Wednesday, May 11, 2011

Fifth : Back To Reality

Malam sudah turun saat Masumi mengendarai mobilnya melintasi jalan tol menuju ke Tokyo. Di sebelahnya, Maya duduk diam sambil berusaha menikmati pemandangan yang tertutup bayang-bayang kegelapan malam. Tak ada pembicaraan yang berarti antara mereka. Karena masing-masing telah tahu apa yang akan mereka hadapi begitu keduanya kembali ke Tokyo, kembali ke kehidupan normal mereka. Dua hari di Yokohama mungkin hanya akan tinggal kenangan. Tiba-tiba Masumi membelokkan mobilnya, memasuki jalur lambat, dan kemudian berhenti di pinggir jalan.
“Ada apa, Pak Masumi?” tanya Maya heran.
Masumi menghela nafas panjang. Kemudian menoleh menatap gadis di sebelahnya, yang balas menatapnya heran dalam cahaya redup pantulan lampu jalan. Masumi melepas sarung tangannya. Telapak tangannya yang hangat menangkup wajah mungil Maya. “Belum-belum aku sudah merindukanmu, Maya,” katanya sendu. “Aku merindukan mata ini,” diciumnya kedua kelopak mata Maya bergantian, “Aku merindukan kedua pipi ini,” ciumannya beralih ke kedua pipi Maya, “Dan terutama, bibir ini,” diciumnya dalam-dalam bibir Maya.
“Pak Masumi, setelah ini bagaimana dengan hubungan kita?” tanya Maya yang membenamkan diri dalam pelukan hangat Masumi.
“Entahlah, Maya. Kalau menuruti kata hati, aku ingin sekali mengumumkan pada dunia bahwa kaulah gadisku, wanita yang paling kucintai di dunia ini setelah ibuku. Tapi kau pun pasti menyadari bahwa semua itu tidak akan semudah itu. Posisimu sebagai artis terkenal, posisiku sebagai pemimpin perusahaan, pasti mengundang gossip dan spekulasi yang sangat menyakitkan hati.”
“Tapi Pak Masumi, saya sanggup mengatasi semua itu, saya sudah terbiasa dengan gossip,” potong Maya cepat.
“Mungkin kau akan tahan, Maya, aku pun bisa mengatasi semua gossip itu. Tapi aku tidak akan tahan bila seseorang menyakitimu. Kita telah dipaksa berpisah selama ini, aku tak sanggup bila harus kehilanganmu lagi, Mungil. Kau pikir bagaimana perasaanku selama kamu ada di Eropa, jauh dari jangkauan dan perlindunganku?”
“Tapi Pak Masumi yang mengirimku ke London. Kalau bukan karena Anda, saya tidak akan mau. Saya pun menderita Pak Masumi, membayangkan Anda hidup bahagia dengan Nona Shiori, hati saya sakit sekali. Satu-satunya pelarian saya adalah belajar. Saya belajar keras, bahkan melewati batas kemampuan saya, agar saya tidak terus menerus memikirkan Anda. Namun Anda setiap malam selalu muncul dalam mimpi saya. Bahkan dalam tidur pun saya meneriakkan nama Anda, membuat teman sekamar saya kasihan pada saya. Baru pada tahun terakhir ini saya bisa menerima bahwa Anda sudah menjadi suami orang, berkali-kali saya meyakinkan diri bahwa inilah yang terbaik bagi saya. Namun tetap saja, saya tidak bisa menerima lelaki lain, karena hati saya telah penuh dengan Anda.”
“Maya...” Masumi mendekap Maya semakin erat. “Andai kau tahu betapa berat aku untuk mengambil keputusan itu. Saat itu satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah mengirimmu ke luar negeri, demi kebaikanmu.”
“Iya, Pak Masumi, saya mengerti, saya percaya pada Anda.”
“Di London, kamu pasti telah belajar betapa berat duniamu sekarang, Maya. Dunia artis bukan dunia pelangi penuh warna seperti yang nampak di panggung maupun di acara-acara gossip. Dunia artis dunia yang sangat keras dan kejam. Aku ingin melindungimu, Maya. Aku belum siap kalau kau harus menghadapi tekanan karena hubungan kita ini. Kau mengerti kan?”
