Monday, September 19, 2011

The Last Choice (4)

Setiba di mansion milik Sev, karena lelaki itu kelaparan, maka Katty pun segera menuju dapur.

“Lebih baik kau mandi dulu, makanan akan siap beberapa saat lagi,” katanya.

Tanpa banyak bicara Sev meninggalkan Katty yang sedang menginspeksi kulkasnya. Untuk ukuran bujangan Sev termasuk jenis laki-laki yang peduli dengan urusan dapur, tidak semata-mata tergantung dengan restoran, makanan beku, atau makanan siap saji. Perlengkapan di dapur canggih ini dipilih karena memang benar-benar untuk difungsikan, bukan sekedar display untuk prestise. Dan lemari penyimpannya menyediakan bahan makanan dalam jumlah dan jenis yang layak. Setelah sedikit menimbang-nimbang akhirnya Katty memutuskan untuk membuat daging panggang dengan kentang serta cesar salad. Sev bertubuh besar dan memiliki selera makan yang sehat, maka Katty pun membuka dua kerat daging yang cukup besar.

Aroma daging panggang memenuhi dapur ketika akhirnya Sev muncul. Rambut gelap Sev tampak basah dan lelaki itu mengenakan jeans dan polo shirt warna merah yang membungkus ketat tubuh tegapnya. Dia hanya mengenakan kaus kaki. Katty tahu bahwa dibanding kesegaran dan aroma sabun Sev dia merasa sangat berminyak, bau dan penuh keringat. Tetapi siapa yang peduli? Sev duduk di meja yang ada di dapur itu, matanya tajam mengawasi Katty yang bergerak lincah beraktifitas di dapur.

“Baunya enak, pemandangannya indah. Aku ingin menjadikannya permanen,” komentarnya.

“Maksudmu?” Katty meletakkan daging di atas piring, setengah matang seperti kesukaan Sev, sebelum menjangkau mangkuk di rak untuk menata salad.

“Kau di dapurku.”

“Kau konyol! Di Drake Castle kau dilayani oleh barisan pelayan yang tak akan membiarkanmu untuk mencuci sebuah sendok sekalipun. Tentunya kau bisa melakukan hal serupa di sini. Kau tinggal mencari kepala pelayan dan dia yang akan mengatur segalanya untukmu.”

“Tetapi itu sama sekali tak romantis.”

Katty membelalakkan mata. “Apa hubungannya semua ini dengan romantisme?”

“Katty, yang aku inginkan adalah, dengar baik-baik, kau di dapurku, kau di rumahku, dan terutama kau di tempat tidurku. Bukan kepala pelayan. Mengerti?”

Katty memandang Sev dan melihat kesungguhan di wajah lelaki itu, entah kenapa tiba-tiba wajahnya memanas dan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan panggangan. Sev tertawa melihat pipi Katty yang memerah. Dengan perlahan dia bangkit dan mendekati gadis itu. Tangannya menjangkau mematikan kompor yang masih menyala sebelum akhirnya melingkarkannya di tubuh gadis itu. “Aku suka melihatmu tersipu,” bisiknya di telinga Katty.

“Aku mau mandi dulu. Aku bau,” Katty berusaha melepaskan diri.

“Siapa bilang? Baumu enak.”

Katty membelalak. “Indra penciumanmu sudah rusak,” katanya sengit.

“Sungguh, baumu enak. Kombinasi antara bawang bombay dan ikat tuna,” kata Sev kalem yang disambut cubitan Katty di lengannya.

“Kau tidak akan dapat makan malam kalau kau bilang bauku seperti bawang bombay!” ancamnya yang disambut gelak tawa Sev.

“Temani aku makan, oke? Kau berutang itu padaku. Kau sudah begitu baik hati kepada temanmu, itu membuatku iri sekali,” rayunya.

Dan bukan Sev namanya kalau tidak bisa mendapatkan apa yang dimaunya. Sebentar kemudian keduanya sudah asyik duduk berhadapan di meja dapur. Sev memakan hasil masakan Katty denga lahap sementara Katty menyesap anggur lezat yang disimpan di lemari persediaan Sev sambil menikmati sandwich. Mereka berbincang akrab seperti biasanya. Bertengkar, kemudian tertawa dan berbaikan lagi. Setelah makan keduanya menikmati sepoci kopi panas sambil bergelung di sofa menikmati film yang diambil dari koleksi Sev. Katty menyandar di dada Sev sementara lelaki itu membelai rambutnya.

