Saturday, February 11, 2012

Pindahan yuk......


Buat kalian yang setia nengokin isi blog ini, dengan ini saya beritahukan (ciee.... kayak pidato) kalo sekarang isi blog DUNIA MIMPI DUNIA PELANGI pindah ke sini
So... jangan bingung jangan sedih
Semua masih tetap sama kok
Kecuali tampilannya (berusaha) dibagusin. Bagus dalam arti lebih rapi dan gampang diakses gitu
Jadi maunya saya (pesan sponsor) ya semua followernya ngikut gitu...
Oke deh, sampe ketemu di rumah baru

Tuesday, February 7, 2012

The Last Choice (6)

Bila ada perempuan yang sanggup memporak-porandakan pertahanan emosinya serta sanggup membuatnya melakukan apapun, maka Katty lah orangnya. Katty satu-satunya perempuan yang cukup punya nyali untuk mendebatnya dengan berapi-api, bahkan tak jarang balas menyerangnya baik dengan argumentasi maupun dengan fisik. Sejak semasa kanak-kanak Katty tak segan-segan mencubit maupun menjewer telinganya manakala Sev menggodanya. Dan dari semua itu Sev sangat menikmati pertengkaran-pertengkaran mereka karena biasanya hal itu tak akan bertahan lama. Tak sampai satu jam mereka sudah kembali berbaikan, berkuda bersama, menjelajahi hutan kecil di belakang rumah mereka, atau berenang di kolam pribadi yang ada di Drake Castle. Namun Sev tak tahan bila Katty memasang wajah terluka seperti itu. Sev tak suka mendengar kata-kata Katty yang diucapkan dengan begitu dingin. Dan Sev semakin tidak suka saat Katty, bukannya mendengar pembelaan darinya, malah berbalik dan meninggalkannya berdiri seperti orang tolol.

Namun tentu saja langkah pendek Katty tak imbang dengan tungkai panjang miliknya. Dalam sekejap Sev sudah melompat dan meraih Katty. Gadis itu tepat berada di anak tangga pertama dan Sev dengan gerakan menyentak memegang bahunya serta memutar tubuh Katty menghadap kepadanya. Namun alangkah terkejutnya Sev melihat betapa mata Katty telah basah dengan air mata. Sev begitu tersentak, refleks kedua tangannya bergerak menangkup wajah terkasih itu. Namun Katty, menolak merasa lemah, balas menatap mata gelap Sev dengan kobaran amarah di balik deraian air matanya.

“Katty, sayang, tolong jangan menangis. Aku tak tahan,” suara Sev parau.

“Kau mau aku seperti apa, Sev? Aku tak tahu harus bagaimana. Aku tak mau menjadi cengeng, aku tak mau menjadi lemah. Tapi aku tak bisa menahan perasaanku. Aku tak mengerti karena aku tak pernah mengalaminya. Aku tak pernah punya kekasih sebelumnya. Dalam situasi seperti ini aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Yang aku tahu dan baru aku sadari hanyalah ternyata aku tak mengenalmu sama sekali, kau yang laki-laki seperti itu. Aku hanya tahu kau seperti yang selama ini kufahami, kau yang kutemui di Drake Castle, laki-laki yang bisa kuandalkan. Bukan kau yang di London ini, bukan kau yang bujangan tampan dan kaya yang jadi incaran dengan barisan wanita di belakangmu. Aku kehilangan arah tentang hubungan kita sekarang,” Katty berkata dengan jujur.

“Katty...”

“Sev, kumohon untuk kali ini tolong kau mengerti aku. Biarkan aku sendiri untuk memikirkan semua ini.”

Melihat sinar permohonan di mata berwarna almond itu Sev tak berdaya. Dengan lemah dilepasnya tangannya yang menangkup wajah Katty. Dengan mata nanar dipandangnya gadis itu melangkah pelan menaiki tangga dan masuk ke kamar tamu yang dulu dia tempati tanpa sekalipun menoleh kepada laki-laki yang mengiringi kepergiannya dengan tidak rela.

Dan sekarang sudah hampir pagi namun Sev tak juga bisa memejamkan mata. Di tempat tidur berukuran besar yang sekarang ditempatinya sendiri itu terasa sangat dingin dan tidak nyaman. Dengan masam diliriknya bantal di sebelahnya yang kini kosong. Sialan kau Katty! Rutuknya dalam hati dan dalam sekali gerakan melompat bangkit. Kamar ini telah bertahun-tahun menjadi sarang pribadinya. Selama ini hanya petugas kebersihan yang diberinya ijin untuk memasukinya. Meski belum genap sebulan dia berbagi dengan Katty, namun gadis itu seolah telah berada di situ selamanya. Dan sekarang, saat dia tidak ada Sev merasakan lubang yang menganga, kosong dan hampa. Apa yang telah kau lakukan padaku, Katty? Desahnya putus asa.

Setelah yakin dia tak akan bisa tidur Sev beranjak keluar. Dengan nanar ditatapnya pintu kamar tempat Katty berada. Sev berusaha menahan diri, demi menghormati permintaan Katty, untuk tidak menerobos masuk. Namun akal sehatnya telah terbang entah kemana karena dalam sekejap melawan segala logika Sev malah membuka pintu itu. Manakala dia tidak mendapati Katty disana, dengan panik dia berderap menuju satu-satunya ruangan yang mungkin didatangi gadis itu. Studio.

Pintu ruang studio tertutup, namun tidak terkunci saat Sev memasukinya. Dan di sana, di kursi kerja, Katty tertidur dalam posisi duduk. Gadis itu tampak begitu muda dan damai. Wajahnya tampak tenang. Mulutnya yang setengah terbuka begitu menggoda. Dengan mendesah Sev mendekatinya. Dan dalam satu gerakan ringan diangkatnya Katty dan dibopongnya keluar menuju peraduan mereka berdua. Maafkan aku, Katty, aku bukannya tak menghargai permintaanmu, tetapi aku tak mau sendirian, katanya pelan seraya meletakkan Katty di atas tempat tidur besar itu. Sev mengatur posisinya di sebelah Katty, meraih gadis itu dan meletakkan kepalanya di relung bahunya dan setelah menyelimuti tubuh mereka berdua, hanya dalam hitungan menit Sev pun terlelap.

