Thursday, May 26, 2011

Seventh : Flash Back (2)

Masumi sudah berada di kantornya, menekuni tumpukan dokumen yang ditinggalkan Mizuki di mejanya. Masih mengenakan setelan yang kemarin dan belum bercukur. Waktu memang baru menunjukkan pukul 6 pagi. Kecuali petugas security yang dapat giliran shift malam, belum ada satu pun karyawan yang datang. Bahkan petugas kebersihan pun baru akan muncul satu jam lagi. Memang Masumi tiba di kantornya sekitar pukul 3 dinihari, mengagetkan petugas di pintu gerbang. Namun dia hanya perlu membuka kacamata hitamnya, dan petugas pun tergopoh-gopoh membukakan pintu. “Kau tidak melihat apapun,” katanya singkat, yang disambut petugas dengan membungkuk dalam-dalam.

Tadi malam, setelah menunda waktu selama mungkin, akhirnya Masumi mengangkat tubuh Maya yang masih tertidur mengenakan kaosnya, membungkusnya dengan mantel panjang miliknya, dan menggendong gadis itu ke mobil. Setelah membersihkan semua jejak-jejak keberadaan mereka, termasuk membereskan baju-baju kotor mereka berdua, Masumi pun mengendarai mobil pinjaman itu menyusuri jalan-jalan lengang menuju Tokyo. Maya tak terbangun sedikit pun. Pun ketika Masumi yang tak sanggup menahan dirinya, menghentikan mobil di pinggir jalan tol, dan menciumnya dalam-dalam. Namun gadis itu terbangun begitu mereka memasuki kota Tokyo.

“Kau harus masuk ke apartemen itu sendiri, Mungil, seperti gadis baik-baik lainnya. Aku tak mau mengambil resiko terlihat bersamamu, karena bisa jadi apartemenmu sedang diawasi,” bisiknya di telinga Maya.

Gadis itu menggeliat sejenak, sedikit kehilangan orientasi, dan memincingkan matanya yang mengantuk, “Wah, ternyata kita sudah sampai,” serunya menyesal.

Masumi tersenyum lembut. Dia pun sangat menyesal. Namun semua harus berakhir, demi Maya sendiri. Setelah melepas mantel pinjaman dan mengambil barang-barangnya yang disodorkan Masumi, Maya membuka pintu mobil.

“Terimakasih atas kenangan indah ini, Pak Masumi. Selamat tinggal,” katanya pelan, menahan diri untuk tidak menangis.

“Aku juga sangat menikmatinya, Maya, maafkan aku kalau harus berpisah seperti ini. Selamat tinggal.”

Dan disinilah sekarang Masumi berada. Kembali memasang topeng dingin dan tak tersentuh di wajahnya. Kehangatan dan kasih sayangku hanya kuberikan untukmu, Maya, tak akan pernah ada perempuan lagi yang akan kuijinkan untuk menjangkau hatiku. Dengan perpisahan ini maka aku harus mengubur semua masa lalu dan kenanganku bersamamu.

Suara gaduh di luar kantornya menyadarkan Masumi dari lamunannya. Diikuti kemudian dengan pintu yang terbuka. Shiori melangkah cepat masuk diikuti oleh petugas security yang tampak ketakutan. Masumi heran, untuk ukuran orang yang baru sakit, Shiori berjalan sangat cepat.

“Masumi, kamu kemana saja? Semalaman aku hubungi ponselmu tidak aktif. Bahkan sekretarismu pun menolak menyambungkan teleponku ke kantormu?” berondongnya dengan gusar.

Masumi memberikan tanda pada petugas keamanan untuk meninggalkan mereka berdua.

“Di sini, bekerja, seperti yang kau lihat sekarang. Soal telepon, aku matikan semua karea aku sedang tidak mau diganggu,” jawabnya santai.

Shiori menatap Masumi dengan pandangan menyelidik. Baju Masumi kusut , tanpa jas, dasinya tersampir di kursi, sementara lengan kemejanya digulung sampai lengan. Rambut ikalnya tampak berantakan. Bahkan wajahnya pun terlihat masih belum bercukur. Sementara di mejanya bertebaran dokumen-dokumen yang sepertinya sedang diperiksa. Laptopnya juga menyala.

“Kau hanya perlu bilang padaku kalau kau sedang tidak mau diganggu, Masumi. Jangan membuatku cemas!” protes Shiori.

Siapa yang kau cemaskan Shiori? Diriku atau harga dirimu? Batin Masumi sinis. Tapi dia hanya berucap datar, “Maaf, sudah membuatmu cemas. Sekarang bila kau tak keberatan, tolong tinggalkan aku. Masih banyak yang harus kulakukan. Aku ada rapat penting siang ini.”

Merasa tertolak, Shiori berusaha bertahan. “Kau sudah sarapan, Masumi?”

“Tak perlu khawatir. Sebentar lagi sopir akan datang membawa makanan dari rumah. Kerja semalaman bukan hal baru bagi keluargaku, Shiori. Dan kau pun, sebagai orang yang berasal dari keluarga pebisnis, harusnya terbiasa. Bukankah ayahmu juga seringkali tidak pulang selama berhari-hari? Maaf, sekarang kau harus benar-benar pergi.”

Shiori tak berdaya untuk menolak lagi. Apalagi saat dilihatnya Masumi segera memusatkan kembali perhatiannya pada pekerjaannya. Dia pun melangkah meninggalkan ruangan. Hatinya tadi sempat sangat gundah karena semalaman tidak bisa menghubungi Masumi. Apalagi dari mata-mata yang dia kirim ke tempat tinggal Maya mengatakan gadis itu belum pulang hingga larut, padahal latihan di Studio Kids sudah berakhir sejak siang. Tetapi Shiori mendapat info tadi pagi bahwa Maya sering menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menemani pemuda lawan mainnya. Dan tadi pagi, juga menurut informasi, Maya terlihat di apartemennya, sementara mobil Masumi memang terparkir di gedung Daito semalaman. Tapi tetap saja ia ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri kalau Masumi memang masih bekerja. Sisi obsesif dirinya menuntut untuk memastikan semuanya tepat seperti keinginannya. “Bodohnya aku ini, Masumi tak akan berani macam-macam bila dia sudah menggunakan pengaruh kakek untuk menekan ayahnya,” pikirnya. Tapi entah mengapa, perasaannya tetap tidak tenang. Seprtinya nalurinya tetap memberi sinyal bahwa ada yang tidak beres.

Sementara Masumi, sepeninggal Shiori segera membuat catatan untuk Mizuki, meraih jas dan dasinya, dan beranjak keluar. Dia memutuskan pulang sejenak. Dalam perjalanan menuju tempat parkir, dipencetnya sebuah nomor.

“Hijiri,” ucapnya singkat setelah menunggu beberapa saat.

Masumi mendengarkan dengan seksama semua laporan yang disampaikan Hijiri. Untunglah semua berjalan baik. Agaknya Shiori terlalu mengecilkan kemampuan Masumi dalam menciptakan plot, sehingga mata-mata yang dikirim pun adalah amatir, bukan mata-mata resmi yang biasa dipakai keluarga Takamiya. Mereka tak akan ada artinya bila dibandingkan Hijiri, orang yang telah puluhan tahun bekerja dalam bayangan. Masumi merasa sedikit lega. Namun karena keselamatan Maya yang paling utama maka tak sedikitpun dia mengurangi kewaspadaannya. Shiori orang yang sangat tidak stabil. Juga bukan perencana yang hebat. Semua gerak-geriknya hanya didasari rasa marah, cemburu, dan dengki, sehingga tak akan bisa diprediksi apa langkah dia selanjutnya. Terkadang menghadapi seorang amatir jauh lebih sulit dibandingkan professional. Demi Maya, Masumi tak mau main-main. Gadis bodoh itu pasti tak akan menyangka bahwa setiap hari apartemen dan tempat latihannya diawasi. Otaknya yang sederhana pasti tak bisa mencerna keberadaan musuh yang begitu berbahaya.

***

Maya termenung memandangi keheningan malam dari jendela kamarnya. Sudah sebulan berlalu sejak peristiwa di Izu. Namun saat ini bukan Masumi yang memenuhi pikirannya, melainkan Sakurakoji. Pemuda itu semakin hari semakin menunjukkan ketergantungannya kepada Maya. Sesi fisiotherapy terberatnya sudah berlalu. Juga masa kritis dari penyembuhan tulang kakinya sudah lewat. Dokter ahli orthopedi memang mengatakan bahwa Sakurakoji akan kembali normal setelah dua bulan. Namun dalam waktu sebulan dia sudah bisa berjalan asalkan tidak melakukan aktifitas berat. Sekarang Sakurakoji sudah bisa berlatih bersama tim lain di studio, meski tidak bisa full seperti seharusnya. Namun Pak Kuronuma menyatakan dia cukup puas dengan perkembangan akting Maya dan Sakurakoji. Setidaknya dia terbebas dari kewajiban mencari pemain pengganti.

Namun yang membuat Maya gundah adalah kedekatannya dengan Sakurakoji yang membuatnya risih. Di depan publik Sakurakoji memperlakukan Maya seperti kekasihnya. Semula Maya tak begitu peduli karena memang dari dulu dia sudah dekat dengan Sakurakoji. Namun ketika dalam satu wawancara wartawan memojokannya dengan pertanyaan mengenai hubungan mereka berdua, dengan sigap Sakurakoji memberi sinyal bahwa mereka memang sedang dalam tahap lebih dekat.

“Kami bersahabat sejak lama, dan tidak menutup kemungkinan akan berlanjut ke tingkat yang lebih serius. Kami sudah semakin dekat,” begitu jawab Sakurakoji, yang segera disambut pertanyaan-pertanyaan lain oleh wartawan lain yang tak kalah serunya.

Maya yang duduk di sebelah Sakurakoji merasa darah seperti terkuras dari wajahnya. Untunglah Pak Kuronuma yang melihat wajah Maya memucat segera mengambil alih pembicaraan dan segera menutup sesi wawancara dengan alasan para pemain harus istarahat untuk mengumpulkan stamina menghadapi pertunjukan uji coba yang akan diselenggarakan dalam beberapa hari lagi.

“Sudah malam, Maya, kau harus istirahat. Bukankah besok kamu harus gladi resik terakhir sebelum pertunjukan?” tegur Rei yang khawatir dengan kondisi sahabatnya.

“Rei, aku takut tak bisa berakting maksimal. Aku khawatir perasaanku yang campur aduk akan berakibat fatal bagi aktingku. Apalagi bila mengingat sainganku. Ayumi aktris yang sangat handal, Rei. Dia tahu bagaimana memisahkan kehidupan pribadi dan akting. Tapi aku tidak bisa. Di awal-awal latihan aku sampai di skors oleh Pak Kuronuma karena kau kesulitan berakting karena saat itu perasaanku kacau. Dan sekarang perasaanku benar-benar kacau, padahal pentas sebentar lagi.”

“Maya, apa lagi yang mengganggu pikiranmu? Kupikir hubunganmu dengan Sakurakoji baik-baik saja. Aku sempat melihat wawancara kalian di televisi. Apa lagi?”

“Itulah, Rei, karena Sakurakoji memberikan statement yang tidak benar itu aku jadi merasa terbebani. Dia sudah beberapa kali mengatakan ingin jadi kekasihku, tapi aku hanya menganggapnya teman baik. Perasaannya itu membuatku sangat tidak enak. Makanya aku takut nanti akan mempengaruhi aktingku.”

Rei menyimpan keheranannya untuk diri sendiri. Kalau bukan Sakurakoji, lalu siapa laki-laki yang telah membuat Maya sering bengong dan linglung serta sedih secara tiba-tiba? Sejak pementasan Jane Gadis Serigala dulu diakui oleh Rei kalau sahabatnya itu berubah banyak. Lebih parah lagi setelah dia pulang dari kampung halaman Bidadari Merah. Teman-teman lain menduga Maya sedang jatuh cinta, dan seringkali mereka menggodanya tanpa ampun. Tapi kalau dari pengakuan gadis itu barusan, ternyata pemuda yang jadi lawan mainnya itu bukanlah laki-laki yang dicintainya. Lalu siapa?

“Maya, aku tahu kalau kau ini benar-benar baru dalam masalah laki-laki. Kau sering tidak bisa mengendalikan emosimu sehingga mempengaruhi aktingmu. Namun demi kebaikanmu sendiri, sudah saatnya kamu tumbuh dewasa, Maya. Meski kau ini gadis yang bodoh, suka merepotkan, serta tidak bisa diandalkan, namun di atas panggung kau selalu mampu menjadi orang lain. Kenapa kau pikir Ayumi sampai menganggapmu sebagai satu-satunya saingan yang layak diperhitungkan bila kau tidak memiliki bakat dan kecintaan terhadap akting yang membuatmu menjadi seperti ini? Kenapa kau pikir Mawar Jingga akan mengagumimu sedemikian rupa, menyekolahkanmu, memperbaiki gedung pertunjukanmu, hingga membiayai pengobatan Bu Mayuko, kalau dianggapnya kau tidak cukup berharga untuk dikagumi? Maya, apapun masalah yang sedang kau hadapi, tetaplah fokus pada cita-citamu, pada mimpimu. Kau tentu tak ingin kan kalau semua mimpimu akan berakhir? Demi kau sendiri, juga demi fans yang telah begitu memujamu.”

Memikirkan Mawar Jingga, Maya kembali merasa sedih. Kenangan di Izu hanya akan tinggal kenangan. Lelaki itu akan menjadi milik wanita lain, bahkan sebelum Maya sempat mengutarakan perasaannya sebenarnya. Maya masih sering kali bertemu dengan Masumi Hayami dalam beberapa acara yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian, namun lelaki itu telah kembali seperti dulu, jauh, berjarak, dan begitu dingin. Bahkan senyumnya pun tak pernah diberikan kepada Maya. Lelaki hangat dan menyenangkan yang ada di Izu dulu seolah tak pernah ada. Selain itu di sebelahnya selalu ada Shiori Takamiya, yang menemaninya kemanapun Masumi Hayami pergi, menjadi pasangan paling berkilau di dunia selebritis Jepang, meninggalkan Maya dalam bayang-bayang gelap hatinya yang hancur lebur. Seiring dengan itu Mawar Jingga pun tak pernah mengiriminya bunga lagi. Mungkin inilah akhir dari semua kisahnya dengan Mawar Jingga, pikirnya pilu.

