Monday, May 23, 2011

Marriage By Arrangement (2)

“Mungkin kau menganggapku bercanda, Caro, tetapi aku sangat serius,” James menatapnya lekat-lekat dan membuat Caro salah tingkah.

“Tapi aku bukan gadis seperti yang selama ini kau bayangkan, James. Aku bukanlah tipe ibu rumah tangga ideal yang merasa cukup dengan hanya menjadi pendamping suami, menjadi komite di gereja, aktif di badan amal, menghabiskan waktu dengan berbelanja dan bermain bridge, serta menghadiri pesta-pesta kelas atas. Aku tak akan puas dengan itu. Aku pasti ingin lebih.”

“Bukankah apa yang kutawarkan lebih baik dari keadaanmu sekarang?”

“Siapa bilang lebih baik? Sadarkah kau bahwa memang inilah yang kehidupan kupilih, untuk saat ini paling tidak. Aku memang menginginkan beberapa hal yang sekarang tak kumiliki, tapi aku cukup yakin bahwa hal-hal yang kuinginkan sama sekali tak ada dalam daftar yang kautawarkan.”

James tertawa. Sama sekali tak disangkanya si mungil Caro ternyata begitu keras kepala. Dan terus terang hal itu membuatnya penasaran setengah mati.

“Tetapi kita bisa berteman baik kan?”

Caro membelalakkan mata indahnya yang berwarna hijau. “Tentu saja kita berteman baik, tapi tidak ada yang istimewa. Kita hanya bertemu selama di rumah sakit, sesekali saling menyapa, pembicaraan yang kita lakukan hanyalah sebatas kau memberi perintah kepadaku untuk melakukan beberapa hal yang berkaitan dengan pasien. Kita bahkan tidak bergaul dalam lingkungan yang sama.”

“Apakah kau tidak menyukaiku?”

“Aku menghormatimu sebagai atasan. Tapi aku tidak punya cukup alasan untuk menyukaimu,” jawab Caro gamblang. “Kau sering marah-marah tanpa alasan, kau selalu sibuk hingga tak pernah meluangkan waktu dengan orang-orang di sekitarmu di rumah sakit, bahkan aku yakin bahwa ketika kau akan mengoperasi seseorang, kau hanya akan membaca riwayat medisnya, sama sekali tidak peduli dengan latar belakangnya, dan mungkin kau bahkan tak peduli dengan nama pasienmu.”

James terbelalak dengan keterus-terangan Caro. “Wow, luar biasa sekali analisamu terhadap kepribadianku, Caro.”

“Katakan Professor, apakah apa yang kukatakan barusan akan membuatmu menggunakan pengaruhmu untuk memecatku?”

James langsung tertawa terbahak-bahak. Caro menatapnya dengan heran. Dasar sinting, pikirnya.

“Sudah hampir waktunya makan siang, apakah kau mau mengundangku makan siang?. Terus terang aku lapar sekali,” kata James tanpa disangka-sangka.

Caro memikirkan sebuah menu. “Oke, kalau kau tidak keberatan memakan makanan yang simple.”

“Apapun jadi. Aku akan membantumu.”

Caro beranjak ke dapur diikuti oleh James. Dikeluarkannya beberapa kaleng sup. Sementara memanaskan sup Caro menyiapkan macaroni cheese. Sementara Caro menyiapkan makanan James menata meja. Mengambil perabot dari lemari seolah dia telah melakukannya setiap hari. Ketika James meraih beberapa gelas wine, Caro mencegahnya.

“Aku tidak punya persediaan minuman alkohol sama sekali.”

“Bir kaleng pun tidak ada?”

“Sayangnya tidak,” gadis itu menggeleng. “Pilihanmu hanya terbatas pada orange squash dan air mineral.”