Katty terbangun, merasakan kehangatan yang melingkupinya sebagaimana yang selalu dia rasakan setiap pagi dia terbangun di sebelah Sev. Bila dulu Sev menjadi tempatnya bersandar melebihi saudara sekarang Sev bahkan telah menjadi pusat hidupnya. Sev menjadi orang terakhir yang ditatapnya sebelum matanya terpejam dan orang pertama yang ditemuinya saat dia membuka mata. Katty merasakan pesonanya, gairahnya, kehangatannya, perasaan naik turun bak roller coaster saat dia begitu percaya bahwa Sev hanya miliknya, namun juga saat dia merasa begitu terpuruk dengan ketidak-yakinan akan perasaan Sev kepadanya. Seperti semalam. Eh? Bukankah semalam...dengan panik Katty membalikkan badannya, berputar agar bisa menghadap Sev yang tengah memeluknya dari belakang.

Sev merasakan gerakan Katty yang tiba-tiba segera terbangun. Saat membuka mata yang didapatinya adalah mata almond Katty yang menyala dengan berang. “Keterlaluan kau, Sev!” desisnya penuh kemarahan dan berusaha berontak dari rengkuhan Sev.

Namun mana mau Sev melepaskan Katty begitu saja. Dengan erat dipeluknya gadis itu erat-erat. “Katty, sshh... jangan berontak, sayang,” Sev berusaha menenangkan Katty yang masih saja berusaha lepas.

“Sev!”

“Sayang...sshh...diamlah. Kita akan membicarakan ini dengan tenang sebagaimana layaknya orang beradab, oke?” Sev membujuk Katty. Menyadari gadis itu berhenti memberontak, dengan lembut Sev memegang dagu Katty dan menatap dalam-dalam ke matanya.

“Kalau kau pikir kau bisa mengintimidasiku di daerah kekuasaanmu ini, maka kau salah besar, Sev,” kata Katty memperingatkan dengan dingin.

“Daerah kekuasaanku?” Sev tertawa pahit, “Sayang, asal kau tahu rumah ini telah menjadi milikmu. Aku tak bisa membayangkan tempat ini tanpa kamu. Kau pikir kenapa aku harus ambil resiko menerima kemarahanmu dengan membawamu kembali ke kamar ini semalam bila aku masih bisa tinggal di sini sendirian?”

Katty membelalakkan mata.

“Itulah arti dirimu bagiku, sayang. Aku tak ingin mencari pembenaran atas sikapku yang buruk kepadamu hari-hari terakhir ini. Itu salahku karena aku begitu ingin semua pekerjaan besarku selesai sehingga aku akan bisa punya lebih banyak waktu untuk kita. Aku juga sangat bersalah karena tak bisa terus terang kepadamu. Karena apa yang kau katakan itu benar adanya. Masa laluku tidak bersih sepertimu. Aku memiliki banyak hubungan dengan banyak wanita. Aku laki-laki sehat, meski sekarang bila aku ingat kembali aku merasa sangat malu. Dan aku lebih merasa malu lagi karena aku tak bisa mengingat dengan baik siapa dan bagaimana wajah mereka. Karena itu sudah lama sekali. Sebelum kita menjadi seperti ini. Dan sekarang aku hanya bisa mengharap kau cukup mengenalku untuk mempercayai bahwa aku tak akan mungkin mengkhianatimu.”

Katty membalikkan tubuhnya membelakangi Sev, hanya bisa diam dan mencerna semua perkataan Sev. Tahun-tahun yang terentang membentuk hubungan mereka berdua sejak dia berusia lima tahun, melewati masa kanak-kanak hingga masa dewasanya, dengan Sev selalu berada di sisinya. Siap menjadi pelarian dan sandaran. Memberinya kepercayaan diri bahwa dirinya masih memiliki orang yang bisa diandalkan, yang bisa menerimanya sebagaimana adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya tanpa menuntut dan menghakimi. Sekokoh itulah hubungannya. Namun ketika asmara terlibat di antara mereka kenapa dia menjadi goyah dan ragu? Seolah dia kehilangan figur dan arah tentang Sev, Severus Drake-nya.

“Entahlah, Sev. Di otakku aku tahu semua. Aku dengan mudah dan jelas bisa mengerti bahwa kita mempunyai dasar hubungan yang sangat kuat. Kau dan aku sudah mengenal begitu dalam sampai-sampai terasa menyebalkan untuk diucapkan. Namun di dalam hatiku aku tak bisa mencegah apa yang kurasakan. Aku merasa marah dan terabaikan. Bukan begini hubungan asmara yang kuinginkan. Aku tahu kau bekerja keras dan sangat mencintai pekerjaanmu. Namun emosi jahat dalam diriku selalu menuntut kenapa kau tak mau meluangkan waktu sedikit saja untukku? Tak cukup berhargakah aku untuk mendapat waktumu? Toh kita baru saja jadian. Harusnya aku merasa di awang-awang, menikmati segala perhatian dan pujian konyol dan penuh omong kosong sebagaimana gadis-gadis tolol lain. Tak bisakah aku mendapatkannya tanpa harus meminta?”

“Katty...”

“Diamlah, Sev, dengarkanlah semua omonganku, selagi aku cukup punya kegilaan mengatakannya kepadamu meski nanti mungkin aku akan sangat menyesal. Meski aku tak ingin memikirkannya jauh di dalam hatiku selalu ada keraguan akan hubungan kita. Selama ini aku tak pernah meragukanmu sebagai seorang kakak laki-laki ideal setiap gadis, namun sebagai kekasih?” Katty bangkit dan duduk, menarik Sev duduk saling berhadapan. “Tolong lihatlah aku baik-baik. Apakah aku cukup punya daya tarik untuk memikat lelaki tampan sepertimu? Cukup istimewakah aku untuk mendapatkan komitmenmu? Kau harus jujur pada dirimu sendiri, Sev. Aku tak mau kau terperangkap dalam fantasi kanak-kanak kita, ataupun ekpektasi orang tuamu tentang aku. Hal itu akan sangat menyakitkan bagiku sekaligus merendahkan akal sehatku. Aku ingin kau menjadi diri sendiri. Bukan sebagai kakak yang baik yang menjaga adik kecilnya, namun sebagai laki-laki sukses yang tampan, playboy yang senang dikelilingi wanita-wanita cantik dan trendy yang siap mendampingimu ke pesta-pesta mewah kelas atas yang akan membuat para klienmu terkesan. Semalam, menghadiri pesta perusahaan, bertemu dengan orang-orang, sesuatu yang selama ini selalu aku hindari, menyadarkan aku bahwa tentunya kau sangat familier dengan pergaulan sosial seperti itu. Kau membutuhkannya sebagai bagian dari profesimu. Dan aku tak yakin bahwa aku akan bisa menyesuaikan diri dengan gaya hidup seperti itu. Terlepas dari segala pembicaraan Mrs. Clever tentang kau dan Angela, sangat menyedihkan bagiku karena ternyata aku memerlukan wanita konyol itu untuk membuka mataku bahwa kau dan aku sangat berbeda. Sebagai pribadi kita tetap Sev dan Katty, tidak berubah seperti dulu. Tapi hidup sudah begitu kompleks kan?”

