Tuesday, January 24, 2012

Run To You (2)

Meski Lucy membutuhkan sepoci besar teh dengan susu yang banyak, mandi berendam selama setengah jam, serta membaca beberapa halaman surat kabar untuk melupakan insiden menyebalkan tadi pagi, usai makan siang moodnya sudah kembali. Bahkan setelah Lucy menunggu datangnya omelan Suster Kepala atau Suster Pengajar yang ternyata tak kunjung datang, akhirnya Lucy tertidur dengan damai. Dan saat gilirannya bertugas malam hari tiba dia dengan riang melenggang menuju ke bagian anak-anak yang ada di sayap bangunan terjauh di belakang gedung rumah sakit. Kebisingan yang terjadi di tempat yang dipenuhi makhluk-makhluk mungil yang kadang begitu menggemaskan namun tak jarang juga sangat menyebalkan tak juga mengendurkan semangatnya. Selain bertugas bersama tiga perawat senior, malam itu Lucy menerima kunjungan tak terduga dari Douglas Smithson, seorang dokter magang di unit gawat darurat yang menyempatkan diri menjenguknya sebelum pulang ke kamar sewaannya yang berada tak jauh dari rumah sakit. Di sela obrolan ringan penghilang kantuk di antara sepoci kopi, pemuda itu juga menemaninya menenangkan beberapa anak yang menolak untuk tidur dengan berbagai alasan yang intinya adalah ungkapan ketidak-nyamanan mereka atas penyakit yang diderita maupun karena tidak kerasan berada di tempat asing. Namun Doug yang begitu lembut bisa melunakkan mereka di saat Lucy hampir putus asa dan kehilangan cara untuk membujuk.
Doug pemuda yang baik. Lucy mengenalnya sudah setahun ini dan telah beberapa kali pergi berdua dengannya untuk makan malam maupun ke bioskop. Semula keduanya sama-sama berharap akan memiliki hubungan asmara yang indah. Namun keduanya akhirnya tak dapat mengingkari kenyataan bahwa mereka tak akan lebih dari teman dekat. Dengan Lucy Doug yang pemalu merasa nyaman untuk mengungkapkan semua perasaannya dan membuang semua rasa malu sementara Lucy yang ceria namun meledak-ledak serta berpandangan terbuka menanggapinya dengan apa adanya sebagaimana seorang sahabat yang baik. Hingga akhirnya mereka memutuskan bahwa hubungan persahabatan lebih berharga bagi keduanya dari pada hubungan asmara yang tidak nyambung. Chemistry antara keduanya sama sekali bukan di wilayah itu.
Lucy pulang pada hari liburnya dua minggu kemudian. Sebuah perjalanan jauh yang hanya bisa dia lakukan sebulan sekali. Sebuah desa kecil dekat Beaminster di antara perbukitan Dorset, yang artinya Lucy harus menggunakan kereta menuju Crewkerne, dimana ayahnya biasa menjemputnya dengan mobil Ford tua milik keluarga. Dan seperti biasa ayahnya telah menunggunya di stasiun. Laki-laki separuh baya dengan rambut merah wortel yang sekarang memudar dimakan usia serta mata biru lembut dan hangat, mewariskan semua garis wajah tidak istimewa serta postur kurusnya kepada putri bungsunya itu. Kecuali mata hijaunya tentu. Dan tak seorangpun dalam keluarga yang tahu dari mana warna mata Lucy berasal.
Di antara perjalanan dari stasiun menuju rumah ayah Lucy banyak bercerita tentang gossip-gossip di wilayah mereka, beberapa pasien, maupun obrolan ringan keluarga. Lucy menanggapinya dengan kegembiraan seperti biasa serta menceritakan dengan riang tentang kasus-kasus yang dipelajarinya baik di sekolah perawat maupun di rumah sakit tempatnya magang sekarang. Beberapa kali ayahnya mengerling kepadanya seolah meyakinkan diri bahwa putri bungsunya ini benar-benar segembira seperti yang ditampakkannya. Tak pernah sekalipun dia berhenti menyesali ketidak-beruntungan putri kecilnya ini. Di antara kelima anaknya hanya Lucy yang mewarisi ketidak-istimewaan wajah darinya. Keempat yang lain mewarisi rambut pirang madu serta tulang wajah tinggi menawan dengan hidung aristokrat dari ibunya. Keempat anaknya yang lain bermata biru, sama seperti kedua orang tuanya. Namun di antara mereka semua Lucy lah yang paling cerdas, kecerdasan yang sia-sia karena saat gadis itu menunjukkan minatnya untuk melanjutkan ke universitas mengikuti jejak ayahnya mengambil studi kedokteran, tidak ada lagi dana yang tersisa. Kedua kakak laki-lakinya masih belum lulus. Greg si nomor tiga sedang menjadi dokter magang di rumah sakit di Bristol sementara John yang hanya dua tahun lebih tua dari Lucy baru di universitas mengambil studi kedokteran juga. Miriam dan Charlotte menyadari kalau mereka tidak cocok dengan dunia pendidikan tinggi, jauh-jauh hari telah memutuskan menikah begitu lulus sekolah menengah dan sekarang keduanya telah menjadi ibu dari anak-anak yang memberi kontribusi sebagai cucu keluarga Prendergast. Tinggallah si bungsu Lucy, mengubur cita-citanya untuk menjadi dokter anak, memilih tetap berkarir di rumah sakit sebagai perawat. Meskipun aku tidak bisa menjadi dokter, paling tidak aku masih memiliki peluang menjadi istri dokter, begitu selalu candanya berusaha membesarkan hati.
Mrs. Prendergast menyambut kedatangan keduanya dengan senyum hangat dan ceria di pintu rumah yang meski cukup besar namun sangat sederhana itu. Diciumnya penuh cinta putri kesayangannya itu serta mengabarkan bahwa sore nanti seluruh kakak-kakak Lucy beserta ipar dan keponakan akan datang berkumpul untuk makan malam. Lucy dengan bahagia mengikuti ibunya ke dapur. Sementara ibunya sibuk melakukan entah apa di sekitar kompor Lucy duduk di meja makan sambil menikmati strawbery segar yang terhidang di keranjang di atas meja mendampingi kue buah yang cukup besar.
“Rasanya aku bisa menghabiskan kue buah ini seoarnag diri,” celetuknya. “Aku sudah begitu bosan dengan makanan rumah sakit dan makanan murah di kedai pinggir jalan.”
“Apakah kau belum bertemu pemuda tampan, seorang dokter mungkin, yang cukup punya uang untuk mengajakmu makan makanan layak di restoran, sayang?” tanya ibunya sambil lalu.
“Belum,” jawab Lucy singkat, dan entah kenapa bayangan wajah professor tampan yang angkuh itu berkelebat di matanya. “Kebalikannya malah aku membuat seorang professor tersinggung berat dan marah.”
“Oh ya? Pasti kau tidak sengaja kan sayang?”
Terpujilah hati bersih ibunya yang tak pernah berprasangka buruk. Yang menganggap dan memperlakukan semua anaknya meski sudah beranjak dewasa masih sebagai bayi mungil berhati malaikat yang tidak mungkin akan melakukan kesalahan kecuali tanpa di sengaja.
Obrolan tentang Lucy membuat seorang professor marah muncul lagi saat makan malam keluarga besar itu. Kakak-kakak Lucy yang telah menikah memang tinggal tidak jauh dari rumah orang tuanya. Sementara kedua kakak laki-lakinya selalu senang pulang saat seluruh anggota keluarga berkumpul. Sehingga setiap kedatangan Lucy selalu disambut meriah membuat Lucy selalu merasa disayang sebagaimana layaknya putri bungsu.
“Apakah professor itu sudah tua?” tanya Charlotte yang paling cantik di antara perempuan keluarga Prendergast.
“Cukup tua juga, mungkin sekitar empat puluh tahun,” sahut Lucy santai sambil mengambil sepotong besar pudding. “Tetapi dia belum punya anak dan belum menikah.”
“Oh ya? Bagaimana kau mengetahuinya? Gosip?”
“Dia mengatakannya kepadaku.”
Sebuah pernyataan yang sangat memancing rasa ingin tahu. Tapi Lucy dengan gayanya yang tidak peduli mengatakan bagaimana dia bisa bertatap muka dengan professor itu.
“Apakah dia tampan?” kali ini Miriam yang bertanya. Dia telah berhasil menyerahkan Timmy, anak bungsunya yang berusia dua tahun itu, dalam pengawasan suaminya.
“Sangat. Dia tinggi besar, rambut pirang, mata biru dan memiliki belahan dagu. Cocok sebagai seorang playboy.” Lucy berhenti sebentar untuk berfikir. “Dan dia memiliki suara yang bagus, berat dan dalam.”
“Tetapi sepertinya kau tidak suka padanya, sayang,” sahut ibunya.
“Mom, professor itu juga sangat tidak suka padaku,” jawabnya cepat. “Bayangkan saja, tertidur saat dia memberi ceramah? Benar-benar tak termaafkan.”
“Tetapi dengan begitu kau malah bisa berbicara langsung dengannya kan?” Miriam mengerling geli.
“Kalau aku itu Miriam atau Charlotte, kalian pasti tahu kata-kata yang tepat dan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi laki-laki. Tetapi aku malah membuatnya lebih marah. Dan itu membuatku juga semakin marah. Aku pergi begitu saja dari hadapannya tanpa ba bi bu lagi,” sungut Lucy yang disambut gelak tawa semua yang mendengarkan. “Tetapi tidak apa-apa. Aku tak memiliki wajah menawan untuk diingat. Dalam waktu sebentar dia juga pasti sudah akan lupa,” tambahnya.