James meyakinkan Caro bahwa orange squashlah minuman yang paling tepat untuk pendamping apapun yang dimasaknya siang ini. Saat mereka makan berdua di ruang makan Caro yang sederhana James menikmati semua hidangan dan membuat puas siapapun yang memasaknya. Mereka berbincang santai tentang ini dan itu, hingga tanpa Caro sadari dia sudah menjawab begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan lelaki itu secara halus. James juga membantu mencuci perkakas bekas makan, tanpa canggung dia menyambar celemek dan mengikatnya di pinggangnya sementara Caro mengeringkan dan menatanya di tatakan. Caro berfikir mungkin James akan segera pulang. Tetapi nyatanya lelaki itu malah menyarankan mereka kembali ke ruang duduk. Caro menatapnya dengan pandangan tak setuju.

“Ayolah, Caro, ini hari liburku juga, berbaik-hatilah untuk sedikit menghiburku,” bujuk James.

“James, kau bertingkah absurd! Kau tahu kan bahwa kau tidak bisa begitu saja masuk ke sini dan bertingkah seolah kita sudah mengenal baik dalam waktu cukup lama? Anda melanggar wilayah pribadi saya, Professor!” suara Caro berapi-api.

“Caro, ketika aku menawarimu sebuah pernikahan, aku serius, sangat serius. Dan sekarang wajar kan kalau aku berusaha mengenal calon istriku?”

“James!” seru Caro frustrasi.

“Dengarkan aku, Caro, aku sama sekali tak berniat mendengar kata penolakan. Kalau kau menunda jawabanmu, baiklah, aku akan terima. Kalau kau ingin kita saling mengenal, baik, mari kita lakukan. Kau perlu berapa kali kencan, aku akan turuti. Bila kau menolak aku berada di wilayah pribadimu, maka pilihan yang tersisa adalah kau ke rumahku, karena aku sangat ingin kau mengenal aku. Paham? Nah, sekarang jadilah gadis yang manis, mari kita keluar.”

Caro mempertanyakan kewarasannya ketika dia akhirnya berada di mobil James yang canggih, hangat dilingkupi kemewahan, dan segera memutuskan bahwa dia menikmati kenyamanan itu.

“Kau cukup hangat?” tanya James, mengemudikan mobilnya meninggalkan area apartemen Caro.

“Hm... terus terang, pengalamanku dengan mobil mewah bisa dibilang tidak ada, tapi bila kenyamanan seperti ini yang diberikan oleh mobil-mobil mahal ini, ya, aku menikmatinya, jawab Caro yang disambut ledakan tawa Professor.

“Caro, aku sama sekali tak tahu bahwa penampilanmu di rumah sakit telah begitu menipu. Gadis yang aku pikir pendiam, efisien dan cekatan, tak banyak menonjolkan diri, patuh terhadap aturan, dan bahkan bisa dibilang selalu menghindari konflik, ternyata di rumah adalah seorang yang begitu berbeda.”

Caro menyipitkan mata, manatap lelaki di sampingnya. Entah apa yang membuatnya melepas semua topeng yang selama ini dikenakannya. Caro selalu menyanjung dirinya sebagai gadis berakal sehat yang selalu bida mengendalikan diri. Namun hari ini James sudah berhasil memancing sisi lain dirinya yang berlidah tajam. “Kau pun bukan pribadi yang cukup menyenangkan, James.”

“Oh ya?”

“Selalu marah-marah, penuntut, perfeksionis yang membuat semua dokter muda ketakutan bila harus bekerja denganmu. Untungnya aku hanya beberapa kali saja terlibat secara tak sengaja di timmu. Untuk sekarang aku lebih menyukai posku di ruang gawat darurat. Aku tak berminat mengambil spesialisasi serumit spesialisasimu. Aku khawatir, bila aku mengikuti jejakmu, aku akan menjadi sama meyeramkan sepertimu. Namun tak ada yang menyangkau kalau kau pun bisa tertawa seperti hari ini. Kau tampak manusiawi.”

“Begitukah pandanganmu, Caro? Sepertinya aku harus berusaha keras untuk menjadi orang yang lebih menyenangkan seperti yang kau harapkan.”