“Saya mengerti, Pak, tapi Anda tak bisa melindungi saya seterusnya. Saya tidak mau Anda menderita sendiri karena melindungi saya. Saya bukannya tak berdaya, Pak. Saya sudah mengalami perjuangan keras dari bawah. Masa-masa itu tak akan pernah bisa dihapuskan dari kehidupan saya. Anda tahu kan kalau saya kuat?”
Masumi hanya mengangguk. “Baiklah, Maya, tapi untuk sementara kita putuskan untuk merahasiakan dulu hubungan kita ini, oke? Orang lain kan tahunya kamu dan aku ini musuh bebuyutan. Bila media tahu kita telah berubah menjadi sepasang kekasih, mereka hanya akan menduga aku masih menginginkan hak pementasan Bidadari Merah milikmu itu. Biarlah kita jalani dulu semua ini pelan-pelan.”
“Iya, Pak.”
“Dan sebagai langkah pertama, maukah kau melakukan sesuatu yang sederhana dan tidak sulit untukku?”
“Apapun pasti akan kulakukan, Pak,” Maya menegakkan tubuhnya.
“Sederhana saja, aku tak mau kau memanggilku Pak lagi. Selain itu melukai harga diriku karena kekasihku menempatkan diriku sama dengan atasan, juga sangat menyinggung perasaanku karena membuatku sadar betapa jauh jarak usia kita ini.”
“Heh?” Maya membelalak. “Memang apa salahnya kalau saya panggil Pak?”
“Sangat salah, sangat tidak etis.”
“Tapi itu kan sudah kebiasaan saya? Masak saya harus merubahnya?” Maya ngotot.
“Harus, kalau kau ingin hubungan kita lebih maju.”
Maya mendengus sebal. “Oke. Memang apa susahnya sih memanggil Anda Masumi?”
“Eit! Satu lagi, tak ada Anda dan saya, yang ada aku, kau, dan kamu.” Masumi menggerakkan jari tengahnya di depan wajah Maya.
“Ya ampun, rumit sekali sih aturannya?” Maya melotot kesal.
“Itulah resikonya kalau kau mau pacaran dengan pria yang jauh lebih tua,” sahut Masumi santai.
“Iya, iya, mulai sekarang aku akan memanggilmu Masumi. Puas?” Maya nyengir.
“Belum, masih ada satu lagi, Maya.”
“Eh, masih ada lagi? Kenapa sih kau ini suka sekali membuatku aku kesal? Sepertinya penyakitmu ini sudah tidak bisa disembuhkan ya?”
“Yah, kau tahu sendirilah, bagaimana aku,” Masumi menyeringai, menikmati kejengkelan Maya. “Maya, apakah kau berencana selamanya akan tinggal bersama Rei dan teman-temanmu yang lain? Tak terpikirkah olehmu untuk tinggal sendiri?”
“Eh? Entahlah. Selama ini aku tak ada masalah tinggal dengan mereka. Kami telah bersama sekian lama, mereka orang-orang baik yang selama ini selalu menjagaku. Kenapa harus berubah?” Maya menjawab tak mengerti.
“Maya, kau kan sudah dewasa sekarang, sudah punya kekasih. Aku tak mau nanti bila aku berkunjung ke apartemenmu, saat aku memeluk dan menciummu dengan disaksikan seluruh teman-temanmu,” Masumi menjelaskan dengan kalem.
Wajah Maya langsung memerah. “Aduh, aku tidak berfikir sampai kesana,” keluhnya.
“Bagaimana, Maya? Masih ingin tetap tinggal disana? Sebab aku pasti akan mengunjumimu kapan pun aku suka, menciummu dan memelukmu semauku, jangan harap apa yang terjadi dua hari terakhir ini berakhir sampai disini saja.”
“Oh!” hanya itu yang keluar dari mulut Maya. Sungguh dia tak bisa berkata apa-apa.
Suara ponsel Maya memecah kesunyian. Buru-buru Maya membuka tas tangannya dan meraih ponselnya. Ternyata Rei.
“Halo...”
“Maya, kamu dimana? Jadi tidak pulang hari ini?” tanya Rei tanpa basa-basi.
“Iya, Rei, aku pulang sekarang. Aku sedang dalam perjalanan. Memang kenapa?”
“Tidak apa-apa, hanya ingin memastikan saja kalau kamu tidak kabur lagi. Lebih baik kamu pulang agak malam sekalian, soalnya wartawan dari kemaren sudah berkerumun di depan apartemen. Bikin kita senewen saja. Tapi sore tadi mereka bubar. Masih ada sih satu dua orang lagi, kayaknya sebentar lagi juga mereka bakalan pergi. Maya, kau baik-baik saja?”