“Tetapi penampilan kan bukan segalanya, Lucilla,” ayahnya menimpali. Meski Lucy agak jengah dipanggil dengan nama panjangnya namun ayahnya selalu tak pernah mendengarkan keberatannya. “Mungkin ungkapan penyesalan yang sepantasnya karena tertidur saat ceramah dengan alasan masuk akal dan kata-kata yang manis akanmenciptakan opini yang bagus terhadap dirimu, sayang.”
“Tapi sayang,” ibunya menyahut, “Kau kan tahu bahwa putri kita itu terlalu manis dan jujur sehingga selalu mengungkapkan apa yang dipikirnya. Aku takkan pernah menyalahkannya. Dia memang seharusnya beristirahat dan tidak hadir dalam ceramah itu.”
“Tapi Mom, kalau Lucy tidak hadir, dia tidak akan pernah mengenal spesies laki-laki paling luar biasa itu,” Greg berkata iseng. “Ya kan, Luce?”
“Harusnya kau tetap bersikap manis padanya, Sist,” kali ini John yang ikut nimbrung.
“Tidak perlu. Dia pasti sudah diperlakukan sangat manis oleh semua perempuan yang ditemuinya. Dia jenis orang yang hanya akan makan di restoran kelas atas dan bergaul dengan kalangan atas serta membuat segerobak uang dengan praktek pribadi yang mahal.”
“Apakah ada kemungkinan kau akan bertemu dengannya lagi, sayang?” tanya ibunya belum putus asa.
“Sepertinya tidak. Dia orang Belanda, Mom. Dia datang karena permintaan Sir Wyatt, direktur rumah sakit yang sepertinya berteman dekat atau kenalan begitu.”
“Omong-omong tentang Belanda, kalian ingat teman Dad yang orang Belanda kan?” tanya ayahnya. “Dokter De Groot. Beberapa hari lalu dia menelepon Dad dan mengatakan bahwa dalam beberapa hari ke depan dia akan menghadiri sebuah seminar di London. Dan dia tidak lupa padamu, Lucilla. Dia juga menanyakan kabarmu. Dia masih ingat bahwa kau sekarang sedang di St. Norbert Hospital, Dad pernah menyinggungnya saat dia menelepon beberapa bulan yang lalu. Kami memang masih berkirim kabar dan kartu Natal, kau ingat? Dia berjanji kalau ke London nanti dia akan menemuimu. Dan dia juga masih ingat akan kunjunganmu ke Belanda belasan tahun yang lalu. Bukankah putrinya sebaya denganmu?”
Mata Lucy langsung membelalak penuh suka cita. “Oh iya, Mies dan Jaan. Mereka dulu baik sekali padaku. Juga Mevrouw De Groot. Sayang Mevrouw sudah meninggal.”
“Dokter De Groot bilang ingin mengundangmu lagi ke sana. Putrinya ingin bertemu denganmu. Kau tidak keberatan kan kalau Dad memberikan nomor handphonemu padanya?”
“Tentu tidak, Dad. Diundang ke Belanda? Pasti asyik.”
“Tetapi, Lucy, bagaimana kabarnya Doug temanmu itu?” Charlotte mengembalikan pembicaraan. Setelah kedua gadis tertua menikah dan bahagia, mereka rupanya sepakat untuk turut campur dalam kehidupan asmara Lucy yang bisa dikatakan gersang itu.
“Masih baik-baik seperti biasa. Kami sering pergi bersama bila waktu memungkinkan. Kenapa?”
“Apakah hubungan kalian akan berkembang lebih dekat?”
“Tentu. Saat ini kami sangat dekat seperti saudara. Bahkan sepertinya aku akan mencomblanginya mendekati Jessica, temanku sesama siswa perawat.”
“Astaga, Luce! Buat apa kau comblangi temanmu bila kau sendiri belum pernah dapat pacar sekalipun?”
“Hei! Hei! Kok kalian yang sewot sih?” tanya Lucy geli memandang wajah-wajah sebal di sekitarnya.
Saat libur berakhir, berbekal sekotak besar makanan dan kue-kue buatan ibunya, Lucy meski dengan berat hati kembali ke London. Kali ini Greg yang sedang ada urusan di London menemaninya naik kereta api dan taksi. Lucy sampai di St. Norbert saat sudah hampir senja. Dengan bawaan cukup banyak tubuh kurusnya tertatih-tatih menaiki tangga depan rumah sakit. Karena terlalu repot dengan barang-barangnya Lucy tak memperhatikan kehadiran Doug yang sedang melintasi lorong.
“Luce!” panggil pemuda itu.
Lucy mendongak dan tertawa lebar melihat siapa yang memanggilnya. “Hai, Doug! Bisa kau bantu aku?”
“Pasti,” Doug mendekat. Sebelum mengambil barang bawaan dari tangan Lucy pemuda itu mencium pipi Lucy. “Aku sudah tidak sabar mencicipi oleh-oleh kue buatan ibumu.”
“Jangan khawatir, ada banyak makanan yang kubawa. Dan teman-temanku terlalu ketat dengan diet mereka untuk dapat menikmatinya.”
Dan dengan tertawa-tawa keduanya berjalan menuju mess perawat di bagian belakang gedung. Namun keduanya tak memperhatikan sepasang mata yang memperhatikan dengan rasa tertarik dari depan pintu ruang konsultasi dokter-dokter spesialis yang berada di salah satu sayap rumah sakit dengan salah satu lorongnya yang terhubung dengan lorong utama.
Fraam telah berada kembali di London sejak kemarin. Dan demi memenuhi janjinya dengan Sir Wyatt untuk meninjau sebuah kasus dia berada di St. Norbert sejak siang tadi. Bersamanya seorang kawan lama, Professor James Willis. Meski Professor Willis lebih banyak beraktifitas di St. Agnes Hospital, namun dia juga memiliki beberapa pasien di St. Norbert. Dulu mereka sering bertemu dalam kegiatan-kegiatan medis maupun seminar yang diselenggarakan di berbagai penjuru dunia. Dan mereka semakin dekat ketika adik perempuan Professor Willis, Joana, menikah dengan Duert, adik lelaki Fraam beberapa tahun yang lalu.
Professor Willis, atau James, beberapa tahun lebih tua dari Fraam. Sangat tampan dengan wajah aristokrat khas Inggris, yang sekarang semakin bersinar dengan kebahagiaan setelah mempersunting seorang dokter yang berpenampilan manis dan tenang, Caroline. Fraam semalam memenuhi undangan makan malam keluarga itu yang sekarang menetap di rumah besar di Richmond bersama putra mereka yang baru berusia satu tahun. Hubungan James dan istrinya sepertinya sangat kokoh, siapapun bisa melihat betapa James memuja istri mungilnya itu. Fraam yang cukup lama mengenal James agak terkejut dengan wanita pilihan James. Seperti dirinya James tak kurang pendamping wanita yang berwajah laur biasa glamor dan menawan. Namun sepertinya Caroline yang bermata hijau itu telah menjadi pelabuhan hati James setelah sekian lama. Yang tiba-tiba mengingatkan Fraam pada gadis bermata hijau yang lain. Lucy, gadis berambut wortel berlidah tajam dan agak kurang ajar yang tanpa Fraam kehendaki menyita perhatiannya lebih dari yang seharusnya.
Dan sekarang saat Fraam terlibat pembicaraan serius dengan James dan Sir Wyatt, tiba-tiba telinganya menangkap seseorang menyerukan nama Lucy. Atau kedengarannya seperti Lucy. Dan benar saja dalam waktu tak terlalu lama dia menyaksikan Lucy dengan seorang pemuda yang sepertinya dokter magang berjalan berdua sambil tertawa-tawa melintasi lorong. Dan Fraam hampir meragukan ketajaman matanya karena di bawah lampu lorong yang tidak terlalu terang wajah Lucy yang sedang tertawa terlihat begitu segar dan secara tak terduga, cantik. Ya Tuhan, kalau Lucy Prendergast tampak cantik di matanya sepertinya dia harus cepat-cepat memeriksakan matanya.
Dokter De Groot menelepon Lucy tepat saat gadis itu akan beristirahat minum teh seusai dinas malam. Kawan lama ayahnya itu berniat untuk mengajaknya keluar untuk berbincang melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu. Namun setelah tarik ulur menemukan kecocokan waktu akhirnya mereka berdua memutuskan dengan sangat menyesal bahwa jadwal kerja Lucy yang padat ternyata tidak bisa bertemu dengan jadwal seminar Dr. De Groot. Namun Lucy menyanggupi untuk menerima undangan keluarga De Groot berlibur ke Belanda saat cutinya tiba. Akhirnya disepakatilah sebuah tanggal di bulan depan saat Lucy akan berangkat ke Belanda. Setelah mengucapkan terima kasih dengan manis dan tak lupa menitip salam sayang untuk Jaan dan Mies, Lucy menutup pembicaraan dengan hati berbunga-bunga.
Seminggu kemudian Lucy kena giliran dinas pagi. Itu artinya adalah makan siang yang sering kali terlambat sementara waktu makan malam masih jauh. Dan bila cukup beruntung kantin akan tetap buka meski dengan menu sisa-sisa yang orang lain enggan untuk memakannya. Namun Lucy dan rekan-rekannya senasib tidak cukup beruntung sore itu. Jam makan siang telah lama berlalu karena sudah menunjukkan pukul empat lewat saat mereka meninggalkan ruangan. Ketika melihat etalase makanan di kantin Lucy hampir kehilangan selera makan. Salad yang tersisa hanyalah tinggal daun lettuce yang telah layu dengan anchovy yang sudah mengeras dan saus yang berlendir menjijikkan. Sementara roti yang harusnya hangat, empuk dan lembut tinggal bongkahan keras dan menghitam yang sama sekali tak layak makan. Maka bersama delapan rekan lainnya Lucy memutuskan untuk mencari fish and chip dari kedai di seberang jalan yang biasanya tetap buka hingga tengah malam. Dan karena di antara mereka semua hanya Lucy yang paling muda dan paling tidak terbiasa dengan ritual sebelum tidur seperti menggulung rambut atau memasang aneka masker di wajah demi menjaga kecantikan alami, maka Lucylah yang didaulat untuk membelikan mereka semua.