“Tak perlu. Aku tak pernah menuntut orang berubah hanya demi kepentinganku. Hubungan kita tak akan kemana-mana, James, kita dua orang yang sangat berbeda. Saat kau mengatakan bahwa aku orang yang logis, tidak tertipu dengan segala omong kosong tentang romantisme, memang benar. Karena aku berpikir logis, maka aku menolak tawaranmu, maaf sekali. Aku mengharapkan lebih dari sebuah pernikahan, atau tidak usah menikah sama sekali. Kau salah bila menganggap pernikahan adalah sebuah pekerjaan, sehingga kau tak perlu mengenal orang dengan siapa kamu menikah, seperti ketika kau melamar pekerjaan. Karena bila aku menikah, maka aku harus mengenal dengan baik dengan siapa aku menikah, serta aku harus mendapatkan jaminan keamanan bagi diriku sendiri, setidaknya aku akan terhindar dari segala sakit hati bila akhirnya pernikahan tidak berjalan semestinya. Maaf, sepertinya pandangan kita berbeda. Jadi sebelum terjadi apa-apa, lebih baik ide gila ini kita singkirkan jauh-jauh.”

“Demi Tuhan, Caro, untuk seorang yang pendiam, kau bicara cukup banyak. Dan kaupun berpikir terlalu jauh. Bagaimana bila kita nikmati saja hari ini, tanpa memikirkan ide itu sama sekali? Terus terang aku sedang butuh sekali ditemani, dan mengenalmu hari ini, kau ternyata teman yang benar-benar kubutuhkan saat ini.”

Mereka menuju ke kawasan elit Mayfair, dimana deretan rumah berarsitektur mahal seolah menunjukkan kelas pemiliknya. Sama sekali tak mengesankan kota London yang sibuk dan bising. Bangunan mewah dan elegan saling berjejer menawarkan kenyamanan kelas atas yang berkesan mengintimidasi. Ketika akhirnya mereka berhenti di depan sebuah bangunan tiga laintai, dengan balkon yang berpagar besi tempa hitam dan berhalaman lumayan luas yang diisi taman yang terawat baik, Caro kian yakin bahwa James hidup di negeri dongeng yang sama sekali tak terjamah oleh realitas kehidupan keras yang harus dijalani gadis itu. Mereka tidak akan imbang.

“Rumahmu bagus sekali,” pujinya sambil membuka sabuk pengamannya, gerakan yang tak perlu karena James telah dengan sigap membukakan untuknya. Saat Caro akan bangkit, James memberinya tanda untuk diam di tempat. Dengan bingung Caro menurut. James keluar, memutari mobilnya, dan membukakan pintu untuknya. Baiklah, kalau dia memang ingin memperlakukan teman perempuan seperti dari jaman kuno, silakan saja, pikirnya masam.

Mereka disambut oleh seorang laki-laki setengah baya yang berpenampilan rapi dan licin layaknya seorang kepala pelayan.

“Kenalkan, Knotty, dia dan istrinya yang mengurusku dengan baik sekali. Knotty, ini Nona Trent, dari Rumah Sakit St. Agnes.”

“Selamat siang, Nona, senang bertemu Anda,” Knotty membungkuk.

Namun Caro segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Panggil aku Caro, oke? Senang juga bertemu Anda.”

Dari dalam rumah terdengar salak anjing, hingga muncul labrador jantan berwana keemasan yang dengan riang menyambut tuannya.

“Kuharap kau suka anjing, Caro. Ini Jason, aku telah memilikinya selama beberapa tahun.”

“Dia jinak?” tanya Caro.

“Iya, dia tahu kepada siapa dia harus galak dan kepada siapa dia bermanja-manja.”

“Halo, Jason,” Caro mengelus kepalanya. Melihat Jason tak keberatan, Caro pun menggaruk belakang telinganya dan akhirnya dengan sayang memeluknya. “Kau tampan sekali.”

Diiringi Jason, James membimbing Caro ke ruangan terbuka yang menghadap ke taman belakang. Ada sebuah kolam renang dan taman yang di musim panas pasti akan sangat indah. Saat ini bereka cukup puas berada di dalam ruangan yang berfurniture indah dan mahal. Seorang perempuan setengah baya dengan wajah bulat dan senyum ramah keluar menyajikan seteko kopi dan beberapa makanan kecil yang menggoda selera.

“Halo,” salam Caro ramah.

“Saya Hannah, istri Knotty. Anda sudah bertemu suami saya tadi.”

“Ya, terimakasih untuk makanannya. Sepertinya sangat enak.”