“Iya, Rei, aku baik-baik saja. Kalau aku tiba satu jam lagi pasti para wartawan sudah pergi kan Rei?”
“Kalau mereka masih muncul di depan pintu nanti kukabari kamu, Maya. Yang jelas teman-teman Teater Mayuko dan Ikakuju berencana mengadakan pesta untuk menyambut kedatanganmu.”
“Waduh, terimakasih, Rei.”
Setelah berbasa-basi sebentar Maya menutup ponselnya.
“Baiklah, Mungil, lebih baik kita melanjutkan perjalanan,” Masumi bersiap kembali memasang sarung tangannya.
“Sebentar, Masumi,” potong Maya cepat.
Masumi menoleh heran, apalagi ketika Maya bergerak mendekatinya serta melingkarkan lengannya di leher Masumi,”Aku akan mengingatkamu bahwa aku mencintaimu. Aku akan menempelmu seperti lintah dan membuatmu jengkel setengah mati, oke?” Maya mencium bibir Masumi mesra.
Masumi yang terkaget-kaget dengan ciuman Maya hanya bisa terdiam.
“Wow!” desahnya setelah beberapa lama. Waktu dia menoleh, gadis di sebelahnya telah duduk manis memakai kembali sabuk pengamannya. Masumi tertawa kecil, dan bersiap menjalankan kembali mobilnya dengan hati berbunga-bunga.
***
Halaman apartemen yang ditinggali Maya bersama teman-temannya tampak sepi. Maya menatap dengan seksama tempat bersejarah yang telah lama ditinggalkannya itu. Baru disadarinya betapa rindu dia dengan tempat ini. Masumi mengamati gadis itu dalam diam. Bagaimanapun tempat itu juga sangat berarti baginya. Masih diingatnya dengan jelas betapa seringnya dia berdiri diam dalam kegelapan menatap jendela apartemen Maya sambil merindukan gadis itu. Di masa lalu itulah satu-satunya pelarian hatinya bila dia merasa gundah.
Maya melangkah perlahan keluar mobil menyebrangi halaman dan menapaki teras apartemen sementara Masumi mengeluarkan semua barang Maya. Pintu membuka secara spontan dan Rei menampakkan dirinya dari pintu yang telah terbuka.
“Maya!”
“Rei!” jerit Maya dan menghambur ke pelukan sahabatnya. Segala perasaan rindunya tertumpah di bahu sahabatnya membuat Maya menangis terharu. “Rei, aku rindu sekali.”
“Iya, aku tahu, sudah jangan nangis. Kamu ini, tetap saja tak berubah, tetap saja cengeng,” omel Rei dengan sayang.
Hubungan keduanya memang telah melebihi hubungan teman. Apalagi ketika Rei menawarkan diri menjadi manajer Maya. Rei yang dewasa memang cocok sekali mengurus Maya yang ceroboh dan kekanakan.
Rei baru menyadari kehadiran Masumi ketika lelaki itu mendekat membawa kopor Maya.
“Pak Masumi, selamat malam. Terimakasih sudah mengantar Maya kembali,” katanya kikuk.
“Selamat malam, Nona Aoki. Senang bertemu kembali,” jawab Masumi formal. Namun lelaki itu menolak ketika Rei meraih kopor Maya, tunjukkan saja dimana kamarnya, kata Masumi otoritor dan tak terbantah seperti biasa.
Dengan patuh kedua gadis itu mengikuti Masumi memasuki gedung. Sesuai petunjuk, di kamar nomor dua dari lorong, Masumi membuka pintunya dan masuk. Maya bergegas mengikuti lelaki itu memasuki kamarnya, meninggalkan Rei yang masih terheran-heran. Hanya janji Maya untuk menjelaskan semuanya nanti yang mencegahnya untuk mengikuti keduanya.
Tidak seperti dugaannya semula, kamarnya tampak bersih dan terawat rapi. Sepertinya teman-temannya tetap menjaga kamar itu meski Maya tidak ada. Bahkan futon Maya pun sudah terhampar dengan rapi di ujung ruangan.