Namun Rei benar. Maya, demi kebaikannya sendiri harus bersikap dewasa, apapun masalahnya, di atas panggung dia harus meninggalkan semuanya dan menjelma menjadi orang yang diperankannya. Maya sudah berjuang begitu lama dan begitu keras. Dia tak boleh membuang semua itu. Bu Mayuko telah memberinya kepercayaan untuk memerankan tokoh agung itu. Teman-temannya semua yang selalu menemani dan mendukungnya. Juga Mawar Jingga, meski dia tak pernah muncul lagi, namun Maya yakin bahwa dari jauh dia masih mengawasinya.

***

Kepada semua pembaca yang setia, mohon maaf, sebelumnya saya beritahu bahwa untuk adegan pementasan Bidadari Merah, sengaja tidak akan saya tampilkan karenaKemampuan menulis saya yang pas-pasan takut merusak keindahan cerita aslinya.
Jadi karena alasan tersebut, maka cerita akan saya lewati hingga akhir dari pementasan Bidadari Merah.
Demikian pemberitahuan saya, harap maklum.


***

Hujan rintik-rintik menyirami lembah plum. Bumi seolah ikut menangisi kepergian artis besar Mayuko Chigusa untuk selamanya. Dan di sini, dimakamkan di sebelah makam lelaki yang dicintainya, Ichiren Izaki, semoga Bu Mayuko akan beristirahat dengan tenang dan bahagia. Kematiannya memang sudah diprediksi dokter sebelumnya. Penyakit jantung yang dideritanya sekian lama membuatnya sangat lemah. Hanya semangat hidup yang menyala-nyala sajalah yang membuatnya tetap bertahan selama ini, semangat untuk meninggalkan warisan Bidadari Merah kepada aktris yang dipilih dan dididiknya sendiri. Maya Kitajima.

Sejak pementasan uji coba itu memang sudah tampak bahwa Maya lah yang akan menang melawan saingan terberatnya Ayumi Himekawa. Akting Ayumi memang tak bercela. Keterampilan dan teknik tingkat tinggi hasil latihan bertahun-tahun yang diterimanya, ditunjang oleh kemolekan tubuh dan wajahnya, membuat Ayumi tampil bak seorang bidadari. Namun Maya memiliki kelebihan yang tak dimiliki Ayumi. Akting Maya memang polos, namun menguarkan kepribadian yang sangat kuat yang membawa penonton untuk tertawa gembira bersama, menikmati keceriaan Akoya yang lugu, membawa mereka melayang merasakan saat Akoya jatuh cinta, hingga membuat emosi terkuras habis saat harus putus cinta. Keagungan Maya yang memerankan Bidadari Merah tidak hanya sekedar bidadari, tetapi lebih pada keagungan seorang dewi. Tak bisa disangkal lagi, bakat luar biasa dalam diri Maya akhirnya tertuang semua di atas panggung. Membawa penonton bertualang ke dunia bidadari yang agung, keagungan yang hanya dimiliki seorang aktris besar. Bahkan Bu Mayuko sendiri sampai menitikkan air mata. Tidak sia-sia dia memilih dan mendidik Maya sekeras itu. Bakat luar biasa dan kecintaan terhadap terhadap akting telah membuat Maya mampu melakonkan karya agung Bidadari Merah dengan sangat berjiwa. Saat itu bahkan meninggal pun Bu Mayuko tak akan menyesal karena akan meninggalkan warisannya di tangan yang tepat.

Dan gadis pemeran Bidadari Merah yang agung itu kini sedang menangis pilu dipelukan sahabatnya, Rei. Kehilangan Bu Mayuko hampir seperti kehilangan ibu untuk kedua kalinya bagi Maya. Dia merasa sangat sendiri, kecuali kehadiran teman-temannya dari Teater Mayuko dan Ikkakuju. Namun tanpa pembimbing, sanggupkah dia meneruskan karier keartisannya? Meski hak pementasan Bidadari Merah sudah diraihnya, namun apakah dia akan bisa bertahan dan menapaki jalannya sebagai seorang artis? Bu Mayuko, kenapa kau tinggalkan aku? Masih banyak yang harus aku pelajari dari Ibu, aku belum bisa sepenuhnya menjadi artis, jerit batin Maya di antara isak tangisnya.

Sementara agak jauh dari kerumunan, di belakang rombongan dari Dewan Kesenian, Masumi Hayami berdiri dengan wajah yang teramat dingin. Ditatapnya sekilas gadis pujaannya dari kejauhan. Jarak kita memang hanya beberapa puluh meter, Maya, namun kenapa jarak itu terasa sangat jauh? Bahkan memeluk untuk menghibur hatimu pun aku tak sanggup, batinnya pilu.

Sore sebelumnya Ketua Dewan Kesenian mendatangi kantor Masumi. Mengabarkan wasiat Bu Mayuko sebelum meninggal. Sepertinya Bu Mayuko yang sangat menyadari bahwa ajalnya sudah dekat itu ingin memastikan semuanya baik-baik saja.

“Bu Mayuko masih mengkhawatirkan keselamatan hak pementasan itu di tangan Nona Kitajima, karena seperti kita tahu gadis itu sangat polos dan lugu, kalau tidak bisa dikatakan sedikit bodoh dan naif. Makanya Bu Mayuko meminta Dewan Kesenian untuk membantu mengawasinya hingga Nona Kitajima telah siap menjadi seorang aktris yang handal dan tangguh,” ucap lelaki tua yang terkenal sangat bijak itu.

Masumi mendengarkan dengan tenang, berusaha memahami arah pembicaraan.

“Maka kami, Dewan Kesenian memutuskan bahwa orang yang paling tepat untuk melindungi Nona Kitajima dan hak pementasan itu adalah Anda, Masumi Hayami. Tentunya bukan tanpa alasan kalau kami memutuskan demikian. Sekian lama kami telah mengetahui sepak terjang Anda dalam mewujudkan kembali pementasan Bidadari Merah. Bahkan Anda juga berusaha keras untuk memastikan baik Bu Mayuko maupun Nona Kitajima mendapatkan semua keinginannya. Maka dari itu, orang yang paling layak dengan wasiat itu adalah Anda. Kami yakin Anda akan sanggup melindungi baik Nona Kitajima maupun warisannya dari perebutan yang kami yakin tak lama lagi akan terjadi. Bahkan kami juga yakin Anda akan sanggup melindungi hak pementasan itu dari ayah Anda, Eisuke Hayami, yang seperti kita tahu, sangat berambisi memilikinya.”

Sekarang, sambil menatap gadis mungil yang sedang menangis di antara kerumunan teman-temannya itu, Masumi berpikir keras. Maya, apa lagi yang harus aku lakukan untuk melindungimu? Waktunya begitu pendek karena seperti kesepakatan yang telah diambil antara keluarga Takamiya dan Hayami, dia harus segera melangsungkan pernikahannya bulan depan. Semua persiapan telah dilakukan. Gedung dan daftar undangan pun sudah pula disiapkan. Shiori tampak bersemangat mengurusi semuanya. Sementara Masumi sebisa mungkin berusaha menghindar dengan alasan pekerjaan yang semakin menumpuk sering memaksanya bekerja lembur atau berhari-hari ke luar kota. Masumi bukannya tidak menyadari bahwa setiap pagi, menatap cermin di kamar mandinya, wajahnya semakin tirus dan kaku. Dulu Masumi ditakuti para bawahannya karena sikapnya yang dingin dan tak berperasaan. Sekarang terlebih lagi, bahkan Mizuki pun menghindar berada dalam satu lift dengannya bila tidak karena terpaksa.

Dua minggu setelah pemakaman, Maya diundang untuk datang ke kantor Dewan Kesenian. Maya masih belum memahami apa tujuan undangan itu. Maka Rei pun berbaik hati mendampingi Maya karena tahu gadis itu sedang sangat terguncang, demi menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Rei dan teman-teman lain menganggap Maya belum bisa sepenuhnya pulih dari rasa kehilangan Bu Mayuko. Namun lebih dari itu, Maya telah kehilangan banyak. Bu Mayuko sudah pergi, Koji pun terpaksa dihindarinya karena Maya tidak mau memberi harapan palsu kepada pemuda baik hati itu, meski kadang dia masih merindukan persahabatan mereka.

Namun tak ada yang mengetahui bahwa perpisahannya dengan Masumi Hayami - Mawar Jingga, adalah hal yang lebih mengguncang jiwanya. Bibit cinta yang baru muncul itu terpaksa harus dibunuh dengan kejam. Sesering apapun Maya menangis, namun kenyataan harus tetap dihadapi. Masumi Hayami bukan miliknya. Pedih hatinya setiap kali membaca berita-berita di surat kabar tentang rencana pernikahan Masumi dan Shiori yang akan diselenggarakan bulan depan. Maya sadar bahwa dirinya tak bisa lagi menipu diri dengan berharap suatu saat Masumi akan menyadari dan membalas perasaannya. Lelaki itu sudah teramat jauh di luar jangkauannya. Bahkan saat pementasan Bidadari Merah, bukan buket mawar jingga yang diterimanya, melainkan kans bunga yang sangat besar di lobby gedung bertuliskan ucapan selamat dari Daito. Maya menguatkan hati untuk tidak kecewa. Kenyataan bahwa Masumi berada di barisan penonton lah yang memberi Maya semangat. Melalui akting, Maya berusaha menyampaikan perasannya yang paling dalam, tentang cintanya, harapannya, kegembiraan dan kesedihannya.

Ketua Dewan Kesenian sendiri yang menemui Maya dan Rei di hari kedatangan mereka. Lelaki tua itu tersenyum maklum melihat sinar kebingungan di mata kedua gadis itu.
Setelah beberapa orang anggota Dewan Kesenian lain hadir barulah pembicaraan dimulai.

“Sebelumnya kami mohon maaf bila undangan ini mengejutkan Nona Kitajima dan Nona Aoki. Namun ini terkait dengan masa depan Nona Kitajima sebagai pemegang hak pementasan Bidadari Merah. Sebelum berpulang, mendiang Bu Mayuko berwasiat untuk menjaga Nona Kitajima dari hal-hal yang sama-sama tidak kita inginkan, apalagi terkait dengan hak yang sekarang dimilikinya. Dan kami baru saja mengetahui bahwa ternyata Nona Kitajima memiliki fans berat yaitu yang selama ini Nona kenal sebagai Mawar Jingga.”

Maya terkejut mendengar Ketua Dewan menyebut Mawar Jingga.

“Nona Kitajima, Tuan Mawar Jingga sudah sangat berbaik hati untuk memberikan beasiswa kepada Nona untuk mengambil pendidikan di London Inggris selama kurang lebih tiga tahun. Tujuannya adalah selain agar Nona Kitajima mendapatkan pendidikan akting terbaik, Nona juga akan belajar untuk mendalami seluk beluk dunia artis dan bisnis di dalamnya. Karena satu dan lain hal tuan yang bersangkutan memang tidak bisa menyampaikan secara langsung niat baiknya ini. Maka ditunjuklah Dewan Kesenian sebagai perantara dan penyampai beasiswa ini. Di hadapan publik, Nona akan diberitakan menerima bea siswa dari Dewan Kesenian, meski semua pembiayaan akan ditanggung oleh fans tadi.”

“Tapi saya belum pernah sekalipun ke luar negeri. Selain itu saya juga tidak bisa berbahasa Inggris,” jawab Maya khawatir.

“Tak perlu khawatir. Waktu pendidikan Anda tersebut sudah termasuk masa persiapan, termasuk kursus bahasa di London, sebelum Anda memasuki akademi seni di sana. Bahkan telah diatur pula agar Nona Aoki akan menemani Anda selama seminggu mungkin, hingga akhirnya Anda akan terbiasa sendiri di sana. Tentunya bila Nona Aoki bersedia. Bila tidak, akan dicari orang lain yang akan mendampingi sementara Nona Kitajima di London.”

Tentu saja Rei akan dengan senang hati menerima tawaran itu meski Maya tahu dia harus membatalkan sebuah pertunjukannya di teater bawah tanah.

Hanya saja Maya tidak bisa memahami, kenapa Masumi Hayami melakukannya dengan terselubung? Dia menyamar sebagai Mawar Jingga sudah cukup menipu, kenapa dia harus melalui Dewan Kesenian juga? Apakah dia sedang dalam masalah? Maya sebetulnya sangat ingin menggali informasi itu. Namun hal itu akan sangat sulit dan juga sia-sia. Apakah Masumi ingin Maya sudah pergi dari Jepang saat pernikahannya berlangsung? Ataukah dia tak mau Maya hadir dalam acara itu? Tentunya akan tampak sangat aneh bila dia tidak mengundangnya dalam pernikahannya, bagaimanapun semua orang telah tahu bahwa Masumi dan Maya telah saling kenal cukup lama. Namun hadir dalam acara tersebut justru akan sangat menyakitkan bagi Maya. Pak Masumi, apakah kau ingin melindungiku dari rasa sakit hati yang pasti akan kurasakan melihatmu bersanding dengan wanita lain? Kau pasti sangat mengenalku hingga tahu aku pasti tak akan sanggup melewatinya. Kalau memang itu maumu, aku akan dengan senang hati pergi dari Jepang, batinnya pilu.

Saat keberangkatannya ke luar negeri. Maya dan Rei di antar oleh para anggota Dewan Kesenian di bandara. Mereka mengadakan jumpa pers sebentar sebelum memasuki terminal keberangkatan. Bahkan kehadiran para wartawan dan sorot kamera tak menghalangi Maya untuk menitikkan air mata sedih ketika Ketua Dewan menyalaminya dan mengucapkan kata-kata perpisahan. Sedih karena harus meninggalkan tanah air ke negeri yang jauh dan tidak dikenalnya. Namun yang lebih menyedihkan adalah lelaki yang paling ingin ditemuinya, Masumi, tidak menghubunginya sama sekali. Padahal Maya ingin sekali bertemu untuk terakhir kali sebelum dia pergi. Namun sedikitpun tak ada kabar berita darinya. Bahkan semua persiapan dilakukan oleh petugas yang ditunjuk Dewan Kesenian. Ah, mungkin lebih baik begini, keluhnya sedih. Dan akhirnya, merasa harapannya untuk melihat terakhir kalinya lelaki pujaan hati yang tak juga tiba, Maya dan Rei memasuki pintu keberangkatan dan melambaikan tangan kepada para pengantar, meski air mata berderai di pipinya. Rei hanya merangkul dan membimbing sahabatnya itu pergi.