Sev memandangi gadis di depannya, menyadari penderitaan gadis itu selama ini. Menyeimbangakna antara logika dan perasaan, apalagi di usia hubungan asmara mereka yang masih sangat muda, bagi gadis yang praktis dan sederhana serta tanpa pengalaman seperti Katty tentulah bukan perkara mudah. Katty selama ini telah bersembunyi dalam cangkang aman yang tidak pernah mengijinkan dirinya untuk mengambil resiko dengan menerima orang lain cukup dekat dengannya baik secara fisik maupun asmara. Pengalaman buruk masa kanak-kanak, yang dimulai ketika ibunya meninggal, kemudian harus menerima perlakuan yang tidak adil dari ibu tiri yang membuatnya melarikan diri mencari kedamaian di keluarga Sev sedikit banyak sangat mempengaruhi perilakunya di masa dewasa. Kehadiran adik tiri yang jauh lebih cantik dan istimewa kian menekan rasa percaya dirinya hingga ke dasar. Hanya penerimaan Sev sekeluarga yang menerima dirinya sebagai bagian dari mereka yang membuat Katty tetap menjadi gadis yang ceria tanpa memperlihatkan luka-luka emosi masa lalunya. Khusus untuk Sev Katty bisa menerimanya karena Sev menawarkan perlindungan seorang kakak, sebagai bagian keluarga, kepadanya.

Sev mengutuki dirinya sendiri yang begitu gegabah dalam menangani perasaan Katty yang sensitif. Meski Katty cukup logis sehingga mau berterus terang mengungkapkan semuanya, namun tetap saja Sev merasa begitu bersalah karena tidak menyadarinya sejak awal. Dia yang tumbuh bersama Katty harusnya cukup menyadari kebutuhan gadis itu untuk pengakuan, memberinya jaminan rasa aman bahwa dia tidak akan tersakiti.

“Rupanya semalam kau telah berfikir sangat keras untuk merumuskan hubungan kita, sayang.”

“Sev, salah seorang di antara kita harus ada yang melakukannya. Bila kau terlalu sibuk untuk memikirkannya, maka mau tak mau akulah yang kebagian tugas itu.”

“Sayang, aku tak pernah merasa harus memikirkannya sedalam itu karena aku sudah sangat yakin dengan perasaanku padamu. Aku tak perlu menimbang dan meninjaunya dari segala segi, termasuk tentang omong kosong ekspektasi orang tuaku maupun fantasi kanak-kanakku. Aku orang terakhir yang akan memikirkan hal-hal tolol yang merasuki kepala cantikmu itu. Aku tak perlu membuat para klien terkesan dengan pasanganku. Aku bisa membuat mereka terkesan dengan kemampuanku sendiri, tak perlu hal lainnya. Jadi, satu hal yang harus kau pegang saat kau ragu kepadaku, kepada kekurang-ajaranku yang kadang tak sengaja menelantarkanmu, bahwa dengan begitu konyol aku telah jatuh cinta setengah mati kepadamu. Sejak dulu. Namun entah kenapa kekeras kepalaanku mengalahkan harga diriku untuk merendahkan diri dan mengakuinya secara gamblang kepadamu. Kau mengerti?”

“Sev...kau...kau...” Katty terperangah mendengarkan pengakuan Sev yang blak-blakan.

“Kau tak percaya kan, sayang?” tanya Sev sambil menyeringai. Kemudian dengan sayang, dielusnya kepala Katty, “Padahal untuk mengucapkannya aku harus membuang jauh-jauh segala gengsiku. Dan kau tak mempercayainya? Sayang sekali. Aku tak tahu, bila klienku mengetahui ini mereka mungkin akan berfikir ulang untuk memakai jasaku,” katanya dengan masam.

“Karena kau tak pernah mengatakan padaku,” balas Katty pedas.

“Kuakui itu memang salahku.”

“Salah satu dari kesalahanmu. Kau belum menjelaskan soal Angela,” Katty mengejar tanpa ampun.

“Satu-satu, sayang, atau kepala cantikmu itu akan meledak. Seharusnya dengan keagresifanmu mengejar kebenaran sebuah berita, aku heran kenapa kau dulu tidak menjadi wartawan saja.”

“Sev!” seru Katty putus asa.

“Baiklah. Aku berjanji untuk menceritakan semuanya, tapi nanti. Namun satu hal yang pasti adalah Angela Clever itu tak cukup berharga untuk membuatmu cemas. Tak ada apapun di antara aku dan Angela. Aku menjamin itu.”

Kemudian tanpa Katty duga Sev bangkit dan membawa Katty bersamanya. Berat badan Katty sama sekali tak ada artinya bagi Sev.

“Hei, mau kau bawa kemana aku?” protesnya.

“Sudah siang. Aku lapar. Paling tidak kau cukup berbaik hati untuk memberiku sarapan.”

“Kau membuatku sulit mempercayai kata-katamu tadi. Jangan-jangan kau membutuhkanku di sini hanya untuk menyiapkan sarapan untukmu? Kan sudah kubilang kau cukup cari pelayan yang akan melayanimu dengan lebih baik.”

“Aku tak mau berhubungan seks dengan pelayan.”

“Kau keterlaluan!”

“Dan kau tak masuk akal!”

Pagi itu mereka menyaipkan sarapan dengan ribut. Saat roti sudah keluar dari toaster, ham dan telur sudah di goreng, serta sepoci kopi yang wangi mengepul tersaji di meja sarapan kecil di teras dapur mansion mewah itu, bukannya cepat-cepat menikmati sarapan, namun Sev malah menarik Katty duduk dipangkuannya. Diputarnya tubuh gadis itu hingga mereka saling berhadapan. “Kau tak bisa berpura-pura melupakan kewajibanmu untuk menciumku,” katanya sebelum dengan ganas melumat bibir Katty.

Katty gelagapan menerima luapan gairah Sev yang membabi buta. Dalam sekejap mereka telah melupakan semua yang telah repot-repot mereka siapkan. Untungnya kursi itu cukup kokoh untuk menyangga aktifitas fisik mereka yang seolah tak pernah terpuaskan. Saat semua telah selesai, Katty menempelkan dahinya di dahi Sev. Nafas keduanya sama-sama memburu.

