu berarti kalian telah berhubungan entah sejak kapan.”

Masumi tersenyum “Resminya memang belum cukup lama. Namun perasaan kami sudah bertaut cukup lama,” Masumi tersenyum mengingat begitu lama dia sudah mendambakan Maya. “Sayangnya saat ini kami sama sekali belum bisa mengumumkan hubungan kami. Banyak hal yang masih harus menjadi pertimbangan. Tetapi setidaknya kami ingin menikah dulu secara resmi dan layak. Maya gadis yang baik dan pantas mendapat semuanya. Pernikahan di kuil dan direstui oleh keluarga dan teman.”

“Anda sudah menghubungi Pak Genzo.”

“Belum. Saya akan ke lembah plum untuk bertemu beliau. Namun saya ingin mengurus legalitas pernikahan kami secara hukum lebih dulu. Dan terus terang ini tidak mudah karena saya harus sembunyi dari kejaran wartawan.” Masumi terdiam beberapa lama. “Kenapa anda tidak terdengar terlalu heran?”

“Entahlah. Mungkin jauh di otak saya, saya mengetahui bahwa ini akan terjadi. Anda orang hebat, begitu juga Maya. Terus terang saya jarang memuji artis yang pernah bekerja dengan saya. Namun gadis itu istimewa. Cocok untuk orang seperti Anda. Kalian akan jadi pasangan yang luar biasa. Kalau saya boleh membantu, biarlah saya yang menemui Pak Genzo. Rasanya sudah lama sekali saya tidak bertemu beliau. Kira-kira kapan Anda ingin melangsungkan pernikahan?”

“Secepat mungkin,” jawab Masumi mantap.

Malam itu Masumi pergi ke kantornya kembali setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Pak Kuronuma sekaligus berjanji untuk saling mengabari. Pak Kuronuma agaknya tak banyak tanya dan cukup memahami keinginan mereka untuk merahasiakan pernikahan dari publik.Bantuannya untuk menjelaskan maksud mereka kepada Pak Genzo sungguh sangat Masumi hargai. Dia tak menyangka bahwa kebaikan tanpa pamrih itu masih ada. Dan Masumi yakin Pak Kuronuma melakukannya semata-mata karena Maya.Namun Masumi masih harus melakukan banyak hal sebelum dia bisa hidup tenang berdua dengan Maya dan memulai mimpi mereka. Masumi ingin yang terbaik bagi Maya meski untuk saat ini semua serba tidak pasti dan penuh resiko. Masumi tidak akan ragu bahwa Maya akan menerima dan mencintai dirinya apa adanya. Namun Masumi sebagai laki-laki tak ingin calon istrinya harus menderita karenanya. Kehadirannya harusnya untuk melindungi dan menguatkan, bukan untuk menambah beban derita hidup Maya.

Di kantornya yang sepi Masumi kembali bekerja dengan serius. Namun kali ini bukan untuk Daito melainkan untuk dirinya sendiri. Masumi harus mempertimbangkan bermacam strategi dan menghitung dengan matang segala resiko dan keuntungan. Masumi cukup percaya diri bahwa dirinya seorang bussinesman yang hebat. Namun demi Maya dia tak mau gegabah. Apalagi yang harus dihadapinya nanti bukanlah orang sembarangan melainkan gurunya sendiri, Eisuke Hayami. Di tengah keheningan malam, hanya bunyi kemeresek kertas dan keyboard laptop yang menemani Masumi bekerja keras dan berkonsentrasi penuh. Namun bunyi getar ponselnya membuatnya menoleh. Saat melihat layar ponselnya, Masumi langsung mengangkatnya tanpa basa basi.

“Ada kabar bagus, Hijiri?” tanyanya to the poin.