Jauh dari keremunan, tersembunyi di belakang sebuah pilar, Masumi Hayami, dengan mengenakan kaca mata hitam melihat gadis yang dicintainya itu pergi. Maafkan aku, Mungil, karena harus begini. Karena inilah satu-satunya cara agar aku bisa melindungimu. Kemudian dia berbalik dan melangkah cepat meninggalkan bandara menuju pelataran parkir, tempat mobilnya berada. Hatinya yang sudah hancur lebur dan berdarah-darah terasa sangat sakit. Inilah akhir dari episode hidupnya, selanjutnya dia akan melalui episode yang sangat gelap di depannya. Masumi sangat menyadari bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Dan dia telah memutuskan bahwa jalan hidup yang dipilihnya akan sangat pahit dan getir, dan juga tak akan ada jalan kembali. Saat ini seraya mengendarai mobilnya menyusuri jalan tol ramai menuju Tokyo, untuk pertama kali sejak kematian ibunya, Masumi menangis.

Monday, May 23, 2011

Marriage By Arrangement (2)

“Mungkin kau menganggapku bercanda, Caro, tetapi aku sangat serius,” James menatapnya lekat-lekat dan membuat Caro salah tingkah.

“Tapi aku bukan gadis seperti yang selama ini kau bayangkan, James. Aku bukanlah tipe ibu rumah tangga ideal yang merasa cukup dengan hanya menjadi pendamping suami, menjadi komite di gereja, aktif di badan amal, menghabiskan waktu dengan berbelanja dan bermain bridge, serta menghadiri pesta-pesta kelas atas. Aku tak akan puas dengan itu. Aku pasti ingin lebih.”

“Bukankah apa yang kutawarkan lebih baik dari keadaanmu sekarang?”

“Siapa bilang lebih baik? Sadarkah kau bahwa memang inilah yang kehidupan kupilih, untuk saat ini paling tidak. Aku memang menginginkan beberapa hal yang sekarang tak kumiliki, tapi aku cukup yakin bahwa hal-hal yang kuinginkan sama sekali tak ada dalam daftar yang kautawarkan.”

James tertawa. Sama sekali tak disangkanya si mungil Caro ternyata begitu keras kepala. Dan terus terang hal itu membuatnya penasaran setengah mati.

“Tetapi kita bisa berteman baik kan?”

Caro membelalakkan mata indahnya yang berwarna hijau. “Tentu saja kita berteman baik, tapi tidak ada yang istimewa. Kita hanya bertemu selama di rumah sakit, sesekali saling menyapa, pembicaraan yang kita lakukan hanyalah sebatas kau memberi perintah kepadaku untuk melakukan beberapa hal yang berkaitan dengan pasien. Kita bahkan tidak bergaul dalam lingkungan yang sama.”

“Apakah kau tidak menyukaiku?”

“Aku menghormatimu sebagai atasan. Tapi aku tidak punya cukup alasan untuk menyukaimu,” jawab Caro gamblang. “Kau sering marah-marah tanpa alasan, kau selalu sibuk hingga tak pernah meluangkan waktu dengan orang-orang di sekitarmu di rumah sakit, bahkan aku yakin bahwa ketika kau akan mengoperasi seseorang, kau hanya akan membaca riwayat medisnya, sama sekali tidak peduli dengan latar belakangnya, dan mungkin kau bahkan tak peduli dengan nama pasienmu.”

James terbelalak dengan keterus-terangan Caro. “Wow, luar biasa sekali analisamu terhadap kepribadianku, Caro.”

“Katakan Professor, apakah apa yang kukatakan barusan akan membuatmu menggunakan pengaruhmu untuk memecatku?”

James langsung tertawa terbahak-bahak. Caro menatapnya dengan heran. Dasar sinting, pikirnya.

“Sudah hampir waktunya makan siang, apakah kau mau mengundangku makan siang?. Terus terang aku lapar sekali,” kata James tanpa disangka-sangka.

Caro memikirkan sebuah menu. “Oke, kalau kau tidak keberatan memakan makanan yang simple.”

“Apapun jadi. Aku akan membantumu.”

Caro beranjak ke dapur diikuti oleh James. Dikeluarkannya beberapa kaleng sup. Sementara memanaskan sup Caro menyiapkan macaroni cheese. Sementara Caro menyiapkan makanan James menata meja. Mengambil perabot dari lemari seolah dia telah melakukannya setiap hari. Ketika James meraih beberapa gelas wine, Caro mencegahnya.

“Aku tidak punya persediaan minuman alkohol sama sekali.”

“Bir kaleng pun tidak ada?”

“Sayangnya tidak,” gadis itu menggeleng. “Pilihanmu hanya terbatas pada orange squash dan air mineral.”

James meyakinkan Caro bahwa orange squashlah minuman yang paling tepat untuk pendamping apapun yang dimasaknya siang ini. Saat mereka makan berdua di ruang makan Caro yang sederhana James menikmati semua hidangan dan membuat puas siapapun yang memasaknya. Mereka berbincang santai tentang ini dan itu, hingga tanpa Caro sadari dia sudah menjawab begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan lelaki itu secara halus. James juga membantu mencuci perkakas bekas makan, tanpa canggung dia menyambar celemek dan mengikatnya di pinggangnya sementara Caro mengeringkan dan menatanya di tatakan. Caro berfikir mungkin James akan segera pulang. Tetapi nyatanya lelaki itu malah menyarankan mereka kembali ke ruang duduk. Caro menatapnya dengan pandangan tak setuju.

“Ayolah, Caro, ini hari liburku juga, berbaik-hatilah untuk sedikit menghiburku,” bujuk James.

“James, kau bertingkah absurd! Kau tahu kan bahwa kau tidak bisa begitu saja masuk ke sini dan bertingkah seolah kita sudah mengenal baik dalam waktu cukup lama? Anda melanggar wilayah pribadi saya, Professor!” suara Caro berapi-api.

“Caro, ketika aku menawarimu sebuah pernikahan, aku serius, sangat serius. Dan sekarang wajar kan kalau aku berusaha mengenal calon istriku?”

“James!” seru Caro frustrasi.

“Dengarkan aku, Caro, aku sama sekali tak berniat mendengar kata penolakan. Kalau kau menunda jawabanmu, baiklah, aku akan terima. Kalau kau ingin kita saling mengenal, baik, mari kita lakukan. Kau perlu berapa kali kencan, aku akan turuti. Bila kau menolak aku berada di wilayah pribadimu, maka pilihan yang tersisa adalah kau ke rumahku, karena aku sangat ingin kau mengenal aku. Paham? Nah, sekarang jadilah gadis yang manis, mari kita keluar.”

Caro mempertanyakan kewarasannya ketika dia akhirnya berada di mobil James yang canggih, hangat dilingkupi kemewahan, dan segera memutuskan bahwa dia menikmati kenyamanan itu.

“Kau cukup hangat?” tanya James, mengemudikan mobilnya meninggalkan area apartemen Caro.

“Hm... terus terang, pengalamanku dengan mobil mewah bisa dibilang tidak ada, tapi bila kenyamanan seperti ini yang diberikan oleh mobil-mobil mahal ini, ya, aku menikmatinya, jawab Caro yang disambut ledakan tawa Professor.

“Caro, aku sama sekali tak tahu bahwa penampilanmu di rumah sakit telah begitu menipu. Gadis yang aku pikir pendiam, efisien dan cekatan, tak banyak menonjolkan diri, patuh terhadap aturan, dan bahkan bisa dibilang selalu menghindari konflik, ternyata di rumah adalah seorang yang begitu berbeda.”

Caro menyipitkan mata, manatap lelaki di sampingnya. Entah apa yang membuatnya melepas semua topeng yang selama ini dikenakannya. Caro selalu menyanjung dirinya sebagai gadis berakal sehat yang selalu bida mengendalikan diri. Namun hari ini James sudah berhasil memancing sisi lain dirinya yang berlidah tajam. “Kau pun bukan pribadi yang cukup menyenangkan, James.”

“Oh ya?”

“Selalu marah-marah, penuntut, perfeksionis yang membuat semua dokter muda ketakutan bila harus bekerja denganmu. Untungnya aku hanya beberapa kali saja terlibat secara tak sengaja di timmu. Untuk sekarang aku lebih menyukai posku di ruang gawat darurat. Aku tak berminat mengambil spesialisasi serumit spesialisasimu. Aku khawatir, bila aku mengikuti jejakmu, aku akan menjadi sama meyeramkan sepertimu. Namun tak ada yang menyangkau kalau kau pun bisa tertawa seperti hari ini. Kau tampak manusiawi.”

“Begitukah pandanganmu, Caro? Sepertinya aku harus berusaha keras untuk menjadi orang yang lebih menyenangkan seperti yang kau harapkan.”

“Tak perlu. Aku tak pernah menuntut orang berubah hanya demi kepentinganku. Hubungan kita tak akan kemana-mana, James, kita dua orang yang sangat berbeda. Saat kau mengatakan bahwa aku orang yang logis, tidak tertipu dengan segala omong kosong tentang romantisme, memang benar. Karena aku berpikir logis, maka aku menolak tawaranmu, maaf sekali. Aku mengharapkan lebih dari sebuah pernikahan, atau tidak usah menikah sama sekali. Kau salah bila menganggap pernikahan adalah sebuah pekerjaan, sehingga kau tak perlu mengenal orang dengan siapa kamu menikah, seperti ketika kau melamar pekerjaan. Karena bila aku menikah, maka aku harus mengenal dengan baik dengan siapa aku menikah, serta aku harus mendapatkan jaminan keamanan bagi diriku sendiri, setidaknya aku akan terhindar dari segala sakit hati bila akhirnya pernikahan tidak berjalan semestinya. Maaf, sepertinya pandangan kita berbeda. Jadi sebelum terjadi apa-apa, lebih baik ide gila ini kita singkirkan jauh-jauh.”

“Demi Tuhan, Caro, untuk seorang yang pendiam, kau bicara cukup banyak. Dan kaupun berpikir terlalu jauh. Bagaimana bila kita nikmati saja hari ini, tanpa memikirkan ide itu sama sekali? Terus terang aku sedang butuh sekali ditemani, dan mengenalmu hari ini, kau ternyata teman yang benar-benar kubutuhkan saat ini.”

Mereka menuju ke kawasan elit Mayfair, dimana deretan rumah berarsitektur mahal seolah menunjukkan kelas pemiliknya. Sama sekali tak mengesankan kota London yang sibuk dan bising. Bangunan mewah dan elegan saling berjejer menawarkan kenyamanan kelas atas yang berkesan mengintimidasi. Ketika akhirnya mereka berhenti di depan sebuah bangunan tiga laintai, dengan balkon yang berpagar besi tempa hitam dan berhalaman lumayan luas yang diisi taman yang terawat baik, Caro kian yakin bahwa James hidup di negeri dongeng yang sama sekali tak terjamah oleh realitas kehidupan keras yang harus dijalani gadis itu. Mereka tidak akan imbang.

“Rumahmu bagus sekali,” pujinya sambil membuka sabuk pengamannya, gerakan yang tak perlu karena James telah dengan sigap membukakan untuknya. Saat Caro akan bangkit, James memberinya tanda untuk diam di tempat. Dengan bingung Caro menurut. James keluar, memutari mobilnya, dan membukakan pintu untuknya. Baiklah, kalau dia memang ingin memperlakukan teman perempuan seperti dari jaman kuno, silakan saja, pikirnya masam.

Mereka disambut oleh seorang laki-laki setengah baya yang berpenampilan rapi dan licin layaknya seorang kepala pelayan.

“Kenalkan, Knotty, dia dan istrinya yang mengurusku dengan baik sekali. Knotty, ini Nona Trent, dari Rumah Sakit St. Agnes.”

“Selamat siang, Nona, senang bertemu Anda,” Knotty membungkuk.

Namun Caro segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Panggil aku Caro, oke? Senang juga bertemu Anda.”

Dari dalam rumah terdengar salak anjing, hingga muncul labrador jantan berwana keemasan yang dengan riang menyambut tuannya.

“Kuharap kau suka anjing, Caro. Ini Jason, aku telah memilikinya selama beberapa tahun.”

“Dia jinak?” tanya Caro.

“Iya, dia tahu kepada siapa dia harus galak dan kepada siapa dia bermanja-manja.”

“Halo, Jason,” Caro mengelus kepalanya. Melihat Jason tak keberatan, Caro pun menggaruk belakang telinganya dan akhirnya dengan sayang memeluknya. “Kau tampan sekali.”

Diiringi Jason, James membimbing Caro ke ruangan terbuka yang menghadap ke taman belakang. Ada sebuah kolam renang dan taman yang di musim panas pasti akan sangat indah. Saat ini bereka cukup puas berada di dalam ruangan yang berfurniture indah dan mahal. Seorang perempuan setengah baya dengan wajah bulat dan senyum ramah keluar menyajikan seteko kopi dan beberapa makanan kecil yang menggoda selera.

“Halo,” salam Caro ramah.

“Saya Hannah, istri Knotty. Anda sudah bertemu suami saya tadi.”

“Ya, terimakasih untuk makanannya. Sepertinya sangat enak.”

“Terimakasih, saya senang bila Nona menyukainya.”

James menuang minuman ke cangkir dan memberikannya kepada Caro.

“Sepertinya kau begitu dimanjakan oleh para pegawaimu,” komentarnya sambil lalu.

James tertawa. “Bagaimana? Kau suka rumahku?”

“Sulit untuk membenci bangunan seindah ini.”

Mereka berbincang sejenak membicarakan hal-hal umum. Kemudian James mengajaknya melakukan tur singkat berkeliling rumah. Tampak sekali bahwa furniturenya dipilih dengan ahli dan penuh cita rasa. Namun Caro merasakan sedikit kekosongan karena bagaimanapun interior rumah ini ditata professional tapi tidak hangat karena seolah tidak berjiwa.

“Bagaimana? Kau suka dengan apa yang kau lihat?” tanya James ketika mereka kembali ke ruang duduk.

“Kalau aku diberi pilihan, aku akan memilih sesuatu yang lebih bersifat kekeluargaan. Aku tidak mencela isi rumahmu, kenyataannya ini pasti telah dirancang oleh professional dengan cita rasa nomor satu. Namun kalau aku pasti akan menunggu beberapa waktu untuk mulai mengisi rumahku. Aku perlu beberapa waktu untuk mengenali pencahayaan, kenyamanan, dan juga suasana yang tepat untuk ruangan-ruangan dalam rumah. Dan kemudian aku akan berburu barang-barang obral, pergi ke pelelangan untuk sebuah sofa, lampu antik, hingga lukisan. Aku menikmati proses itu. Sangat menyenangkan. Dan hasilnya pun pasti akan sangat memuaskan.”

