Saturday, August 13, 2011

The Last Choice (3)

“Apa yang telah kau lakukan padaku, Sev?” tanya Katty seolah linglung.

“Menciummu.”

“Kenapa?”

Sev meraih Katty, menempatkan lengannya di bahu gadis itu dan menatapnya lekat-lekat. “Asal kau tahu, Katty, mulai saat ini kaulah gadisku. Aku sudah memutuskannya.”

“Ha? Kau bercanda?”

Namun melihat keseriusan di mata Sev Katty ragu kalau lelaki itu bercanda. “Kenapa?” tanyanya masih belum mengerti.

“Sudah waktunya.”

“Tetapi...”

“Katty, kau cukup mengenalku dengan baik. Aku juga mengenalmu sangat baik. Kita saling cocok, hubungan kita selama ini begitu solid. Kau single, aku juga. Kita tidak sedang terlibat hubungan dengan siapapun. Apa lagi yang diributkan sih? Kita tinggal melanjutkan saja apa yang sudah terjalin selama ini.”

“Sev, jangan lecehkan inlegensiku! Aku tahu hubungan kita selama ini bukanlah hubungan seperti itu. Kau pikir aku begitu saja dengan omong kosongmu soal melanjutkan hubungan yang selama ini terjalin. Hubungan apa?”

“Yang kumaksud sayangku, kalau selama ini kau menganggap kita sebagai kakak adik, maka sudah saatnya kau merubahnya. Aku sudah lama sekali tak menganggapmu sebagai adik perempuanku lagi. Bagaimana aku bisa menganggapmu adik bila dalam pikiranku adalah mencium bibir seksimu itu?”

“Sev, kau vulgar!”

“Dan sebaiknya kau terima saja semua itu, oke? Tak ada ruginya kau punya hubungan asmara denganku. Aku laki-laki, sehat, normal, dan tidak suka yang aneh-aneh.”

Katty mengangkat alisnya. “Benarkah?”

“Aku bisa membuktikannya.”

“Kau tidak masuk akal sama sekali!”

“Dan kau keras kepala! Namun aku akan sangat menikmati menaklukanmu,” Sev menyeringai. “Bagaimana? Toh kita sudah bertunangan. Kau lihat kan betapa nasib begitu mendukung kita?”

“Kau melakukannya semata-mata kerena kekonyolan Virginia.”

“Siapa bilang? Gadis bodoh itu hanya memperlancar jalanku, namun tak ada hubungannya sama sekali dengan ini. Sudahlah Katty, kita bisa menghemat energi dengan menghentikan semua omong kosong tentang persaudaraan ini dan kita lanjutkan hubungan kita dalam dimensi baru. Kita saling tertarik kan? Jangan bilang kau tidak menikmati ciumanku.”

Katty memandang Sev dengan garang namun untuk membantah dia tidak menemukan kata-kata yang tepat. Bungkam memang lebih aman. Sev pasti bisa membalikkan semua argumennya. Dia pengacara handal kan? “Terserah apa maumulah,” Katty berlagak tak peduli.

“Katty...Katty, perempuan-perempuan lain akan bersedia menggadaikan nenek mereka untuk tawaran ini dan kau malah tak peduli. Kau melukai egoku sayang,” Sev geleng-geleng kepala dan menarik Katty mendekat dalam pelukannya.

“Kenapa kau tidak mencari cewek lain saja seperti biasanya,” Katty sedikit merajuk, menyandarkan kepalanya di dada Sev.

Sev tertawa. “Aku hanya mau denganmu. Titik. Tapi agaknya aku perlu waktu lama untuk membangun kepercayaan dalam dirimu bahwa akulah laki-laki yang paling tepat untukmu. Persepsimu akan diriku sebagai sahabat atau saudara laki-laki sudah terlalu kuat. Kau belum mempercayaiku sepenuhnya sebagai seorang laki-laki. Agaknya hatimu yang beku itu perlu dicairkan lebih dulu.”

Katty mendongakkan kepala. Matanya yang indah dan bening begitu lugu mencari-cari kebenaran kata-kata Sev dalam tatapan gelap itu.

“Jangan pandang aku seperti itu, sayang, aku tak akan bisa menahan diri lagi. Kamar yang luas, tempat tidur di dekat kita, dan kau dalam pelukanku, apa lagi yang akan dipikirkan seorang laki-laki sepertiku kalau bukan untuk mencumbumu hem...?”

Katty buru-buru melepaskan diri. “Kau keterlaluan sekali,” omelnya.

Sev terbahak-bahak.

Memenuhi janjinya Sev membawa Katty makan malam keluar.

“Kalau kau pikir aku akan langsung takluk padamu hanya karena kau puji aku gara-gara gaun ini, maka kau salah besar. Aku bukanlah Virginia maupun salah satu kelinci-kelinci pirang berdada melon yang biasa kau kencani sesukamu itu,” komentar Katty pedas pada wajah Sev yang memuji penampilannya malam itu.

“Ya ampun Katty, tidak bisakah kau menerima pujian dengan anggun layaknya seorang lady? Tapi aku sudah terbiasa dengan segala omelanmu. Jadi bila kau bersikeras untuk membuat segalanya sesulit mungkin agar aku mundur, maka kau juga salah besar. Aku akan sangat menikmati menaklukanmu,” Sev mengirimkan senyum mautnya yang mungkin akan membuat gadis lain akan meleleh. Namun Katty malah melengos.

Seperti biasa pertengkaran mereka tak pernah berlangsung lama. Sev seorang teman bicara yang menyenangkan sementara Katty memuji dirinya cukup cerdas untuk mengimbangi obrolan Sev dengan komentar-komentar yang tepat. Katty tak tahu koneksi macam apa yang digunakan Sev sehingga mereka mendapatkan meja di restoran kelas satu yang Katty tahu pasti daftar tunggunya sudah berbulan-bulan.

“Kalau begini gayamu dalam menaklukkan cewek-cewek cantik, tak heran kalau kau selalu sukses,” komentarnya sambil menikmati creme brulee yang mengilat keemasan dengan indah, disajikan dalam mangkuk-mangkuk elegan yang pasti membuat para kolektor rela merogoh kocek ratusan pound untuk memilikinya.

“Aku lupa bahwa kadang mulutmu yang pedas itu begitu menjengkelkan membuatku ingin mencekikmu,” sahut Sev gemas sambil menyesap anggur mahal yang menemani makan malam mereka.

“Demi kebaikanmu sendiri lebih baik kau selalu mengingat hal itu.”

Makan malam yang lezat disertai anggur yang bagus agaknya melancarkan lidah mereka dalam membangun suasana intim. Saat makan malam berakhir keduanya sudah saling tertawa bersama. Bahkan Katty sudah tidak memprotes ketika Sev menggenggam erat tangannya yang berada di atas meja sebelum membawanya ke bibir dan menciumnya mesra.

“Sudahkah kukatakan bahwa malam ini kau cantik sekali?” tanya Sev tiba-tiba, masih menggenggam tangan Katty.

“Meski akal sehatku mengatakan bahwa semua itu omong kosong, tapi baiklah, kuterima pujianmu. Entah mengapa malam ini aku juga untuk pertama kalinya merasa cukup cantik. Mungkin karena kau begitu tampan dan aktingmu cukup bagus menjadikanku seolah gadis yang paling beruntung karena berkencan dengan orang hebat macam kamu. Aku sudah berkali-kali mendapati tatapan iri para perempuan yang memandangi kita berdua,” kata Katty terus terang.