Maka disinilah Lucy sekarang. Tanpa repot-repot mengganti baju, hanya dengan memakai mantel tipis untuk menutupi seragamnya dan dengan mendekap bawaan dalam kantong kertas Lucy berjalan riang menembus lalu lintas padat kota London menuju ke pintu masuk rumah sakit. Kepadatan para pejalan kaki serta kebisingan beragam kendaraan yang memenuhi jalan raya tak menghalangi langkah gadis itu yang ringan berirama bak menari. Namun tiba-tiba
Dan Lucy tanpa repot-repot mengganti baju seragamnya, hanya memakai mantel dan melenggang ceria dengan langkah-langkah kakinya yang ringan sehingga seolah menari, menuju keluar rumah sakit. Namun langkah Lucy terhenti manakala seorang anak, laki-laki, yang rupanya terlepas dari gandengan tangan ibunya, berlari melesat menabrak Lucy. Tak cukup sampai di situ, rupanya si anak tersebut langsung menghambur menuju jalan raya,meninggalkan padatnya pejalan kaki di trotoar menuju lautan mobil, taksi dan bus yang merayap dalam macetnya lalu lintas petang. Lucy yang mengetahui hal tersebut secara refleks berlari mengejar si anak, meninggalkan ibunya yang tengah menjerit histeris. Dalam sekajap mata Lucy telah berhasil menjangkau si anak yang telah tiba di seperempat lebar jalan raya. Hanya saja keduanya tak menyadari manakala sebuah taksi bermanuver merebut tempat kosong yang ditinggalkan sebuah mobil dan hanya Tuhan yang tahu bagaimana akhirnya bumper taksi tersebut menghantam Lucy yang hampir berhasil menjangkau trotoar dan mengakibatkan keduanya jatuh terpelanting setelah sempat terseret beberapa meter jauhnya. Namun Lucy bukanlah Lucy kalau tidak bisa mengantisipasi kejadian itu secepat refleksnya berjalan. Pengalaman berkelahi dengan dua abang yang badung mengajarkan padanya bagaimana cara terjatuh dengan aman. Dan kebaikan hatinya yang tanpa sadar telah tertanam dalam jiwanya sejak kecil mengatur gerak tanpa sadarnya sehingga dia bisa terjatuh dengan mengorbankan punggungnya sendiri demi menyelematkan si bocah dalam pelukannya.
Semua terjadi seolah hanya dalam sekejap mata. Dan ketika akhirnya Lucy sadar dirinya telah dikerumuni begitu banyak pejalan kaki termasuk ibu si anak yang masih histeris. Lucy merasa dirinya konyol sekali karena dalam kondisi terlentang di trotoar, kepalanya terasa sakit luar biasa akibat membentur beton, ditambah lagi kantung ikan cod dan keripik yang tadi dipeluknya di dada sekarang sudah tak karuan bentuknya terhimpit oleh si anak yang ditolongnya. Namun di antara semua orang yang mengerumuninya matanya hanya terpaku pada sosok tinggi besar yang berhasil menyeruak di antara kerumunan orang dan sekarang menatap Lucy dengan tatapan setengah geli setengah mengejek. Professor der Linssen.
“Well...well, ternyata kamu lagi,” komentarnya dan dengan luwes membungkuk untuk menarik si kecil yang masih erat memeluk leher Lucy sambil melolong-lolong ketakutan.
Setelah memberikan si kecil kepada ibunya dan meminta si ibu segera menuju ke Unit Gawat Darurat St. Norbert yang berada hanya beberapa meter dari lokasi kejadian, dia menoleh kembali ke arah Lucy. Gadis itu sedang bersusah payah bangkit dan dengan raut muka semerah udang rebus menolak beberapa orang yang berusaha menolongnya. Dan ketika Professor mengulurkan tangannya Lucy hanya mendenguskan “Terima kasih, saya bisa sendiri,” ucapan yang sia-sia karena laki-laki tersebut alih-alih mendengarkan dengan gentleman menuruti permintaan Lucy, dia malah dengan satu gerakan mudah mengangkat Lucy dan menggendongnya. Langkahnya tegap dan panjang membawa Lucy menuju halaman rumah sakit, mengabaikan sejuta protes yang terlontar dari mulut Lucy.
“Diamlah, Lucy. Lebih baik hemat nafasmu,” katanya dan dengan iseng menambahkan, “Kau bau ikan!”
Dengan Lucy dalam gendongan, Professor menyusul wanita yang membawa si bocah menuju ke Unit Gawat Darurat di bagian depan rumah sakit. Begitu mereka tiba serombongan perawat, beberapa dikenal oleh Lucy, datang dengan kursi roda. Dengan hati-hati Professor meletakkan Lucy di kursi roda. “Anak laki-laki itu aku yakin tidak terluka terlalu parah, tetapi dia tetap harus diperiksa,” katanya kepada dokter magang yang sedang berjaga dan menyambut mereka. Kemudian menoleh ke arah Lucy. “Dan kau, Miss Prendergast, kau mengalami benturan cukup keras di kepalamu dan juga goresan di sepanjang bagian tubuh belakangmu.”
Lucy terdiam seperti memikirkan sesuatu.
“Tak perlu berpura-pura tidak sakit, Lucy. Aku melihatmu ketika terseret taksi dan terpelanting ke trotoar itu. Lebih baik kau segera masuk ke ruang periksa dan bersiap diri. Kau pasti tahu prosedurnya.”
“Saya tidak berpura-pura, Professor. Saya sedang berusaha memutuskan mana bagian tubuh saya yang paling sakit,” balas Lucy sewot.
“Oh ya, untuk siapakah semua makanan yang tadi kau bawa? Aku bisa mengusahakan menggantinya karena pasti mereka sedang menunggu.”
“Itu untuk perawat di asrama kamar B-8. Sembilan potong ikan cod dan sekantung keripik kentang ukuran besar. Terimakasih kalau Anda bersedia menyuruh seseorang untuk membelikan gantinya. Namun Saya sedang tidak membawa uang cukup, Professor. Tapi nanti akan saya akan titipkan uang penggantinya kepada porter di depan untuk Anda.” Lalu dengan ekor matanya dia melihat Doug yang sedang bergegas ke arahnya. “Dokter Smithson sedang menuju kemari, saya bisa meminta tolong kepadanya,” kata Lucy. Lalu dengan tersenyum manis, seolah segala kekesalannya hilang dia berkata, “Terimakasih banyak, Professor der Linssen karena telah menolong saya.”
Lucy tak sempat memperhatikan ekspresi sang professor karena saat Doug mendekat dia telah didorong perawat masuk ke ruangan oleh perawat sementara Doug berbicara dengan professor.
Di dalam ruang periksa Lucy meminta perawat meninggalkannya dan segera menyiapkan dirinya sendiri untuk diperiksa. Dilepasnya semua pakaiannya yang penuh debu, minyak dan bau amis. Dia mencuci tangan dan wajah di wastafel lalu mengenakan baju periksa. Kasur tipis berlapis finil itu tampak begitu menggoda bagi Lucy yang baru menyadari kalau dirinya kelelahan. Segera dia membaringkan dirinya disana, menarik selimut dan mengatur posisi tidurnya tertelungkup sehingga siapapun yang nanti memeriksanya tidak akan kesulitan. Seketika saat kepalanya menyentuh bantal, seketika itu pula kantuk menyerangnya. Sehingga saat terdengar suara tirai digeser dan langkah kaki mendekat ke tempat tidur, dia berada di batas kesadaran antara tidur dan bangun.
“Nah, Lucy, mari kita lihat seberapa parah luka yang kau alami,” suara berat Professor der Linssen terdengar. Lalu terdengar seorang perawat datang dan menimpali beberapa perintah professor.
Keheranan yang menghampiri kepalanya kenapa Professor yang muncul dan bukan Doug terkalahkan oleh kantuk luar biasa. Dalam sedetik Lucy telah terlelap.
Lucy terbangun setelah tertidur selama satu jam. Paling tidak jam di dinding memberitahukan demikian. Mendapati seorang perawat senior di sebelahnya.
“Ah, rupanya kau sudah terbangun, sayang. Professor yang orang Belanda itu tadi memintaku menunggu sampai kau terbangun sendiri. Baik hati sekali dia, mau memeriksamu sendiri. Kau tahu berapa ongkos seorang konsultan kaliber internasional seperti dia dalam sekali periksa?” katanya seraya membantu Lucy bangkit.
“Ya, Suster,” sahut Lucy patuh.
“Kau mengalami lebam dan goresan punggung yang sangat parah. Namun untungnya tidak ada tulang patah. Professor sendiri bilang bahwa kau memiliki gerak refleks yang bagus sehingga memperingan luka-lukamu. Dia berada di sana saat kejadian.”
“Kenapa Professor der Linssen merasa perlu untuk memeriksa saya Suster? Kan cukup dokter praktek? Saya lihat Dokter Smithson sedang bertugas.”
“Dia sedang berada di sini. Dan karena dia melihat langsung semuanya wajar bila dia merasa itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Nah sayang, sebentar lagi seseorang akan membawakanmu kursi roda dan mengantarmu ke asrama. Di sana pengurus asrama akan membantumu untuk mandi air hangat dan semua keperluanmu yang lain. Ku harap kau beristirahat. Professor der Linssen telah menuliskan catatan untuk Kepala Ruang tempatmu berdinas agar memberimu waktu istirahat selama minimal lima hari hingga luka-lukamu sembuh.”
“Lalu anak laki-laki itu?”
“Dia baik-baik, sayang. Dan sudah pulang bersama ibunya. Tadi ibunya kesini untuk mengucapkan terimakasih. Karena kau sedang tidur dia berjanji akan kembali besok. Nah, sayang, itu sudah datang orang yang akan menolongmu. Lebih baik kita segera bersiap.”