James mengamati Caro yang berbicara seperti sedang bermimpi. Matanya berwarna hijau nampak berbinar-binar. Sekilas James merasa bahwa gadis sederhana ini ternyata menarik. Sisa hari itu mereka berbincang akrab tentang berbagai hal. Hingga Hannah menyajikan makan malam. Hidangan lezat berupa cockatil udang sebagai hidangan pembuka, sayatan daging domba dan kacang polong yang disajikan dengan saus mint, serta salad buah dengan krim sebagai penutup. Caro membayangkan hidangan sederhana siang tadi yang mereka makan berdua, dan sedikit merasa malu hingga wajahnya bersemu merah. James, seolah bisa membaca pikirannya hanya mengedipkan matanya sambil tertawa.

James menuangkan segelas sherry untuknya, serta anggur putih untuk dirinya sendiri. Setelah menghabiskan sepoci kopi, Caro pun merasa sudah waktunya berpamitan. Dia menyempatkan diri ke dapur untuk mengucapkan terima kasih atas hidangan lezat itu kepada Hannah. James mengemudikan mobilnya dengan tenang, sementara di sebelahnya Caro dengan mata mengantuk membelai kepala Jason yang berada di antara mereka berdua.Tiba di apartemen Caro James mengikutinya sampai ke depan pintu, meminta kunci, membukakan pintu untuk Caro serta menyalakan lampu.

“Selamat malam, Caro, aku menikmati hari ini.”

Caro mendongak menatapnya. “Terima kasih. Selamat malam, James.”

Caro membelalakkan mata ketika tiba-tiba James mencium pipinya lembut, sebelum menghilang berbalik ke koridor dan menghilang masuk lift.

Tuesday, May 17, 2011

Marriage By Arrangement (1)

Pernikahan adalah sebuah pekerjaan. Paling tidak begitulah yang tertangkap dalam benak Caro ketika senior yang juga atasannya menawarkan “jabatan” itu kepadanya.

“Anggap saja itu sebuah pekerjaan, Caroline, mengingat kau orang yang sangat giat bekerja,” kata Professor Willis datar.

Caroline Trent selalu menganggap dirinya perempuan dengan akal sehat. Namun tak urung dia membelalakkan matanya. “Maaf, Professor?”

“Aku tak perlu mengulang lagi apa yang telah kukatakan, Caroline,” Professor Willis menghirup kopinya tenang, seolah pembicaraan yang mereka lakukan adalah obrolan ringan tentang cuaca, dan bukan topik sensitif tentang pernikahan.

Caro terdiam, mencerna semua yang baru saja mereka bicarakan. Tadi memang Professor Willis memasuki ruangannya tepat sebelum dia istirahat makan siang. Tanpa basa-basi lelaki itu langsung menghampirinya dan berbicara langsung kepadanya. “Ambil mantelmu, Caroline, kita makan fish and Chips di kedai seberang jalan.”

Caro yang sudah biasa bekerja bersama Professor Willis mengikuti perintah dengan patuh. Menyambar mantelnya dari balik pintu dan mengikuti langkah-langkah lebar lelaki itu keluar dari rumah sakit. Security yang bertugas di gerbang masuk mengangguk memberi salam pada keduanya. Caro sampai tepat di sebelah Professor Willis ketika lelaki itu menghentikan langkahnya menunggu lampu merah untuk menyeberang jalan.

“Bila Anda sudah terlalu lapar, harusnya tak perlu repot mengajak saya, Professor. Anda bisa pergi sendiri tanpa harus menunggu saya. Anda pasti tahu kaki saya tidak sepanjang kaki Anda,” gerutu Caro.

“Jangan mengoceh, Caroline,” dan Professor Willis menarik tangan Caroline, menggandengnya menyebrangi jalan raya London yang sibuk dan padat pada jam makan siang.

Kedai sederhana itu ramai sekali. Caro bisa menemukan beberapa koleganya berada di sana. Juga beberapa perawat yang duduk bergerombol pada satu meja. Pada mereka Caro cuma melambai dan tersenyum ramah, sampai akhirnya Prof menemukan sebuah meja kosong untuk dua orang tepat di tengah ruangan, melambai ke arah pelayan meminta sepoci kopi dan menyampaikan pesananan bagi mereka berdua.

Kopi yang kental dan mengepul itu menguarkan harum yang seakan bisa melenyapkan segala bau rumah sakit. Caro menghirup kopinya dengan nikmat.

“Caroline, maukah kau menikah denganku?” tanya Professor tiba-tiba. Dengan nada yang sama dengan orang menanyakan warna sepatu yang dikenakannya.

Pada wajah Caro yang terkejut setengah mati, dia berkata ,”Jangan menjawab sekarang, Caroline. Aku anggap kita akan memiliki pernikahan yang sukses dan bahagia. Aku membutuhkan seorang istri yang bisa mengelola rumah tanggaku, namun di lain sisi aku tak mau kehidupan pribadiku maupun pekerjaanku terganggu. Sebagai imbalan kau akan mendapatkan rumah yang layak, kehidupan yang lumayan, dan kau bisa bergabung di klinik pribadiku, menjalani hidup dengan santai tanpa harus dikejar-kejar jadwal rumah sakit yang tidak manusiawi. Kupikir hal ini akan sangat menguntungkan bagi kita berdua.”

Caro mengedip-kedipkan matanya bingung. “Professor, Anda menganggap pernikahan seperti pekerjaan,” potongnya cepat.

“Bukankah memang seperti itu? Pernikahan yang kutawarkan adalah berupa legalitas agar kita bisa hidup dalam satu rumah, murni platonik, dengan tambahan tugas untukmu menjadi pendampingku untuk berbagai acara yang sering harus kuhadiri yang membutuhkan kehadiran seorang istri, mengatur rumah tangga, namun kau juga masih memiliki karir. Sebagai imbalan, aku akan memberimu kehidupan yang layak. Keuanganku sangat baik, kau tahu? Kupikir aku akan bisa mencukupi semua kebutuhanmu akan pakaian, makanan, dan gaya hidup kelas atas. Namun jangan katakan kau terikat pada pekerjaanmu, Caroline, karena aku tahu bahwa kau benci pekerjaan di rumah sakit, dan ingin sekali menjadi dokter umum di desa atau di tempat yang lebih tenang. Aku bisa mewujudkan itu untukmu. Aku punya praktek pribadi yang aku kelola bersama rekan-rekanku. Tempatnya agak di pinggiran kota yang tenang. Mereka pasti mau menerimamu bekerja bersama mereka sebagai dokter junior bila kau bersedia menjadi istriku. ”
“Tapi Professor, kita bahkan belum saling mengenal.”

“Apakah kau perlu untuk mengenal direktur rumah sakit beserta seluruh stafnya ketika kau melamar pekerjaan, Caroline?”

Caro terdiam. Professor Willis terkenal tidak banyak bicara. Namun sekali dia bicara biasanya dengan logika yang tak terbantahkan. Caro mengenal lelaki itu selama dua tahun masa kerjanya di rumah sakit dimana Professor berdinas beberapa kali seminggu atau menerima panggilan bila ada pasien-pasien yang membutuhkan keahliannya. Sebagai ahli bedah jantung terkenal, Professor Willis sangat sibuk, selain menangani pasien di beberapa rumah sakit besar di London, juga masih berkeliling Eropa menghadiri seminar, maupun mengajar di universitas. Wajar bila di usianya yang menjelang 40 an dia masih lajang. Wajahnya sangat tampan dengan bentuk rahang dan hidung khas bangsawan Inggris, serta perawakan tinggi di atas rata-rata lelaki kebanyakan, gaya berpakaian yang mewah namun elegan membalut tubuh langsing dan berotot. Dengan mengendarai mobil Bentley mewah edisi terbaru, Caro bisa membayangkan deretan perempuan cantik yang antri untuk menemaninya menghadiri jamuan mewah kelas atas.
Namun kenapa dia justru menawarkan “posisi” ini pada Caro?

Sayang pembicaraan mereka tertunda ketika pelayan membawakan pesanan mereka. Sekeranjang roti yang masih hangat dan dua porsi fish and chips yang menggoda perut yang sudah lapar. Tanpa diberi aba-aba, Caro mulai menikmati makan siangnya. Professor pun melakukan hal serupa. Anehnya dia tak nampak asing meski makanan murah seperti ini pastilah bukan santapan sehari-harinya.

“Apakah kau masih punya keluarga, Caroline?” tanya Professor tiba-tiba.

Caro mendongakkan wajahnya. “Tidak,” gadis itu menggeleng. “Orang tua saya meninggal waktu saya masih kecil. Saya dibesarkan kakek saya yang juga sudah meninggal 5 tahun lalu, saya sekolah menggunakan dana perwalian. Sekarang saya hidup sendiri. Ada beberapa paman dan bibi jauh, tapi saya tak mengenal mereka.”

“Sekarang, apa alasan Professor memilih saya?” tanya Caro terus terang.

“Karena aku pikir kau satu-satunya gadis yang bisa untuk posisi itu. Kau cukup logis, tidak banyak omong dan cukup bertanggung jawab.” Bukan jawaban yang melegakan bagi seorang gadis. Gadis normal pastilah ingin jawaban yang romantis. “Selain itu kupikir kau bukan orang yang romantis, yang percaya dengan segala omong kosong jatuh cinta dan sebagainya. Percayalah, Caroline, menikah itu tak lebih dari sebuah kemitraan yang didalamnya dibutuhkan kerjasama dan kompromi. Kita sudah banyak bekerja sama dan aku terus terang menyukai cara kerjamu. Dan kupikir itu cukup untuk saat ini.”

Kemudian Professor meminta ponsel Caro mengetikkan nomor pribadinya beserta alamat emailnya, melakukan hal serupa pada gadget canggihnya, sebelum mengembalikannya kepada Caro. “Aku akan menghubungimu minggu depan, karena aku harus pergi ke Prancis besok. Kuharap saat itu kau sudah siap dengan jawabanmu. Berpikir logislah, Caroline, dan aku sangat mengharap kau terima tawaranku.”

Keduanya segera mengakhiri makan siang singkat itu dan bergabung dalam arus orang-orang yang kembali ke rumah sakit. Caro tak menyangka bahwa tawaran pernikahannya yang pertama justru berlangsung di tengah keramaian kedai yang sederhana di tengah hari bolong, bukannya di restoran mewah yang romantis.

Di rumah sakit beberapa perawat yang tadi dia temui di kedai senyum-senyum genit kepadanya.

“Tidak biasanya Professor Willis makan disana, Caro, ada apa ini?” Suster Mac. Fergus, yang paling senior, menggodanya.

Caro mendongakkan wajahnya dari catatan pasien yang sedang dibacanya. “Tidak ada yang istimewa. Kebetulan aku sedang mau berangkat makan siang dan bertemu Prof yang kemudian memutuskan pergi bersamaku,” katanya datar.

Wajah-wajah penasaran itu segera berlalu dengan kecewa. Caro memang bukan orang yang tepat untuk diajak bergosip. Meski cenderung tenang, Caro bukanlah tipe gadis membosankan, karena kenyataannya dia disukai banyak orang, selalu siap membantu, juga pendengar yang baik. Tapi memang bukan tipe banyak bicara. Terutama dia jarang membicarakan tentang dirinya. Secara penampilan Caro memang tidak terlalu menonjol, wajahnya manis, tetapi jauh dari jelita, perawakannya mungil, bila berbicara selalu langsung pada pokok pembicaraan, namun beberapa dokter senior menjulukinya berotak brilian, meski nampaknya Caro tak begitu tertarik mengejar karir. Bukan rahasia umum bila dia sedang mengejar kesempatan menjadi kolega dokter umum di poli yang ada di pedesaan.

Sisa hari yang berlalu Caro berusaha melupakan pembicaraannya dengan Professor Willis. Cermin di kamar mandinya jelas-jelas menegaskan bahwa dia tak akan cocok jadi pendamping Professor Willis. Selain itu majalah-majalah wanita yang sempat dibacanya telah menampilkan prosentasi perceraian yang semakin meninggi akhir-akhir ini. Dan memilih pasangan semenarik dan sepopuler Professor Willis bukanlah pilihan yang bijak, meskipun hubungan mereka nanti akan platonik. Caro percaya seratus persen, se-platonik apapun sebuah hubungan, selalu pihak perempuan lah yang terluka. Namun tawaran bekerja di klinik milik Prof benar-benar menggoda. Apakah Caro akan sanggup menghadapi affair-affair yang pasti terjadi antara Prof dengan koleksi gadis-gadis cantiknya? Lalu bagaimana dengan kehidupannya sendiri? Terus terang Caro masih memiliki mimpi untuk menikah baik-baik dengan lelaki sederhana, pemilik peternakan atau pertanian, di rumah desa yang hangat, dan membesarkan anak-anak mereka secara sederhana, sementara dia akan tetap berdinas dengan membuka praktek sebagai dokter desa. Semua yang tidak akan sanggup dia wujudkan seandainya dia menerima tawaran Professor Willis.

Caro menjalani kehidupannya yang tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Di apartemennya yang mungil dan nyaman Caro menghabiskan sisa waktu senggangnya yang tidak banyak. Caro sudah terbiasa sendiri. Dia tidak akan merasa canggung untuk melakukan segalanya sendiri. Pergi menonton film, ke toko buku, atau berbelanja bisa dijalaninya dengan nyaman sendirian. Namun tak jarang dia juga bergabung dengan rekan-rekan lain sesama dokter magang di rumah sakit, sekedar pergi ke pub atau ke konser musik. Memang tak ada satupun dari rekan-rekan prianya yang menunjukkan ketertarikan khusus padanya. Beberapa kali Caro, seperti gadis normal lain, memang sempat tertarik dengan rekan kerja, namun segera padam dengan sendirinya setelah tak mendapat respon. Caro telah lama menyadari bahwa personalitynya bukanlah type yang akan menarik lawan jenisnya untuk mendekat. Maka Caro menerima saja perannya sebagai sebatas teman yang baik. Di usianya yang hampir dua puluh tujuh tahun, bisa dibilang Caro belum pernah berhubungan dengan lelaki.

Saat Caro menganggap Professor Willis telah melupakan dirinya dan semua ide gilanya, lelaki itu mengiriminya pesan singkat.

“Aku akan menemuimu besok.”