“Sayang, kadang kejujuranmu itu begitu menyebalkan,” Sev menyeringai. “Andai ini bukan tempat umum yang beradab, pasti sudah kubungkam mulut cantikmu itu dengan bibirku.”

Setelah makan malam Sev membawa Katty ke club yang sangat trendy dan glamour untuk berdansa. Katty belum pernah berdansa di tempat seperti itu. Dia hanya berdansa pada acara-acara sosial biasa seperti pesta natal.

“Clubnya bagus sekali,” pujinya sambil mengamati suasana ramai di sekeliling mereka. Musik yang menghentak dan energi yang terpancar dari para pengunjung begitu memacu adrenalin Katty. Di sini, dalam kilau lampu yang berpendar Katty merasa begitu muda dan bebas. “Pantas Virginia begitu memujamu bila kau sering membawanya ke tempat seperti ini. Gadis itu memang terlahir untuk berpesta.”

“Aku membawanya karena kau yang minta,” kata Sev mengingatkan. “Dan seandainya aku tahu kau juga suka pergi ke tempat seperti ini dan bukannya selalu mengkritikku dengan gaya seorang Lady dari jaman Victoria itu, aku pasti sudah menyeretmu kesini bertahun-tahun lalu.”

Lalu Sev segera menarik Katty ke lantai dansa. Katty cukup sering berdansa dengan Sev untuk mengetahui bahwa dia seorang penari yang baik. Dan Katty sendiri memiliki kelincahan alami dalam mengikuti irama musik. Malam itu band sedang memainkan lagu-lagu Elvis. Dan Sev serta Katty tiba ketika lagu-lagu slow mulai dimainkan. Sev meraih tangan kanan Katty, meletakkan tangan kiri gadis itu ke bahunya dan melingkarkan lengan di tubuh Katty. Secara otomatis Katty mengikuti langkahnya, bergoyang lembut mengikuti irama. Katty mendongak memandang Sev. Meski dia memakai sepatu bertumit tinggi namun matanya hanya menjangkau ke leher Sev saja.

“Ada apa hm...?” tanya Sev memandang gadis dalam pelukannya.

“Entahlah. Aku merasa hidupku bergerak cepat ke arah perubahan besar yang tak sanggup kutolak sejak tadi pagi. Dan untuk pertama kali aku merasa begitu muda.”

“Demi Tuhan sayang, usiamu baru dua puluh delapan. Kau belum lagi tiga puluh. Kadang aku begitu tidak sabar ingin menarikmu keluar dari sarang kenyamananmu itu. Namun berkali-kali aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa itu bukan cara yang tepat. Bahwa kau cukup bahagia dengan dirimu yang begitu bersahaja seperti itu.”

“Apakah aku begitu menyedihkan?”

“Tidak. Kau keras kepala, bermulut tajam, menjengkelkan, namun kau juga begitu manis dan mudah disayangi. Kau berhati hangat. Bukan menyedihkan. Andai kau tahu betapa ekspresi wajahmu saat ini.”

Tiba-tiba Sev mengetatkan lengan yang melingkari tubuh Katty serta menariknya berputar, memaksa Katty mengalungkan lengan di leher lelaki itu. Beberapa kali Katty harus berakhir dalam posisi tubuh merapat dan bersentuhan dengan tubuh maskulin Sev, melebihi standar kedekatan yang berlaku. Katty merasa dadanya menggesek kemeja Sev, merasakan paha Sev menempel ke kakinya, dan Demi Tuhan, Sev menempatkan sebelah tungkainya di atara kedua kaki Katty. Tiba-tiba Katty merasa kepanasan. Sensasi aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebuah fenomena fisik yang belum siap diterimanya.

“Sev...”

“Ya?”

“Sev,” Katty merasa meleleh. Dia bersandar sepenuhnya dalam pelukan Sev. Kakinya masih bergoyang mengikuti gerakan Sev namun lelaki itu menyangga seluruh berat tubuhnya. “Kurasa kau memelukku terlalu erat,” suaranya bergetar.

Sev menundukkan kepalanya dan suaranya membelai daun telinganya. “Tidak sayang, pelukanku sangat pas.”

Tentu saja. Terutama bila Sev menginginkan gadisnya meleleh seperti ini. Namun ungkapan protes Katty agaknya tak lebih sekedar ungkapan karena pada kenyataannya Katty sama sekali tak berusaha sedikitpun menarik diri dari lingkaran hangat tubuh Sev yang memeluknya. Kehangatan yang terasa pas dan nyaman saat tubuhnya bersandar pada tubuh Sev, kelembutannya berpadu tepat dengan kekerasan tubuh lelaki itu. Terus terang Katty menyukainya. Apalagi ketika Sev lebih mengetatkan pelukannya.

“Tahukah kau kalau aku memimpikan memelukmu seperti ini bertahun-tahun lalu?” gumamnya di telinga Katty. Dan Katty berjengit terkejut ketika bibir Sev membelai daun telinganya. Juga ujung lidahnya. “Jangan khawatir sayang, aku tak akan mencumbumu saat ini juga meski seluruh insting dalam diriku berteriak untuk membawamu pulang dan menguncinya di kamarku untuk menikmati dirimu untukku sendiri. Kita akan menjalaninya pelan-pelan, sepelan yang bisa kutolerir.”

Katty kembali mendongakkan wajah menatap Sev. Bibirnya yang ranum tampak bergetar. “Sev, apa yang dilakukan oleh gadis-gadis lain dalam situasi seperti ini?” tanyanya lugu.

Sev menggeram, “Katty sayang, yahukah kau bahwa keluguanmu itu membuatku gila?” dan serta merta dia mendaratkan ciuman panas ke bibir Katty. Mereka berhenti bergerak. Bahkan hingga lagu berakhir. “Sepertinya kita harus pergi dari sini atau aku tak akan bisa mengembalikan akal sehatku lagi.” Sev dengan wajah mengeras buru-buru menarik Katty pergi.

Meski malam telah larut namun jalanan kota London seolah tidak pernah sepi. Tanpa banyak berbicara Sev mengemudikan mobilnya menuju arah flat Katty berada.

“Melihat dari reaksimu kepadaku rupanya kau sudah cukup lama hidup selibat. Kapan kau mengencani cewek terakhirmu, Sev?” tanya Katty ringan.

Sev mengejang sejenak sebelum tawanya pecah. “Ya ampun gadisku sayang, kau benar-benar tahu bagaimana mematikan hasrat seorang laki-laki.”

“Masuk akal kan?”

Pertanyaan yang tidak perlu jawaban. Sebaliknya Sev malah mengulurkan tangannya meraih tangan Katty dan menciumnya. “Kita jalani pelan-pelan, oke? Hingga saatnya nanti tidak ada lagi keraguan di kepala mungilmu itu.”

Flat Katty terasa kosong ketika Sev membuka pintu. Lelaki itu menyalakan semua lampu dan mengecek semua pintu dan jendela. Katty tertawa melihat kelakuannya.

“Kau berlebihan, Sev. Tingkahmu itu menggelikan karena kau kan baru sekali ini masuk ke flatku,” katanya sambil tertawa. “Bertahun-tahun aku hidup sendiri di sini dan aku mampu menjaga diriku sendiri. Jangan katakan kejadian hari ini memunculkan sisi posesif dirimu secara tiba-tiba begitu.”