“Saya sudah menemukan orang yang Anda cari Pak, dan sudah pula berhasil membuat kontak dengan beliau. Saat ini yang bersangkutan sedang dalam perjalanan panjang namun akan singgah selama kurang lebih tiga hari di Singapura minggu depan. Bila Anda berkenan, beliau berjanji untuk meluangkan waktu menemui beliau di sana.”

Masumi menghabiskan waktu beberapa saat untuk berbincang dengan Hijiri tentang bermacam hal yang berkaitan dengan pekerjaan, hingga akhirnya Hijiri berkomentar pendek. “Tentang orang yang ingin Anda temui itu Pak Hayami, sama sekali tidak ada yang tahu apa maksud Anda, bahkan juga saya.”

“Apakah itu menjadi masalah, Hijiri?”

“Tidak, terutama bagi saya. Namun saya ingin memastikan bahwa semuanya aman di tangan saya, Pak Hayami. Saya juga akan membantu sebisa saya tanpa Anda harus mengatakan apa rencana Anda.”

“Terima kasih Hijiri, atas tawaranmu.”

Minggu berikutnya, Masumi menunggu Maya di depan pintu apartemennya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, namun belum ada tanda-tanda kepulangan gadis itu. Sebelumnya Masumi sudah menelepon Rei untuk memastikan Maya tidak menginap. Dia sengaja tidak menelepon Maya untuk memberinya kejutan. Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya Masumi mendengar suara mobil berhenti di depan. Tak lama kemudian dia melihat sosok mungil yang dicintainya muncul di koridor. Maya tampak sangat kelelahan sehingga dia tidak menyadari keberadaan Masumi di depan pintu apartemennya. Barulah ketika jarak keduanya tinggal lima meter gadis itu menyadari siapa yang berada di sana.

“Masumi!” teriaknya bahagia tak tertahan.

“Sstt...,” Masumi memberi tanda agar Maya jangan ribut. “Nanti tetanggamu bangun.”

Maya bergegas membuka pintu apartemennya. “Sudah lama menunggu?”

“Sekitar lima belas menit,” jawab Masumi mengikuti Maya masuk apartemen dan melepas sepatunya sebelum dengan Maya. Ruangan yang sempit itu semakin terasa sempit dengan kehadiran Masumi yang memenuhi ruangan dengan tubuh tingginya. Keduanya segera melepas pakaian hangat mereka dan menuju ruang tengah, dimana Masumi segera menarik Maya dalam pelukannya. “Mana ciuman untukku, hmm...?”

Maya menengadahkan wajahnya dengan mata berbinar. Namun Masumi diam saja, tak juga bergerak menciumnya. Maya mengerutkan kening dengan heran dan bibirnya cemberut.

“Aku ingin kau memberinya,” kata Masumi.

Maya pun tanpa ragu segera mengalungkan lengannya di leher Masumi dan menariknya membungkuk mendekati wajahnya. Setelah berada di jangkauan wajahnya diciumnya lembut bibir Masumi. Lelaki itu pun tak kuasa menahan godaan lebih lama lagi dan membalas ciumannya dengan menggelora. Tak berapa lama keduanya asyik berpelukan di depan televisi, tempat favorit mereka, menikmati segelas coklat panas.

“Kau habis dari pesta?” tanya Maya baru menyadari Masumi yang memakai baju sutra seputih salju dan tuxedo. Setelannya pun berwarna hitam formal.

“Iya, makan malam bersama kolega yang telah lama menjadi rekanan di Daito,” Masumi menjawab santai.

“Perempuan?” Maya bertanya menyelidik.

“Mereka pasangan yang sudah berumur. Namun mereka membawa seorang putri mereka.”

“Cantik?”

“Sangat cantik.”

“Pintar?”

“Dia lulusan sekolah desain interior di Paris.”

“Apa yang kau lakukan dengannya?”

“Kami berdansa satu atau dua lagu, aku tak ingat.”

Tiba-tiba Maya berdiri. “Lantas kenapa kau kemari? Apakah perempuan itu menolakmu?” katanya ketus.