Caro membelalakkan mata menatap pesan singkat di ponselnya itu. Dasar orang aneh, dikiranya aku akan seharian memikirkan dia apa? Pikirnya sebal. Dan lelaki itu juga tidak menyertakan waktu dan tempat dia akan menemui Caro. Caro pun melupakan pesan tersebut.

Keesokan harinya adalah hari libur Caro. Tapi daripada bermalas-malasan dan tidur sampai siang, Caro memilih membersihkan apartemennya yang mungil namun nyaman, ditata dengan cita rasa hangat, kepribadian Caro yang lain, yang tidak akan diketahui orang lain kecuali orang-orang terdekatnya. Setelah membersihkan kamar tidur dan ruang tengah, Caro beranjak menjelajah dapur. Di rumah Caro suka kehidupan yang rileks dan nyaman. Termasuk dia lebih suka memasak sendiri makanannya bila ada waktu. Dia bukan vegetarian, dia juga bukan tipe yang harus berdiet dengan ketat. Proporsi tubuhnya tidak ada masalah untuk melahap makanan layak dan sehat tiga kali sehari. Dia memasak hanya karena suka melakukannya, tidak lebih. Maka setelah melongok isi kulkasnya, Caro berniat untuk berbelanja.

Musim gugur membawa angin dingin. Caro, dalam balutan celana tebal, sweater, mantel, dan topi wool membungkus rambut merahnya melangkah keluar apartemen menuju toko yang menjual kebutuhan sehari-hari yang terletak hanya beberapa blok dari apartemennya. Pemiliknya seorang imigran Irlandia, seorang wanita tua yang sudah sering sakit-sakitan. Meski usaha tokonya sekarang dijalankan oleh putra bungsunya, namun Caro masih sering mendapati wanita itu duduk di balik meja kasir. Biasanya bila tidak sedang pengunjung, Caro akan menyempatkan diri mengobrol dengan wanita baik hati itu. Mendengarkan cerita masa lalunya yang sudah diulang entah berapa puluh kali. Dan hari ini adalah salah satunya. Bahkan wanita tua itu mengundangnya minum teh di lantai dua tokonya yang merangkap sebagai tempat tinggal sementara bila mereka tidak sempat pulang ke rumah kediaman mereka di daerah Cheapside. Sepanjang pembicaraan mereka selalu diselingi oleh komentar tidak setuju dari John, putra si nyonya tua. Setelah hampir satu jam, lelaki itu muncul kembali di pintu.

“Ma, Gadis Dokter mu ini punya kesibukan lain selain menemanimu beromong kosong. Biarlah dia pulang untuk menikmati libur singkatnya itu,” tegusnya halus untuk kesekian kali.

“Ah, kau ini, John, selalu saja mengganggu kesenanganku!” gerutu ibunya. “Benarkah kau sibuk, sayang? Terus terang aku ini kesepian sekali. Aku ingin John segera menikah dan memberiku cucu yang bisa kuasuh di hari tuaku yang tak berguna ini.”

“Ini memang hari liburku, tapi jangan khawatir, John akan segera menemukan pasangan yang cantik, yang akan memberimu cucu-cucu yang juga cantik untuk kau manjakan,”

Caro menyentuh lembut pipi wanita tua itu seolah meyakinkan. “Sekarang aku harus pulang, percayalah kau akan baik-baik saja. John sangat menyayangimu, kau tahu kan?”
Wanita tua itu tersenyum lembut. “Seandainya menantuku nanti seperti kau, Caro, pasti aku akan bahagia sekali.”

Caro tertawa, tapi melihat John yang berdiri salah tingkah dia segera menghentikan tawanya. “Sebaiknya aku segera pulang,” katanya sambil beranjak.

Belanjaan Caro tidak banyak. Hanya dua kantong kertas yang akan dengan mudah dibawanya. Tapi John menawarkan bantuannya untuk membaawanya ke apartemen Caro. Gadis itu menatap John dengan heran. Mata hijaunya yang indah membelalak bersinar.

“Mungkin sedikit udara segar akan baik bagiku daripada aku hanya berkutat di toko itu. Lagipula berjalan berdua pasti lebih menyenangkan daripada sendiri. Iya kan?” dalihnya, meski tak urung wajah lelaki itu memerah.

Wow... apakah ini rayuan? Pikir Caro. Tapi segera dibuangnya jauh-jauh pikiran itu. Dengan riang gadis itu menyerahkan satu kantung kertasnya kepada John dan melangkah riang di samping lelaki itu. John berperawakan tinggi besar seperti orang viking, dengan rambut merah keriting berantakan. Meski wajahnya agak kasar, namun matanya menyorotkan kebaikan bak malaikat. Caro menyukai John. Terus terang tak akan banyak bahan pembicaraan yang bisa dilakukan oleh Caro dengan John karena lelaki ini begitu sederhana. Tetapi ternyata Caro menyukai ditemani oleh John, meski mereka lebih sering diam. Kalaupun berkomentar itupun terbatas pada cuaca. Pada satu blok terakhir barulah John banyak bercerita tentang kerinduannya pada kampung halamannya yang hijau. Dia juga bercerita tentang peternakan yang dimiliki pamannya. John mengatakan bahwa dia suka sekali membantu pekerjaan di peternakan. Kalau bukan karena ibunya yang sudah tua di London yang memintanya mengurusi usaha keluarga John akan lebih memilih tetap di desa. Caro mendengarkan cerita John dengan seksama.

Sayang pembicaran mereka harus terhenti karena mereka telah sampai di depan gedung apartemen Caro.

“Caroline,” sebuah suara mengejutkan Caro.

Gadis itu menoleh mencari sumbernya, dan tampak Professor Willis sedang berdiri di samping mobil mewahnya dalam setelan paginya yang meski tidak formal namun tampak mahal.

“Professor?”

Lelaki itu melangkah gontai mendekati mereka berdua.

“Saya tak menduga Anda akan datang sekarang.”

“Aku sudah mengirim pesan kemarin.”

“Iya, tapi Anda sama sekali tidak menyebutkan waktu atau tempatnya...,”

“Ah, maafkan kekasaranku,” Professor Willis tersenyum, gaya tenang tingkat atas dan sopan santun tak tercela memang sudah menjadi ciri khasnya, mungkin hasil didikan sekolah asrama mahal yang sudah menjadi tradisi turun temurun keluarga-keluarga tua dan kaya dari Inggris. “Temanmu?”

“Oh, ya, kenalkan ini John, pemilik toko langgananku. Dia berbaik hati menemaniku pulang dari berbelanja. John, kenalkan, Professor Willis, atasanku dari rumah sakit,” Caro mengenalkan mereka dengan kikuk.

John pun tak kalah kikuk. Tangannya yang kasar tampak aneh saat menjabat tangan panjang elegan dan terawat milik Prof.

“Caro, aku pulang dulu ya, Ma pasti sudah menungguku,” katanya sambil menyerahkan kantong kertas pada Caro. “Maaf aku tak mengantar sampai ke dalam. Sampai ketemu lagi,” John mencium lembut pipi Caro sebelum berlalu. Bibirnya yang hangat meninggalkan jejak di hati Cari dan membuat wajah gadis itu merah padam. Pasti John mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mencium Caro, karena Caro tahu betapa pendiam dan pemalunya John.

Semua itu tak luput dari mata jeli Professor.

“Salah satu penggemarmu, Caroline? Atau, bolehkah aku panggil Caro?”

“Kami berteman,” jawab Caro singkat dan melangkah memasuki apartemen.

Professor mengikuti langkah Caro, mengambil kedua kantung belanjaan dari tangan Caro. Tanpa komentar Caro berjalan memasuki lift, menuju ke apartemennya di lantai 11. Mereka berjalan berdampingan dalam diam. Pun ketika Caro mempersilakan Prof memasuki kenyamanan sarangnya. Tak seorang lelaki pun pernah memasuki apartemennya sebelumnya. Professor Willis satu-satunya lelaki yang cukup nekad untuk memasuki ruang pribadinya itu. Caro masih bertanya-tanya apa motif Prof.

“Lebih baik aku letakkan belanjaan ini di dapur,” kata Prof yakin, seolah telah terbiasa berada di sana.

Semaumulah, batin Caro sambil memasuki kamar untuk melepaskan mantel, topi, dan sarung tangannya. Saat Caro keluar beberapa saat kemudia dilihatnya Prof sudah mengeluarkan dan menata belanjaannya di lemari pendingin. Selain itu lelaki itu juga sudah menyalakan mesin pembuat kopi.

“Kau tidak keberatan kan kalau aku membuat kopi? Terus terang hawa di luar sangat dingin, dan aku sangat capek.”

Caro membelalakkan mata, “Kapan anda tiba dari Prancis?”

“Pagi ini. Aku pulang sebentar untuk sarapan. Aku sudah berjanji akan menemuimu, Caroline.”

“Anda tampak lelah. Lebih baik Anda tunggu di ruang tengah, saya akan siapkan kopinya,” saran Caro yang tiba-tiba merasa kasihan.

Lelaki itu menurut tanpa protes. Ketika Caro memasuki ruangan dengan membawa poci kopi, scones, selai dan mentega, lelaki itu bersandar di sofa sambil menyelonjorkan kakiknya di meja. Matanya terpejam. Setelah meletakkan kopi di meja, Caro duduk di kursi yang berada di seberang sofa, sesaat dia tergoda untuk mengamati lelaki ganteng yang kini tertidur di sofanya. Namun akal sehat mencegahnya melakukan hal itu. Maka diraihnya surat kabar dan mulai membaca.

“Maaf, aku tertidur,” kata lelaki itu beberapa saat kemudian.

Caro hanya tersenyum sambil menuang kopi yang masih mengepul ke cangkir. “Anda terlihat lelah,” katanya maklum.

Mereka menikmati kopi dalam diam.

“Professor...”

“James. Panggil aku James. Kau tak keberatan kalau aku panggil Caro?”

Caro mengedipkan matanya terkejut. “Tetapi itu sangat tidak sopan, Professor.”

“Panggil aku James, tetapi di rumah sakit aku tetap Professor, dan kau Caroline.”

“Baiklah, James, terus terang aku belum menganggap kau serius dengan ucapanmu minggu lalu.”

James menatap gadis di depannya. Terus terang tadi dia agak terkejut menemukan kepribadian Caro yang lain. Saat gadis itu berjalan sambil tertawa dan berbincang akrab dengan John, James seperti menemui gadis lain yang sama sekali tidak dikenalnya. Caroline yang dia kenal di rumah sakit adalah gadis pendiam, agak menyembunyikan diri, tenang dan rapi. Tetapi saat ini, dengan mengenakan celana jeans usang dan T shirt longgar, dan rambut merahnya yang sebahu diikat santai, Caro tampak seperti gadis remaja. Wajahnya yang bersih tanpa kosmetik menampilkan rona segar, apalagi kedua pipinya yang merona merah sehat. James juga terkejut melihat penataan apartemen Caro yang hangat dan berselera. Semua barang terletak rapi namun tidak kaku, terorganisir, mudah dijangkau namun tetap nyaman. Saat James melihat isi lemari pendinginnya dia menduga gadis itu jenis yang gemar memasak. Mungkin dia sering mengolah sendiri makanannya. Saat ini James tak tahu harus berkata apa. Gadis di depannya ini sama sekali tak dikenalnya.

to be continued

sekedar berbagi

Ketika sedang menulis cerita tentang Masumi dan Maya, terus terang saya banyak mengalami kebuntuan ide. Saat-saat kepala kosong, yang bisa saya lakukan hanyalah menatap layar laptop tanpa tahu apa yang harus saya tuliskan. Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk menulis cerita lain sebagai intermezo.

Ternyata cara ini terbukti cukup efektif untuk merefresh kembali otak saya. Setelah menuliskan beberapa bagian dari cerita lepas, saya merasa ide untuk menulis Maya dan Masumi mengalir cepat.

Maka saya mengubah nama blog ini dari Maya Masumi Lover Fanfiction, menjadi Dunia Mimpi Dunia Pelangi. Karena saya juga akan menghadirkan beberapa cerita karya saya ke dalam blog ini siapa tahu ada yang berminat.Selain saya berencana menerbitkan beberapa cerita dari buku-buku roman yang sering saya baca, namun karena bentuk aslinya dalam bahasa inggris, maka saya coba untuk menerjemahkannya.

Semoga ini bisa diterima.

Selamat menikmati.

Terimakasih telah dengan setia menikmati karya-karya saya.

Sixth : Flash Back (1)

Penanda waktu : Kira-kira 4 tahun yang lalu - setelah peristiwa Astoria
Baca : Betsuhana 19, 20, 21, dan 22 (synopsisnya bisa dibaca
di website milik seorang penggemar fanatik topeng kaca,
yang mengilhami saya menulis di blog ini yaitu di
http://www.topengkacaku.com)

Koji duduk terpekur di tempat tidurnya. Dia memandangi dengan sebal kakinya yang terbungkus gips. Juga lengannya. Perasaan tak berdaya yang membuatnya ingin menjerit. Rasa frustrasi memenuhi dadanya membuatnya ingin berteriak menjeritkan nama Maya, karena gadis itulah penyebab segala penderitaannya. Tak cukup dengan sikapnya yang tidak tegas, gadis itu juga telah menyebabkan kecelakaan yang dideritanya yang berujung dirinya akan kehilangan perannya sebagai Isshin, karena diperkirakan dia belum akan sembuh saat uji coba Bidadari Merah diselenggarakan nanti. Koji merasa sangat terkhianati. Masih terbayang di matanya saat Maya nampak mesra dengan Pak Masumi Hayami saat mereka melangkah keluar dari Astoria. Saat Pak Masumi menganjurkan Maya untuk pulang bersama Koji, gadis itu malah berlari menyusul Pak Masumi. Koji yang shock melarikan motornya dengan gelap mata, hingga saat sadar dirinya terbaring di rumah sakit.