“Kau bohong, Sev,” katanya pelan.

“Hmm?” Sev menelusuri leher Katty denga ujung hidungnya.

“Kau berjanji untuk membicarakan semuanya layaknya orang beradab. Tapi kau justru bertingkah bar-bar.”

Sev tertawa terbahak-bahak. “Aku kehilangan semua akal sehatku bila sudah menyangkut kamu, Katty. Tapi meski begitu aku tetap ingat bahwa kau belum pernah mengatakan apa yang kau rasakan kepadaku. Kau belum menjawab perasaanku meski kau dengan begitu tak tahu diri telah menerima layanan seksku yang luar biasa. Tapi sayang, kau harus ingat siapa aku, aku akan menagihnya, dan terus menagihnya, hingga kau mengatakan semuanya kepadaku.”

“Kau hanya buang-buang waktu,” ejek Katty. “Ini sudah siang. Kau akan terlambat untuk bekerja.”

“Ini akhir pekan.”

“Oh ya? Aku lupa kau tidak bekerja di akhir pekan.”

“Kau ke Jepang akhir pekan lalu.”

“Itu harus kulakukan sayang bila ingin minggu depan kita bisa pulang ke Oxford.”

“Sev! Kau serius?” Katty membelalak tak percaya. Kegembiraan berpendar di mata almondnya.

“Tentu,” Sev menyeringai. “Dan aku mengharapkan ungkapan rasa terima kasih yang sepadan.”

“Untuk itu kita perlu makan. Aku tak mau kau pingsan di tengah jalan,” Katty tertawa mengejek.

“Kau meragukanku, sayang?”

Tentu saja tidak. Untuk urusan satu ini tak sekalipun Katty meragukannya.

Saturday, February 4, 2012

SIXTEENTH : FOR BETTER FOR WORSE

Sepeninggal Maya, Masumi segera membuka semua dokumen pekerjaannya. Mereka memang baru berbulan madu selama empat hari, namun Masumi merasa pekerjaan begitu jauh dari dirinya saat ini. Setengah mati dia membangun mood untuk meraih kembali ketajaman otaknya yang telah beristirahat selama berhari-hari itu. Bagi orang sepertinya, liburan memang kata terakhir yang terpikirkan dan dapat dilaksanakan. Selalu ada sesuatu yang harus dikerjakan, selalu ada pekerjaan yang dapat mengalihkan perhatian dari kebutuhan akan liburan. Sebelum menikah dengan Maya Masumi hampir tak membutuhkan liburan, malah dia sangat membutuhkan pekerjaan sebagai satu-satunya curahan energi kreatifnya. Tak cukup membesarkan divisi seni di Daito, membereskan keruwetan di Takatsu, hingga mengambil alih pucuk pimpinan Daito, Masumi masih memiliki waktu untuk mengembangkan bisnisnya sendiri. Alasan utama Masumi melakukan hal terakhir tersebut karena dia selalu butuh sesuatu untuk dikerjakan dan tantangan untuk ditaklukan.

Sebenarnya hobi itu mulai dilakukannya saat dia mendapat hadiah dari Eisuke berupa persentasi saham di Daito. Selama hidupnya bersama Eisuke Masumi memang tidak pernah mendapatkan sesuatu dengan gratis. Dia bekerja keras, bahkan sejak kanak-kanak. Eisuke yang keras memperlakukan Masumi tak lebih seperti bawahan meski dia menyandang nama Hayami. Masumi digaji sesuai dengan hasil usahanya, plus bonus dalam setiap keberhasilannya. Hingga saat ini Masumi hanya berasumsi bahwa kekejaman Eisuke lah yang membuat lelaki tua itu memperlakukannya dengan begitu dingin. Namun bukan Masumi namanya bila tidak bisa mengambil keuntungan dalam setiap perlakuan yang diterimanya. Eisuke telah menarik batas jelas antara dia dan Masumi, menempatkan Masumi sebagai salah satu karyawan, dan memberi reward maupun punishment sesuai dengan hasil kerjanya. Maka Masumi tak memiliki beban moral untuk berhutang budi kepada Eisuke. Fasilitas, gajii, bonus, hadiah, dan persentasi saham yang diberikan kepadanya meskipun sangat besar dianggap Masumi sebagai angka yang cukup fair karena memang Masumi layak mendapatkannya. Dan seiring tahun demi tahun masa kerjanya jumlah kekayaan Masumi telah terakumulasi cukup banyak, lebih dari consumable pribadinya.

Sebetulya Masumi memang tidak pernah berambisi memiliki dan membesarkan perusahannya sendiri. Dia hidup dengan plot yang dirancang oleh Eisuke. Namun sisi lain dirinya yang selalu ingin menaklukkan suatu tantangan membuatnya mencoba untuk bermain-main dengan kapital pribadinya. Semula tidak dalam jumlah besar. Karena hanya bersifat iseng penyalur kelebihan waktu dan energinya. Dan dalam hal ini, melawan segala ilmu yang didapatnya dari Eisuke, yang selalu berekspansi untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan besar yang menguntungkan demi membesarkan kerajaan bisnis Daito, dengan menghalalkan segala cara, lima tahun lalu Masumi malah memulainya dengan membeli saham perusahaan-perusahaan kota kecil di Jepang yang sudah hampir bangkrut. Saham-saham itu berharga sangat murah. Namun Masumi cukup percaya diri dengan kemampuan bisnisnya dan bertaruh dengan diri sendiri bahwa dia bisa membuat sesuatu yang hampir mati menjadi sehat dan berproduksi lagi. Bahkan kalau bisa mendatangkan keuntungan berlipat.

Tentu saja Masumi bekerja di bawah bendera perusahaan yang memasang orang lain sebagai pimpinannya, namun tetap dilindungi perjanjian hukum berlapis yang sulit ditembus dan dipatahkan yang tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk berbuat macam-macam. Namun kecerdasan Masumi dalam menyusun strategi pemasaran, riset yang teramat mendetail, juga kepekaan bisnisnya yang menajam seiring dengan perjalanan karirnya di Daito, berhasil membawa perusahaan kecil yang mengelola penginapan dan wisata alam yang dimiliki oleh sebuah keluarga di kota kecil di pelosok selatan Jepang itu kembali berputar dan menghasilkan keuntungan yang hanya dalam waktu setahun setelah mengembalikan semua modal hanya dalam hitungan enam bulan.