Sev mengerutkan alisnya menatap gadis yang menertawakannya itu. “Aku harusnya melakukannya bertahun-tahun lalu. Katika kau bercerita bahwa kau telah membeli tempat tinggal sendiri, betapa khawatirnya kami, aku dan kedua orang tuaku. Namun aku meyakinkan ayah ibuku bahwa gadis kecil mereka telah beranjak dewasa dan kami harus membiarkanmu bebas seperti itu. Kau berhak menerimanya setelah semua perlakuan yang kau dapat dari ibu tirimu itu. Tahukah kau betapa tiap saat aku ingin datang menyeretmu pulang, aku sangat khawatir kalau-kalau kau terjatuh ke tangan lelaki yang tidak pantas. Namun kemudian kau kembali ke Stockley House tetap sebagai Katty yang kami kenal, dewasa dan berakal sehat, barulah aku bisa bernafas lega.”

“Padahal saat itu kupikir kau sedang tenggelam dengan karir cemerlangmu, gaya hidup gemerlap dan hedonis serta barisan cewek-cewek mutakhirmu.”

“Aku tidak munafik Katty bahwa aku menikmati hidupku dulu. Aku menikmati berpesta dengan gadis-gadis cantik. Namun semua itu hanya pengisi waktu. Hanya sesuatu yang kulakukan sambil lalu. Aku bahkan tak bisa mengingat dengan benar nama dan wajah perempuan yang terakhir kukencani. Dan itu lebih setahun yang lalu. Saat ini kalau kau cukup memperhatikanku aku lebih banyak berada di Drake Castle daripada di London. Dan satu-satunya gadis yang “kukencani atas permintaanmu” ingat? Hanyalah adik tololmu itu dan aku kalau tidak mengingat betapa pusingnya kau mengurusi dia, pasti sudah kutingglkan dia berbulan-bulan yang lalu. Aku baru tahu bahwa ada makhluk yang begitu membosankan dan begitu tak berotak serta menjengkelkan seperti dia yang pernah diciptakan Tuhan.”

Katty terbahak-bahak mendengar ungkapan Sev tentang Virginia. Akhirnya mereka bergelung berdua di sofa ruang duduk Katty sambil menikmati seteko kopi kental dan berbincang ringan mengenai segala hal. Katty dengan nyaman bersandar di dada Sev sementara lelaki itu mempermainkan rambutnya yang sudah terlepas dari sanggul dan tergerai indah di bahunya. Katty tak ingat sudah berapa ratus kali dia tertidur di pangkuan Sev. Namun saat itu mereka sama-sama memposisikan diri sebagai saudara. Paling tidak dari pihak Katty. Sedangkan saat ini, dengan dimensi baru hubungan mereka Katty ternyata tak merasakan kejengahan sedikitpun. Sev sebagai kakak maupun sebagai ‘kekasih’ tetap membuatnya merasa nyaman.

“Apakah kau akan mengundangku bermalam sekarang?” tanya Sev setelah beberapa lama.

“Jangan aneh-aneh, Sev,” tegurnya lembut. “Kau sudah mengorbankan sepanjang hari ini bersamaku. Besok kita berdua sama-sama sibuk.”

“Kapan kau berencana kembali ke Oxford?”

“Mungkin dua hari lagi. Besok temanku datang dan aku akan menghabiskan sepanjang hari berbenah. Lusa aku masih harus ke kantor penerbitan untuk membicarakan berbagai detil. Baru besoknya aku bisa pulang ke Oxford.”

“Apakah kau keberatan bila kita kembali Sabtu pagi? Tidak apa-apa kan kalau kau menungguku?”

Katty berfikir sejenak. “Hm... boleh juga.”

Akhirnya dengan enggan, setelah menciumnya untuk terakhir kali hari itu Sev beranjak pergi.

***

Katty mengenal Simon Parker selama lima tahun. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai akunting di penerbitan tempat Katty bekerja itu sedang mengalami masa paling gelap dalam hidupnya. Setelah menikah lebih dari lima belas tahun dan memiliki dua anak yang beranjak remaja, tiba-tiba istrinya yang baru pulang dari wisata ke Bahama memutuskan menceraikannya demi seorang kekasih yang baru berusia dua puluh lima tahun. Tak hanya itu, selain dibayang-bayangi harus membayar tunjangan perceraian yang bisa menghabiskan seluruh gajinya, rumah dan anak-anaknya pun terancam terenggut darinya. Maka ketika dia menceritakan kepada Katty tentang niatnya mencari tempat tinggal, Katty tak keberatan menawarkan flatnya. Lagi pula Simon seorang bapak rumah tangga, pasti bisa mengurus flat itu beserta tanaman koleksi Katty di balkon dengan baik.

Lebih awal dari janjinya untuk datang sore hari, Simon muncul di depan pintu flatnya pada pukul sembilan pagi. Dia memutuskan mengambil libur hari itu untuk membantu Katty berbenah sekaligus mulai pindah ke tempat barunya. Mendapat tambahan dua tangan begitu tentu saja Katty tak menolak.

Flat Katty tidak terlalu besar namun berada di lingkungan yang bagus dan nyaman. Katty menempati dua lantai dari bangunan itu dengan menjadikan lantai atas sebagai studio dan balkon tempat dia membuat sebuah kebun kecil. Di masa awal keberadaannya di London, flat ini sudah menjadi tempat tinggal baginya meski tak bisa dipungkiri dibandingkan Stockley House kenyamanan yang diberikan tidak ada apa-apanya. Namun sekarang Stockley House telah menjadi miliknya dan dia tak membutuhkan tempat ini lagi.

Kepada Simon Katty menyewakan tempat beserta seluruh perabotannya. Kecuali beberapa barang pribadi Katty. Khusus untuk studio sudah sejak lama Katty memindahkannya ke Oxford. Jadi sekarang yang harus dibenahi tidak terlalu banyak. Dibantu oleh Simon yang cekatan menjelang senja seluruh barang-barang Katty telah selesai dibenahi dan perusahaan ekspedisi yang disewa Katty sudah datang untuk mengirimnya ke Stockley House. Yang disisakan Katty hanyalah barang-barang pribadi yang dibutuhkannya bila dia harus menginap di London. Dan semua sudah terkunci rapi di kamar di lantai atas yang memang akan tetap dipertahankan oleh Katty.

Untuk makan malam Simon menawarkan diri berbelanja di toko yang berada tak sampai satu blok dari lokasi mereka berada. Tentu Katty menerimanya dan menyanggupi untuk memasak makan malam bagi mereka berdua. Saat mereka berdua asyik di dapur telepon berbunyi.

“Sebaiknya kau yang angkat, Simon. Ini toh sudah akan menjadi tempat tinggalmu,” Katty menyarankan.

Tak sampai semenit Simon telah kembali. “Seorang lelaki bernama Sev mencarimu. Namun ketika kukatakan siapa diriku, dia mengatakan akan datang langsung kemari.”

“Oh, itu Sev, temanku,” kata Katty datar.

“Teman istimewa?”

“Bisa dikatakan begitu.”

“Apakah itu teman yang ramai diperbincangkan di kantor sebagai tunanganmu?”

“Tepat sekali.”

Simon tertawa lebar. “Selamat Katty, aku turut bergembira dengan berita bahagiamu itu.”

Katty menyeringi. “Ironis bukan, apa yang terjadi pada kit berdua?”