Masumi memandang gadisnya yang sedang merajuk. Binar-binar jenaka berpendar di matanya. “Kau cemburu, Maya?”

“Siapa bilang? Aku hanya tidak suka dijadikan pilihan terakhir setelah kau ditolak perempuan lain.”

Tawa Masumi meledak. Membuat Maya semakin marah. Namun tawa Masumi kontan berhenti ketika melihat air mata meleleh di pipi Maya. Segera diraihnya Maya ke dalam pelukannya. “Maafkan aku, Mungil, karena telah menggodamu. Sepertinya kau sedang lelah sekali hingga bad mood begini,” bisiknya di telinga Maya dan dengan lembut diciumnya air mata Maya. “Kau tahu kan, bahwa kau satu-satunya gadis yang mengisi hatiku belasan tahun terakhir ini? Hingga aku melakukan segala cara untuk selalu dekat denganmu meski itu penuh resiko?”

“Aku sangat merindukanmu, namun kau sekalipun tak menghubungiku. Meski aku tahu bahwa kau begitu sibuk, namun aku tak bisa menahan kekhawatiranku sehingga aku berfikir yang tidak-tidak,” Maya mengakui dengan malu. “Lalu kau datang tiba-tiba begini.”

Masumi mengecup lembut dahi Maya.“Maya, buanglah semua keraguanmu. Meski aku tak menghubungimu namun tak pernah sekalipun aku melupakanmu. Kalau menuruti naluriku bisa-bisa aku seharian menungguimu di lokasi pengambilan gambar dan memarahi siapapun yang dekat denganmu. Kau ingin aku begitu?”

Maya menggeleng pelan.

“Aku tidak menghubungimu karena tidak mau merusak konsentrasi dan reputasimu. Aku tahu betapa pentingnya akting bagimu. Untuk itulah aku harus menahan diri.”

“Maafkan aku, Masumi, karena sudah cemburu tanpa sebab.”

“Tidak apa-apa. Akupun begitu. Di masa lalu entah sudah berapa kali aku cemburu. Waktu kau berpacaran dengan Satomi atau waktu kau begitu dekat dengan Sakurakoji,” Masumi berbicara seolah melamun. “Cemburu itu sangat tidak enak, apalagi karena kita tidak yakin dengan perasaan orang yang kita cintai.”

“Masumi, Satomi memang pernah singgah di hatiku, namun hanya sesaat. Aku sudah lama melupakannya. Sedangkan Sakurakoji bagiku tak lebih dari lawan main bagiku. Di hatiku hanya ada kamu,” Maya menangkup wajah Masumi dengan kedua telapak tangannya. “Maafkan aku.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, selama kita saling yakin dengan perasaan masing-masing,” dengan kata-kata itu Masumi kembali mencium Maya dengan lembut. “Sebetulnya aku ke sini selain karena aku sangat rindu, aku juga ingin mengataka kepadamu bahwa kita sudah bisa bisa menentukan tanggal pernikahan sekaligus merencanakan semuanya.”

“Benarkah?” Maya membelalakkan matanya.

“Benar, kita sudah bisa melakukan beberapa persiapan.”

Berdua mereka pun sepakat menentukan hari dan tempat mereka akan menikah. Sengaja mereka menunggu hingga jadwal tayang drama televisi Maya berakhir, yang berarti kurang dari dua bulan mendatang, dan sebelum kepastian pementasan Bidadari Merah diumumkan. Selain itu adalah waktu paling masuk akal buat mereka berdua, juga karena adanya beberapa persiapan khusus yang harus dilakukan oleh Masumi. Dalam adat tradisional pernikahan di musim semi diyakini sebagai hari baik dalam sistem kalender Jepang kuno. Maya dan Masumi membutuhkan semua keberuntungan yang bisa mereka dapatkan demi pernikahan mereka yang jauh dari ideal ini.

Sudah pukul dua dinihari ketika akhirnya Masumi berpamitan pulang.