Hari berikutnya Lucy merasa seperti selebriti. Teman-temannya tak henti-henti datang baik membawakannya berbagai makanan maupun untuk sekedar bergossip. Tak kurang dari Kepala Perawat yang mengunjunginya, menyanjungnya atas tindakan heroik yang dilakukannya, sesuatu yang diterima dengan muka merah padam karena malu oleh Lucy. Sepanjang hidup Lucy tak pernah menerima begitu banyak perhatian dan pujian seperti ini. Bahkan pada petang itu jantungnya serasa copot saat direktur sendiri, Sir Wyatt, datang mengunjunginya. Lucy yang tidak pernah berada sedekat ini dengan orang nomor satu di St. Norbert, merasa grogi dan menjawab pertanyaan kebapakan dari direktur dengan terbata-bata. Namun semua kehebohan itu belum seberapa dibandingkan yang terjadi keesokan harinya manakala seorang perawat membawakan bingkisan luar biasa mencolok mata untuk Lucy. Rangkaian bunga yang pasti mahal dengan pita cantik, sekotak besar coklat mahal, sekaleng kopi dan sekotak teh yang semuanya dari Fortnum Mason, serta setumpuk majalah mengkilap serta novel-novel yang pasti akan disukai oleh gadis-gadis seusianya.
“Nah. Miss, apapun yang kau pikirkan tentang konsultan dan dokter spesialis, paling tidak ada satu yang cukup menghargai perbuatanmu dengan layak, atau malah berlebihan?” canda Suster Edgar si pembawa paket.
Lucy hanya tersenyum menanggapi gurauan perawat yang lembut itu. Apalagi ketika kamarnya diserbu oleh teman-temannya yang sangat penasaran dengan paket yang diterima Lucy. Bahkan selembar kartu berwarna hijau dari kertas mahal berisi coretan professor yang berantakan berisi kata-kata : Untuk Miss Prendergast, semoga lekas sembuh. Fraam der Linssen, tak luput dari perhatian mata-mata menyelidik itu. Dia pernah mengatakan namaku aneh, padahal namanya sendiri begitu sulit diucapkan. Mulutku serasa penuh hanya untuk mengucapkan namanya secara lengkap. Dan tulisan tangannya luar biasa kacau, seolah dia mencelup seekor laba-laba ke dalam tinta dan menyuruhnya berjalan di atas kertas, omel Lucy dalam hati.
Ternyata waktu pemulihan selama lima hari bagi Lucy berlalu terlalu cepat. Pada hari terakhir Lucy merasa dia sudah sehat seperti sedia kala dan sore itu dia menghadap ke kepala ruang anak untuk menerima jadwal kerjanya yang akan dimulai normal keesokan harinya. Sesudahnya karena hari masih panjang untuk dihabiskan di asrama Lucy memutuskan pergi berjalan-jalan ke mall. Sekedar window shopping pasti bagus untuk moodnya. Maka Lucy pun keluar dari lingkungan rumah sakit untuk pertama kalinya setelah lima hari menuju ke keramaian manusia yang sibuk beraktifitas di jalan. Saat di perempatan Knightsbridge lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. Bergegas Lucy mengikuti yang lain menyeberang jalan. Tiba di tengah jalan matanya menangkap semuah mobil mewah, Aston Martin model terbaru yang tengah menanti lampu hijau buat kendaraan. Namun yang lebih menarik perhatian Lucy adalah si pengemudinya. Professor der Linssen. Tak salah lagi. Jadi dia masih berada di London. Dan perempuan yang berada di sebelahnya, berambut pirang dan begitu trendy seolah salah satu finalis British Next Top Model. Pasangan yang luar biasa dan membuat bibirnya secara tanpa sadar menganga. Namun Lucy buru-buru mengalihkan pandangan dan berlalu secepatnya. Apa yang dilakukan professor sok ganteng itu di luaran dengan gaya hidupnya yang glamor itu toh bukan urusannya. Meski dengan gemerlap kehidupan kalangan atas yang dilakoninya sangat mengherankan bila professor masih terpikir untuk mengiriminya bunga dan bingkisan. Barangkali juga itu semua dilakukan oleh sekretarisnya. Laki-laki itu cukup menuliskan kartu sekedarnya untuk memberikan sentuhan personal. Sesuatu yang cukup mudah dilakukan. Dengan itu Lucy pun membuang segala pikiran tentang professor yang agak aneh tersebut dan meneruskan rencananya menuju pusat pertokoan.
Apapun yang dipikirkan oleh Lucy, ternyata Fraam melihat saat gadis itu berjalan dengan langkah kakinya yang ringan berirama, seperti menari, begitu Fraam mendefinisikan gaya jalan Lucy yang sepertinya hanya dimiliki oleh gadis itu seorang. Rambut wortelnya berantakan tertiup angin. Dengan mengenakan celana denim dan blus ditutup jacket serta sepatu santai gadis itu tampak begitu muda. Seperti gadis sekolah menengah saja. Dan entah kenapa setiap nama Lucy melintasi kepalanya Fraam semakin sadar betapa usianya sudah tidak muda lagi. Dan itu untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun menyandang gelar bujangan dengan sangat bangga, Fraam merasa sangat tidak nyaman. Seperti kali ini. Tanpa sadar matanya mengikuti gadis itu hingga hilang dari pandangan. Sekilas tadi sempat dilihatnya gadis itu menoleh ke arahnya, atau ke arah mobilnya yang memang glamor. Tapi hanya sebentar. Sebelum dia kembali melenggang menyeberangi jalan entah kemana.
“Apa yang kau lihat?” tanya Chantal, si blonde di sebelahnya.
“Bukan apa-apa. Kupikir aku melihat seseorang yang kukenal,” dan lampu pun berubah hijau untuk kendaraan. Tanpa banyak bicara Fraam menjalankan mobilnya. Diliriknya sekilas perempuan di sebelahnya. Putri salah satu kolega. Gadis sosialita yang terbiasa dengan gaya hidup kelas atas, yang tak akan mau bersusah payah bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Sokongan dana tak terbatas untuk memenuhi gaya hidupnya dari orang tuanya serta deretan calon suami kaya raya yang potensial telah dipersiapkan oleh para orang tua untuk putrinya. Fraam mendengus dalam hati. Kehidupan seperti ini, mendampingi perempuan-perempuan cantik makan malam di restoran mewah, dimana mereka bahkan terlalu takut untuk menikmati makanan-makanan mahal itu demi alasan diet ketat, atau menonton opera meski dia menyukainya, namun tanpa partner yang tepat akan terasa sangat hambar, mulai terasa membosankan. Kadang Fraam lebih menikmati jam kerjanya yang panjang dan berat di rumah sakit atau bersantai di rumahnya dalam kesunyian, membaca buku, mendengar musik, ditemani anjing golden retriever miliknya. Sepertinya aku benar-benar mulai menua, batinnya.
Hari-hari berlalu dengan normal bagi Lucy. Jam kerja yang panjang dan melelahkan di ruang anak-anak, kuliah menjemukan dari para tutor di hall, bergossip dengan teman-temannya, jalan-jalan keliling mall, satu dua kali keluar makan malam atau nonton bioskop, kadang dengan teman sesama siswa perawat, namun juga sering dengan Doug. Sesuatu yang sangat normal bagi gadis pekerja berusia awal dua puluhan seperti dirinya. Sesekali dia masih ingat sosok professor tampan dari Belanda itu. Namun hanya sekilas. Meski rasanya tak percaya kalau laki-laki itu dengan pandangan mata yang mengejek, mengatainya bau ikan, namun juga yang membopongnya menuju rumah sakit, bahkan mengiriminya bingkisan yang terlalu berlebihan untuk gadis sepertinya. Ah, kenapa pula aku harus pusing, itu uangnya sendiri. Dan mungkin baginya mengeluarkan uang untuk membeli bingkisan mewah baginya tak lebih seperti memberi sedekah bagi pengemis di jalan. Dan dengan menyeringai Lucy pun melupakannya.
Dokter De Groot memenuhi janjinya. Satu minggu sebelum tanggal yang disepakati beliau mengirimkan surat yang juga dilampiri dengan tiket penerbangan kelas ekonomi dari Heathrow ke Schipol dengan pesan bahwa Jaan yang akan menjemputnya di sana. Karena jadwal keberangkatan pesawat hari Senin sore maka Lucy berencana pulang ke rumah orang tuanya Sabtu pagi, meski itu berarti setelah dinas malam, tanpa tidur, Lucy harus mengejar kereta api dan melanjutkan tidur di perjalanan. Lucy akan berangkat ke London Senin pagi langsung ke bandara agar lebih praktis.
Malam terakhir sebelum kepulangannya ke ke Beaminster, keadaan di ruang anak-anak sangat tak tertahankan. Delapan pasien mungil itu seolah kompak mengeluarkan kemarahannya dan membuat kalang kabut ketiga perawat yang berjaga di ruangan. Dan Lucy sedang berkutat dengan seoarng batita yang sangan sakit dan sangat marah serta menangis menjerit-jerit minta pulang. Lucy berusaha mendiamkan dengan mendukungnya dan meletakkan kepalanya di pundak seraya mengocehkan kata-kata bujukan. Kata-kata bujukannya hampir berhasil kalau saja Dr. Henderson, ahli bedah yang tadi siang mengoperasi salah satu anak yang sekarang sedang tertidur nyenyak di pojok ruangan, datang untuk visite. Dan bersamanya tinggi menjulang dan sama sekali tidak jelas kepentingannya adalah Professor der Linssen. Entah kenapa Lucy merasa mulai jengkel karena sepertinya laki-laki itu selalu muncul dimana-mana. Dan melihat kedatangan kedua laki-laki itu anak dalam dukungan Lucy menjerit semakin keras.