“Tidak juga. Apa yang terjadi padaku tak bisa lagi kusesali. Meski sebenarnya aku menyalahkan kebodohanku sendiri. Harusnya aku menyadari sejak dulu bahwa ada yang salah dalam pernikahanku. Tetapi semua sudah terlambat.”

Ketika mengatur meja makan Katty baru menyadari ponselnya yang tergeletak di sana. Ternyata Sev telah beberapa kali menelepon. Namun karena Katty mengaktifkan mode silent wajar bila akhirnya Sev memilih meneleponnya di flat. Ah, biarlah, pikir Katty, sebentar lagi juga Sev katanya mau datang.

Ternyata Sev datang saat dia sedang menikmati makan malam bersama Simon. Mendengar bel pintu berbunyi kontan lelaki berpostur sedang dengan raut muka sederhana itu meloncat untuk membukakan. Namun agaknya keramahannya tak disambut dengan baik karena sebentar kemudian Sev berderap mendatangi Katty di dapur dengan muka tegang penuh kemurkaan.

“Hai, Sev, aku tak menyangka kau kemari,” Katty yang tak memiliki firasat sedikitpun akan alasan kemarahan di wajah Sev menyapanya ramah seperti biasa. “Kau sudah bertemu Simon kan? Dia yang akan menyewa flat ini.”

“Ya, aku sudah bertemu dengannya,” kata Sev pendek. Matanya tak lepas dari Katty yang sedang duduk. “Kulihat sepertinya kalian sedang makan malam. Kuharap aku tak mengganggu keakraban kalian.”

Uh oh... rupanya masalah berada di sini. “Maaf, kami sedang makan. Kau sudah makan? Belum? Mau bergabung bersama kami?”

“Iya, Sev, boleh kan kupanggil kau Sev? Kau bisa bergabung bersama kami. Tunanganmu ini pintar juga memasak,” Simon menimpali dengan ramah, sama sekali tak menyadari betapa gelap tatapan Sev.

“Terima kasih atas tawarannya. Saat ini yang perlu kau lakukan Katty, yaitu segera kemasi barangmu dan kita pergi dari sini.”

“Sev!”

Namun Katty tahu kadang Sev benar-benar tak terbantahkan. Dan sekarang adalah salah satu dari saat itu.

“Kau menyebalkan sekali bila bersikap keterlaluan begini,” gerutu Katty ketika setengah jam kemudian mereka telah meluncur dalam mobil Sev membelah lalu lintas London yang padat.

“Aku berusaha menghubungimu sepanjang sore karena aku akan mengajakmu makan malam di tempatku. Tetapi kau tak menjawab ponselmu. Kau pasti memahami betapa terkejutnya aku ketika menghubungi flatmu, diterima oleh seorang laki-laki. Dan aku tak lebih terkejut ketika aku datang seorang laki-laki menyebalkan menyambutku sok ramah seolah dialah tuan rumah di tempatmu,” gerutunya.

“Ya ampun, Sev, itu toh cuma Simon.”

“Kau tak pernah mengatakan bahwa teman yang akan menyewa flatmu itu seorang laki-laki!” raungnya.

“Sev, kau sangat keterlaluan! Simon itu temanku sejak lama. Apa salahnya aku menolongnya? Asal kau tahu saja bahwa dia baru saja kehilangan istri, anak dan rumahnya.”

“Tapi kau tak ada alasan untuk bersikap begitu ramah padanya. Kau tak harus memasak makan malam untuknya. Kalau kau ingin teman makan malam, kau hanya perlu menghubungiku. Lagipula aku sangat tak suka lelaki lain melihatmu begitu seksi begitu.”

Katty membelalakkan mata. Kemudia meneliti penampilannya. Sepanjang hari karena melakukan aktifitas fisik Katty memang hanya mengenakan celana jeans pendek yang mempertontonkan seluruh tungkainya yang padat berisi dan t-shirt sederhana tanpa lengan yang nyaman. Semua Katty pilih berdasarkan segi kepraktisan. Sama sekali tak ada dalam pikirannya untuk tampil seksi. Namun melihat betapa sewotnya Sev, tak urung tawanya meledak. “Kalau aku tak mengenalmu secara baik, pasti aku sudah menganggap kau ini cemburu.”

Di luar dugaan Sev meminggirkan mobilnya dan berhenti. Pada Katty yang menatapnya penuh tanya, dia berkata, “Kalau kau ingin tahu bagaimana aku kalau sedang cemburu, kau tinggal mengingat ini,” serta merta tanpa peringatan diterkamnya Katty dalam rengkuhannya yang erat dan bibirnya menghujam bibir lembut Katty, keras dan panas menggelora, dan membuat gadis itu terpana. Sesaat keduanya melepaskan diri dengan terengah-engah berusaha mengembalikan nafas mereka. “Dan sekarang sayangku, kalau kau pikir aku akan diam saja dan membiarkanmu tinggal di flatmu bersama laki-laki lain, maka kau gila. Karena mulai saat ini kau harus tinggal denganku. Tidak ada pilihan lain.”

Wednesday, August 10, 2011

The Last Choice (2)

Seperti biasa Sev mengemudikan mobil canggihnya dengan keterampilan dan kecepatan yang cukup memukau. Katty selalu menikmati saat-saat bermobil dengan Sev karena Katty sendiri, di luar penampilannya yang mungil dan lembut, sangat memuja kecepatan yang seringkali membuat Jolly, kepala pelayan Sev, berkali-kali menyampaikan kepada Sev agar mengingatkan Miss Katty untuk berhati-hati saat mengemudi. Peringatan yang sia-sia saja karena orang yang mengajari Katty cara ngebut tak lain dan tak bukan adalah Sev sendiri. Begitu meluncur ke jalan raya keduanya segera lupa dengan segala perdebatan antara mereka dan tenggelam dalam obrolan seru tentang mobil. Keduanya sama-sama berminta mengganti kendaraan mereka dengan yang lebih canggih. Katty mendengarkan dengan baik saran Sev karena untuk yang satu ini Sev terbukti lebih menguasai.

Setiba di London Sev menurunkan Katty di depan kantor penerbit di Bloomsburry setelah mengatur pertemuan mereka kembali saat makan siang di Connaught Hotel. “Aku akan berada di bar pukul dua belas tiga puluh dan menunggumu.”

Katty berdiri di trotoar depan kantor mendongakkan kepala memandang Sev di depannya, mengernyit tidak yakin. “Apakah urusanmu akan selesai saat itu? Aku tahu kau akan sangat sibuk. Sungguh, aku tidak apa-apa pergi sendiri. Aku akan baik-baik saja.”

“Tidak, aku punya cukup waktu untukmu.” Sebuah jawaban yang tak terbantahkan lagi.

Tepat saat itu seorang kenalan di penerbitan lewat dan melihat Katty dan Sev berdiri di trotoar bergegas menghampiri. “Katty! Sungguh luar biasa. Aku tidak langsung menyadari saat membaca koran tadi pagi bahwa kaulah yang bertunangan,” Jane wanita yang penuh energi sangat antusias dengan berita itu. Dia menjabat tangan Katty erat-erat. “Selamat. Dan apakah ini Prince Charmingnya?” tanyanya menunjuk kepada Sev.