“Rupanya teman-temanmu sangat perhatian padamu, Maya,” Masumi meletakkan tas Maya di dekat pintu, menutup pintu kamar, dan duduk di sebuah kursi sederhana yang ada di ruangan itu. Lelaki itu mengulurkan tangannya dan menarik Maya serta mendudukkan gadis itu di pangkuannya. “Akhirnya aku bisa melihat kamarmu ya, Mungil,” Masumi membenamkan wajahnya di leher Maya.
“Maaf, kamarku sangat sederhana, tidak semenarik kamar gadis-gadis lain,” Maya membalas pelukan Masumi.
Masumi memandangi gadis dalam pelukannya dengan seksama, “Aku tak peduli seperti apa kamarmu, Maya, aku hanya peduli kepadamu,” katanya sebelum mendaratkan ciuman di bibir Maya, yang disambut gadis itu dengan antusias.
Rei yang heran karena kedua orang tersebut tidak segera keluar kamar, serta merta membuka pintu kamar Maya. Dia terkejut setengah mati melihat keduanya yang sedang berpelukan dan berciuman. “Maya!” jeritnya pelan tanpa sadar dan buru-buru berbalik meninggalkan ruangan.
Maya yang menyadari kehadiran orang lain segera meloncat turun dengan wajah memerah. “Rei...” bisiknya lemah.
Lain halnya dengan Masumi. Lelaki itu dengan tenang berdiri dan meraih pundak Maya. “Maya, kau harus mencari apartemen sendiri. Secepatnya!” katanya tegas.
Maya hanya melongo saja.
***
“Maya, kau tidak bisa mengelak lagi. Aku menginginkan penjelasan!” kata Rei tegas saat Masumi telah pergi.
Maya nyengir memahami rasa penasaran sahabatnya itu. “Ceritanya panjang, Rei.”
“Kita punya waktu lebih dari satu jam, sebelum teman-teman yang lain datang untuk merayakan kepulanganmu,” kata Rei tegas, tanpa kompromi.
Maya pun menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Rei diam mendengarkan tanpa menyela sekalipun. Sejak lama dia sebetulnya sudah agak mencurigai perilaku Masumi Hayami. Hanya saja dia tak pernah berfikir sejauh itu. Hubungan mereka bukanlah hubungan yang manis. Melainkan hubungan yang menyakitkan. Maya selalu saja marah dan dendam dengan Masumi, sementara Masumi seperti tak henti-hentinya mencari gara-gara. Ketika Mawar Jingga muncul, Rei sudah yakin kalau orang tersebut pastilah orang kaya yang berkecimpung di bisnis hiburan, atau paling tidak penggemar drama yang lingkup sosialnya berputar di sekitar pentas-pentas elit. Tapi sama sekali tak pernah menduga kalau orang tersebut adalah Masumi Hayami.
Rei heran karena Maya bisa menyimpan semua beban ini sekian lama sendirian. Maya memang banyak berubah ketika akan pergi ke Lembah Plum untuk pertama kalinya. Rei dan teman-temannya seringkali menggoda Maya yang tiba-tiba sering murung dan linglung. Maya selamanya memang anak aneh. Tapi kemurungan dan keling-lungannya waktu itu sangat parah. Dia sedang jatuh cinta, begitu kata Sayaka saat itu. Memang betul, Maya memang tampak berubah dan lebih dewasa, dia sudah meninggalkan image kanak-kanaknya. Petualangannya bersama Sakurakoji waktu itu menurut Rei sebagai awal kedewasaan gadis itu. Makanya ketika Maya menangis di bandara saat harus pergi ke London, Rei menduga Maya sedih karena harus meninggalkan Jepang dan Sakurakoji, meski pemuda itu tak ikut mengantarkan Maya ke bandara. Lagipula saat itu memang masa-masa paling menyedihkan bagi mereka. Kematian Bu Mayuko setelah acara pementasan Bidadari Merah adalah pukulan yang sangat telak bagi semuanya. Bisa dibilang selama ini mereka tumbuh di bawah bimbingan Bu Mayuko. Bu Mayuko lah yang telah menemukan dan mempersatukan mereka semua. Tapi Maya ternyata menyimpan kesedihan yang lebih dalam dari itu.
“Apakah itu yang menjadi dasar keputusanmu untuk menerima tawaran pekerjaan dari Daito, Maya?”