“Tidur di kamarku malam ini?” tanya Sev lembut di telinga Katty.

“Ehm... lebih baik tidak,” tolak Katty halus. “Aku perlu waktu untuk membiasakan diri dengan semua ini, Sev. Beri aku waktu.”

Sev menatap wajah Katty. “Aku telah menunggumu cukup lama. Aku sampai lupa sejak kapan aku menunggumu, Katty. Namun kupikir sedikit waktu lagi tak apa-apa.”

Katty membalas menatap wajah Sev, wajah yang begitu dikenalnya dan telah mengisi hari-harinya sejak dia bisa mengingat. “Kenapa kau memilihku, Sev?”

“Karena kau istimewa. Sejak dulu kau selalu istimewa, Katty,” katanya lembut, dan selembut itu pula dia mencium bibir Katty.

Bibir Sev terasa hangat dan manis di bibir Katty. Gadis itu mendesah, kemudian mengalungkan lengannya di leher Sev dan membalas ciumannya. Hm... harus dia akui, Sev seorang pencium yang hebat dan Katty menyukai ciuman-ciumannya. Namun sayang, ciuman mereka harus diakhiri. Perasaan Katty masih terlalu rapuh untuk menerima perubahan mendadak dalam hubungan keduanya. Dengan sangat menyesal keduanya melepaskan diri. Sev bangkit dan menarik Katty bersamanya. Bergandengan mereka menuju ke kamar tamu di samping kamar utama yang akan ditempati Katty. Sev kembali memberinya ciuman selamat tidur di depan pintu, tersenyum sedikit menyeringai sebelum mendorong Katty masuk.

“Tidurlah, kunci pintunya. Aku khawatir di tengah malam aku akan mengigau dan mencarimu,” Sev tertawa. “Selamat tidur, mimpikan aku,” bisiknya lembut sebelum berbalik pergi.

Katty mengira dengan segala kejadian hari ini dia akan susah tidur. Apalagi di tempat yang masih terasa asing ini. Namun ternyata matanya terpejam dan dia tertidur dengan nyenyak begitu kepalanya menyentuh bantal. Agaknya mandi berendam air hangat barusan telah membuatnya rileks.

Katty tahu bahwa Sev selalu bangun pagi. Maka dia langsung meloncat ketika alarmnya berbunyi. Hanya sempat mencuci muka dan menyisir rambut coklatnya, gadis itu buru-buru turun ke dapur. Masih dalam piyama. Ketika dia sedang menyalakan masin pembuat kopi dan membuat toast Sev muncul. Sudah sangat rapi dalam setelan kerjanya. Melihat Katty telah sibuk di dapur lelaki itu mendekat, meraihnya dalam pelukan dan membisikkan selamat pagi di telinganya.

“Benar-benar menyenangkan mendapati seorang wanita di dapur sibuk menyiapkan sarapanmu ketika pagi. Apa lagi yang diinginkan seorang pria?” komentarnya.

“Aku merasa kita seperti pasangan yang telah lama menikah,” komentar Katty asal sambil menata daging asap dan omelette.

“Wow! Menikah? Apakah kau sudah siap sayang? Kalau iya aku bisa menyeretmu ke gereja sekarang juga karena aku sendiri sudah sangat siap sejak lama,” sahut Sev sambil tertawa.

“Itu hanya perumpamaan, Sev!” balas Katty sengit.

Pagi itu mereka sarapan berdua di balkon depan dapur yang sudah bermandikan cahaya matahari pagi kota London. Mereka tak banyak berbicara karena masing-masing sibuk dengan harian pagi yang mereka bagi berdua.

“Apa rencanamu hari, Katty?”

“Aku akan ke kantor. Mungkin baru pulang sore nanti. Aku mau semua urusanku selesai jadi aku bisa segera kembali ke Oxford dan memulai bekerja.”

“Jam berapa kau berangkat? Aku bisa menjemput dan mengantarmu.”