“Aku benci setiap melihatmu keluar dari pintu itu meninggalkanku,” rajuk Maya manja.

“Kau pikir aku suka harus berpisah denganmu?” Masumi membelai rambut Maya. “Sabarlah, nanti akan tiba waktunya kita selalu berdua dan kau bisa melihatku setiap saat hingga kau bosan setengah mati,” Masumi tersenyum.

“Apakah kau sibuk sekali dengan pekerjaanmu?”

“Iya,” Masumi mengangguk. Kemudian seperti berfikir sebentar dia berhenti sesaat sebelum mengatakan, “Aku akan ke Singapura, pesawatku akan berangkat jam tujuh pagi ini.”

Maya mendongak memandang wajah calon suaminya. “Berapa lama kau ke Singapura?”

“Mungkin dua atau tiga hari, aku belum yakin, tergantung urusannya.”

“Apakah urusan Daito?”

Masumi menatap gadis itu. “Bukan. Ini untuk masa depan kita. Aku harus menemui seseorang di sana, bagian dari rencanaku.”

“Apakah kau akan membaginya denganku?”

“Nanti, bila saatnya tiba. Untuk saat ini semua masih konsep yang berputar-putar di kepalaku. Yang perlu kau lakukan hanyalah percaya padaku. Aku ingin yang terbaik untukmu.”

“Tapi aku tak mau kau perlakukan seperti anak kecil. Aku sudah dewasa. Mungkin aku bodoh dan tak bisa memahami cara berfikirmu yang rumit. Namun bukan berarti aku tidak ingin tahu.”

“Sabarlah, Maya, semua ada saatnya. Tunggulah. Saat semuanya terjadi kaulah orang pertama yang berhak tahu dan kaulah orang pertama yang merasakan resikonya bila sampai gagal. Aku tak mau mencelakakanmu.”

“Menikahiku akan sangat beresiko, bukan?”

“Itulah letak tantangannya dan sangat sepadan dengan imbalannya. Siap melaluinya bersamaku?”

“Pasti,” Maya mengangguk mantap. Kemudian seperti teringat sesuatu, Maya menuju ke tempat gantungan dimana tasnya berada. Setelah mencari-cari sejenak, akhirnya dia mengeluarkan serenceng kunci, memilih satu yang berbandul Big Ben dan memberikannya kepada Masumi. “Ini kunci apartemen ini, untukmu, agar kau bisa datang sewaktu-waktu.”

Masumi menerima kunci itu dengan senyum lebar. “Akhirnya...” dan diciumnya Maya kuat- kuat sebelum akhirnya dengan enggan beranjak pergi.

***

Musim dingin telah berakhir digantikan musim semi yang indah. Pucuk-pucuk pepohonan telah menunjukkan tunas-tunasnya dan meski udara masih dingin namun matahari telah bersinar cerah sepanjang hari. Malam itu Masumi menemani ayahnya yang tengah berbincang-bincang dengan Asa, pendamping setianya, di ruang keluarga kediaman Hayami yang mewah. Masumi menatap jauh keluar jendela. Pernikahannya berlangsung empat hari lagi dan Maya beserta teman-temannya telah pergi keluar kota untuk mempersiapkan segalanya. Sebetulnya Masumi juga ingin pergi. Tetapi selain karena Maya melarangnya dengan dalih Masumi akan lebih banyak berguna di Tokyo dari pada ke luar kota bersamanya, juga karena masih ada beberapa urusan yang ingin dia selesaikan. Surat ijin pernikahan sudah mereka daftarkan bersama dua hari lalu, dimana Maya dan Masumi harus sembunyi-sembunyi untuk pergi ke kantor pemerintahan setempat. Untungnya petugas yang menerima sudah begitu tua hingga tidak mengenali Maya sebagai artis ternama maupun Masumi yang sering muncul di surat kabar dan majalah bisnis, karena mereka memang berasal dari dua dunia yang berbeda. Sekarang meski secara hukum keduanya sudah sah sebagai suami istri, mereka sepakat untuk menunggu hingga upacara pernikahan shinto yang akan dilangsungkan di kuil sebelum menjalani kehidupan sebagai pasangan suami istri.