“Salah satunya. Bulan lalu ketika kau menyampaikan padaku tentang kontrak kerja itu aku mempertimbangkannya cukup lama, Rei. Aku harus lebih dewasa sekarang, aku tak boleh memandang sesuatu secara sempit. Memang benar Daito lah yang membuat teater kita hancur. Tapi aku menganggapnya itu persaingan bisnis yang biasa. Bila Teater Mayuko tidak hancur di tangan Daito, bisa jadi kita akan hancur oleh perusahaan lain. Benar kan? Lagipula Bu Mayuko sendiri pernah menitipkanku ke Daito. Aku baru menyadari bahwa Bu Mayuko telah mengesampingkan segala rasa sakit hatinya demi kemajuanku karena bagaimanapun Daito adalah peruahaan besar yang bagus sistem manajemennya dan bisa mengorbitkan seorang artis menjadi besar. Bahkan Bu Mayuko pernah pula mengajar di sekolah seni yang didanai oleh Daito, kan?”
Rei teringat Bu Mayuko pernah mengucapkan hal yang sama. Namun satu hal, Maya sekarang sudah dewasa. Dia tampaknya telah siap menjadi artis besar sepenuhnya.
“Dan lebih dari semua itu, Rei, aku mempercayai Masumi Hayami sepenuhnya. Meski mungkin nanti kepercayaan ini akan terasa pedih karena kerasnya dunia artis, aku bertekad akan terus mempercayainya,” Maya mengatakan dengan yakin.
Pembicaraan mereka terhenti saat teman-teman yang lain datang. Segera suasana pun menjadi meriah. Betapa Maya merindukan saat-saat seperti ini. Namun permintaan Masumi agar Maya mencari apartemen baru bukanlah permintaan yang mudah diabaikan, meski menurutinya Maya juga masih ragu.
***
Kediaman Hayami.
Eisuke Hayami sedang menghabiskan malam-malamnya di depan aquarium ikan di ruang keluarga, ditemani Asa yang selalu setia.
“Si Dingin itu sudah pulang, Asa?” tanya Eisuke, menyedot pipanya dalam-dalam.
“Tuan Muda Masumi baru saja masuk ke kamarnya, Tuan. Apa perlu saya panggilkan?”
“Biarkan saja. Dia akan datang kalau dirasa perlu.”
Benar saja, tak sampai lima menit kemudian Masumi memasuki ruangan. Tak tampak sedikitpun gurat kelelahan di wajah tirusnya. Masumi memiliki kebiasaan, tau bisa dibilang kewajiban, untuk melaporkan segala hal kepada ayahnya. Hubungan keduanya memang tak lebih dari hubungan kerja atasan dan bawahan, kecuali dengan embel-embel Masumi memanggil orang tua tersebut sebagai “ayah” , hak melekat akibat menyandang nama Hayami.
Kesehatan orang tua yang terus merosot akhir-akhir ini tak luput dari perhatian Masumi. Namun seperti biasa Masumi tak pernah berkomentar, kecuali memerintahkan dokter pribadi keluarga berupaya sekeras mungkin untuk menjaga ayahnya tetap sehat. Meski biasanya ayahnya sangat keras, bahkan kadang bisa dibilang kejam, namun seiring dengan semakin senja usianya, kadang Masumi merasa ayahnya mulai melunak. Masumi telah sangat lama memacu dirinya untuk bekerja keras. Kadang Masumi merasa lelah untuk terus-terusan berusaha membuktikan diri pada Eisuke bahwa dia mampu dan layak memimpin Daito, namun Masumi berusaha membuang jauh-jauh perasaan pribadi yang dipikirnya tak berguna dan hanya membuatnya lemah serta mengasihani diri sendiri itu.
Malam ini Masumi menemui orang yang telah membesarkannya tersebut, seperti biasa melaporkan seluruh perkembangan Daito. Setelah berbicara cukup lama, baru disadari Masumi bahwa ayahnya tak sepenuhnya fokus pada isi laporannya. Si Tua ini pasti sudah mendengar semua info perusahaan dari mata-mata yang disebarnya, pikir Masumi. Sekian lama berada dalam asuhannya Masumi mulai bisa menebak dengan tepat jalan pikiran Eisuke. Apalagi Eisuke sekarang sudah tidak selincah dan setajam dulu. Masumi bisa dengan tepat menebak serta meniru, bahkan mematahkan cara-cara licik yang sering dipakai Eisuke. Bagaimanapun Masumi lebih muda, lebih berani mengambil resiko, dan bukan pemain baru dalam dunia bisnis korporasi berskala nasional dan internasional. Semua dipelajarinya dari sang ahli, Eisuke.