“Professor der Linssen ingin berbicara kepadamu, Miss Prendergast,” kata Dokter Handerson.
Lucy mengerutkan alis menatapnya. Dia seoarng lelaki yang cukup pendek dan berbakat untuk menjadi gemuk dan botak. Dan yag lebih menjengkelkan dia selalu membuat anak-anak ketakutan dan menangis lebih keras. Bukan karena dia jahat, tetapi hanya karena dia sangat tidak suka melihat anak sakit, hal yang sangat ironis bagi seorang dokter. Dan sepertinya aura itulah yang tersampaikan kepada makhluk-makhluk mungil malang itu. Seperti si kecil yang menjerit-jerit marah dan putus asa dalam dukungan Lucy saat ini.
“Letakkan anak itu kembali ke boks, Suster,” perintahnya tidak sabar kepada Lucy.
Lucy tak akan berniat menuruti perintah itu. Dia malah menunduk dan membalikkan badan, kembali sibuk menenangkan si kecil. Namun dia terkejut saat sepasang lengan kokoh dan panjang terulur mengambil anak dari gendongan Lucy, dan meletakkan kepala si kecil dibahunya yang bidang. Secara otomatis si kecil menghentikan tangisnya, memutar kepalanya untuk menatap siapa yang mendukungnya dan tertawa menunjukkan gigi susunya yang baru tumbuh dua itu. Dengan wajah masih bersimbah air mata, leleran liur di bibir serta ingus di hidung, bocah itu tertawa ceria dan berkata, “Da...da....”
Professor der Linssen tertawa, dengan tangannya yang bebas menowel pipi gemuk itu. “Nah, sekarang kembalilah kepada Suster Cantik ini, sayang. Jangan rewel ya, kasihanilah dia,” dengan kata-kata itu Professor der Linssen mengembalikan si bocah kepada Lucy. “Kau tidak perlu khawatir begitu. Anak kecil suka padaku. Bukankah kau sendiri pernah mengatakan bahwa aku pasti seorang ayah yang baik?” katanya kepada Lucy.
“Yang saya khawatirkan bukanlah Anda akan menakut-nakuti anak ini, Professor. Saya hanya khawatir ingus dan liur anak ini akan mengotori baju Anda yang mahal,” jawab Lucy.
Professor der Linssen menyambutnya dengan tawa terbahak-bahak. “Miss Prendergast, selalu siap dengan jawaban yang tak terduga,” dan setelah Lucy meletakkan si kecil kembali ke boksnya laki-laki itu menambahkan, “Aku bertemu Smithson barusan dan kudengar dari dia kau akan pulang ke Beaminster besok pagi. Kebetulan aku akan ke Bristol. Aku akan memberimu tumpangan.”
Pada tawaran yang lebih mirip perintah itu Lucy hanya menanggapi dengan dingin, “Anda baik sekali. Tetapi saya pergi dengan kereta. Lagi pula Beaminster agak diluar jalur Anda.”
“Ah, Beaminster adalah bagian dari Inggris yang selalu ingin kukunjungi,” dia meyakinkan dengan manis. “Apakah jam sepuluh terlalu pagi untukmu? Kau bisa tidur di sepanjang jalan bila kau mau.”
Dengan kata lain, pikir Lucy masam, tidak akan ada bedanya aku ada atau tidak. Siapalah aku ini. Toh aku bukan si blonde yang spektakuler yang cocok untuk bertengger di mobilnya yang hebat itu.
Seolah memahami jalan pikiran Lucy, laki-laki itu menambahkan, “Kalau boleh memilih, aku pasti lebih suka kalau kau tetap terjaga sepanjang perjelanan dan menghiburku dengan celotehanmu yang suka diluar dugaan itu. Tetapi dengan jam kerjamu sekarang sepertinya aku tak bisa berharap lebih. Dan jangan katakan aku laki-laki yang suka menuntut sesuatu yang masuk akal.”
Wajah Lucy kontan memerah.
“Jam sepuluh aku akan menunggumu di depan.”
“Baiklah, Sir. Terima kasih,” katanya. Dan kepada Dokter Henderson Lucy menganggukkan kepalanya.
Dengan anggukan singkat Professor der Linssen melangkah pergi diikuti Dokter Henderson.
Keesokan paginya Lucy, karena cuaca yang sudah mulai panas, hanya mengenakan celana denim selutut dan t-shirt katun berpola bintik-bintik yang manis, telah siap dengan tas ranselnya dan berderap ke pintu depan. Masih kurang lima menit dari waktu yang dijanjikan dan dia berencana akan ngobrol sebentar dengan portir yang berjaga di bagian depan. Laki-laki ramah yang selalu siap membantu siapapun. Namun ternyata Professor der Linssen sudah berdiri di sana. Laki-laki itu dalam pakaian resmi maupun santai tetap menguarkan aura yang sama, mahal! Namun Lucy menolak untuk terintimidasi. Biar dia berpenampilan selayaknya gembel, dia tak peduli. Yang mengajak kan laki-laki itu, bukan dia yang ngotot ikut. Maka dengan mengangkat kepala Lucy berderap gagah menemuinya.
“Selamat pagi, Professor,” salamnya ceria.
“Selamat pagi, Lucy. Aku senang tak perlu harus menunggu,” katanya seraya menatap Lucy dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Bila saya terlambat mungkin Anda sudah meninggalkan saya, Sir. Dan saya pasti menyesal tidak sempat merasakan mobil Anda yang hebat itu.”
“Masih Lucy yang sama. Suasana pagi ternyata semakin mempertajam lidahmu,” komentar professor sambil tertawa geli.
Beberapa saat kemudian setelah berpamitan dengan portir, Lucy sudah duduk nyaman di jok kulit mahal dalam mobil yang sejuk dan beraroma harum. Sangat lain bila dibandingkan dengan mobil tua ayahnya. Apalagi dengan kereta api. Ditambah lagi Professor der Linssen sepertinya seorang pengemudi yang ahli, sama ahlinya dia dalam mengatasi bocah yang menangis atau menghadapi pasien di ruang operasi. Dan tidak mengherankan bila dia juga ahli dalam menangani wanita-wanita cantik. Tak pernah sekalipun dia mengeluarkan umpatan pada lalulintas London yang padat. Llucy juga tidak mendapati tangannya yang berjari-jari panjang elegan terawat itu mengetuk-ketuk kemudi dengan tidak sabar. Tanpa malu-malu Lucy mengamati pria di sampingnya itu.
“Apapun yang ada dalam pikiranmu itu, lebih baik katakan saja. Aku sudah mulai terbiasa mendengar celetukanmu itu,” kata professor. “Aku tak heran bila kau masih marah padaku. Aku memang kadang pemarah, bertemperamen buruk dan arogan. Namun aku bukan pendendam. Kau boleh tidur semaumu saat aku meberi kuliah lain kali meski aku yakin semua kuliah yang aku sampaikan sangat bermutu, namun aku akan pura-pura tidak tahu. Itu salah satu dari daftar kebaikan hatiku yang sedikit yang bisa kutawarkan padamu.”
“Sebaliknya, Sir, saya sedang mengagumi Anda. Anda memang tampan. Dan saya hampir yakin bahwa Anda juga orang baik,” kata Lucy terus terang.
Suara tawa terbahak memenuhi mobil itu. “Andai adik perempuanku bertemperamen sepertimu.”
“Anda punya adik perempuan?”
“Kenapa kau heran? Aku punya saudara, laki-laki dan perempuan seperti orang lain. Aku juga punya orang tua, lengkap sepasang, ayah dan ibu. Tentu kau tak berfikir aku dilahirkan dari batu kan?”
“Well... biasanya orang-orang tua seperti Anda akan membicarakan anak dan istri.”
“Tetapi seperti pernah kukatakan padamu aku tak memiliki keduanya. Mungkin karena bagimu aku sudah terlihat sebagai laki-laki separuh baya. Memang usiaku sudah hampir empat puluh dan tidak akan bisa dikatakan muda lagi.”
“Omong kosong. Orang bilang usia empat puluh bagi laki-laki adalah usia emas. Sedangkan perempuan lebih cepat menua.”
“Benarkah? Apa yang kalian lakukan dengan segala bedah plastik, face lift, sesi tanpa akhir di klinik kecantikan dan parade baju-baju di setiap musim?”
“Itu menunjukkan Anda hidup di planet yang berbeda dengan kami para pekerja, Sir. Anda tak akan berkata demikian kalau saja Anda tahu betapa penderitaan kami para gadis agar tetap terlihat pantas dengan segala krim wajah dan penggulung rambut itu,” Lucy mengakhiri perkataannya karena rasa kantuk tak tertahankan.
“Ah, kau sudah terlalu lelah. Tidurlah. Aku akan membangunkanmu nanti.”
Tak perlu waktu lama bagi Lucy untuk segera tertunduk dan tertidur lelap. Dia tak sadar waktu Fraam membetulkan kepala gadis itu yang hampir membentur pintu mobil dan menyandarkannya di bahu bidangnya. Aku pasti sudah gila, pikirnya sambil mengamati rambut pendek Lucy yang meski berantakan namun tebal dan bersih. Dia berkali-kali menganalisa letupan perbuatannya yang tak terkontrol bila berhubungan dengan Lucy. Seperti semalam, hanya karena mendengar dari Smithson tentang Lucy yang akan pergi ke Beaminster telah cukup membuatnya menyeret Handerson ke ruang anak menemui Lucy. Dan sesudahnya dia terheran-heran sendiri karena terus terang dia tak punya urusan apapun di Bristol. Bahkan dia telah menolak menghabiskan akhir minggu di rumah James dan Caro di Richmond hanya untuk mengantar gadis berambut wortel ini pulang. Dan tadi pagi, menatap cermin di kamarnya di hotel Ritz tempatnya mnginap, dia melihat betapa wajahnya tampak semakin tua. Terlalu tua. Terlalu tua untuk apa? Terlalu tua untuk siapa? Agaknya dia harus cepat kembali ke negaranya untuk menjaga kewarasan otaknya.