“Masumi, apakah aku sudah mengatakan kepadamu bahwa aku akan pergi ke Perancis Selatan dalam dua hari ini?”

Suara ayahnya memecahkan lamunan Masumi dan membuat lelaki itu menoleh memandang orang tua yang sedang duduk di kursi roda.

“Belum, Ayah,” jawabnya singkat. “Bukankah Ayah baru saja pulang dari Hawaii?”

“Ah, kemanapun aku pergi, apalah artinya? Toh semua urusan Daito sudah kau tangani dengan baik, sampai bosan aku mendengarnya. Mondar mandir di rumah juga membuat semua pelayan kewalahan saja mengurusi orang tua cerewet seperti aku. Lagipula umurku semakin tua, aku tak tahu lagi sampai kapan aku masih bisa menikmati bersenang-senang.”

“Kalau itu kemauan Ayah, aku tak akan mencegahnya.”

“Sebetulnya bila kau mau memberiku apa yang paling aku inginkan, mungkin aku akan sangat kerasan di rumah.”

“Apa itu ayah? Bukankah semua perintah ayah sudah aku kerjakan?”

“Seorang cucu, aku ingin seorang cucu, dua atau lebih juga akan sangat aku terima.”

“Ayah sudah tahu jawabanku.”

Eisuke tertawa terbahak-bahak. “Kau dingin sekali ya? Bahkan tak mau susah payah berbasa-basi.”

“Rasanya tak perlu lagi kita berbasa basi, Ayah, kita terlalu mengenal satu sama lain untuk buang-buang waktu dengan berbasa-basi.”

“Tahukah kau, Masumi, bahwa dalam khayalanku yang paling gila, aku berharap kau lepas kendali dengan seorang wanita hingga membuatnya hamil dan memberiku seorang cucu. Mungkin aku tak keberatan dengan keberadaan cucu hasil kecelakaan seperti itu. Tetapi orang dingin sepertimu tak mungkin lepas kendali,” Eisuke menertawakan dirinya sendiri.

Masumi hanya diam saja, memandangi kilau keemasan dari whiskey di tangannya. Andai saja ayahnya tahu.

“Kalau memang Ayah ingin pergi malam ini juga aku akan mengontak Mizuki untuk mengurusi semuanya sementara Paman Asa bisa mulai bersiap-siap,” katanya datar tanpa ekspresi.

“Kau sudah tak sabar kan?” tanya Eisuke tiba-tiba.

Masumi tercekat. “Apa maksud Ayah?” tanyanya dingin.

Eisuke terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, “Kau sudah sangat tak sabar ingin aku cepat-cepat pergi agar tak memberimu pertanyaan dan tugas yang aneh.”

“Kupikir begitu. Semakin cepat ayah pergi semakin baik. Kebosanan membuat ayah berfikir yang tidak-tidak.”

***

Musim semi yang indah seolah tersenyum di hari pernikahan mereka. Lembah plum berseri cerahdengan datangnya hari bahagia sang bidadari. Masumi, dalam kimono sutra hitam, dengan didampingi oleh Pak Kuronuma dan istrinya, duduk tenang menunggu kedatangan mempelai wanita. Ingatannya melayang saat memandangi interior kuil tua itu. Kuil yang sangat bersejarah bagi dia maupun Maya. Di kuil ini, bertahun-tahun yang lalu, dalam curahan hujan deras, saat dia menghabiskan malam bersama Maya yang tertidur dalam pelukannya. Sekarang, kuil tampak cerah dalam hiasan perayaan yang didekorasi khusus untuk pernikahannya. Sinar matahari membiaskan warna kuning keemasan melalui jendela kuil yang membuat suasana bermandikan cahaya.