Masih diingatnya denga jelas kata-kata Pak Kuronuma tempo hari saat dia memaksakan diri ke gedung tempat mereka latihan, Kids. Bahwa dengan sangat terpaksa Pak Kuronuma harus mencari pengganti Koji untuk memerankan Isshin, karena luka-luka Koji dipastikan oleh dokter belum akan pulih saat pementasa uji coba berlangsung. Saat itu juga dunia Koji serasa runtuh. Dan lebih menyakitkan lagi Maya sama sekali tidak berusaha menemuinya. Gadis itu hanya berada di kejauhan, berusaha bersembunyi di balik pemain-pemain lain. Memang rasa sakit hati Koji membuat pemuda itu sepanjang kunjungannya ke studio tak mengacuhkan Maya. Namun setidaknya dia berharap Maya berusaha mendekat, hal yang sama sekali tak dilakukan gadis itu. Gadis yang dicintainya, yang ditunggunya sekian lama. Selama ini Koji memaklumi bahwa hasrat Maya hanyalah tertuju pada dunia akting semata, tak menyisakan untuk yang lain. Bagi Koji selama dia bisa berada satu panggung dengan Maya, hatinya sudah bahagia. Dengan sabar ditunggunya kesempata Maya akan membuka hati untuknya dan menerima cintanya. Namun tidak hanya tak peduli dengan perasaannya, Maya justru menghabiskan malam itu di kapal Astoria dengan Pak Masumi Hayami, sang direktur kesenian Daito, lelaki yang telah banyak menyebabkan penderitaan Maya dan teaternya. Melihat wajah keduanya, Koji merasa ada sesuatu yang sangat pribadi di antara mereka berdua. Hal itulah yang membuatnya marah, cemburu, dan merasa sangat dikhianati. Sungguh teganya Maya melakukan hal itu kepadanya!

Suara pintu kamar Koji terbuka. Mungkin dokter atau perawat, pikir Koji lelah sambil kembali memejamkan mata. Ibu dan adiknya baru pulang sekitar setengah jam lalu. Tak ada siapa-siapa yang diharapkan Koji akan datang menjenguknya. Teman-teman teaternya biasanya baru akan datang saat mereka selesai latihan. Saat langkah-langkah kaki itu semakin dekat, Koji membuka matanya. Tampak Maya berdiri di tepi tempat tidurnya, bibirnya bergetar sementara air mata membanjiri kedua pipinya.

“Koji...maafkan aku,” kata Maya lirih.

Koji menatap Maya. Betapa ingin dia membenci gadis yang telah mempermainkan hatinya itu. Tapi melihatnya begitu, hati Koji luluh.

“Maya, akhirnya kau datang juga.”

“Aku selalu datang, Koji, aku menungguimu saat kau tidak sadar. Namun saat kau sadar aku tidak berani mendekat, aku takut akan kemarahanmu,” Maya menundukkan kepalanya. Air matanya tak berhenti mengalir.

Melihat kesedihan gadis itu Koji menjadi tak tega.“Sudahlah, Maya, semua toh sudah terjadi,” kata Koji pahit.

“Kamu selalu baik padaku, Koji, padahal aku tak layak menerimanya. Aku sangat menyesal kenapa tak menuruti saran Pak Masumi untuk pulang bersamamu. Seandainya saat itu aku menurut dan tidak kembali ke Astoria, pasti ini semua tak terjadi.”
Mendengar nama lelaki itu disebut-sebut oleh Maya, hati Koji kembali perih. “Apa yang kau lakukan di kapal itu dengan Pak Masumi, Maya? Apakah dia mulai merayu dan meracuni pikiranmu? Kau tahu kan tujuan orang itu semata-mata hanyalah merebut hak pementasa Bidadari Merah?”

“Koji! Apapun yang kami lakukan, Pak Masumi tak serendah itu!” bantah Maya keras.
Koji terkejut mendengar pembelaan Maya. Hatinya semakin panas. “Kalau tidak ada apa-apa, kenapa kau tak mau menjelaskan apa yang kalian lakukan disana?”

“Itu bukan urusanmu, Koji! Kau hanyalah lawan mainku, bukan kekasihku!”

“Maya!”

“Dengarkan aku Koji, apapun yang kami lakukan di Astroria sama sekali tak ada hubungannya dengan kamu ataupun pementasan Bidadari Merah. Harusnya saat ini kau berupaya keras untuk cepat sembuh dari luka-lukamu, bukannya malah cengeng dan mengasihani diri sendiri. Kalau memang begitu saja tekadmu untuk menjadi Isshin, maka kau tak layak untuk memerankannya. Bu Mayuko pasti menyesal memilihmu,” Maya memalingkan wajahnya. Sebetulnya dia benar-benar tak tega mengatakan kata-kata keras itu pada Koji, tapi hal itu semata dia lakukan demi Koji, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya. Maya sudah mengalami pendidikan keras tanpa kenal ampun dari Bu Mayuko, pendidikan itulah yang membentuk Maya menjadi seperti sekarang ini.

Koji melongo mendengar kata-kata Maya.

“Koji, kau harus bangkit, kau harus melawan luka-lukamu, jangan biarkan orang lain merebut peran Isshin darimu. Kau telah berjuang begitu lama, Koji. Tunjukkan pada Pak Kuronuma, tunjukkan pada Dewan Kesenian bahwa kau memang layak.”

“Maya...”

“Jangan khawatir Koji, aku akan membantumu sekuat tenaga karena kau adalah Isshinku di atas panggung.”

***

Sementara itu di beranda sebuah kamar privat di rumah sakit swasta mahal di Tokyo, Masumi duduk sendiri sambil mengisap rokoknya, entah batang yang keberapa. Untuk pertama kali dia benar-benar merasa terpojok. Di dalam kamar itu, Shiori sedang terbaring lemah setelah kehilangan banyak darah akibat usaha bunuh dirinya setelah Masumi mengakui kepada gadis itu bahwa Maya lah yang dia cintai, dan bukan Shiori. Merasa berdosakah Masumi? Anehnya, sisi hatinya yang gelap dan dingin tak merasa berdosa sama sekali. Orang harus hidup menghadapi pilihan dan mencari keuntungan, dan Shiori telah memilih jalan itu. Namun hatinya gundah manakala mengingat Maya. Gadis mungil itu sepertinya mulai merasakan sesuatu yang istimewa terhadap Masumi. Masumi bagai gila mengingat bagaimana tubuh mungil dan lembut itu memeluknya erat-erat. Bagaimana degub jantung mereka saling beradu saat gadis itu dalam rengkuhannya, ah...Maya, sampai kapankah aku harus menahan perasaan ini?

Pada akhirnya Masumi memang harus memutuskan prioritas paling utama dalam hidupnya.
Sepanjang masa remaja dan dewasanya dia telah dididik untuk menjadi penerus Eisuke Hayami, lelaki berdarah dingin pemilik Daito. Masumi bekerja teramat keras demi memenuhi targetnya yang sangat tinggi. Masumi tak pernah menggunakan perasaan demi mencapai tujuannya. Keras dan dingin, gila kerja dan tak kenal kompromi, semua atribut itu melekat erat pada citra Masumi. Dengan tangan besi Masumi membesarkan divisi seni dan hiburan hingga menjadi salah satu perusahaan hiburan yang sangat disegani di Jepang. Bahkan Masumi sudah pula merambah ke dunia hiburan internasional. Masumi tahu, meski tak pernah mengucapkannya, Eisuke telah sangat bangga padanya. Di usianya yang sudah senja dan kondisi fisik yang tak lagi prima, Eisuke mulai memindahkan bebannya ke pundak Masumi.

Perlu waktu yang lama dan proses yang teramat menyakitkan bagi Masumi untuk mencapai posisi seperti yang sekarang ini. Eisuke Hayami bukanlah orang penyayang, dia orang dingin yang keji dan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Namun, apakah Masumi akan menyerah begitu saja bila segala usaha dan kerja kerasnya selama ini hancur gara-gara perempuan seperti Shiori? Kepribadian Shiori sedikit demi sedikit mulai terkuak. Kehalusan budi dan penampilannya selama ini hanyalah hasil polesan sekolah putri mahal yang mendidiknya selama ini untuk menyembunyikan kelicikan dan keserakahannya. Melihat Shiori Masumi seperti bercermin pada dirinya sendiri, karena sedikit banyak ternyata mereka setype, apapun akan dilakukan agar tujuannya tercapai. Hanya saja caranya berbeda.

Begitu dalamkah cinta Shiori pada Masumi? Masumi ragu. Orang yang mencintai tak akan membuat orang yang dicintainya menderita. Orang yang mencintai akan berusaha membuat orang yang dicintai bahagia, tanpa mempedulikan kebahagiaannya sendiri. Dalam cinta ada pengorbanan. Masumi sangat faham akan hal itu. Sedangkan Shiori, gadis tak lebih dari gadis egois yang tidak bisa membedakan antara cinta dan obsesi. Perilakunya yang menghancurkan semua foto-foto Maya yang disimpan Masumi di vilanya di Izu, juga kelicikannya dalam memfitnah Maya, usahanya menyewa tukang pukul untuk menghabisi Maya, hingga cek yang diberikan pada Maya sebagai suap agar Maya menjauhi Masumi. Masumi tak tahu lagi akal apa lagi yang akan digunakan Shiori untuk menyingkirkan Maya.

Suara pintu terbuka pelan dan seorang perawat keluar. “Pak Hayami, Nona Takamiya sudah bangun dan mencari Anda.”

Masumi bangkit dari kursinya, membenamkan puntung rokoknya di asbak, dan melangkah gontai memasuki ruangan. Shiori tampak lemah dan pucat. Rambut hitamnya yang panjang tergerai kusut di atas bantal. Bibirnya pucat, wajahnya sedih. Tapi Masumi sudah tidak punya rasa belas kasihan sama sekali pada wanita itu.

“Keluargamu memintaku menunggumu di sini. Sudah kulakukan. Apalagi maumu?” tanyanya dingin.

“Masumi, jangan seperti itu,” keluh Shiori lemah. “Kita sepasang kekasih kan? Paling tidak tunjukkanlah simpatimu terhadap kondisiku. ”

Masumi tersenyum pahit. “Cepatlah Shiori, setelah itu kita akan membuat negosiasi,” katanya datar, “Aku akan pulang, besok aku akan datang lagi,” dengan kata-kata itu Masumi melangkah keluar.

***

Beberapa saat kemudian Masumi menghentikan mobilnya di seberang halaman depan sebuah gedung apartemen sederhana. Setelah mematikan mesin, dia melangkah keluar dan duduk terpekur di kap depan mobilnya. Pandangannya tertuju pada lantai dua gedung itu, yang jendelanya saat ini sedang terang benderang. Masumi tahu bahwa Maya berada disana. Hatinya seperti menangis sedih pada ketidak-berdayaannya. Maya, maafkanlah aku bila satu-satunya cara untuk melindungimu hanyalah dengan menyakiti hatimu, tetapi asal kau tahu, bahwa mawar jingga di hatiku tak akan pernah layu, batinnya perih.

Tiba-tiba pintu depan gedung apartemen itu terbuka dan Maya keluar dari sana. Gadis itu telah mengenakan piyama dan sandal kamar, namun menutupinya dengan mantel panjang. Seperti mencari sesuatu tatapan matanya menangkap bayangan Masumi yang sedang duduk di kap depan mobilnya, segera gadis itu berlari menghampiri Masumi.

“Pak Masumi,” panggilnya setelah mendekat.

Masumi menegakkan tubuhnya, “Mungil,” diapun mendekati Maya. “Apa yang kau lakukan malam-malam begini?”

“Pak Masumi, saya membaca tentang Nona Takamiya di surat kabar, saya turut sedih,” kata Maya tanpa disangka-sangka.

Masumi menggertakkan gerahamnya, perasaan ingin membunuh Shiori begitu kental. “Tak perlu sedih atas dia, Mungil, dia akan baik-baik saja.”

“Pak Masumi kenapa berdiri di tempat gelap ini sendiri?”

Masumi memalingkan wajahnya. “Entahlah, Mungil, kau sendiri, kenapa malam-malam begini malah keluar? Bukankah ini sudah melewati jam tidurmu?”

“Saya tadi mendengar suara mobil berhenti, dan saya berharap Anda datang. Saat saya melihat lewat jendela, ternyata itu benar Anda, Pak Masumi,” Maya menjawab malu-malu.
Masumi menundukkan badannya hingga wajahnya sejajar dengan Maya. “Hmm...benarkah Mungil, bahwa kau mengharap kehadiranku?”

Maya menundukkan wajahnya. Andai mereka dalam penerangan yang cukup, pasti akan nampak sekali betapa wajah Maya memerah tersipu.

“Bagaimana kabar Sakurakoji, Maya? Apa yang akan terjadi dengan pementasan kalian bila dia belum juga sembuh?”

“Pak Kuronuma berencana mencari pengganti Koji, tetapi saya tadi menemui Koji, saya berjanji akan membantunya melawan luka-luka itu demi mementaskan Bidadari Merah.”
“Hubungan kalian dekat ya?” tanya Masumi getir, berusaha menekan rasa cemburu setiap kali Maya menyebutkan nama Sakurakoji.

“Dia sahabat saya yang paling baik, dia tetap mendampingi saya ketika Jane terancam gagal dipentaskan. Dan di atas panggung dia adalah Isshin bagi Akoya saya, Pak Masumi.”

“Di dunia nyata, siapa Isshinmu, Mungil?”

“Saya mencintai orang lain, Pak Masumi.”

Masumi terkejut mendengar jawaban lugas Maya.

“Pak Masumi, peristiwa di Astoria itu, saya tak akan pernah melupakannya.”

Maya, apakah artinya kau...Masumi tak berani meneruskan pikirannya. Ditatapnya gadis mungil sederhana di depannya itu. Ditahannya kuat-kata tangannya yang ingin meraih Maya dalam pelukannya. Matanya yang bening tanpa prasangka, wajahnya yang polos seolah tak tersentuh segala kebusukun dunia, Masumi merekam semuanya, dan menyimpannya dalam hati. Mungkin tak lama lagi kita tak bisa lagi bertemu seprti ini, namun Maya, apapun akan kulakukan untuk melindungimu, meski dengan nyawaku, tekadnya.

“Setelah ini pasti kamu akan sibuk sekali, Mungil, untuk mempersiapkan pementasan.”

“Iya, Pak Masumi, apalagi dengan sakitnya Koji, saya harus membantunya berlatih juga. Kami telah melalui begitu banyak hal hingga sampai ke saat ini, kami tak mau semua sia-sia.”

‘Kami’? Bahkan Maya sudah menyebutkan dirinya dan Koji sebagai ‘Kami’.

“Pak Masumi sendiri pasti juga tak akan punya waktu luang lagi, apalagi dengan sakitnya Nona Takamiya,” Maya menunduk sedih. Dia memang sudah menerima bila lelaki yang dicintainya itu akan memilih Shiori karena bagaimanapun mereka sangat sesuai. Namun tetap saja hatinya sakit setiap menyebutkan nama Shiori.

“Maya, kau ingat kan kalau aku mengundangmu ke villa di Izu?”

“Saya pikir Anda malah sudah melupakannya.”

“Melupakan? Tak akan pernah, Mungil.”