Saturday, January 7, 2012

FIFTEENTH : The Best For You


Maya sedang mengatur bunga-bunga dalam vas sebagai penghias ruangan di apartemen baru mereka. Dengan ujung ekor matanya dia mengamati suaminya yang sedang bersantai di sofa sambil membaca buku. Mereka telah tiga hari menikah dan Maya masih belum terbiasa melihat Masumi bersantai seperti itu. Masumi yang dikenalnya adalah sosok yang enerjik dan sibuk. Dia terbiasa dikelilingi banyak bawahan yang siap menjalankan semua perintahnya. Selain itu Masumi adalah jenis pribadi yang memiliki aura kekuasaan yang kental.  Maya terbiasa melihatnya selalu memegang kendali, dingin, sinis, dan penuh perhitungan.

Maya masih harus berusaha keras membiasakan diri melihat Masumi dalam pakaian casual, jeans dan polo shirt serta hanya berkaus kaki. Selama berhari-hari mereka memang hanya asyik menikmati dunia baru mereka dan tak mengijinkan siapapun untuk berbagi. Teman-teman Maya dari Teater Mayuko dan Ikkakuju cukup pengertian untuk memberi waktu kepada pasangan baru itu menikmati bulan madu mereka. Sementara untuk urusan pekerjaan baik Maya maupun Masumi sepakat untuk tidak membicarakannya. Topik tersebut sangat sensitif dan keduanya masih menikmati manisnya sebagai pasangan suami istri sehingga membahas hal seberat itu sungguh tak bisa dimaafkan. 
Tapi jauh di lubuk hati keduanya teramat sangat sadar bahwa saat itu sedang mendekat.

Sementara Masumi meski asyik membaca buku tentang teori management namun pikirannya tidak sedang berada pada barisan kalimat yang ada di hadapannya. Meski tak melihat Masumi sangat merasakan keberadaan Maya di seberang ruangan. Bahkan meski mereka terpisah jarak beberapa meter Masumi seolah bisa merasakan helaan nafas istrinya, aroma hangat, halus, dan lembutnya, bahkan gerak tangan serta kakinya. Masumi pun tahu bahwa Maya meski pura-pura sibuk namun sesungguhnya istrinya itu pun sedang memperhatikan dirinya.

Bulan madu mereka selama tiga hari ini benar-benar luar biasa. Tak hentinya mereka saling mempelajari satu sama lain, meski kadang masih malu-malu berusaha meneliti setiap detil, setiap lekukan dan tonjolan, menikmati keberadaan satu sama lain. Sungguh perasaan bahagia tak terkatakan karena setiap membuka mata di pagi hari melihat orang tercinta berada dalam jangkauan. Bisa meraih dan memeluk dengan erat tanpa halangan, menghirup aroma keintiman dan menenggelamkan diri kembali dalam pusaran gairah yang begitu intens yang tak menyisakan ruang sedikitpun untuk kepura-puraan. 

Akhirnya karena merasa sia-sia saja membaca buku, Masumi melemparkan bukunya ke meja dan melompat bangkit. Dengan langkah-langkah panjang dihampirinya istrinya di seberang ruangan. Meski baru musim semi, namun sore itu Maya sedang mengenakan salah satu koleksi busana musim panas dari desainer terkenal. Celana khaki yang panjangnya hanya sebatas bawah pinggul dan atasan dari sutera putih berbola-bola mungil warna lembayung yang cantik. Kerutan menghiasi batas dada dan pinggang atasannya dengan tali tipis yang menempel ringkih di kedua bahu lembutnya. Masumi sangat mengagumi selera fashion Maya sekarang. Kalau dulu Maya selalu tampil bersahaja sekarang Maya tampil elegan, berkelas, namun tetap simpel tanpa meninggalkan kesan muda dan ceria. Bila sempat terpikir untuk menjadikan Maya brand ambassador dari divisi fashion Daito, maka sekarang dibuangnya jauh-jauh ide itu. Masumi tak akan sudi mengumpankan Maya bulat-bulat kepada Daito.

Menyadari langkah Masumi Maya menoleh dan tersenyum. Senyum sejuta watt yang sanggup membuat Masumi membuang segala akal sehatnya. Kalau dia pernah menganggap senyuman Maya di panggung sebagai Aldis sempat menghipnotisnya, maka senyum Maya yang khusus ditujukan untuknya sekarang sanggup membuatnya gila. Maka tanpa sepatah kata, diraihnya Maya dalam pelukannya.

“Masumi? Hei? Ada apa?” tanya Maya, masih heran dengan sikap aneh suaminya yang sekarang makin sering dilakukannya, seolah ada dorongan misterius yang membuat lelaki itu sering bergegas menghampirinya dan memeluknya erat-erat.

“Aku rindu kamu,” kata Masumi ringan.

“Aku tidak kemana-mana.”

“Benarkah?” Masumi tersenyum. “Bila kau tak datang memelukku, maka aku yang datang untuk memelukmu,” tambahnya seraya membungkukkan tubuhnya agar bisa menenggelamkan wajahnya di gerai rambut Maya.

“Kau akan sakit punggung bila terus-terusan membungkukkan badan begitu,” tegur Maya lembut.

“Aku akan terima resiko itu sebagai imbalan punya istri yang begitu pendek,” jawab Masumi. Ada sinar jahil berkilat di matanya yang segera disadari Maya. “Aku tak ambil pusing bila kau sakit pinggang. Toh itu badanmu sendiri,” rajuknya. “ Hanya saja memalukan sekali punya suami tua renta dan bungkuk,” cibirnya.

Masumi memencet hidung Maya dengan gemas sebelum akhirnya mencium hidung mungil itu dengan lembut. Milikku, pikirnya possesif. Hidung mungil ini milikku, senyum ini, bahkan jiwa ini milikku. Dan dengan satu gerakan yang semakin sering dia lakukan dan semakin mudah, digendongnya Maya yang wajahnya memerah bak udak rebus mengantisipasi apa yang akan terjadi kemudian. Dan benar saja saat Masumi menjatuhkannya di sofa tempat dia tadi membaca buku, Maya tak mau membuka matanya yang terpejam.