“Oh, tidak usah. Aku bisa naik taksi, kereta atau bus saja.”

Sev mengernyitkan dahi. “Pakai taksi saja. Jangan naik kereta atau bus. Aku khawatir.”

“Sev, aku bukan orang baru di London. Kau tak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku bisa jaga diri.”

“Tetap saja aku khawatir,” kata Sev keras kepala. “Dan satu lagi sayang, aku tahu bahwa piyama katun itu tampak begitu nyaman untukmu. Namun bukankah sekarang sudah saatnya kau menggantinya dengan lingerie yang seksi?”

Benar-benar komentar yang tidak perlu bila Sev masih sayang dengan nyawanya. Untung Katty hanya melemparnya dengan gulungan koran dan bukan dengn cangkir kopinya. Sev berlalu sambil terbahak-bahak, meninggalkan Katty yang sebal setengah mati.

Beberapa hari itu hampir seperti mimpi bagi Katty. Meski sudah mengenal Sev hampir sepanjang hidupnya, namun mengenal Sev yang seorang bujangan tampan dan seorang pengacara sukses di sarangnya di London yang gemerlap, sungguh hal yang sangat baru bagi Katty. Berkali-kali Katty harus meyakinkan diri bahwa lelaki yang selalu menuntut ciuman selamat pagi dan selamat tidur, yang menggoda dan merayunya, yang selalu meneleponnya di siang hari saat mereka berjauhan karena masing-masing sibuk dengan pekerjaan, atau yang selalu mengiriminya pesan-pesan singkat bernada rayuan itu adalah Sev yang sama. Sev yang selalu bisa diandalkan. Sev yang dulu mengajarinya naik kuda dan berenang.

Pertunangan pura-pura mereka melaju dengan kecepatan tinggi membuat Katty tak yakin lagi akan kebenarannya. Sev memperlakukannya dengan sangat manis layaknya seorang tunangan. Terus terang Katty sangat menikmati perhatian itu. Dan Katty pun mulai memperhatikan penampilannya. Dia ingin membuat Sev terkesan dan setiap lelaki itu memujinya, pipinya akan tersipu merah dan membuat lelaki itu begitu gemas. Karena Sev sering membawanya makan malam di luar Katty pun mau bersusah payah pergi ke beauty centre untuk perawatan wajah dan rambut. “Tapi awas! Jangan sekali-kali kau berani mengecat rambutmu!” ancam Sev saat Katty mengutarakan rencananya.

Alih-alih mengantar Katty ke Stockley House, Sev malah menyiapkan sebuah studio mini untuk Katty dengan merombak salah satu kamar tamu yang cukup luas. Selain membelikan set peralatan gambar, Sev juga melengkapinya dengan komputer canggih sehingga Katty nyaman bekerja. Katty tak bisa lagi memprotes ketika kunjungannya ke London molor dari beberapa hari menjadi lebih seminggu. Sev sendiri sangat sibuk. Tak jarang dia pulang saat hari sudah sangat larut. Tetapi Katty selalu menunggunya meski itu membuatnya sering tertidur di sofa di depan televisi. Namun selarut apapun Sev pulang Katty tak pernah absen menyediakan sepiring sandwich dan sepoci kopi segar mengepul untuknya.

“Tak pernahkah kau bertanya sayang, apa saja yang telah kulakukan hingga pulang selarut ini?” goda Sev ketika dia tiba saat sudah lewat tengah malam.

“Hmmm...tidak Itu urusanmu,” sahut Katty santai.

Sev menyeringai, “Ketidak pedulianmu itu sangat berbahaya untuk ego laki-laki.”

“Tidak juga. Itu semua pilihanmu. Kalau kau memilih menghabiskan waktumu di luaran dan bermain gila, itu keputusanmu. Ada atau tidaknya aku disini pasti tak akan banyak berpengaruh. Begitu pula dengan aku. Aku berada di sini, menunggumu, dan berperan menjadi teman atau apalah namanya itu itu semata-mata karena aku memutuskan begitu. Kita dua orang yang sudah sama dewasa, Sev, dan aku cukup percaya diri bahwa baik kau maupun aku sudah cukup memahami segala resiko apa yang kita pilih dan siap menjalaninya. Sederhana sekali.”