Sev, berdiri dengan pongah dengan senyum di ujung bibirnya membuat Katty jengkel setengah mati. Kalau saja suasana sepi pasti sudah ditendangnya kaki panjangnya itu. Namun Katty, di luar segala temperamennya yang meledak-ledak bila berada di depan Sev, menunjukkan perilaku seorang Lady kelas atas dengan senyum sopan nan lembut dan memperkenalkan Sev kepada Jane. Dan meski tak melihat Katty bisa merasakan Sev tertawa terbahak-bahak di dalam hati.

“Baiklah, aku tinggalkan kalian pasangan bahagia ini untuk apapun yang kalian bicarakan,” Jane berpamitan. “Sampai jumpa di dalam, Katty, Sev!”

Ditinggalkan berdua Katty menggerutu sebal. “Buang segala cengiran tololmu itu Sev!”

“Hei, aku hanya menjaga nama baikmu di depan temanmu,” tak urung cengirannya semakin lebar juga. “Nah, sayang, sebagai tunangan yang baik, lebih baik kau cepat masuk untuk mengurusi apapun itu sehingga nanti waktu makan siang kita tidak terlambat,” seolah belum cukup Sev mendaratkan ciuman di bibir Katty, kuat dan cepat. “Aku pasti akan merindukanmu,” bisiknya berolok-olok di telinga Katty.

Katty membelalakkan mata sebelum buru-buru berbalik pergi, meninggalkan Sev berpuas diri di sana menertawakan kekonyolan itu. Lelaki itu menunggu hingga Katty masuk dalam pintu kaca baru kemudian kembali ke mobil dan meluncur pergi. Katty mengamati kepergian Sev dari balik kaca berwarna gelap. Sev baginya tepat sama seperti sebelumnya, seorang teman, seseorang untuk bersandar dan orang yang selalu tahu apa yang harus dilakukan. Saat dia memberikan namanya di meja resepsionis, Katty memutuskan dia akan mengikuti saja apapun yang direncanakan oleh Sev. Tindakan Virginia memang keterlaluan. Meski Katty tak tahu apa yang akan menyambutnya di dalam kantor nanti, namun baginya semua akan baik-baik saja. Dia bukanlah orang yang menonjol dalam pergaulan. Teman-temannya mungkin akan sedikit menggodanya, menyampaikan selamat berbahagia, dan kemudian sibuk dalam urusan masing-masing dan melupakannya.

Namun pasti tidak demikian halnya dengan Sev. Meski tak mengatakan keberatan sama sekali, Katty yakin bahwa resiko yang ditanggung oleh Sev lebih berat lagi karena dia seorang public figure. Setelah sekian tahun mengencani gadis-gadis cantik nan glamor dan terkenal, Katty tak bisa membayangkan betapa perasaan Sev, harga diri dan citranya akan tercoreng karena ‘dipaksa’ bertunangan dengan gadis sebelah rumah yang tidak istimewa macam dirinya. Virginia tahu betul cara menjatuhkan Sev sebagai hukuman karena tidak menuruti keinginannya. Katty membuang jauh-jauh segala kegusarannya dan berjalan mantap menuju tangga dan menghadapi pekerjaannya.

Katty tak memerlukan waktu lama untuk menemui koleganya. Mereka telah bekerja sama cukup lama untuk saling memahami cara kerja masing-masing. Dalam waktu singkat pekerjaan membuat ilustrasi buku panduan kesehatan untuk anak-anak itu telah menjadi miliknya, berikut juga desain sampul buku. Untuk yang terakhir ini Katty agak tidak terlalu familier namun dia berjanji akan mendiskusikannya lebih lanjut saat beberapa desain pendahuluan telah dibuatnya. Itu artinya dia masih harus bolak-balik ke London. Hal itu mengingatkannya kepada teman yang akan menyewa flatnya. Sebelum lupa Katty buru-buru menghubunginya dan membuat janji temu untuk besok sore.

Puas dengan semuanya Katty melangkah keluar gedung. Dia mksi dan masih harus sedikit berjalan untuk mendapatkan taksi dan lalu lintas teramat padat siang itu. Katty tiba di Connaught Hotel terlambat sepuluh menit dan mendapati Sev telah berada di bar tanpa menunjukkan tanda ketidak sabaran sedikitpun. Pastilah Sev sudah banyak berlatih dari cewek-ceweknya yang menganggap terlambat setengah ataupun satu jam bukanlah masalah. Para lelaki tak akan keberatan menunggu mereka.

Katty duduk menghadap Sev. “Maaf, aku kesulitan mendapat taksi. Kau sudah menunggu lama?”

Sev tersenyum. “Tidak masalah. Aku juga baru beberapa menit tiba. Mau minum apa?”

Sambil menikmati minuman mereka bertukar cerita. Sebetulnya kebanyakan Katty yang berceloteh karena Sev bukan jenis orang yang suka membicarakan pekerjaan dengan orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum. Lagipula hal itu akan sia-sia karena Katty pasti juga tak akan mengerti sedikitpun bahasa-bahasa hukum yang rumit. Sebaliknya Katty dengan antusiasme anak kecil menceritakan tentang job yang baru saja diterimanya juga tentang komisi yang baru didapatnya dari hasil ilustrasi terdahulu. Selanjutnya karena sama-sama menyadari bahwa mereka berdua kelaparan keduanya pun bergerak menuju restoran. Sev menggamit lengan Katty dengan lembut dan membawanya ke meja yang telah dia pesan.

Di meja makan Sev mengatakan kembali rencananya untuk mengantar Katty berbelanja.

“Kau pasti akan bosan sampai mati,” Katty masih berusaha menolak.

“Tidak. Kita akan meninggalkan mobil di sini dan berjalan kaki.”

“Tetapi aku akan mencoba ke Harrods atau Liberty.”

“Kenapa kita tidak coba Bond Street atau Sloane Street saja?”

Mereka sedang melangkah di anak tangga pertama hotel ketika Katty kembali menyarankan Sev untuk meninggalkannya. “Kau akan sangat membencinya Sev, jangan bilang aku belum mengingatkanmu saat kau akan jengkel dan tidak sabar ingin membunuhku. Aku kalau tidak terpaksa juga paling malas harus keluar masuk toko pakaian. Aku tidak pernah ke butik.”

Dengan keras kepala Sev meraih lengan Katty dan membimbingnya berjalan. “Kenapa tidak?”

“Karena aku tidak cantik, tidak modis....Demi Tuhan, kenapa kau tanya juga sih? Apa kepalamu perlu ditinju dulu? Masak kau tidak menyadarinya? Kau toh punya mata dan matamu tidak buta untuk melihat siapa aku.”

Sev tertawa terbahak-bahak. “Baiklah Tuan Putri, kita akan coba beberapa tempat. Aku tahu satu dua butik yang cukup bagus. Dan kau akan menyadari bahwa dalam beberapa hal kau salah. Seperti biasa.”

Katty berhenti berjalan dan memandang Sev dengan curiga. Katty tak pernah keberatan Sev tidak mengingkari kenyataan akan penampilannya yang biasa-biasa saja. Sepanjang hubungan mereka toh Sev tak pernah mempermasalahkan. Namun Katty lebih tertarik kepada hal yang lain. “Bagaimana kau tahu tentang butik?” tanyanya penasaran.

Sev kembali tergelak. “Jangan usil, Katty,” katanya dan kembali membimbingnya berjalan.