Sesaat kemudian rombongan mempelai wanita telah tiba. Maya, dengan didampingi Pak Genzo dan Rei, berjalan pelan menuju tempat upacara. Maya mengenakan kimono pengantin berwarna putih, dengan penutup kepala tsuni kakushi yang dipenuhi ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya, sebagai simbol yang menutup semua tanduk kecemburuan, keakuan dan egoisme. Menempelkan penutup kepala pada kimono berwarna putih juga juga melambangkan ketetapan hatinya untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesediannya untuk melaksanakan perannya dengan kesabaran dan ketenangan. Wajahnya dirias dengan bedak putih khas pengantin tradisional Jepang. Dari dekorasi, suasana maupun busana yang dikenakan semua yang hadir, seolah membawa kembali Jepang tempo dulu dalam aura upacara yang magis. Masumi hampir menitikkan air mata menatap mempelai wanitanya yang tertunduk malu di samping Pak Genzo. Begitu lugu dan murni seolah semua dalam mimpi.

Setelah semua yang berkepentingan hadir, teman-teman Maya dari Teater Mayuko dan Ikkakuju, dengan Pak Kuronuma sebagai wakil dari keluarga Masumi dan Pak Genzo sebagai wali Maya, upacara pemurnian yang dipimpin pendeta pun dimulai. Mereka mengikuti dengan khidmat saat bait-bait mantra dibacakan. Setelah itu kedua mempelai mengikuti ritual sansakudo, berdua mereka bergiliran menghirup sake sebanyak sembilan kali dari tiga mangkuk yang disediakan. Kemudian Maya dan Masumi diikuti Pak Genzo dan Pak Kuronuma serta seluruh teman Maya, duduk saling berhadapan. Dengan mantap kedua mempelai mengucapkan janji pernikahan yang diakhiri dengan bersama seluruh keluarga meminum sake sebagai tanda pertalian dua keluarga yang baru saja terbina melalui sepasang mempelai. Upacara sederhana namun khidmat itu diakhiri dengan keluarnya sesaji ranting sakaki yang ditujukan kepada Dewa Shinto untuk mengusir roh-roh jahat.

Malu-malu Maya melirik suami barunya yang duduk tegak di sebelahnya. Kepalanya tertunduk dan pipinya memerah menyadari bahwa statusnya sekarang telah berubah. Menyadari tatapan tersembunyi istrinya, Masumi menoleh. Senyum bahagia menghiasi wajahnya. Dengan lembut diraihnya tangan Maya dan diremasnya pelan penuh sayang. Ungkapan sederhana yang cukup mengundang komentar dari teman-teman Maya dan membuat gadis itu semakin tersipu.

Jamuan makan siang berlangsung di pondok lembah plum dengan hidangan tradisional khas Jepang yang khusus dipesan dari katering. Pak Genzo berbaik hati meminjamkan pondok itu untuk acara resepsi sederhana maupun untuk malam pengantin, yang diterima dengan sangat sukacita oleh Maya dan Masumi karena pondok itu lebih berkesan dan menyimpan banyak kenangan dibandingkan hotel. Menjelang sore, saat petugas katering telah membereskan semuanya, semua pergi ke hotel, meninggalkan Maya dan Masumi untuk melewatkan waktu pertama mereka bersama sebagai sepasang suami istri. Siul-siulan usil dari teman-teman Maya yang menggoda keduanya membuat wajah gadis itu memerah seperti udang rebus. Sedangkan Masumi menerima segala godaan usil itu dengan senyum lebar.