“Terimakasih, saya senang bila Nona menyukainya.”

James menuang minuman ke cangkir dan memberikannya kepada Caro.

“Sepertinya kau begitu dimanjakan oleh para pegawaimu,” komentarnya sambil lalu.

James tertawa. “Bagaimana? Kau suka rumahku?”

“Sulit untuk membenci bangunan seindah ini.”

Mereka berbincang sejenak membicarakan hal-hal umum. Kemudian James mengajaknya melakukan tur singkat berkeliling rumah. Tampak sekali bahwa furniturenya dipilih dengan ahli dan penuh cita rasa. Namun Caro merasakan sedikit kekosongan karena bagaimanapun interior rumah ini ditata professional tapi tidak hangat karena seolah tidak berjiwa.

“Bagaimana? Kau suka dengan apa yang kau lihat?” tanya James ketika mereka kembali ke ruang duduk.

“Kalau aku diberi pilihan, aku akan memilih sesuatu yang lebih bersifat kekeluargaan. Aku tidak mencela isi rumahmu, kenyataannya ini pasti telah dirancang oleh professional dengan cita rasa nomor satu. Namun kalau aku pasti akan menunggu beberapa waktu untuk mulai mengisi rumahku. Aku perlu beberapa waktu untuk mengenali pencahayaan, kenyamanan, dan juga suasana yang tepat untuk ruangan-ruangan dalam rumah. Dan kemudian aku akan berburu barang-barang obral, pergi ke pelelangan untuk sebuah sofa, lampu antik, hingga lukisan. Aku menikmati proses itu. Sangat menyenangkan. Dan hasilnya pun pasti akan sangat memuaskan.”

James mengamati Caro yang berbicara seperti sedang bermimpi. Matanya berwarna hijau nampak berbinar-binar. Sekilas James merasa bahwa gadis sederhana ini ternyata menarik. Sisa hari itu mereka berbincang akrab tentang berbagai hal. Hingga Hannah menyajikan makan malam. Hidangan lezat berupa cockatil udang sebagai hidangan pembuka, sayatan daging domba dan kacang polong yang disajikan dengan saus mint, serta salad buah dengan krim sebagai penutup. Caro membayangkan hidangan sederhana siang tadi yang mereka makan berdua, dan sedikit merasa malu hingga wajahnya bersemu merah. James, seolah bisa membaca pikirannya hanya mengedipkan matanya sambil tertawa.

James menuangkan segelas sherry untuknya, serta anggur putih untuk dirinya sendiri. Setelah menghabiskan sepoci kopi, Caro pun merasa sudah waktunya berpamitan. Dia menyempatkan diri ke dapur untuk mengucapkan terima kasih atas hidangan lezat itu kepada Hannah. James mengemudikan mobilnya dengan tenang, sementara di sebelahnya Caro dengan mata mengantuk membelai kepala Jason yang berada di antara mereka berdua.Tiba di apartemen Caro James mengikutinya sampai ke depan pintu, meminta kunci, membukakan pintu untuk Caro serta menyalakan lampu.

“Selamat malam, Caro, aku menikmati hari ini.”

Caro mendongak menatapnya. “Terima kasih. Selamat malam, James.”

Caro membelalakkan mata ketika tiba-tiba James mencium pipinya lembut, sebelum menghilang berbalik ke koridor dan menghilang masuk lift.

6 comments:

  1. Yaay makasih dah apdet klo Caro ga mau, James sama aku aja deh....wakakakakaka *ngayal* semangat sista, lanjuuuutkaaan

    ReplyDelete
  2. wah, makasih apresiasinya ya. bikin semangat nih ngelanjutinnya

    ReplyDelete
  3. lanjuuutttt!!! aku sukkkaaaaa......

    ReplyDelete
  4. ceritan ya bagus!!!! serasa baca Harlequin hehehe

    di tunggu lanjutannya ya........

    ReplyDelete
  5. Wah blm ada lanjutannya lg ya sist, penasaran.com......

    ReplyDelete
  6. sukaaaa hahahah lebih baguuus dari harlequin hehehe
    anita f4evermania

    ReplyDelete