Namun malam ini ternyata Masumi salah besar.
“Masumi, aku ingin menanyakan satu hal padamu.”
“Ya, ayah.”
“Apakah kau sudah memikirkan untuk menikah kembali?” tanya Eisuke tiba-tiba.
Masumi terkejut. Jangan-jangan Eisuke mengetahui hubungannya dengan Maya... “Belum, ayah.”
“Masumi, selain berkewajiban membesarkan Daito, kau juga punya kewajiban lain. Pewaris,” tanpa disangka Eisuke mengangkat masalah yang selama ini tak pernah disinggung.
“Haruskah, ayah?”
“Harus! Seperti kau tahu sendiri bagaimana aku sudah bersusah payah membesarkan dan mendidikmu menjadi pewaris.”
“Tapi tak ada lagi paksaan maupun perjodohan. Ayah sudah berjanji,” jawab Masumi dingin. Kenangan pernikahannya denga Shiori benar-benar membuatnya geram.
“Tentu, aku sudah berjanji. Tapi bukan berarti aku akan diam saja melihatmu menjadi bujang abadi seperti ini. Tentunya kau sudah banyak bertemu artis, putri politisi, orang-orang terkenal yang cantik-cantik yang bisa kau pilih salah satu sesuka hatimu dan menjadikannya istri, dan kemudian memberinya anak kan?”
“Aku bukan mesin, ayah. Dan ayah sudah berjanji untuk urusan satu ini ayah tidak akan ikut campur.”
“Tapi sampai kapan, Masumi? Usiamu toh sudah bukan muda lagi. Sudah waktunya kau berkeluarga. Aku sudah sangat tua, tinggal menunggu waktu. Aku tak mau mati sia-sia melihat hasil usahaku hancur tanpa diteruskan oleh pewaris.”
“Kalau ayah mau, ayah bisa mencari seorang anak dan mendidiknya menjadi penggantiku, seperti yang dulu ayah lakukan padaku,” Masumi berkata tajam.
Eisuke mendongak terkejut. Dipandanginya wajah laki-laki muda di depannya itu dengan seksama. Wajah yang dingin, keras, dan tanpa ekspresi. Namun tak disangkanya Masumi akan melontarkan kata-kata itu. Bahkan Asa yang dari tadi mendengarkan dengan diam pun terkejut setengah mati. Apalagi setelah dilihatnya wajah majikannya memerah, tanda amarah sudah naik ke kepala. Tapi untunglah Eisuke bisa mengendalikan dirinya.
“Tidurlah, Masumi, mugkin kau kecapekan. Pergilah sebelum kau mengeluarkan kata-kata yang akan kau sesali nanti,” kata Eisuke kemudian, membalikkan kursinya dan kembali memandangi ikan-ikan di aquarium.
Masumi berlalu dengan patuh. Keluar dan menutup pintu dengan pelan. Di kamarnya Masumi segera menenggak vodka langsung dari botolnya. Sekilas perasaan dingin merasukinya saat Eisuke menyebut tentang menikah kembali. Maya, dia sangat khawatir bila Eisuke mengetahui tentang Maya dan dirinya. Masumi meyakini obsesi Eisuke belum sepenuhnya padam untuk memiliki hak pementasan Bidadari Merah. Hubungannya dengan Maya bisa dijadikan senjata bagi Eisuke untuk mendapatkan keinginannya tersebut. Eisuke pasti tak akan segan-segan untuk menghancurkan Maya. Maka usahanya selama ini menjauhkan Maya dari jangkauan tangan Eisuke, juga Shiori, akan sia-sia. Masumi menggigil membayangkan kemungkinan tersebut.
Sementara Eisuke masih berusaha mencerna sikap spontan Masumi tadi. Masumi yang dia kenal adalah orang yang tak pernah lepas kontrol dalam mengendalikan apapun. Setiap kali melihat Masumi Eisuke semakin menyadari betapa miripnya Masumi dengan dirinya di masa muda dulu. Bahkan diakui Eisuke Masumi jauh lebih baik dari dirinya. Di usianya yang belum mencapai empat puluh, Masumi telah meraih kesuksesan sepuluh kali lipat lebih banyak dari dirinya. Sungguh sesuatu yang tak pernah dia duga ketika dia mengangkat Masumi menjadi pewaris dulu.