***

Di kamar pengantinnya, dengan harum semerbak mawar jingga yang memenuhi sudut-sudut ruangan, malam itu Maya menanti dengan gugup kehadiran suaminya. Rambutnya yang panjang tergerai lepas di pundak. Tanpa riasan dengan mengenakan piyama tidur berwarna seputih salju berhiaskan bunga-bunga sakura merah, Maya duduk di atas futon yang terhampar di tengah ruangan menanti malam pertamanya sebagai seorang istri. Sesaat kemudian Masumi memasuki kamar. Tubuh tegapnya berbalut kimono tidur warna gelap, begitu gagah dan tampan membuat Maya tercekat tak percaya bahwa lelaki inilah yang telah menjadi seuaminya. Senyum Masumi lembut dan mesra menyambut tatapan gugup mata bening istrinya. Dia pun segera duduk di belakang Maya dan menarik gadis itu dalam pelukannya.

“Kau gugup, sayang?”

Maya mendongak. Bibirnya yang mungil tampak merah alami dan begitu ranum membuat Masumi tak tahan dan segera mendaratkan ciuman di sana. “Akhirnya aku memilikimu, rasanya hampir tak percaya,” desahnya di bibir Maya.

Malu-malu Maya merebahkan kepalanya di dada bidang Masumi. Lelaki itu meraih tangannya, mencium telapak tangannya sebelum akhirnya mengecup jemarinya satu persatu.

“Masumi...”

“Hmm...”

“Apakah kau keberatan bila kita menghabiskan malam ini di bawah kilau bintang?”

Masumi memandang istrinya. Melihat tatapan permohonan di sana. Kemudian senyum terkembang di bibirnya. “Tentu, sayang. Dan apakah kau tahu betapa cantiknya kau hari ini, bidadariku?”

Maya tersipu. “Kau hanya menggodaku,” tampiknya malu-malu.

“Tidak. Aku sungguh-sungguh,” dan seolah ingin membuktikan kesungguhannya, Masumi mencium Maya dengan penuh gelora.

Malam itu, mereka memadamkan lampu ruangan dan membiarkan tirai jendela terbuka. Sinar bulan memancar lembut menembus kaca jendela, dan di atas sana sejuta bintang berpendar mengiringi perpaduan mereka yang pertama sebagai dua jiwa yang menyatu. Masumi membimbing istrinya yang masih begitu muda dan lembut mengarungi puncak-puncak kenikmatan asing yang selama ini tak pernah dikenalnya. Penuh kesabaran dengan sentuhan lembut ujung jari dan bibirnya Masumi mengajari Maya bagaimana seharusnya seorang perempuan diperlakukan. Maya menggeletar kala gelombang demi gelombang yang membawanya ke puncak dan menghempaskannya hingga tak berdaya dalam rengkuhan Masumi yang juga meregang dalam ledakan gairahnya.

“Masumi, itu tadi apa?” tanya Maya pelan sambil menyelusupkan wajahnya yang bersimbah peluh ke dada bidang Masumi, menghirup aroma Masumi yang begitu khas dan sangat disukainya.

“Itulah cinta,” bisik Masumi sambil bergerak menjangkau leher Maya dan menghujaninya dengan ciuman-ciuman yang membuat Maya mendesah tak berdaya.

Malam itu mereka berdua saling belajar menjelajah kenikmatan yang timbul kala kedua tubuh bersentuhan, dengan bebas berusaha mengenal lebih intim dan memuaskan keingintahuan akan pasangannya. Maya yang semula masih malu-malu akhirnya dengan penuh percaya diri berusaha memberi suaminya kenikmatan sebesar yang telah diterimanya. Membuat Masumi mengerang tak berdaya di bawah sentuhan magis itu.

Sementara di sebuah villa yang terpencil di Perancis Selatan, Eisuke duduk terpekur di beranda ditemani pendampingnya yang setia.

“Informan menelepon untuk mengabarkan bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan di kuil yang ada di Lembah Plum, Tuan,” Asa memberi laporan dengan suara pelan dan kepala tertunduk.

Eisuke, melamun memandang halaman yang cerah bermandikan sinar matahari, seolah tak mendengar laporan Asa.