“Hah? Anda serius, Pak Masumi?”

“Aku tak pernah main-main dengan kata-kataku, Mungil. Sekarang terserah kamu, masih menerima tawaranku atau tidak.”

Tiba-tiba Maya mendekat dan memegangi mantel Masumi. “Saya mau, Pak Masumi,” katanya yakin.

“Aku akan mencari waktu yang tepat, Mungil. Sekarang kau masuklah kembali, udara sudah semakin dingin, lagipula kau perlu istirahat. Jangan sampai teman-temanmu khawatir karena selarut ini kau masih berkeliaran di luar.”

“Pak Masumi sendiri, harus langsung pulang dan beristirahat.”

“Kau mengkhawatirkan aku, Mungil?”

“Bukannya begitu, soalnya kalau Pak Masumi sakit, siapa lagi lawan saya bertengkar?” Maya bersungut-sungut.

Masumi terbahak, “Aku memang tak pernah kalah melawanmu, Mungil. Oke, aku akan segera pulang dan istirahat, aku janji,” Masumi mengangkat tangannya, pura-pura bersumpah.

Bagimana aku bisa tidur dengan nyenyak bila di kepalaku isinya Cuma kamu, Maya, batin Masumi.

***

Sore itu Masumi melangkah gontai memasuki kamar rumah sakit tempat Shiori dirawat. Melihat kehadirannya, wanita itu segera memerintahkan perawat meninggalkan mereka berdua. “Aku ingin berbicara berdua dengan tunanganku,” katanya terhadap gadis perawat, yang segera membungkuk dan meninggalkan ruangan.

Tunangan? Masumi membatin dengan sinis.

“Kau terlambat, Masumi!” tegurnya ketus saat Masumi duduk di kursi yang terletak di seberang tempat tidur.

“Hm?” Masumi menanggapi tanpa komentar lebih banyak.

“Jangan beralasan karena pekerjaan, Masumi, karena aku tahu pasti bahwa kakekku telah menelpon ayahmu untuk memberimu libur agar kau bisa merkonsentrasi menjagaku,” Shiori semakin berang. “Kau menemui Maya Kitajima semalam kan, Masumi?”

Mendengar nama Maya disebut, Masumi mendongakkan wajah menatap Shiori yang tengah duduk di tempat tidur dengan wajah membara penuh emosi.

“Kau tentunya sudah semakin membaik, Shiori, melihat kau bisa semarah itu. Aku senang.”

“Masumi! Berani benar kau memperlakukan aku seperti ini?” Shiori hampir histeris.

“Apalagi yang kau inginkan, Shiori? Kau telah memerintahkan mata-matamu untuk terus mengikuti seluruh aktifitasku. Kau juga telah membuat kakekmu menekan ayahku agar aku menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan menjagamu selama sakit. Itu sudah kulakukan. Apalagi maumu, Shiori?”

“Aku tak mau kau menemui gadis murahan itu lagi!” teriak Shiori histeris.

Masumi menahan diri untuk tidak menampar Shiori karena telah menyebut Maya sebagai gadis murahan. Emosi tidak bisa dilawan dengan emosi. Masumi mengingatkan diri untuk selalu berkepala dingin. Lagipula Shiori tak layak diladeni dengan serius. Maka alih-alih menjawab, Masumi malah meraih surat kabar yang tergeletak di meja dan membukanya.

Shiori melihat ketidak-pedulian Masumi semakin panas hatinya. Diraihnya cangkir di meja di samping tempat tidur dan dilemparnya dengan marah ke arah Masumi, yang dengan telak berhasil menghindar. Masumi pun segera menekan bel untuk memanggil perawat sementara Shiori mengamuk melemparkan benda-benda yang ada di dekatnya ke arah Masumi. Saat dua orang perawat muncul dari pintu, Masumi memberi instruksi singkat dan melangkah keluar.

“Kau akan merasakan akibatnya, Masumi! Keluargaku tidak akan membiarkan kau pergi begitu saja!” teriak Shiori histeris.

***

Malam itu Masumi memenuhi panggilan ayahnya. Lelaki tua yang kini harus berada di kursi roda itu tampak marah saat melihat putra angkatnya itu melangkah memasuki ruangan.

“Kali ini kesalahanmu sudah teramat fatal, Masumi. Hubungan bisnis yang pelan-pelan kita rintis dengan perusahaan Takamiya nyaris hancur berantakan gara-gara perilakumu!” Eisuke tampak sangat kesal.

“Hubungan bisnis itu belum terjadi, ayah,” jawab Masumi sambil menuang wishky yang terletak di meja. “Lagipula aku tidak berniat memutus hubungan bisnis, yang ingin kuputuskan adalah pertunanganku dengan Shiori Takamiya,” Masumi menenggak gelasnya. Cairan keemasan itu serasa membakar perutnya.

“Memutuskan pertunangan? Ha! Sejak kapan kau punya hak untuk menentukan sendiri nasibmu, Masumi? Ketika kau bersedia menjadi penerus Daito, saat itu pula masa depanmu sudah diatur demi kepentingan Daito. Ketika Daito memerintahkanmu menikah dengan Shiori Takamiya, maka kau tak punya hak untuk menolak, kecuali kau ingin melepas posisimu. Dan jangan mimpi hal itu akan mudah, karena aku yang telah banyak berinvestasi demi membesarkanmu menjadi seorang penerus akan membiarkan begitu saja hasil investasiku hancur berantakan! Dan jangan harap keluarga Takamiya akan berdiam diri saja setelah cucu kesayangan mereka kau lecehkan seperti itu. Pikirkan itu, Masumi! Aku tak tahu kenapa otakmu bisa tidak berfungsi seperti ini.”

“Aku orang yang tidak tepat untuknya, Ayah. Aku tak mencintainya, aku tak akan bisa mebahagiakannya.”

“Cinta? Ha? Siapa yang bilang semua ini tentang cinta? Kau tak punya kewajiban untuk mencintai Shiori, Masumi. Kau hanya perlu menikahinya dan mendapatkan kerja sama dengan perusahaan keluarganya, titik. Kau tak perlu pusing memikirkan kebahagiaannya. Gadis seperti dia sudah sangat paham dan sudah terbiasa dengan gaya hidup begitu. Untuk apa perempuan-perempuan kaya itu menghambur-hamburkan uangnya di luar negeri kalau bukan demi mencari kesenangan pribadi sementara suami-suami mereka sibuk bekerja dan punya simpanan perempuan di mana-mana? Pernikahan-pernikahan diantara keluarga kaya tak lebih dan tak kurang hanyalah pernikahan bisnis dan pernikahan politis. Kupikir kau tidak senaif itu, Masumi, mengaitkan pernikahan dengan hal konyol seperti cinta dan kebahagiaan.”

Wajah Masumi menggelap. Hatinya teramat sakit mendengar perkataan ayahnya. Betapa semua orang telah kehilangan nurani dan cinta kasih. Bukan hidup seperti ini yang ingin dijalaninya. Namun langkahnya secara tak sengaja telah terbimbing ke sana, tak ada lagi jalan kembali yang mudah. Apalagi bila harus menyangkut keselamatan Maya. Masumi takut sekali bila keluarga Takamiya akan melancarkan dendamnya kepada gadis polos yang tidak tahu apa-apa itu. Belum lagi bila harus menghadapi kemarahan dan dendam Eisuke Hayami yang tak segan-segan menghancurkan kehidupan musuh-musuhnya. Keluarga-keluarga kaya pemilik bisnis raksasa sudah sangat terbiasa mengatasi segala masalah dengan kekerasan tanpa belas kasihan. Barisan Yakuza telah siap di belakang mereka. Ketika menyerahkan dirinya kepada asuhan Eisuke Hayami, Masumi sudah mengetahui bahwa dia telah menyerahkan hidupnya ke tangan iblis. Saat itu Masumi tak keberatan karena tak ingin kematian ibunya yang menderita di bawah Eisuke Hayami akan sia-sia. Namun siapa yang sangka bahwa perjalanan hidupnya mempertemukannya dengan Maya Kitajima, gadis yang telah berhasil menjungkir-balikkan dunianya?

“Pokoknya begitu Shiori keluar dari rumah sakit, aku ingin kau segera mengatur pertemuan dua keluarga untuk membahas perkawinanmu, Masumi. Itu keputusan final!” dengan itu Eisuke mengakhiri pembicaraan mereka.

***

Seminggu telah berlalu dan Shiori telah kembali ke rumah meski dengan pengawasan ketat dari para dokter yang mendampinginya. Emosinya yang belum stabil sering meledak tiba-tiba. Setiap hari Masumi mengunjunginya, baik ketika di rumah sakit maupun di kediaman resmi keluarga Takamiya. Wajahnya datar dan gelap, tanpa ekspresi, membuat Shiori semakin marah. Masumi yang ingin ditemuinya adalah lelaki yang pertama mengencaninya, dengan senyumnya yang hangat dan perilaku tak tercela. Bukan lelaki dingin yang melihatnya tak lebih dari sebuah benda dan urusan bisnis. Kemarahan dan kecemburuan yang menggelegak membuatnya sering histeris. Dan informasi dari orang kepercayaannya yang mengatakan Masumi tak pernah menemui Maya Kitajima lagi tak juga melegakan Shiori. Shiori ingin Masumi hanya untuknya. Tapi setiap hari Masumi yang mengunjunginya hanyalah sebuah robot yang telah diprogram untuk datang membawa bunga dan aneka hantaran yang sama sekali jauh dari kesan tulus dan hangat. Bahkan senyumnya pun kaku dan dingin, hanya di bibir saja, tak menjangkau mata indahnya.

Namun Shiori cukup bisa bernafas lega ketika akhirnya rencana pertemuan dua keluarga yang membahas rencana pernikahan mereka berdua akan segera diselenggarakan.Keinginannya untuk mengikat Masumi Hayami dalam ikatan pernikahan akan segera terwujud dan Maya Kitajima silakan gigit jari, pikirnya puas.

***

Sakurakoji sedang dalam kondisi emosi terburuknya. Maya hampir frustrasi menemani pemuda itu berlatih. Setiap hari ada saja keluhannya yang membuat Maya menggertakkan gigi dengan tidak sabar. Tapi mereka sudah sampai sejauh ini. Apalagi meyakinkan Pak Kuronuma bahwa dia bisa mendampingi Sakurakoji berlatih bukanlah hal gampang.

Sekarang Maya selain harus berlatih di Studio Kids bersama pemain-pemain lain, juga harus banyak menghabiskan waktu di rumah sakit, selain berlatih bersama Sakurakoji, juga dia menemani pemuda itu melewati sesi phisiotherapy untuk memulihkan kakinya.

“Kau tak boleh meninggalkanku begitu saja, Maya, kau harus menemaniku hingga aku siap untuk ke pentas lagi,” demikian tuntut Sakurakoji.

Maya adalah gadis yang selalu berfikiran positif terhadap orang lain. Sikap manja dan egois Sakurakoji menurutnya karena saat ini pemuda itu sedang labil. Bila nanti telah sembuh Sakurakoji yang baik, lembut, dan penuh perhatian pasti akan kembali.

“Aku kok merasa kamu sedang dimanfaatkan, Maya,” komentar Rei.

“Kenapa begitu? Bukannya wajar kalau orang sakit itu biasanya bertingkah macam-macam?” tanya Maya polos.

“Hah, kamu ini payah. Otakmu yang bodoh itu pasti tak bisa membedakan mana tingka laku asli dan mana yang dibuat-buat,” keluh Rei. Sebenarnya dia penasaran sekali ingin tahu apa yang terjadi di malam kecelakaan itu, apalagi saat itu Maya tidak pulang semalaman.

Maya sedang mengupaskan apel untuk Koji ketika perawat datang menemuinya. “Ada seseorang yang ingin menemui anda, Nona Kitajima,” kata wanita itu.

Maya yang keheranan segera beranjak dari kursinya di samping tempat tidur Sakurakojioji. “Aku keluar dulu, Koji.”

Pemuda itu meski keberatan namun tak bisa berbuat apa-apa.

Maya melihat seorang lelaki setengah baya berseragam menunggunya di dekat pintu masuk. Melihat kedatangannya laki-laki itu segera membungkuk. “Saya datang menyampaikan pesan ini kepada Nona Kitajima,” katanya sambil menyerahkan sebentuk surat.

Maya yang masih terheran-heran menerimanya dengan ragu.

“Mohon dibaca sekarang, Nona, saya diperintahkan menunggu.”

Maya semakin heran. Dibukanya amplop itu. Di dalamnya adalah secarik kertas yang sepertinya dirobek dari sebuah agenda dengan logo Daito di pojok kiri atas.

Aku mengirimkan sopir untukmu dan aku menunggumu di Izu.
Masumi


Beberapa saat kemudian Maya menatap jalanan asing yang tak dikenalnya dalam perjalan ke Izu. Masih diingatnya dengan jelas ketika Koji marah dan protes ketika Maya meninggalkannya tanpa mau menjelaskan kemana dia pergi. Ah, Koji, maafkan aku, batinnya sedih. Karena mungkin ini pertemuannya yang terakhir dengan Pak Masumi. Maya telah membaca semua pemberitaan di surat kabar tentang rencana perkawinan Masumi dan Shiori. Hatinya sakit sekali, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia tahu Masumi selalu baik padanya meski secara sembunyi-sembunyi. Bila dia sudah menikah dengan Shiori, akankah dia tetap menjadi Mawar Jingga, penggemarnya yang paling setia, dan lelaki yang paling dicintainya sepenuh hati? Tak terasa Maya menitikkan air mata. Malam ini Pak Masumi memenuhi janjinya, mengundangnya ke Izu. Mungkin ini sebuah pertanda dan ucapan selamat tinggal, pikirnya sedih. Namun sesedikit apapun kesempatan yang diberikan Masumi untuk bersama, Maya akan menerimanya dengan penuh rasa syukur, untuk kemudian mematri kenangan ini di sepanjang hidupnya.