“Maya...” bisik Masumi gemas.

Saat akhirnya Maya membuka mata wajah Masumi sudah begitu dekat hingga dia bisa merasakan hembusan nafasnya yang panas. Dan Maya pun mengangkat tangannya, menelusuri wajah tampan dan keras itu dengan ujung jarinya. Tak henti dia meyakinkan dirinya bahwa wajah yang begitu indah milik lelaki gagah itu sekarang sudah menjadi miliknya. Suaminya. Ya, Masumi adalah suaminya, lelaki yang akan melindunginya, lelaki kepada siapa dia akan membaktikan dirinya, mencintainya, belahan jiwanya. Semua terasa pas. Tak ada keraguan apapun lagi. Dia akan mencintai tanpa syarat. Seperti Akoya mencintai Ishin. Seperti Mayuko mencintai Ichiren. Dan kini kisahnya sendiri dimulai, kisah Maya dan Masumi. Apapun yang terjadi di luar sana menjadi tidak penting lagi.

Masumi menatap mata Maya yang balas menatapnya, membaca kelebatan fikiran yang terpancar dari sinar mata perempuan itu. “Maya...”

“Aku mencintaimu, Masumi, sangat mencintaimu. Tahukah kau artinya?” tanya Maya lirih.

Masumi mengangguk dalam-dalam. “Aku tahu. Karena akupun mencintaimu, sepenuh hatiku.”

Dengan itu mereka saling memahami.

Beberapa saat kemudian mereka masih saling berpelukan. Masih tenggelam dalam sensasi yang baru mereka rasakan. Masih dengan setengah bermimpi Maya menyandarkan tubuhnya di dada suaminya. Lalu matanya menangkap buku yang teronggok di meja bekas dilempar Masumi tadi serta membaca judulnya. Sebersit fikiran yang sejak tadi mengganggu menghampiri kepalanya.

“Masumi...”

“Hm...,” Masumi sedang asyik membelai rambut istrinya, matanya setengah terpejam menghirup aroma yang begitu disukainya itu.

“Bulan madu kita sudah berjalan tiga hari.”

“Iya. Kenapa? Kita merencanakan seminggu kan?”

“Apakah seminggu tidak terlalu berlebihan untukmu?”

Masumi membuka matanya, siaga dengan pertanyaan istrinya yang tiba-tiba. “Maksudmu?”

“Aku tak terbiasa melihatmu bersantai. Aku terbiasa melihatmu selalu dengan notebook, dokumen-dokumen, serta gadget canggih yang mengatur jadwal dan kegiatanmu. Aku tak terbiasa melihatmu begitu santai, hal yang kau lakukan dalam tiga hari ini. Aku tak melihatmu membuka tas kerja, aku tak melihatmu membuka notebookmu, bahkan aku tak pernah mendengar suara ponselmu. Ini tidak normal. Ini seolah bukan dirimu.”

“Aku sedang berbulan madu dan tidak ingin diganggu pekerjaan,” kata Masumi singkat.

“Aku mengenalmu tidak hanya setahun dua tahun, Masumi. Dan aku tahu bahwa pekerjaan sudah menjadi identitasmu. Sama seperti arti akting bagiku. Kau begitu mencintai pekerjaanmu, menghabiskan hidupmu di situ, sama seperti aku mencintai dan menghabiskan hidup untuk akting. Kita bertemu karena kedua hal itu. Namun sekarang haruskah kau berubah hanya karena kita sudah menjadi suami istri? Haruskah kau menjadi pribadi yang lain?”

Masumi merenungi sejenak perkataan istrinya. “Langsung ke pokok permasalahan, eh?” tanyanya sambil tertawa kecil. “Ketika aku merencanakan pernikahan ini, aku seolah mendorong gunung dan lautan untuk mengosongkan jadwalku. Aku ingin memberimu bulan madu yang sempurna tanpa gangguan karena aku tak bisa memberimu upacara pernikahan yang layak untukmu. Aku telah membuatmu kehilangan banyak hal yang penting dalam hidupmu, dan aku tak sanggup mengembalikan semua yang telah kurenggut itu. Satu-satunya milikku yang berharga hanyalah pekerjaan, maka kuputuskan  mengorbankan waktu bekerjaku yang berharga itu untukmu. Aku menempatkanmu jauh di atas pekerjaanku, Maya, dan ternyata aku tak menyesalinya karena kusadari bahwa kau jauh lebih berharga dibanding pekerjaan itu. “

Maya bergerak dalam pelukan Masumi. Dipandangnya wajah tampan itu. “Masumi, aku tak mau kau terpaksa berubah hanya karena aku. Aku akan baik-baik saja meski kau sibuk bekerja. Aku tak akan mengeluh bila waktu bulan madu kita kau habiskan untuk menelepon dan mendiktekan berbagai perintah kepada sekretarismu. Aku menerima kau yang seperti itu, seperti kau yang menerimaku lengkap dengan segala kebodohanku. Aku tak mau kau memberi lebih banyak lagi untukku. Aku tak akan sanggup untuk membalasnya.”

“Kau sudah membalasnya dengan berlebihan hanya dengan mencintaiku, dengan menerima diriku yang seperti ini.”

Mendengar Masumi mengatakan hal itu membuat dada Maya terasa penuh dan tak terasa air mata menetes di pipinya. Dengan lembut dia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Masumi dengan lembut. “Terimakasih, belahan jiwaku, karena telah mencintaiku dengan begitu dalam,” bisiknya.

Malam hari saat Maya sudah terlelap di sebelahnya, dengan perlahan Masumi bangkit dari tempat tidur dan berjalan menghampiri jendela. Dibukanya tirai hingga sinar bulan yang pucat menembus masuk ke dalam ruangan. Kemudian dijangkaunya mantel kamar dan dengan perlahan membuka pintu serta melangkah keluar. Beberapa menit kemudian, dengan batang rokok menyala ditangan, dia berdiri di balkon, memandangi kota Tokyo yang terhampar di depannya. Dia teringat malam pertamanya berdua Maya, tidur di kamar sederhana yang terbuka jendelanya dibawah hamparan sejuta bintang. Sejuta bintang milik mereka. Dan saat sebuah bintang jatuh berkelebat di angkasa, untuk pertama kalinya dia berani mengungkapkan permohonannya. Meski dia merasa begitu konyol sesudahnya. Masumi Hayami, Jendral Perang dari Daito, berharap pada bintang jatuh? Pasti tak akan ada yang percaya. Kecuali Maya.

Pembicaraannya dengan Maya tadi kembali terngiang-ngiang di telinganya. Mengingatkannya pada sesuatu yang berusaha dilupakannya, paling tidak selama bulan madu ini. Ya Tuhan, beri aku waktu sebentar lagi untuk membahagiakan istriku sebelum segalanya di luar kendali, pintanya dalam hati. Meski berusaha menunda, bahkan kalau bisa memungkiri kenyataan yang ada, namun jauh di relung hatinya, di dalam akal sehatnya, Masumi tahu bahwa dia harus bersiap menghadapi perang besar yang akan menghadang di depan. Dia memang telah memiliki bermacam strategi, telah meneliti dan menguji strateginya dari segala sudut dan optimis semua akan sanggup dia atasi. Namun lawan yang dihadapinya juga memiliki cara berfikir sepertinya. Tidak banyak yang tahu bahwa Eisuke Hayami memiliki otak dengan lorong-lorong bak labirin yang bisa menimbuklan terjadinya sejuta kemungkinan. Masumi yang berada langsung di bawah komando dan didikannya merasakan langsung dan menjadi saksi hidup betapa orang tua itu bisa menjadi musuh yang sangat tangguh, dingin, kejam, dan menakutkan. Perlu nyali besar hanya untuk memikirkan mengalahkannya.

Namun Masumi sudah menyatakan tekad akan melawannya bila sedikit saja Eisuke dengan pasukan Daitonya menyentuh istrinya. Seumur hidup baru kali ini Masumi memiliki keinginan sekuat ini, mencurahkan segala energi untuk mencapai ambisi pribadinya. Selama ini dia bekerja keras hanya karena dia tak tahu harus berbuat apa lagi untuk mengisi hidupnya. Dia sudah bertahun-tahun menjadi robot yang membanting tulang demi kejayaan Daito. Sekarang dia ingin berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri. Untuknya dan Maya. 

Maya terbangun saat merasakan kekosongan di sebelahnya. Meski masih dengan mata terpejam, diraihnya Masumi dan mendapati tempat itu kosong. Segera dia membuka matanya. Dalam keremangan kamar yang hanya mendapat sinar dari rembulan musim semi di luar dia bisa melihat sosok suaminya berdiri di balkon. Masumi tampak berfikir keras. Sampai sejauh ini Masumi memang sama sekali tak pernah mengatakan dengan terus terang segala kemungkinan bila pernikahan mereka terekspos. Hubungan Masumi dengan Daito, hubungan Maya dengan Dewan Kesenian, maupun posisi Maya sebagai pemegang Hak Pementasan Bidadari Merah serta posisi Masumi sebagai Direktur Daito, salah satu perusahaan yang akan mengikuti tender pementasan cerita agung tersebut.