Sukses di perusahaan pertama membuat Masumi mengambil langkah serupa untuk beberapa perusahaan sejenis yang tersebar hampir di semua perfektur. Hanya dalam waktu tiga tahun Masumi telah memiliki kerajaan kecil bisnisnya sendiri yang akhirnya memaksanya memakai jasa orang lain untuk mengurus bisnisnya. Bila Masumi melindungi keberadaannya dari ekspose umum bukannya tanpa alasan. Posisinya di Daito tak memungkinkan baginya untuk terlibat secara langsung dalam sebuah proyek pribadi. Selain itu Masumi menganggap itu hanyalah sekedar hobi di waktu luangnya yang sedikit. Tentu saja bisnis miliknya tidak akan ada apa-apany dibanding Daito. Namun bisnis kecil itu cukup tangguh dan menguntungkan. Bahkan beberapa dari perusahaan kecil itu secara terpisah telah masuk bursa nasional dengan harga saham yang cukup bersaing. Masumi sengaja memisahkan management antar perusahaan itu untuk menghindari efek domino bila salah satu perusahaan hancur, entah karena miss management maupun ekspansi dari luar.

Namun beberapa bulan lalu sebelum menikah, Maya mengungkapkan keinginannya untuk membangun sebuah hidup bersama Masumi, ingin mementaskan Bidadari Merah bersama Masumi, ingin menjalin cerita mereka berdua sendiri, barulah Masumi berfikir untuk mencurahkan waktunya lebih banyak untuk kerajaan kecilnya itu. Sebelumnya jaringan bisnisnya itu hanya dilindungi sistem standar yang tidak terlalu rumit, tidak seperti Daito yang mengaplikasikan multilayer security demi melindungi bisnisnya dari ekspansi musuh. Namun dengan rencana pernikahannya dengan Maya dan mengantisipasi segala hal buruk yang mungkin terjadi bila dia nanti harus berperang melawan Daito, paling tidak Masumi ingin mendapatkan perlindungan finansial bagi dirinya dan Maya. Maka satu-satunya jalan adalah perusahaan itu harus aman, bahkan dari ekspansi Daito yang kemungkinan besar akan mengejar, melibas, dan menghancurkan mereka berdua. Maka Masumi melalui Hijiri berusaha menemukan bekas rekan bisnis di masa lalu dan bertolak ke Singapura, beberapa saat sebelum hari pernikahannya.

Kengo Sawajiri sekitar lima tahun lebih tua dari Masumi. Mereka dulu satu universitas. Meski Masumi lebih muda namun Kengo Sawajiri mengetahui betapa cerdas otak Masumi dan kemampuan bisnisnya yang luar biasa sehingga menganggapnya rekan sederajat. Bahkan setelah mereka sama-sama terjun langsung di dunia bisnis. Kepiawaian mereka sederajat. Namun berbeda dengan Masumi yang berkonsentrasi membesarkan Daito dengan mengambil base di Jepang, Kengo memilih Hongkong sebagai pusat kegiatannya dan telah menguasai ekspor impor di wilayah Asia. Masumi menghubungi Kengo karena mereka berdua sama-sama tertarik dengan sistem keamanan perusahaan. Dulu saat merancang sistem keamanan Daito sesuai permintaan Eisuke, Masumi memang telah bekerja sama dengan Kengo. Dan sekarang untuk alasan yang sama dia menemui lelaki itu. Mengunjungi apartemen pribadinya di Singapura yang dia tinggali bersama salah satu kekasih gelapnya, wanita berkulit gelap asal Thailand, Kengo dan Masumi menghabiskan waktu selama dua hari untuk merencanakan kerja sama bisnis dan rancangan sistem keamanan mereka. Kengo memuji cara kerja otak Masumi untuk memanfaatkan pihak ketiga dalam kerjasama mereka sehingga keberadaan mereka berdua tetap terselubung. Bahkan Hijiri yang merancang pertemuan ini tidak tahu menahu strategi tersebut, pikir Masumi.

Masumi memiliki naluri yang bagus, dia menyadari keberadaan Hijiri, maupun Mizuki, di sisinya, menjadi tangan kanannya, tak lepas dari keinginan Eisuke untuk mendapat informasi pertama terhadap setiap sepak terjangnya. Meski Masumi tak meragukan loyalitas Hijiri dan Mizuki, namun Masumi tak ingin menempatkan mereka dalam posisi sulit saat dirinya harus berhadapan dengan Eisuke dan Daito. Untuk itulah Masumi memilih bekerja sendiri.

Setelah satu jam bekerja di depan laptopnya, barulah Masumi teringat mengecek ponselnya yang menghubungkannya dengan Daito. Pesan dan panggilan tak terjawab dari Mizuki dan Hijiri menumpuk sejak sehari sebelum hari pernikahannya. Namun anehnya semua itu terhenti dua hari lalu. Tak ada panggilan bahkan pesan singkat sekalipun dari kedua orang dekatnya di Daito itu. Bahkan email berisi pekerjaan pun tak lagi mengisi mailboxnya. Masumi berfikir sejenak, lalu merasa was-was, dan meningkat menjadi kekhawatiran. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Ini hanya pertanda satu hal. Masalah. Eisuke telah mulai beraksi dengan mengerahkan dua orang terbaiknya itu.

Conflict Management. Eisuke cukup kejam untuk menerapkan manajemen konflik ini terhadap orang dekatnya yang semula bersekutu, memposisikan mereka dalam situasi berlawanan, memaksa mereka bertahan dan menyerang orang yang dulu adalah kawan demi mendapat yang terbaik. Strategi menyerang titik terlemah lawan yang dalam hal ini hanya ada satu nama. Maya.

Secepat kilat Masumi meraih nomor pribadinya yang dia bagi hanya bersama Maya dan menghubungi istrinya.

***

Maya meninggalkan apartemen dengan menggunakan taksi yang telah dipesan Masumi melalui security di pintu depan. Taksi itu kemudian meluncur menuju apartemen lamanya yang sekarang ditinggali Rei bersama Sayaka. Teman-teman yang lain masih di apartemen lama, kecuali Mina yang sekarang telah pindah bersama calon suaminya. Meskipun Maya telah beberapa hari berada di ruang tertutup dan hanya bersama Masumi, namun secara mengherankan ternyata Maya sama sekali tak merindukan dunia luar. Dunianya sekarang telah terpusat pada Masumi. Dimana Masumi berada maka disitulah dia merasa bahagia. Baru lima menit dia dalam taksi dia sudah merindukan Masumi. Pasti semua akan sempurna bila dia bersama Masumi, menikmati cerahnya musim semi. Sebetulnya Maya tak ingin pergi kemana-mana. Namun dia tahu meski tak mengatakannya Masumi tak ingin diganggu. Dia cukup peka untuk membiarkan suaminya itu tenggelam dalam pekerjaan yang dicintainya itu. Dan meski sambil memaksakan diri Maya berangkat menemui Rei.
Di gang yang menuju ke apartemen yang ditinggali bersama Rei, Maya bertemu teman-teman dari Teater Ikkakuju. Dengan gembira Maya turun dan bergabung bersama mereka, meneruskan sisa dua ratus meter itu dengan berjalan kaki. Rasanya aneh. Padahal belum seminggu dia tidak bertemu mereka, namun semua terasa lain. Maya merasa menjadi pribadi yang baru.