***

Masumi duduk di teras villa di Izu, menatap matahari yang sudah condong ke barat. Bias-bias warna jingga memantul di air laut memberikan ketenangan bagi hatinya yang gundah. Sejuta persoalan seolah menghimpitnya hingga membuatnya tak bisa bernafas. Sekeras apapun dia berteriak mengungkapkan kepedihan hatinya, namun beban itu tak juga terangkat. Dia sudah muak dengan kehidupan kotor penuh kepura-puraan yang dijalaninya. Dibalik segala atribut yang selama ini melingkupinya, jauh di dasar hatinya Masumi tetaplah sosok hangat dan manusiawi, orang normal yang mendambakan kehidupan bahagia bersama orang yang dicintainya, bukan kehidupan seperti yang selama ini dijalaninya. Mungkin inilah hukuman yang harus dia terima karena telah menghancurkan kehidupan banyak orang demi meraih kesuksesan di Daito. Masumi merasa sangat hina dan kotor. Maka perempuan seperti Shiorilah yang cocok untuknya. Maya bukanlah takdirnya, ibarat dewi gadis itu terlalu polos dan suci untuknya. Tatapan mata beningnya yang jujur tanpa kepura-puraan, ucapannya yang selalu langsung dan terus terang, keluguan dan kemudaannya, kepolosannya, semua bukan untuknya. Hidupnya yang penuh dosa tak layak untuk mencintai seorang dewi, pikirnya pahit. Hari ini mungkin terakhir kalinya Masumi bisa menikmati waktu berduaan dengan Maya. Setelah ini, segala hal yang berkaitan dengan Maya harus dilupakannya, demi kebaikan gadis itu sendiri.

Diliriknya jam tangan mahal tipis di pergelangan tangannya. Bila semua berjalan sesuai rencana, tak lama lagi Maya pasti akan tiba. Masumi seolah telah memindah gunung dan lautan demi sampai ke sini tanpa diikuti mata-mata Shiori. Dia terpaksa menyamar dengan menggunakan mobil yang disediakan Hijiri yang diparkir di tempat parkir khusus security di basement gedung kantornya. Sementara mobilnya sendiri masih berada di tempat dia meninggalkannya tadi pagi. Bahkan satpam yang berjaga pun tak mengenali ketika Masumi, dengan mengenakan kacamata hitam, topi bisbol, dan memakai jacket sport, melewati pos penjagaan ketika keluar area gedung. Sementara untuk Maya, Hijiri telah memesan mobil dan sopir khusus yang tidak berlambang Daito.

Tak lama kemudian suara kendaraan terdengar memasuki halaman villa. Masumi segera berdiri dan melangkah keluar menyambutnya.

Maya mengamati villa Masumi dengan keheranan. Untuk ukuran orang dengan posisi setinggi Masumi, villa ini sangat sederhana, berbeda dengan villa yang digunakannya untuk berlatih Helen Keller dulu. Saat dilihatnya Masumi keluar dari villa untuk melanjutnya, Maya seraya ingin berlari dan menghambur ke pelukannya. Namun ditahannya keinginan itu. Masumi milik Shiori, begitu selalu yang diingatnya. Lelaki itu sudah menjadi milik wanita lain, kesempatan saat ini hanyalah kesempatan sesaat yang dipinjamkan kepadanya.

“Pak Masumi!”

“Maya, selamat datang! Masuklah!”

Masumi mendekat. Melihat Maya hanya membawa tas tangan kecil, diraihnya tangan gadis itu dan digandengnya memasuki villa. Sementara sopir yang mengantar Maya hanya membungkuk sebentar dan mengucapkan salam pamit.

“Terima kasih, Paman!” teriak Maya riang, membuat lelaki itu cukup terkejut dan buru-buru menoleh dan membungkuk lagi ke arah Maya.

Masumi tertawa melihat kelakuan Maya. Dibimbingnya gadis itu memasuki villa.

“Villa Anda cukup sederhana, tapi nyaman sekali,” Maya mengomentari furniture dalam ruangan villa yang meski sederhana, namun terlihat nyaman dan mengundang, juga terasa hangat dan bersahabat, bukan villa mewah yang mengintimidasi pengunjungnya dan membuat kecil hati. “Saya suka sekali, Pak Masumi.”

“Aku senang kalau kau menyukainya,” Masumi melangkah menghampiri lemari pendingin. “Minuman apa yang kau inginkan, Mungil? Cola? Sari buah?”

Maya mendekat ke arah Masumi. Melongokkan kepalanya mengamati deretan minuman dan meraih sekaleng sari buah jeruk. Masumi tertawa lagi. Keceriaan Maya seolah menular kepadanya, membuatnya gembira. Dipandanginya Maya dari ujung kepala ke ujung kaki. Gadis itu berpakaian santai seperti halnya gadis remaja lain. Celana pendeknya yang berwarna khaki membuat kakinya terlihat panjang. T-shirtnya yang berwarna putih dengan motif strawberry yang ceria membuat Masumi kembali mengingat betapa jauh jarak umur di antara mereka. Sementara rambutnya hanya di tahan oleh bando sederhana tanpa motif berwarna merah.

Dengan membawa minuman masing-masing, Masumi mengajak Maya duduk di beranda belakang yang memandang lautan.

“Inilah tempat persembunyianku, Maya. Aku selalu ke sini bila sedang banyak masalah.”

Maya memandang lelaki tampan di sampingnya. “Apakah Anda sedang banyak masalah saat ini, Pak Masumi?” tanyanya.

“Begitulah. Masalah selalu bertumpuk dan membelit hingga membuatku ingin melarikan diri ke sini. Kau tidak keberatan kan menemaniku hari ini?”

Maya menggeleng. “Tidak, saya senang karena berkesempatan mengenal sisi kepribadian Pak Masumi yang lain.”

“Jangan terlalu berharap, Mungil. Saat kau mengenal sisi kepribadianku yang lain, aku khawatir kau akan kecewa karena tidak ada kebaikan sedikitpun di dalamnya.”
“Saya tidak percaya itu, Pak.”

“Wah, kamu memang keras kepala. Jangan bilang aku belum memperingatkanmu lho ya,” Masumi menggerak-gerakkan jarinya di depan wajah Maya dengan jenaka.
aya
Maya tertawa. Pak Masumi, kalau Anda begini terus, bagaimana saya bisa meninggalkan Anda? Pikirnya sedih.

***

Saat senja menjelang, Masumi mengajak Maya berjalan menyusuri pantai. Kaki-kaki telanjang mereka membentuk jejak di atas pasir lembut dan hangat di sepanjang garis pantai. Beberapa kali mereka menangkap kepiting-kepiting kecil yang banyak terdapat di sepanjang pantai itu untuk kemudian melepaskannya lagi. Beberapa kali mereka saling mendorong. Maya sempat terjatuh ke air. Namun gadis itu tak mau basah sendirian. Maka ditariknya Masumi untuk ikut jatuh bersamanya. Mereka juga saling menciprati air dan berkejaran seperti anak kecil. Sekali Masumi terjatuh ke air ketika sedang berusaha menangkap Maya hingga keduanya jatuh berbarengan. Namun dengan sigap Masumi menempatkan dirinya di bawah, melindungi Maya agar tidak jatuh langsung ke tanah. Akibatnya keduanya bertindihan dengan posisi Maya berada di atas Masumi. Sesaat keduanya tertegun. Debar jantung keduanya yang saling berhimpitan bertalu-talu menembus lapis-lapis pakain yang mereka kenakan. Suasana seolah tersihir. Keduanya saling bertatapan. Namun Masumi yang terlebih dulu tersadar.Segera dia bangkit dan menolong Maya. Tangangya sedikit gemetar ketika meraih gadis itu. Sedangkan Maya tak kalah malunya. Wajahnya merah padam terbakar malu.

Namun lepas dari itu semuanya keduanya merasa sangat berbahagia. Tak perlu pembicaraan yang serius, mereka hanya saling menikmati kehadiran satu sama lain. Tak perlu dipertanyakan, keduanya sama-sama tahu bahwa masalah besar telah menjelang di depan mereka. Namun untuk saat ini keduanya ingin melupakan semuanya, walau sejenak.

Malam telah menjelang ketika akhirnya mereka kembali ke dalam villa. Pakaian keduanya basah kuyup dengan kaki kotor penuh pasir. Namun wajah mereka tampak ceria dan bahagia. Masumi tak bisa menghitung berapa kali dia tertawa hari ini. Maya seoalah cahaya matahari yang menceriakan hari-harinya yang gelap. Ya Tuhan, berikan waktu lebih lama untuk bersamanya, untuk sekali ini saja, pintanya dalam hati.

Mereka mandi bergantian di kamar mandi yang cuman satu-satunya di villa itu. Karena Maya tidak membawa baju ganti, maka dia harus cukup puas mengenakan kaos tua Masumi, kenangan dari masa Universitasnya dulu. Kaos itu berbahan lembut dan beraroma seperti Masumi. Maya menciuminya dengan mesra sebelum mengenakannya.

Namun Masumi terbahak melihat penampilan Maya. Gadis itu tampak lucu dan menggemaskan mengenakan kaos tuanya yang panjangnya hampir mencapai lututnya. Tentu saja Maya cemberut ditertawakan begitu. Dengan sebal dipukulnya Masumi, membuat lelaki itu kian terbahak-bahak. Maya sendiri sedikit terpukau melihat penampilan santai Masumi. Dengan celana pendek dan kaos singlet, lelaki itu tampak seperti lelaki kebanyakan, rileks dan nyaman, bukan Masumi Hayami yang dingin dan angker. Bagaimanapun Maya menyukai sisi kepribadian Masumi yang seperti ini.

Untuk makan malam mereka memasak bersama. Di lemari pendingin tersimpan bahan-bahan untuk french fries dan burger. Segera Masumi mengeluarkan daging burger beku, lembaran keju, lettuce dan beberapa sayuran lain. Sementara Masumi menyiapkan wajan untuk memanggang burger Maya kebagian tugas membuat kentang goreng.

“Awas, jangan sampai hangus!” ancam Masumi, yang disambut dengusan sebal Maya.

Mereka memasak berdua dalam keakraban. Beberapa kali Maya menghanguskan kentang yang sedang digorengnya, yang membuat Masumi semakin gemas dan memencet hidung Maya sebagai hukuman. Akhirnya Masumi menyerah dan menyuruh Maya menyiapkan meja untuk makan dan mengambil alih semua tugas menyiapkan makanan sendiri. Yang disambut Maya dengan penuh harga diri. Gadis itu mengeluarkan minuman dari lemari pendingin. Bir dingin untuk Masumi dan soda untuk dirinya sendiri. Namun karena udara sudah mulai dingin, dia juga mulai menyalakan mesin pembuat kopi.

“Bintang di sini tampak indah ya, Pak Masumi?” komentar Maya. Saat itu setelah makan malam, mereka tengah duduk di beranda memandangi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. “Saya jadi ingat lembah plum.”

Masumi meletakkan minumannya dan duduk mendekat ke arah Maya. “Bersandarlah kepadaku, Maya,” pintanya lembut.

Maya bergeser sejenak, merebahkan kepalanya di lengan Masumi, namun Masumi memeluknya di dadanya. “Kau tidak keberatan kan, Mungil?” tanyanya saat Maya sudah duduk rebah dengan nyama bersandar di dadanya dalam rengkuhannya.

Maya hanya menggeleng pelan. Masumi mencium aroma rambut Maya yang beraroma sama dengan rambutnya. Matanya terpejam menikmati kedekatan itu.

“Pak Masumi, apakah ini saat terakhir kita bisa bersama?” tanya Maya tiba-tiba.

“Sayangnya, iya, Mungil. Aku tak bisa berbohong dengan mengatakan bahwa kita akan ada kesempatan lain untuk bertemu.”

“Saya mengerti, Pak Masumi. Saya membaca semua berita tentang Anda dan Nona Shiori di surat kabar.”

Masumi memeluk Maya erat-erat. “Gadis itu, Shiori Takamiya, harus menikah dengan Masumi Hayami dari Daito,” katanya seolah membicarakan orang lain. “Masumi Hayami, sebagai kewajibannya karena menyandang nama Hayami, harus menjalankan perintah dan tugasnya sebagai direktur Daito untuk menjalani pernikahan yang akan menggabungkan kedua raksasa bisnis Daito dan Takamiya.”

Maya mendongakkan wajahnya, menatap lelaki yang sedang memeluknya. “Apakah Masumi Hayami mencintai Shiori Takamiya?” tanyanya.

“Pernikahan ini tak ada hubungannya dengan cinta,” jawab Masumi getir.

“Apakah Masumi Hayami akan bahagia?” suara Maya bergetar karena kesedihan yang membuncah di dadanya.

“Kebahagiaan hanya akan menjadi kata-kata yang ada dalam kamus, namun tidak ada dalam kehidupan Masumi Hayami.”

Air mata Maya tumpah membanjiri pipinya. Dia merasa sisi hatinya seolah dibunuh dengan kejam. Hatinya sakit membayangkan lelaki yang dicintainya akan menjalani kehidupan yang gelap dan kering. Dipeluknya Masumi dan menangis sejadi-jadinya di dada lelaki itu, menumpahkan segala kesedihan hatinya, sedih karena satu-satunya lelaki yang dicintainya dipaksa dengan kejam untuk menikah dengan wanita lain, juga sedih karena hatinya seakan berdarah kehilangan belahan jiwanya. Masumi balas memeluknya erat, menghirup keharuman rambut Maya, tanpa kata-kata dibelainya punggung gadis itu dengan lembut.

“Setelah ini Maya, mungkin kita tidak akan bisa melewatkan waktu bersama lagi. Kau punya kewajiban memerankan Bidadari Merah, kau punya kewajiban mendampingi Sakurakoji agar dia menjadi pasanganmu di pentas, sementara aku harus kembali ke kehidupan lamaku di Daito, bekerja keras mengembangkan perusahaan, menikahi Shiori, mengakuisisi Takamiya bila perlu, dan membuat ayahku bangga padaku. Tapi berjanjilah satu hal padaku, Maya, menangkanlah Hak Pementasan Bidadari Merah itu. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untukmu sendiri. Jadilah Bidadari Merah yang akan dikenang sepanjang masa, jadilah dewi yang akan membuat semua pria jatuh hati.”

Dalam deraian air mata, Maya mengangguk. Anda tahu Pak Masumi, mungkin dalam dunia nyata kita tidak bisa bersatu, tetapi di atas panggung Andalah roh yang akan menjadi spirit Bidadari Merahku, batin Maya.

Malam semakin larut, Maya tertidur dalam pelukan Masumi, terkuras emosi dan tenaganya. Masumi masih ingin menikmati kebersamaan ini lebih lama. Ingin merasakan kehangatnnya untuk terakhir kali. Dipandanginya wajah gadis yang tertidur dalam pelukannya, dan diciumnya bibirnya lembut. Mungkin aku tidak akan pernah punya kesempatan untuk menciummu dalam kondisi sadar, Maya, kalau memang hanya ini yang layak kudapatkan, aku akan menerimanya, batinnya.