Maya tahu pasti sangat berat bagi Masumi untuk berada di kedua sisi yang saling berseberangan itu. Dan status Maya sebagai istrinya juga berperan sangat besar dalam menentukan segala keputusannya. Andai aku lebih pintar, Masumi pasti tak harus menanggung semua ini sendirian. Paling tidak dia bisa membicarakannya kepadaku, pikir Maya masygul. 

Malam itu baik Maya maupun Masumi, meski akhirnya berada dalam satu peraduan, namun sama-sama tidak bisa tidur dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Pagi hari, seperti biasa, Maya terbangun merasakan dekapan hangat Masumi di belakangnya. Merasakan punggungnya menempel erat pada dada bidang Masumi, merasakan nafas hangat Masumi menerbangkan anak-anak rambutnya, serta merasakan bibir dan lidahnya menelusuri batang lehernya. Merasakan kebahagiaan itu Maya menggeliat pelan dalam rengkuhan lengan kekar Masumi.

“Maya...”

“Hmm?”

“Apakah kau tidak keberatan bila hari ini aku bekerja di rumah?”

Maya terdiam sebentar. Lalu berputar untuk menghadap Masumi. Dengan matanya yang sekarang terbuka sepenuhnya ditatapnya Masumi dalam-dalam. Meski tak terlihat Maya bisa merasakan bahwa pribadi Masumi yang lama, Masuminya, seorang penguasa, sudah kembali. Maya tersenyum lebar. “Sudah mulai sadar ya?” seringainya jahil.

Melihat seringaian istrinya Masumi cemberut. “Apakah kau sudah bosan berada dekat denganku? Ya ampun, Maya, kita toh menikah baru empat hari?”

“Bukannya bosan. Kalau kau hari ini bekerja, paling tidak aku bisa punya waktu jalan-jalan bersama Rei. Lagipula ketika kau bersikap sebagai suami yang baik begitu aku jadi tidak punya kesempatan untuk menjahilimu. Apa asyiknya kalau aku harus menuruti semua maumu? Kau sudah mendapatkannya dari semua bawahanmu. Menjadi suami baik-baik tidak cocok dengan citramu. Apa kata Nona Mizuki kalau tahu kau seperti ini?” cibir Maya.

“Aku menikah denganmu, bukan dengan Mizuki,” kata Masumi dan dengan gemas membungkam mulut Maya yang hendak melontarkan kata-kata balasan dengan bibirnya. 

“Masumi, aku harus menelepon Rei,” kata Maya megap-megap disela ciuman Masumi.

“Kau bisa melakukannya nanti,” Masumi menggelitik pangkal leher Maya dengan bibirnya.

“Aku juga harus bersiap-siap untuk jalan-jalan,” Maya berusaha mengelak.

“Masih banyak waktu,” Masumi tetap tak peduli.

“Kau sebaiknya cepat-cepat bekerja atau kau akan kehilangan jutaan yen,” Maya mencoba taktik lain.

“Tidak apa-apa. Kau lebih berharga...” Masumi melancarkan kecupan-kecupan panas di wajah Maya.

“Masumi...” 

“Diamlah.”

Dan seperti biasa, Masumi sangat kuat.

Seusai mandi Maya mematut dirinya di cermin, bersiap memenuhi janjinya untuk keluar bersama Rei. Karena Maya sibuk berdandan maka Masumi kebagian semua tugas domestik untuk menyiapkan sarapan yang simpel untuk mereka. 

“Maya, sarapan sudah siap,” kata Masumi sambil memasuki kamar mereka. Melihat istrinya masih mengenakan mantel mandi dia berkata, “Perlu aku pilihkan pakaian?”

Maya menoleh kepada suaminya yang tampan yang sekarang sudah berdiri di belakangnya. “Boleh.”

Masumi pun membuka lemari pakaian dan memilih dari koleksi baju Maya yang ada. Dia berfikir untuk menambah koleksi pakaian Maya. Beberapa model baju sudah berkelebat di otaknya. Paris, aku akan mengajaknya ke Paris berbelanja dan berbulan madu lagi, pikirnya. Sebuah rencana yang membuatnya semakin ingin cepat-cepat menyelesaikan semua rencananya.

Setelah membantu istrinya berpakaian, sebuah hobi baru yang ternyata sangat disukainya, mendandani Maya, Masumi memperhatikan saat dia mengoleskan lipstick di bibir mungilnya yang menggemaskan. Tiba-tiba sebersit ide jahil menghampiri kepalanya. “Maya,” panggilnya lembut. Istrinya bereaksi dengan menolehkan kepalanya ke arah Masumi. Secepat kila Masumi mengecup bibir Maya kuat-kuat dan membuat berantakan riasan bibirnya.

“Masumi!” jerit Maya kesal.

Dengan terbahak-bahak, menghindari serbuan Maya yang melempar sisir ke arahnya, Masumi melompat keluar dari kamar.

Seusai sarapan, masih ada waktu satu jam sebelum Maya bertemu Rei di stasiun. Setelah membenahi meja Maya menyusul suaminya yang sudah siap dengan notebook dan dokumen yang tersusun di meja di ruangan yang telah disulap menjadi ruang kerjanya.

“Masumi...”

Masumi menoleh menatap istrinya. “Ada apa?”

“Masumi, aku tahu bahwa aku ini bodoh sehingga tak akan bermanfaat dalam meringankan beban pekerjaanmu. Tetapi sebagai istrimu aku paling tidak ingin tahu apakah yang akan kau lakukan berikutnya? Kupikir kau tak mungkin akan berada di Daito. Keadaannya akan sangat tidak enak bagi kau dan aku meski aku sama sekali tak meragukan kemampuan dan niatmu.”

Masumi terdiam sejenak. “Duduklah, Maya, karena apa yang akan kita bicarakan ini sangatlah serius, bukan obrolan pengisi waktu,” undang Masumi.

Setelah istrinya duduk di sampingnya di kursi panjang yang ada di ruang kerja itu, Masumi meraih kedua tangan Maya dan menggenggamnya. “Maya, sebelumnya aku ingin kau yakin dan percaya sepenuhnya kepadaku. Aku ingin tidak ada keraguan di antara kita. Bila aku memutuskan tak memberitahu apapun padamu, itu semata-mata demi kebaikanmu sendiri.”

“Tapi Masumi...”

“Maya, kau tahu dan pernah merasakan sendiri seperti apa Daito, atau Eisuke Hayami, memperlakukan musuh-musuhnya. Kau ingat kan bagaimana aku dulu? Aku yang bertanggung jawab terhadap penderitaan gurumu, kehancuran teatermu, kematian ibumu, tolong... jangan potong omonganku,” kata Masumi melihat Maya membuka mulut. “Aku tahu kau bahwa kau sudah memaafkan semua itu, tetapi aku tak akan pernah melupakan semua yang telah kulakukan padamu dulu. Daito musuh yang sangat kuat, percayalah, dan tidak bisa diremehkan sama sekali. Jadi aku harus sangat berhati-hati kali ini karena ini seperti melawan diriku sendiri, melawan otakku sendiri, melawan orang yang meski tak mau kuakui, adalah ayahku. Meski kami tak berhubungan darah, namun emosi, pikiran dan jiwa kami sangat tertaut. Aku sangat mengenal Eisuke seperti juga Eisuke mengenal diriku. Bisa jadi apa yang kupikirkan saat ini sudah pula terpikir oleh orang tua itu, atau sebaliknya. Dan dalam semua itu aku tak mau kau terluka. Tolong demi ketentramanku, percayalah padaku, pada setiap apa yang kulakukan. Kalaupun nanti kau harus terluka, percayalah bahwa itu yang terbaik untukmu.”

“Masumi aku tak ingin kau terluka.”

“Aku kuat, Maya, sama sepertimu. Ijinkanlah, untuk sekali ini, aku melakukan yang terbaik untukmu, istri yang sangat kucintai. Dan jangan pertanyakan apapun. Untuk kali ini tolong ikuti semua perkataanku. Pilihanmu hanya ada dua, mempercayaiku dengan mutlak atau tidak sama sekali.”

Maya menatap nanar wajah keras suaminya. Berbagai perasaan yang bergolak di dalam dadanya tak mampu untuk diungkapkan. Namun dia harus membuat keputusan. Pikirannya tahu bahwa Masumi akan berjuang keras sendirian, namun di dasar hatinya dia juga menyadari Masumi membutuhkan kekuatan dan dukungannya. Dukungan yang bisa dia berikan hanya dengan dia mempercayainya tanpa ragu, mencintainya tanpa syarat. Akhirnya Maya mengangguk, “Baiklah Masumi, aku mempercayaimu dan aku berjanji untuk tidak mempertanyakan kembali apapun keputusanmu,” katanya lirih.

“Terimakasih, sayangku, aku membutuhkan kepercayaan itu,” Masumi bernafas lega, meremas lembut kedua tangan Maya yang berada dalam genggamannya, untuk kemudian membawa kedua tangan itu ke mulutnya dan menciumnya lembut. “Ingatlah Maya, bila semua sudah terjadi, bila kau ragu dimana kau harus berpijak, bila kau kehilangan jejakku, maka satu kata yang harus kau pegang, nagareboshi-bintang jatuh, disitulah ada aku.”
***