Sesuatu yang juga dirasakan Rei begitu mereka bertemu.

“Aku tidak mau membuatmu besar kepala, Maya, tetapi kupikir pernikahan baik untukmu. Kau nampak cantik sekali,” komentar Rei.

“Ah...Rei, aku bahagia sekali. Kuharap kau segera menemukan pangeranmu dan segera menikah seperti aku,” jawab Maya yang langsung disambut oleh koor teriakan semua yang hadir.

Maka suasana pun kembali ramai seperti biasa saat mereka berkumpul. Mereka asyik membicarakan berbagai hal tentang teater dan pertunjukan. Dalam keceriaan itu terbersit dalam pikiran Maya untuk membaginya bersama Masumi. Maya tidak yakin Masumi punya cukup teman untuk diajak bercanda. Hidup suaminya itu hanya di sekitar kerja dan kerja. Kelak, tekad Maya, saat mereka sudah cukup lama bersama, saat mereka lebih mengenal satu sama lain dengan lebih baik, saat Masumi sudah bisa membuka dirinya yang selama ini tertutup, Maya ingin membagi hidup yang penuh tawa ceria, baik dalam suka dan duka, bersama Masumi. Maya ingin melihat Masumi tertawa lepas seperti laki-laki lain. Mungkin mereka akan makan ramai-ramai bersama teman-temannya. Mungkin juga mereka, bila sudah punya anak, akan membawa anak-anak mereka bermain di taman. Maya membayangkan semuanya dengan mata melamun.

Tepat saat itu suara ponselnya berbunyi. Masumi.

"Maya, kau dimana?" Masumi bertanya tanpa repot-repot mengucapkan salam.

“Aku bersama teman-teman di apartemen. Kenapa?”

"Apa kau tidak merasa diikuti? Atau dibuntuti seseorang?"

Maya mengerutkan alis mendengar suara Masumi yang khawatir. “Emm...aku tidak tahu. Tadi aku ketemu teman-teman di depan gang, jadinya aku turun dari taksi dan berjalan kaki bersama mereka. Kenapa, Masumi?”

"Maya, kamu harus selalu bergerombol bersama teman-temanmu. Tolong minta mereka memperhatikan sekeliling. Kau aktris hebat, beraktinglah seolah-olah kau tinggal di apartemen itu bersama Rei, oke? Dan bila siapapun, siapapun itu, menanyakan apakah kau bertemu aku, tolong bilang kau tidak mengetahui keberadaanku."

“Masumi...”

"Tolong dengarkan aku, Maya. Tolong jangan katakan tentang situasi kita ini kepada siapapun. Bahkan Mizuki dan Hijiri. Kau mengerti?"

“Tapi, Masumi...”

"Demi kebaikanmu, sekali ini tolong ikuti permintaanku tanpa bertanya."

Maya menyadari betapa debar jantungnya berpacu cepat di atas normal. Tanpa dia sadari wajahnya memucat. Bila Masumi sudah begitu khawatir, berarti keadaan memang benar-benar gawat. “Baiklah, Masumi.”

Terdengar desah nafas lega di seberang sana.
"Maya, maaf. Itu kulakukan hanya demi kamu. Karena aku terlalu mencintaimu dan tak ingin kehilangan kamu."

“Aku mengerti. Aku pun mencintaimu.”

"Baiklah, sayang. Jangan pulang sebelum aku meneleponmu. Aku akan mengatur cara bagaimana aku bisa menemuimu disana. Tetap minta Rei mendampingimu. Aku merindukanmu. Jaga dirimu baik-baik ya? Demi untukku."

“Baiklah.”

Saat menutup ponselnya Maya baru menyadari bahwa semua temannya sedang memperhatikannya. Melihat ketegangan di wajah Maya mereka menatapnya dengan khawatir.

“Maya, apa yang terjadi?” tanya Rei tanpa basa basi.

Dengan singkat Maya menjelaskan apa yang dikatakan Masumi di telepon.

“Bila Pak Masumi sudah khawatir, itu tandanya situasi mulai serius. Beliau orang yang tidak gegabah dalam bertindak. Demi kebaikan kalian berdua, lebih baik kau tidak usah macam-macam, Maya,” kata Rei tegas.

Tepat setelah Rei mengakhiri kata-katanya, terdengar bunyi langkah kaki berhenti di depan pintu. Refleks semua menoleh ke pintu.

“Hei, siapa yang mau tambah bir lagi? Ini, masih banyak. Kau beli banyak kan kemaren, Rei? Jangan bilang kau habiskan sendiri!” kata Maya tiba-tiba. Suaranya sangat riang seperti biasa, meski wajahnya masih tegang. Namun dalam sesaat Maya seperti memakai topeng dan menjelma menjadi Maya yang ceroboh dan ceria.

Semua terkejut melihat tingkahnya. Namun hanya beberapa detik karena mereka langsung mengerti jalan pikiran Maya. Dalam sekejap suara mereka kembali riuh dan suasana dalam rumah itu, bagi siapapun yang mendengarkan dari luar, tampak normal seperti layaknya perkumpulan anak muda yang aktif dan berisik.

Suara ketukan di pintu memang terdengar jelas oleh mereka. Namun mereka tak mempedulikan, berlagak seolah mereka memang sedang asyik bercengkrama dan tidak mengharapkan adanya tamu. Baru pada ketukan yang ketiga, Rei berteriak. “Maya! Buka pintunya! Siapa tahu itu tetangga yang sedang mengirim makanan.”

“Baik, Rei!” seru Maya yang segera meloncat bangkit dan berlari dengan ribut menuju pintu depan dan membukanya.

Mizuki telah berdiri di depan pintu. “Selamat siang, Nona Kitajima.”

Maya tersenyum lebar, menyambut Mizuki dengan ramah. “Wah... Nona Mizuki! Sungguh tak disangka. Silakan masuk, Nona. Kebetulan kami semua sedang berkumpul. Ada banyak makanan di dalam.”