Mereka berhenti di depan sebuah pintu kaca elegan, yang berhiaskan ber vas-vas bunga eksotis, lambaian scarf pada sebuah kursi mungil nan elegan, serta manekin yang mengenakan dress hitam dengan potongan luar biasa langsing.

“Kursinya bagus sekali,” Katty berkomentar, tertarik dengan furniture.

“Memang bagus, tetapi kau tidak bisa memakainya kemana-mana,” sahut Sev sambil membuka pintu dan menyeretnya memasuki butik.

Interior dalam butik membuat Katty tak bisa berkata apa-apa. Namun Severus tak sedikitpun menampakkan keinginan untuk membantu. Lelaki itu dengan tenang duduk menyamankan diri di sofa yang disediakan untuk menunggu. Katty membelalakkan mata ke arah Sev yang tersenyum jail dengan tatapan mematikan saat seorang pramuniaga menghampiri dan menawarkan bantuan.

“Hijau,” celetuk Sev tiba-tiba membuat Katty dan pramuniaga itu menoleh serempak. “Tunanganku akan sangat menarik dalam gradasi warna hijau-biru cemerlang, taffeta kalau ada. Tunjukkan saja koleksi kalian dalam warna-warna itu.”

Katty berjalan menghampiri dan duduk di sebelah Sev. “Kau gila ya? Aku tak pernah pakai warna-warna terang,” bisiknya.

“Itu salahmu sendiri. Warna-warna yang kau pakai selama ini khusus untuk orang buta warna,” ejeknya. Lalu saat pramuniaga dibantu seorang asistennya kembali dengan sekumpulan gaun-gaun musim panas berwarna terang. Sev menelitinya satu per satu. “Coba semuanya, sayang,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata kepada Katty.

“Ukuran dua belas kan? Kami memilihkan yang sesuai untuk tunangan anda. Dia memiliki potongan bahu dan garis dada yang indah untuk ditonjolkan,” kata pramuniaga kepada Sev seolah Katty hanyalah boneka pajangan.

Bersungut-sungut Katty memasuki ruang pas. Namun begitu mencoba antusiasme aneh menyerbu Katty. Gaun-gaun bertali mungil berwarna eksotik yang melekat lembut di badannya, setelan berpotongan sederhana namun nyaman dalam warna meriah yang membuat warna coklta mata dan rambutnya seolah tertutupi, maupun aneka rok berpotongan lebar melambai, blus asimetris yang saling silang rumit namun begitu rapuh dan cantik membuatnya terperangah terpesona. Bahkan ketika dia harus keluar masuk ruang pas untuk memamerkannya kepada Sev bak fotomodel amatir, Katty merasa senang. Gadis itu tak menggerutu meski Sev dengan gaya tunangan betulan memutuskan memilih beberapa potong sekaligus.

Ketika pramuniaga menyarankan sepatu dan sandal serta tas tangan Sev memintanya menunjukkan beberapa koleksi. Lagi-lagi Katty mencoba aneka alas kaki itu. Dari yang nyaman dipakai berjalan hingga yang bertali rumit dan sama sekali tak praktis namun sangat cantik di kaki Katty yang mungil. Hingga tak terasa tiga jam telah berlalu. Dengan lelah Katty membanting tubuhnya di sebelah Sev, menerima segelas sampanye dingin yang ditawarkan Sev. Laki-laki itu tertawa puas. Dan seolah sudah menjadi kewajibannya Sev memberikan kartu kreditnya kepada pramuniaga sementara barang belanjaan mereka dikemas dalam kotak-kotak yang pasti akan memenuhi bagian belakang mobil Sev.

Katty membelalakkan mata tak setuju melihat Sev. “Aku punya cukup uang untuk membayarnya,” protesnya. “Lagipula apa yang dipikirkan pramuniaga itu melihatmu membayari semua pakaianku?”

“Biarkan pramuniaga itu berfikir semaunya. Kita toh sudah mengatakan bahwa kita bertunangan,” kata Sev santai dan binar-binar jahil kembali muncul di mata gelapnya.

“Itu kau yang mengatakan, bukan aku.”

“Aku melakukannya untuk kita berdua. Dan sepertinya akan lebih bagus lagi kalau kita beri dia sedikit bahan gossip,” dan sebelum Katty sempat mencerna apa maksud ucapan Sev, lelaki itu sudah mendaratkan sebuah ciuman di bibir Katty.

“Kau keterlaluan!” bisik Katty marah. “Dua kali kau menciumku hari ini.”

“Dan kupastikan ini bukan yang terakhir,” Sev mengedipkan matanya. “Kita bertunangan, ingat? Kita perlu banyak latihan agar tidak canggung bila harus muncul di depan umum.”

Menyebutkan kata latihan membuat Katty menyadari satu hal. “Apakah kau akan membawaku menemui teman-temanmu? Sungguh Sev, permainan konyol Virginia ini harus segera diakhiri. Aku tak mau kau mendapat malu.”

“Lebih baik bebaskan kepala imutmu itu dari masalah tersebut, Katty, biarkan aku yang urus semuanya. Oke?”

Tatapan mata Sev begitu dalam dan mantap, begitu menentramkan. Katty memegang lengannya dan tanpa sadar dia menggerakkan kepalanya dan mencium pipi Sev. “Terimakasih atas semuanya. Kalau tidak ada kau dan keluargamu, aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku dulu.”

“Hei, kau akan baik-baik saja dengan atau tanpa aku. Kau kuat.”

“Benarkah?” Katty mengeritkan alis mata indahnya. “Namun begitu tetap saja apa yang kita beli hari ini sia-sia,” bibirnya mengerucut. “Sev, tidakkah terpikir olehmu bahwa kau membelikanku terlalu banyak? Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan dengan gaun-gaun sebanyak itu?” Katty kembali bersungut-sungut.

“Kau akan memakainya untuk makan malam bersamaku, juga kita akan pergi berdansa. Serahkan saja semua padaku. Lagipula sebagai pasangan kita diharapkan untuk sering terlihat bersama.”

“Begitu ya?” Katty berfikir sejenak. “Sev, apakah penting bagimu aku tampil sempurna? Sebagus apapun gaunku, aku tetap seperti ini. Tak akan membuat banyak perbedaan.”

“Jangan konyol, Katty, aku tahu persis siapa kamu,” kata Sev santai dan kembali membimbing Katty keluar butik setelah meminta semua barang dikirim ke mansionnya, dan bukannya ke flat Katty. “Toh kita akan membawanya pulang ke Stockley House dengan mobilku. Tak ada gunanya untuk meletakkannya di flatmu yang sebentar lagi kau sewakan. Kalau kau mau mencobanya bisa kau lakukan di tempatku. Aku punya banyak kamar kosong di sana,” Sev menjelaskan dengan santai, menjawab pandangan protes Katty.

“Aku belum pernah ke tempatmu.”

“Sudah saatnya kan?”

Mereka kembali berjalan ke arah hotel untuk mengambil mobil Sev.

“Apa rencanamu selanjutnya?” tanya Sev saat mereka bermobil dalam lalu lintas London yang padat merayap.

Katty menggeleng, “Kembali ke flat, aku perlu membereskan beberapa barang sebelum temanku datang besok sore. Juga studioku. Aku memang telah mengangkut hampir semuanya ke Stockley House, namun bukan berarti barangku yang tertinggal berjumlah sedikit.”

“Bagaimana kalau kita mampir ke tempatku dulu? Kita bisa minum-minum sebelum aku mengantarmu kembali ke flat.”