“Apakah ketika pada akhirnya kau mencintaiku, itu juga merupakan sebuah keputusan, Katty?”

“Kurasa begitu. Bila aku sudah memutuskan maka aku pasti akan menjalaninya. Kau cukup mengenalku kan?”

Sev tidak menjawab namun meraih Katty dalam pelukannya dan merengkuhnya erat. “Tahukah kau kenapa kau begitu istimewa bagi kami, terutama aku? Ketika kau datang di Stockley House, tiba-tiba rumah kami menjadi begitu bersinar. Ibuku yang telah lama kehilangan harapan untuk memiliki putri begitu bahagia oleh kehadiranmu. Begitu pula aku dan ayahku. Kami menyaksikanmu tumbuh menjadi gadis remaja, dan tak pernah semenitmu kami tidak bersyukur atas berkah itu. Kau seolah gadis yang dikirim Tuhan untukku. Aku melewati masa kanak-kanak menjadi kakak laki-laki yang memujamu, melewati masa remaja dengan impian memilikimu kelak, dan saat dewasa aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ternyata semua itu tak berubah. Begitu lama aku menunggumu. Bahkan ketika aku melewatkan waktu bersama begitu banyak wanita, aku selalu yakin bahwa pada akhirnya nanti kau akan tumbuh dewasa dan menungguku datang dan menghampirimu dan menjadikanmu milikku seutuhnya.” Sev menatap mata Katty penuh keyakinan saat kata-kata pengakuan meluncur dari bibirnya.

Katty hanya terdiam terpana menatap Sev, seolah sulit mempercayai bahwa kata-kata itu diucapkan oleh lelaki yang begitu tampan dan menawan yang memeluknya erat. Lelaki yang bahkan dalam mimpinya yang terliar sekalipun tak berani dia bayangkan akan menghampirinya dan menawarkan sesuatu yang melebihi ikatan persaudaraan. Selama ini Katty sudah sangat bersyukur mempunyai sandaran setangguh Sev, dia dalam pemikirannya yang begitu sederhana tak pernah mengharapkan lebih. Cukuplah Sev berada di sisinya, selalu siap mengulurkan tangan membantunya, menjadi tempat berlindung saat kehidupan yang begitu tak adil menyiksa dirinya. Namun saat wajah Sev yang tampan dengan mata gelap yang memandangnya tajam penuh pemujaan, Katty tak tahu harus berkata apa. Dunia kecilnya yang tenang terguncang membuatnya bimbang dan tak yakin akan semua yang didengarnya.

“Tapi Sev, kau begitu tampan dan sukses, tak mungkin kau memilihku dari semua gadis yang selama ini ada di sekelilingmu,” katanya lemah.

“Kau tak percaya kan, sayang, betapa aku menginginkanmu?” Seolah menguatkan kata-katanya Sev memperketat pelukannya. Tubuh bagian depan mereka saling menempel dengan ketat membuat Katty terhenyak oleh besarnya gairah dalam tubuh kokoh panas membara yang merengkuhnya. Bibir indahnya terbuka tanpa sadar. Sev menatap bibir ranum itu dan melahapnya bulat-bulat. Katty hanya bisa mendesah saat gelora yang memancar dari tubuh maskulin itu serasa membakar dirinya. Desahan Katty memicu hasrat Sev semakin tinggi. Seperti kelaparan Sev memindahkan bibirnya ke sepanjang leher Katty, menelusuri kejenjangannya dengan belaian bibir dan lidah, hingga menjangkau lekuk lembut di pertemuan tulang leher dan bahu gadis itu, menggoda dengan gigitan pelan yang membangkitkan sensasi liar asing yang selama ini tak diketahui telah dimiliki oleh Katty. Katty merintih, secara naluriah menggesekkan tubuhnya ke tubuh Sev, membuat lelaki itu menggeram dan akhirnya tanpa berkata apa-apa lagi Sev membopong tubuh mungil Katty memasuki kamarnya dan merebahkannya dengan lembut di atas tempat tidurnya yang luas. “Malam ini, kau harus jadi milikku,” ucapnya di telinga Katty.