Mizuki dengan pembawaanya yang tegas dan dingin tanpa basa-basi masuk ke dalam apartemen. Maya melirik sekilas tanpa kentara dan mendapati Mizuki meski dengan diam tampak mengamati seluruh isi apartemen.

“Saya baru tahu kalau Nona Kitajima pindah kemari,” katanya setelah duduk.

“Ah, ini saya tinggali bersama Rei dan Sayaka. Kebetulan kami menemukan lokasi yang bagus dan tenang saat sewa apartemen lama kami hampir habis. Lagipula Mina, salah satu teman kami juga sudah pindah, tinggal bersama calon suaminya. Omong-omong, ada perlu apa Nona Mizuki datang kesini? Tentunya Nona cukup bersusah payah menemukan alamat ini.”

“Pak Masumi mengirim saya kemari.”

Maya berusaha tidak tampak terkejut atas dusta itu.

“Oh ya? Ada perlu apa?”

“Beliau hanya ingin memastikan bahwa Anda baik-baik saja karena sudah lama Anda tidak muncul di Studio Daito.”

“Oh, itu karena kami semua pergi ke Lembah Plum baru-baru ini. Pak Genzo mengundang kami. Bersama Pak Kuronuma dan istrinya juga,” kata Maya. Kalau Nona Mizuki hendak menkonfirmasi akan sangat mudah karena pada kenyataannya mereka semua memang pergi ke pernikahan Maya dan Masumi di Lembah Plum.

“Apakah Sakurakoji juga pergi kesana?”

“Tidak, Nona Mizuki. Seperti Anda tahu, Sakurakoji dan saya, kami sama-sama sedang sibuk sendiri-sendiri dan saling tidak berhubungan. Hanya sekali dia menemui saya dan Rei sejak saya pulang dari London.”

Selanjutnya mereka berbasa-basi sejenak sebelum akhirnya Mizuki pamit.

Sepeninggal Mizuki, mereka bersandiwara seoalh tidak ada apa-apa. Setelah lewat satu jam, barulah mereka dengan pelan dan tersamar membicarakan kunjungan tak terduga itu. Setelah itu mereka memutuskan untuk meneruskan sandiwara dengan beraktifitas sebiasa mungkin karena bukan tidak mungkin kalau area tempat tinggal mereka telah dimata-matai. Kepada Masumi Maya mengirimkan pesan bahwa dia akan pergi berbelanja bersama Rei dan Sayaka, agar mereka terlihat normal sebagaimana layaknya kegiatan harian mereka. Tak lupa Maya meminta Masumi tak usah mengkhawatirkannya dan berkonsentrasi terhadap apapun yang sedang dilakukannya.

Mana mungkin aku tidak mengkhawatirkanmu, Maya, batin Masumi masam. Semua kulakukan hanya untukmu. Aku menempuh resiko sedemikian besar hanya untuk berada tetap di sampingmu.

Sore itu pula Masumi melakukan telepon darurat antar negara. Panggilannya dijawab pada dering pertama.

“Sawajiri.”

“Rupanya teleponku sudah kau nantikan, Sawajiri,” kata Masumi.

Terdengar tawa di seberang sana. “Tentunya aku sudah cukup mengenalmu untuk dapat mengantisipasi setiap gerakanmu. Kuduga kecepatan refleksmu yang luar biasa itu yang membimbingmu untuk menghubungiku.”

“Aku hanya sedang tidak merasa nyaman dengan kondisi yang sepertinya akan kuhadapi.”
Sawajiri tertawa terbahak-bahak oleh pilihan kata Masumi ini. “Itulah resikonya bila kau berniat menabuh genderang perang dengan raksasa yang kebetulan adalah guru pembimbingmu sendiri. Tapi bukankah justru itu menjadi tantangan yang sangat menarik bukan? Kuakui ketajaman nalurimu sungguh membuat iri. Bila kau menanyakan apakah orang yang dulu menjadi penghubung antara kita itu telah mengontakku, maka kau benar. Seperti yang kau perkirakan sebelumnya, orangmu itu, atau apalah namanya, baru saja menghubungiku mengatas-namakan dirimu.”

“Kapan Hijiri menghubungimu?”

“Pagi tadi. Makanya seperti aku katakan bahwa nalurimu kuat dan responmu sangat cepat. Aku, bila saja kau tidak memberiku peringatan dan memperkirakan apa yang terjadi, pasti sudah mempercayainya dan menyerahkan dirimu bulat-bulat kepadanya.”

“Dan apakah itu kau lakukan?”

“Tentu aku tidak sebodoh itu. Tawaranmu lebih menguntungkan daripada apa yang bisa ditawarkan oleh Hijiri. Bisnis tetaplah bisnis, Hayami, meski kau adalah temanku.”

Setelah bercakap-cakap sejenak akhirnya keduanya menyepakati tentang ditunjuknya seorang perantara yang kredibilitasnya telah sama-sama mereka uji. Tachibana Rui, muda, cemerlang, berani, dan ambisius, yang selama ini secara luar biasa telah memegang kendali kerajaan bisnis Masumi. Jauh lebih muda dari Hijiri, namun memiliki basic pendidikan bisnis yang bagus serta ketajaman naluri bak berlian yang hanya perlu sedikit polesan. Meski baru setengah jadi namun dengan keberadaan Masumi sebagai pemberi perintah dan arahan selama ini, sosok Tachibana sangat menjanjikan. Tachibana dijadwalkan akan bertemu Masumi keesokan harinya. Pemilihan waktu yang tepat karena sisa hari ini akan dipergunakan Masumi untuk menyelesaikan situasi yang melibatkan Maya dan teman-temannya. Saat ini Maya masih aman berada di tengah teman-temannya. Tetapi tidak untuk jangka waktu lama. Perlu tindakan teliti dan hati-hati untuk menyikapi situasi ini. Karena dampaknya akan sangat besar di hari-hari mendatang.

Menjelang senja Masumi secara tersembunyi menyelinap meninggalkan apartemen mewahnya menuju apartemen lama Maya. Mempergunakan kunci yang telah diberi pleh Maya dulu Masumi menunggu kedatangan istrinya di ruangan sederhana yang penuh kenangan itu. Dia telah membawa serta beberapa barang yang akan mereka butuhkan untuk tinggal selama beberapa hari. Sepanjang perjalanan Masumi sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa dia tidak sedang diawasi maupun diikuti. Masumi hanya perlu menunggu sekitar setengah jam dalam kegelapan sebelum sebuah mobil box barang berhenti di depan gedung apartemen Maya. Menyelinap di antara para pekerja yang rupanya dari jasa angkutan yang sedang membantu salah seorang penghuni yang sedang pindah, Masumi yang mengenakan celana jeans, jacket, topi, dan kaca mata hitam, berhasil masuk dengan mulus ke dalam gedung.