Katty ragu sejenak. “Kalau kau tak keberatan.”

Sev tertawa. “Tempatku bukan rumah jagal, Katty.”

“Aku tak bermaksud untuk usil Severus. Apa yang kau simpan di rumahmu, dengan siapa kau tinggal sama sekali bukan urusanku. Aku hanya tak mau kau menganggapku ikut campur kehidupan pribadimu. Mengerti?”

“Benarkah?” Sev menatapnya seolah tak percaya. “Wah, aku tersinggung berat nih, kalau kau tak peduli dengan kehidupan pribadiku.”

“Sev!” Katty membelalakkan mata.

“Oke...oke..., jangan marah Katty. Seharian ini moodmu benar-benar kacau.”

“Kau pun pasti akan kacau kalau berada dalam posisiku.”

“Oh ya? Bukankah kita berada di posisi yang sama.”

“Ah, entahlah Sev, aku bingung.”

“Katty, aku kan sudah bilang, tidak usah bingung. Jalani saja semuanya. Aku tak keberatan kok.”

“Lalu setelah ini apa, Sev? Kita bertunangan secara pura-pura. Kemudian? Apa kita tunggu beberapa lama lalu putus diam-diam? Betapa tidak masuk akalnya semua ini. Huh! Dasar Virginia. Ingin kucekik saja lehernya. Memang selama ini apa sih yang kau janjikan padanya Sev, sehingga dia bisa semarah ini?”

“Aku tak menjanjikan apapun. Aku kan sudah mengatakannya kepadamu. Dia saja yang berekspektasi terlalu tinggi. Dari semula adikmu itu kan memang tukang cari gara-gara. Harusnya sejak dulu kamu sudah menendangnya dari Stockley House.”

“Mana aku tega? Dia satu-satunya kerabat yang kumiliki,” Katty mendesah. “Apakah aku terlalu lemah, Sev?”

Sev memandang gadis di sebelahnya. “Tidak, kau sangat baik hati. Itu kelebihanmu. Aku kagum sekali padamu Katty karena di jaman seperti ini masih ada orang sepertimu.”

Katty tertawa getir. “Padahal menjadi baik hati itu kuno, menjadi baik hati itu tidak masuk akal dan mengada-ada.”

Sev mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Katty yang berada di pangkuannya. “Jangan berubah, oke?”

Katty mengangguk pelan.

Mansion tempat tinggal Sev berada di lantai tujuh. Sebuah properti luas, mencakup dua lantai dan berkamar tiga dengan dapur dan ruang makan terpisah. Demi Tuhan, memiliki dapur dan ruang makan terpisah adalah sebuah mimpi bagi Katty mengingat harga tanah di London yang permeter perseginya begitu mencekik leher. Selain itu desain interiornya benar-benar menggambarkan selera Sev yang maskulin dan mahal.

“Tempatmu bagus sekali, Sev,” Katty ter kagum-kagum saat memasuki ruangan. Kepalanya berputar meneliti setiap detail dalam ruangan.

“Kau menyukainya?”

“Tentu. Hanya orang buta yang tidak suka dengan tempat tinggal sebagus ini. Meski secara pribadi aku lebih menyukai rumah di pedesaan dengan halaman dan kebun yang luas, namun memiliki tempat seperti ini pasti aku tak akan menolak.”

Sev menghampiri Katty dan meraih lengannya. “Mari kita berkeliling.”

“Bolehkah?” tanya Katty heran.

“Kenapa tidak? Aku tak menyembunyikan apapun disini. Kau boleh mengenduskan hidungmu di setiap kolong dan ceruk dan aku takkan keberatan.”

“Wah, padahal aku sudah mengharap melihat salah satu dari cewek koleksimu itu keluar telanjang bulat dari balik selimut,” Katty nyengir.

“Katty!”

“Oke, oke, aku akan menjadi perempuan usil yang akan meneliti setiap pojok tempat tinggalmu.”

Berdua mereka berkeliling melihat setiap detail dan sudut dalam mansion mewah itu. Katty dengan pandangannya yang kritis mengoreksi beberapa ornamen, namun juga menyetujui beberapa pilihan Sev yang memang berselera tinggi terhadap segala hal. Tujuan mereka mula-mula adalah dapur yang berperalatan canggih dan modern. Di dapur seperti ini aku bisa bikin usaha katering, komentar Katty ringan. Dan Sev yang tahu kemampuan Katty yang tergolong lumayan dalam masak memasak hanya tertawa karena seperti juga halnya Katty yang di rumahnya selalu diladeni barisan pelayan, tidak membuat mereka berdua menjadi pribadi yang manja. Keduanya sanggup mengurus segala hal dengan atau tanpa bantuan. Mereka melanjutkan ke ruang makan yang menghadap langsung ke jendela yang menampilkan lanskap kota London, ruang tamu, ruang duduk, ruang kerja hingga ke kamar-kamar yang meski tidak ditempati namun tetap terjaga rapi dan bersih. Semuanya berukuran luas dan berfurniture bagus. Elegan tapi mahal. Mewah namun tidak berlebihan. Selain itu juga berkesan hangat, jauh dari kesan kaku dan dingin. Sev pasti menggaji tinggi petugas cleaning service nya melihat betapa rapi dan bersih tempat tinggalnya.

Mereka sampai di pintu terakhir yang dibuka oleh Sev dengan cengiran lebar. “Ini kamar tidurku,” katanya.

Katty melongok ke dalam ruangan dan dibuat terkagum-kagum oleh luasnya kamar tersebut. Dilapisi karpet aubusson tebal berwarna terakota, dengan tempat tidur yang luas dan lemari besar. Semua perabot dalam ruangan itu sangat maskulin. Mulai dari warna hingga modelnya. Namun yang membuatnya lebih menakjubkan adalah sisi dinding yang berupa lapisan kaca jendela menampilkan pemandangan kota London yang spektakuler menuju ke balkon.

“Dengan kamar sebagus ini, wajar bila kau memiliki koleksi begitu banyak cewek-cewek cantik,” komentarnya. “Mereka pasti betah berada di sini.”

“Katty, please, jangan menghakimi seperti itu. Aku cukup punya prinsip untuk tidak membawa perempuan ke tempat pribadiku. Dan semua hubunganku didasari suka sama suka. Tanpa komitmen. Aku selalu jujur kepada mereka tentang apa yang ku mau. Kalau mereka setuju dan tidak keberatan, kenapa tidak?”

“Oh ya? Apakah itu menjadikanmu merasa lebih baik?” Katty menatap Sev dengan mata membulat.

“Tidak juga. Aku bukan orang suci sepertimu. Tetapi setidaknya aku jujur dengan diriku sendiri. Aku laki-laki normal dan sehat. Aku memiliki kebutuhan.”

“Kau hanya perlu menikah baik-baik, Sev.”

“Betul. Bagaimana bila kau saja yang menikah denganku?” Sev mengerling genit.

“Sev! Kau keterlaluan! Aku berusaha omong serius kau malah berolok-olok.” Katty membelalakkan matanya sewot. “Apakah Virginia pernah ke sini?”

“Tidak pernah, meski bukan berarti dia tidak pernah mencoba. Kau satu-satunya perempuan yang pernah masuk kesini. Selain petugas kebersihan tentu saja.”