Sev melucuti pakaian mereka berdua. Lelaki itu berusaha selembut mungkin namun gagal. Dan Katty yang terbenam dalam pusaran asing dan kehilangan orientasi tak mampu mencerna semua yang berputar di sekitarnya. Saat lelaki itu merengkuhnya dengan erat, dunia seolah meledak di sekitarnya. Matanya terbelalak dan desah ketidak-berdayaan terlontar dari bibir mungilnya. Sev sesaat menyadari sesuatu, namun gairah yang membuncah membuatnya kehilangan kendali dan sesaat kemudian suara erangannya yang parau berpacu dengan degup jantung yang bertalu-talu memukul rongga dada keduanya yang melekat erat.

“Sialan kau, Katty!” umpat Sev tiba-tiba dan melepas tubuh Katty yang bergetar tak berdaya. “Harusnya kau beritahu aku kalau ini pertama kalinya bagimu!” raungnya penuh kemarahan.

Katty terpana, terbangun dari mimpi indahnya. Matanya membelalak menatap lelaki yang baru saja merengkuhnya penuh gelora. Bibirnya bergetar. “Maaf, aku tak tahu prosedurnya,” bisiknya hampir tak terdengar. Sinar terluka terpancar dari mata almond itu. Dan Katty membenci dirinya sendiri saat tiba-tiba air mata meluncur ke pipinya. “Maaf,” desahnya dan berusaha bangkit.

Sev kembali mengumpat dan meraih Katty kembali dalam pelukannya. “Maafkan aku, sayang, aku begitu terkejut. Aku bisa saja melukaimu,” bisiknya di telinga Katty, “Maafkan aku, sekali lagi, maaf,” Sev menangkup wajah Katty. Dengan bibirnya dihapusnya air mata di pipi Katty. “Andai aku bisa membalikkan waktu, aku ingin melakukannya dengan benar untuk pengalaman pertamamu. Sebaliknya aku malah bersikap seperti orang bar-bar. Maafkan aku, sayangku,” dengan lembut dikecupinya seluruh wajah Katty.

Malam itu Sev memperlakukan Katty dengan teramat lembut. Setelah membawa Katty ke kamar mandi luas di kamar berdekorasi maskulin dengan membopongnya, Sev merebahkan Katty di tempat tidur dan merengkuhnya dalam pelukannya hingga gadis itu tertidur pulas. Saat pagi menjelang Katty terbangun saat merasakan lehernya diciumi oleh sepasang bibir membara.

“Bangun, pemalas,” bisik Sev di telinga Katty.

Katty menggeliat dan mendekatkan dirinya secara naluri mencari kehangatan dari tubuh Sev. Lelaki itu mengerang. Dan kemesraan itu pun berlanjut. Sangat berbeda dengan gairah meledak-ledak semalam. Pagi itu Sev begitu lembut dan sabar membimbing Katty melalui puncak-puncak gairah yang baru dikenalnya. Sev bisa sangat sabar membiarkan Katty mereguk semua dengan rakus sebelum akhirnya dia memuaskan gairahnya sendiri.

Mereka sarapan seperti biasa di teras yang bermandikan sinar mentari pagi. Dalam euforia bentuk baru hubungan keduanya Katty seperti berjalan di atas awan dan tak sanggup memikirkan satu pun jenis menu pagi itu. Membiarkan Sev menyiapkan segalanya. Dan telur orak-arik, daging asap, dan seteko kopi kental buatan Sev tak sanggup dinikmatinya dengan layak.

“Bajuku tak pernah terlihat seseksi sekarang,” komentar Sev mengomentari Katty yang mengenakan salah satu kemeja sutra milik Sev.

Katty memandang Sev yang hanya mengenakan jeans. Dadanya yang telanjang tampak begitu menggoda. Dan Katty merona mengingat apa yang telah dilakukannya terhadap bulu-bulu gelap di dada lelaki itu. Sev tertawa seolah membaca pikiran Katty.

“Kau berpengaruh buruk bagiku, Sev,” gerutu Katty. “Aku tak tahu apakah hari ini aku akan sanggup melanjutkan pekerjaanku dengan konsentrasi kacau seperti ini,” gerutunya yang disambut oleh gelak tawa Sev.