Menjelang waktu makan malam Maya pulang bersama Rei. Tak sampai sepuluh menit Rei keluar lagi dari pintu apartemen. “Jaga rumah baik-baik ya, Maya. Hati-hati kalau di rumah sendiri dan jangan sembarangan membuka pintu untuk orang asing. Aku tidak pulang malam ini. Aku dan Sayaka harus membantu Mina berbenah.” Rei memperingatkan Maya dengan suara yang dikeraskan untuk mengelabui siapapun di luar sana yang sedang mengamati apartemen. Mereka memberi kesan seolah Maya akan tinggal sendiri di rumah.

Sepeninggal Rei, Masumi segera mengunci pintu depan dan meraih Maya dalam pelukannya. “Maya...” desahnya sambil memeluk erat istrinya, memastikan bahwa Maya baik-baik saja tak kurang suatu apa.

Maya yang memahami kekhawatiran suaminya, meski dia sendiri merasa takut dan kalut, berusaha tidak menampakkannya. Sebaliknya dia dengan tersenyum lembut menangkup wajah Masumi dengan kedua telapak tangannya. “Masumi sayang, aku baik-baik saja. Kau lihat sendiri kan?” katanya pelan.

Malam itu mereka berpelukan di atas futon di kamar lama Maya yang sangat sederhana. Sangat berbeda dengan kamar mereka di apartemen. Namun mereka sangat bahagia bisa berdekatan seperti itu. Bisa saling menguatkan dan menjaga.

“Sepertinya tak ada jalan lain, untuk beberapa hari mendatang, sampai segalanya siap bagiku untuk mengumumkan tentang pernikahan kita, sekaligus melepas semua atributku yang berhubungan dengan Daito, kita harus tinggal di sini. Karena bagaimanapun tempat ini paling aman untukmu. Selalu ada teman-temanmu yang akan menjaga dan menemanimu bila aku sewaktu-waktu harus pergi,” kata Masumi.

“Aku akan sama bahagianya di sini atau di manapun selama itu membuatmu berhenti mengkhawatirkanku.,” sahut Maya seraya merebahkan kepalanya di lekuk bahu Masumi. “Aku hanya tidak menyangka Nona Mizuki, bahkan Tuan Hijiri yang selama ini begitu loyal kepadamu, yang selama ini juga begitu banyak membantu kita, malah berbalik memusuhi kita.”

“Mereka hanya menjalankan tugas,” kata Masumi datar. “Dari semua orang, aku yang tahu persis loyalitas dan dedikasi mereka terhadap pekerjaan. Dan aku orang pertama yang tidak mau menempatkan mereka dalam posisi sulit. Bila saja aku mau, aku bisa saja berbuat curang pada Eisuke dengan membajak mereka berdua, yang kuyakin akan mereka lakukan. Tetapi itu tindakan pengecut. Aku ingin menghadapi pertarungan ini dengan keberanian seorang satria. Aku ingin memenangkannya secara jantan demi menghargai diriku sendiri yang terlalu lama dan terlalu sering bertindak curang. Untuk itu aku memintamu untuk bersabar, Maya, beri aku beberapa hari lagi. Aku harus menjalankan semua rencanaku dulu.”

“Ambillah waktu selama yang kau perlukan, Masumi. Aku tidak apa-apa.”

“Setelah semua jelas, mungkin kita akan hidup menderita.”

“Aku sudah sering menderita sendirian. Bila nanti aku harus menderita bersamamu, pasti rasanya akan lebih ringan bukan?”

Masumi menatap mata bening istrinya, melihat ketulusan yang terpancar di binar kedua bola mata itu. Ya Tuhan, kau memberiku seorang dewi, dan terkutuklah aku bila membuatnya menderita demi aku, batinnya. Masumi pun menghujani wajah Maya dengan kecupan lembut. Maya menengadah, melingkarkan kedua lengannya di leher Masumi. Sesaat kemudian mereka menikmati momen yang hanya bisa dibagi oleh mereka berdua. Momen khusus yang menyatukan keduanya dalam ikatan magis persatuan dua jiwa yang telah saling menemukan dan melengkapi.

Dua hari kemudian, setelah malam sebelumnya Masumi kembali ke kediaman resmi Hayami, bersikap seolah tidak ada sesuatu pun yang terjadi, seolah dia baru pulang dari perjalanan bisnis seperti biasa, Masumi memasuki ruang kerjanya di Gedung Daito. Mizuki, seperti biasa, telah berada di tempatnya biasa duduk, berusaha keras menghapus segala ekspresinya dalam raut muka dingin professional.

“Selamat pagi, Pak Masumi. Saya heran, Anda masih ingat jalan menuju ke kantor ini,” sambutnya dengan sindiran pedas.

“Aku tak akan tersesat karena, seperti kau tahu, gedung baru ini aku sendirilah yang menyetujui rancangannya,” sahut Masumi ringan. “Bagaimana kabar pekerjaan.”

“Bila Anda bisa mengambil liburan cukup lama dan mendadak, berarti Anda telah yakin bahwa semua baik-baik saja, Pak Masumi.”

Masumi tertawa mendengar jawaban bawahannya itu. “Rupanya kepergianku selama beberapa hari ini semakin mengasah ketajaman lidahmu. Tentunya kau telah siap menghukumku dengan tumpukan pekerjaan yang tidak mengijinkanku untuk beristirahat, bahkan untuk bernafas sekalipun.”

“Semua sudah saya siapkan di meja Anda, Pak Masumi,” jawab Mizuki, “Selamat menikmati,” tambahnya.

Masih sambil tertawa, Masumi menghilang di balik pintu.

Begitu pintu tertutup, Mizuki segera meraih ponselnya. Dengan cepat dia membuka sebuah nomor dan menuliskan sebuah pesan singkat.

Masumi Hayami sudah muncul kembali.

Di sebuah villa di Prancis Selatan.

Asa, dengan suara langkahnya yang pelan, menghampiri Eisuke yang sedang duduk menatap ke luar jendela. Setelah tiba di belakang majikannya, laki-laki tua itu memberi tanda dengan deheman ringan.

“Sepertinya kau sudah mendapat info dari Tokyo,” kata Eisuke tanpa menoleh.

“Benar, Tuan, seperti yang Tuan harapkan.”

“Baiklah, malam ini kau bersiap-siap. Kita kembali ke Jepang besok.”