Obrolan mereka terpotong oleh suara telepon dari bagian sekuriti di lantai bawah yang mengabarkan kedatangan kurir dari butik yang mengantarkan hasil belanjaan mereka. Saat onggokan kotak-kotak itu menumpuk di meja kopi ruang duduk Sev, Katty menatapnya dengan bersungut-sungut. “Karena dikirim ke sini aku jadi tidak bisa bersenang-senang dengan mencobanya,” gerutunya.

“Kau masih bisa mencobanya. Kau bisa pakai kamarku.”

“Eh?”

“Katty, kamarku di sini sama dengan di Drake House. Kalau di Drake House kau bisa bebas keluar masuk, kenapa di sini tidak? Kau bahkan bebas mengacak-acaknya seperti yang biasa kau lakukan di Drake House.”

Tanpa menunggu undangan dua kali Katty meloncat ke kamar Sev. “Sev, bantu aku angkat kotak-kotak itu!” teriaknya sambil melesat menuju lantai atas.

Sev hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Katty. Dia sudah sangat terbiasa dengan perubahan mood Katty. Padahal baru saja dia menolak mentah-mentah berbelanja pakaian, tapi lihat sekarang, dia begitu gembira bak anak umur lima tahun di taman bermain. Dan Sev seperti biasa, selalu tertular oleh antusiasme Katty yang lugu. Gadis itu begitu mudah marah, namun dengan cepat dia akan memaafkan. Meledak-ledak pada satu sisi, namun bisa jadi tertutup dan pendiam pada saat yang lain. Bila dia tertawa dia akan membawa keceriaan bagi semuanya. Namun saat sedih, dia bisa membuat orang di sekelilingnya kalang kabut ingin kembali menyenangkannya. Disukai kawan, disayangi oleh orang-orang yang bekerja padanya. Dan Sev, sudah puluhan tahun mengenal dan menyayanginya dan setelah sekian lama dia semakin sulit mengendalikan perasaannya bila berada di dekat Katty.

Katty sangat sibuk di ruang kamar mandi Sev sementara lelaki itu hanya menikmati suara jerit kegembiraan gadis itu dengan duduk di kursi berlengan yang ada di kamar pribadinya. Sesekali dia tersenyum membayangkan Katty berputar-putar di depan cermin memamerkan segala pakaian dan pernak pernik yang telah mereka beli bersama. Pintu kamar mandi menjeplak terbuka. Sev mengangkat wajah dengan terkejut. Katty meluncur keluar dari sana dalam balutan dress panjang berwarna hijau gelap yang misterius. Dress itu berbahu terbuka, hanya disangga dua helai tali tipis dan dengan potongan simple yang membungkus ketat tubuh Katty yang mungil, namun menonjolkan segala lekuk kewanitaannya.

“Sev, apa kau pikir gaun ini terlalu vulgar untukku?” tanya Katty sambil berputar di depan Sev, menampakkan belahan gaun yang memanjang hingga jauh di atas lututnya.

Sev sedikit menelan ludah. Dia sering menjumpai Katty dalam celan pendek yang ketat atau pun baju renang. Demi Tuhan, mereka kan tumbuh bersama? Namun baru kali ini Katty terlihat begitu seksi di matanya. “Perempuan lain memakai bahan yang jauh lebih sedikit dari ini,” katanya berusaha tenang meski melihat lekuk pinggul dan dada Katty yang berisi terekspose begitu rupa membuatnya tidak rela bila harus dinikmati laki-laki lain.

“Tapi potongan dadanya terlalu rendah. Lihat kan?” Gadis itu dengan polosnya menunjuk ke arah dadanya. “Lagi pula aku terlihat gemuk dengan gaun ketat begini.”

“Kau tidak gemuk. Proporsimu pas. Memang begitulah wanita diciptakan dengan segala lekuknya. Tolong jangan berfikiran untuk mulai berdiet dengan semua makanan kelinci itu. Aku tak tahan. Oke? Gadis-gadis yang kerempeng itu sudah membuatku muak. Lagi pula apa salahnya dengan menonjolkan sedikit dadamu? Pramuniaga di butik tadi berkata benar bahwa potongan dadamu bagus.”

“Severus!”

“Oh, ayolah Katty, kita toh mengenal cukup lama dan bagiku sudah bukan masalah lagi untuk mengomentari bentuk tubuhmu kan?” Sev mengingat sesuatu. “Kamu ingat dulu, kira-kira waktu aku berusia dua belas dan kau lima tahun. Kita berenang di sungai pada musim panas dan kau tak mengenakan apapun sama sekali,” Sev tertawa mengingatnya.

“Iya, setelah itu aku harus menerima cubitan dan pukulan yang menyakitkan dari pengasuhku,” Katty bersungut-sungut.

“Dan aku harus menerima ceramah yang membuat telinga berdenging selama lebih dua jam di ruang studi dari ayahku.”

Katty duduk di tempat tidur Sev yang luas. “Lucu ya, betapa lama kita sudah saling mengenal. Meski aku tak punya saudara laki-laki, namun mengenalmu sudah cukup bagiku.”

“Benarkah?”

“Iya,” angguk Katty mantap. “Kembali ke gaun ini, Sev, memang kau pikir aku butuh gaun seperti ini untuk dipakai kemana? Aku tak pernah berkencan. Kegiatan sosial yang kuikuti hanyalah pertemuan dengan ibu-ibu dari jemaat gereja ataupun pesta di perusahaan yang itupun jarang terjadi. Kupikir kalau kau mau membelikanku gaun seperti ini, harusnya kau juga menyiapkan juga teman kencan untukku.”

“Kalau kau berani berfikir untuk mengajak lelaki lain untuk berkencan denganmu, maka aku tak akan segan-segan mencekikmu. Gaun itu hanya akan kau pakai untuk berkencan denganku. Kita telah bertunangan, ingat?”

“Ya ampun Sev, seserius itukah arti olok-olok Virginia bagimu?”

“Aku melakukannya bukan untuk Virginia sialan itu. Aku melakukannya untukmu.”

“Untukku? Apa perlunya?”

“Apa perlunya? Nona, biar kukatakan apa yang perlu bagimu. Sudah saatnya kau meninggalkan dunia fantasimu yang tak tersentuh itu dan mulai menghadapi kenyataan. Sudah saatnya kau menerima kodratmu sebagaimana layaknya perempuan. Kau bukan lagi gadis kecilku dulu. Kau sudah dewasa. Jadi sudah waktunya kau menyadari bahwa aku bukanlah kakak laki-laki bagimu. Aku seorang laki-laki. Paham?”

Katty menatap mata Sev dengan mata membelalak.

“Sev...”

Tanpa menunggu lama Sev pun segera meraih Katty, memeluknya erat dan menciumnya. Ciuman itu semula begitu lembut, membelai bibir indah Katty yang masih begitu lugu. Bibir Katty begitu manis. Hingga Sev menginginkan lebih. Sev memperdalam ciumannya, mengabaikan desah keterkejutan Katty saat dia menerobos membuka bibirnya dengan ujung lidahnya. Katty begitu terpana saat mulut Sev yang panas terasa membobardir mulutnya. Dia tergagap dan terengah kehabisan nafas hingga Sev melepaskan bibirnya.

“Sev...” bisiknya bergetar.

“Akhirnya kau sadar kan Katty bahwa aku laki-laki? Yang terdiri dari darah dan daging?”

Katty mendongak menatap wajah lelaki itu. Tatapan Sev begitu tajam dan penuh gelora.