“Tanpa kita sadari, Masumi telah semakin pandai,” gumamnya.
“Iya, Tuan. Tuan Muda Masumi sudah jauh berkembang. Rasanya baru kemarin saya melihatnya sebagai anak-anak yang bisa membersihkan kolam tanpa mengotori tangannya.”
“Kemampuan dan kemauan, itulah dua sisi penting yang dimiliki Masumi, bagai dua sisi keping mata uang yang membuatnya begitu berharga. Dan dia sudah tahu posisinya di mataku. Dia tahu bahwa kau sekarang sangat tergantung padanya. Daito sangat tergantung padanya. Tanpa kita sadari dia sudah membuat kita memenuhi segala keinginannya karena kita tak bisa lagi eksis tanpa dirinya. Memang hebat anakku itu,” dan Eisuke pun tertawa terbahak-bahak. “Kita tunggu saja Asa, apa yang akan dilakukan Masumi berikutnya.” Masih tertawa Eisuke menambahkan, “Hiburlah aku dengan gossip-gossip baru, Asa. Aku sudah agak bosan dengan omongan Masumi soal pekerjaan.”
“Tuan ingat dengan Nona Kitajima?” tanya Asa.
“Hmm... si Bidadari Merah Mungil pengganti Mayuko itu? Kenapa dia, Asa? Bukankah dia di London?”
“Dia sudah kembali, Tuan. Koran-koran ramai menyebutkan kalau dia sudah pulang ke Jepang. Tapi dia tidak ditemui di apartemennya. Entah sedang berada di mana.”
“Hmmmm...menarik. Gadis itu memang menarik. Tidak cantik, jauh dari anggun. Tapi aku berani bertaruh dia akan sukses. Kalau tidak almarhumah Mayuko tidak akan mati-matian mendidiknya. Mayuko agaknya selalu tahu mana ada barang bagus, hahaha... Entahlah, kalau ingat gadis itu aku jadi bersemangat.”
“Iya, Tuan telah beberapa kali menemuinya kan?”
Eisuke tertawa terbahak lagi, mengingat pertemuan-pertemuannya dengan Maya Kitajima. “Gadis luar biasa! Sepertinya hanya dia satu-satunya gadis yang bisa mengalahkan anakku si keras kepala dan si dingin itu, hahaha....Sayang mereka berdua tidak bisa berhubungan dengan baik. Selalu saja bertengkar seperti kucing dan anjing.”
“Benar, Tuan. Nona Kitajima masih mendendam soal kematian ibunya, juga soal kehancuran teaternya, mungkin.”
“Itu masa lalu, Asa. Tahu sendiri kan betapa waktu bisa melunturkan semua dendam dan kemarahan. Entah kenapa, aku sempat terpikir, bagaimana bila keduanya bila menjadi pasangan, huahahaha...”
“Tuan...”
“Tenang, Asa. Terus terang pikiran itu sangat menghiburku. Bayangkan Masumi Hayami dan Maya Kitajima? Hahahaha... Masumi Hayami, si Dingin, gila kerja dan tak berperasaan yang menghalalkan segala cara demi meraih kesuksesan, dan Maya Kitajima, gadis yang sering kali hanya menggunakan kemauan jarang menggunakan otak, namun berani mempertaruhkan 1% kemungkinan untuk meraih kesuksesan, coba bayangkan Asa, pewaris macam apa yang akan dilahirkan dua orang hebat itu, hahaha....”
Asa diam mencerna ucapan majikannya.

5 comments:

  1. mksih dah di update sistaaaa

    ReplyDelete
  2. Lanjuuuuuuuuuutttttt sistaa, klo boleh request ntu antar paragraf kasih spasi sis biar keliatan lebih bagus.........Thanks apdeetnya salan kenal ^^

    -fagustina-

    ReplyDelete
  3. thx y bt apdetannya.. kpan apdet lg..??? *minta d timpuk* :D

    -ethey-

    ReplyDelete
  4. @fagustina: iya nih sist, kan langsung copas dr msword keluarnya kayak gini, paragrafnya ga jelas.
    oke deh, ntar penampilan di edit lagi, thanks sarannya

    ReplyDelete
  5. ayie said:
    mantaapp sist.... ditunggu update nya.

    ReplyDelete