Tuesday, May 17, 2011

Marriage By Arrangement (1)

Pernikahan adalah sebuah pekerjaan. Paling tidak begitulah yang tertangkap dalam benak Caro ketika senior yang juga atasannya menawarkan “jabatan” itu kepadanya.

“Anggap saja itu sebuah pekerjaan, Caroline, mengingat kau orang yang sangat giat bekerja,” kata Professor Willis datar.

Caroline Trent selalu menganggap dirinya perempuan dengan akal sehat. Namun tak urung dia membelalakkan matanya. “Maaf, Professor?”

“Aku tak perlu mengulang lagi apa yang telah kukatakan, Caroline,” Professor Willis menghirup kopinya tenang, seolah pembicaraan yang mereka lakukan adalah obrolan ringan tentang cuaca, dan bukan topik sensitif tentang pernikahan.

Caro terdiam, mencerna semua yang baru saja mereka bicarakan. Tadi memang Professor Willis memasuki ruangannya tepat sebelum dia istirahat makan siang. Tanpa basa-basi lelaki itu langsung menghampirinya dan berbicara langsung kepadanya. “Ambil mantelmu, Caroline, kita makan fish and Chips di kedai seberang jalan.”

Caro yang sudah biasa bekerja bersama Professor Willis mengikuti perintah dengan patuh. Menyambar mantelnya dari balik pintu dan mengikuti langkah-langkah lebar lelaki itu keluar dari rumah sakit. Security yang bertugas di gerbang masuk mengangguk memberi salam pada keduanya. Caro sampai tepat di sebelah Professor Willis ketika lelaki itu menghentikan langkahnya menunggu lampu merah untuk menyeberang jalan.

“Bila Anda sudah terlalu lapar, harusnya tak perlu repot mengajak saya, Professor. Anda bisa pergi sendiri tanpa harus menunggu saya. Anda pasti tahu kaki saya tidak sepanjang kaki Anda,” gerutu Caro.

“Jangan mengoceh, Caroline,” dan Professor Willis menarik tangan Caroline, menggandengnya menyebrangi jalan raya London yang sibuk dan padat pada jam makan siang.

Kedai sederhana itu ramai sekali. Caro bisa menemukan beberapa koleganya berada di sana. Juga beberapa perawat yang duduk bergerombol pada satu meja. Pada mereka Caro cuma melambai dan tersenyum ramah, sampai akhirnya Prof menemukan sebuah meja kosong untuk dua orang tepat di tengah ruangan, melambai ke arah pelayan meminta sepoci kopi dan menyampaikan pesananan bagi mereka berdua.

Kopi yang kental dan mengepul itu menguarkan harum yang seakan bisa melenyapkan segala bau rumah sakit. Caro menghirup kopinya dengan nikmat.

“Caroline, maukah kau menikah denganku?” tanya Professor tiba-tiba. Dengan nada yang sama dengan orang menanyakan warna sepatu yang dikenakannya.

Pada wajah Caro yang terkejut setengah mati, dia berkata ,”Jangan menjawab sekarang, Caroline. Aku anggap kita akan memiliki pernikahan yang sukses dan bahagia. Aku membutuhkan seorang istri yang bisa mengelola rumah tanggaku, namun di lain sisi aku tak mau kehidupan pribadiku maupun pekerjaanku terganggu. Sebagai imbalan kau akan mendapatkan rumah yang layak, kehidupan yang lumayan, dan kau bisa bergabung di klinik pribadiku, menjalani hidup dengan santai tanpa harus dikejar-kejar jadwal rumah sakit yang tidak manusiawi. Kupikir hal ini akan sangat menguntungkan bagi kita berdua.”

Caro mengedip-kedipkan matanya bingung. “Professor, Anda menganggap pernikahan seperti pekerjaan,” potongnya cepat.

“Bukankah memang seperti itu? Pernikahan yang kutawarkan adalah berupa legalitas agar kita bisa hidup dalam satu rumah, murni platonik, dengan tambahan tugas untukmu menjadi pendampingku untuk berbagai acara yang sering harus kuhadiri yang membutuhkan kehadiran seorang istri, mengatur rumah tangga, namun kau juga masih memiliki karir. Sebagai imbalan, aku akan memberimu kehidupan yang layak. Keuanganku sangat baik, kau tahu? Kupikir aku akan bisa mencukupi semua kebutuhanmu akan pakaian, makanan, dan gaya hidup kelas atas. Namun jangan katakan kau terikat pada pekerjaanmu, Caroline, karena aku tahu bahwa kau benci pekerjaan di rumah sakit, dan ingin sekali menjadi dokter umum di desa atau di tempat yang lebih tenang. Aku bisa mewujudkan itu untukmu. Aku punya praktek pribadi yang aku kelola bersama rekan-rekanku. Tempatnya agak di pinggiran kota yang tenang. Mereka pasti mau menerimamu bekerja bersama mereka sebagai dokter junior bila kau bersedia menjadi istriku. ”
“Tapi Professor, kita bahkan belum saling mengenal.”

“Apakah kau perlu untuk mengenal direktur rumah sakit beserta seluruh stafnya ketika kau melamar pekerjaan, Caroline?”

Caro terdiam. Professor Willis terkenal tidak banyak bicara. Namun sekali dia bicara biasanya dengan logika yang tak terbantahkan. Caro mengenal lelaki itu selama dua tahun masa kerjanya di rumah sakit dimana Professor berdinas beberapa kali seminggu atau menerima panggilan bila ada pasien-pasien yang membutuhkan keahliannya. Sebagai ahli bedah jantung terkenal, Professor Willis sangat sibuk, selain menangani pasien di beberapa rumah sakit besar di London, juga masih berkeliling Eropa menghadiri seminar, maupun mengajar di universitas. Wajar bila di usianya yang menjelang 40 an dia masih lajang. Wajahnya sangat tampan dengan bentuk rahang dan hidung khas bangsawan Inggris, serta perawakan tinggi di atas rata-rata lelaki kebanyakan, gaya berpakaian yang mewah namun elegan membalut tubuh langsing dan berotot. Dengan mengendarai mobil Bentley mewah edisi terbaru, Caro bisa membayangkan deretan perempuan cantik yang antri untuk menemaninya menghadiri jamuan mewah kelas atas.
Namun kenapa dia justru menawarkan “posisi” ini pada Caro?

Sayang pembicaraan mereka tertunda ketika pelayan membawakan pesanan mereka. Sekeranjang roti yang masih hangat dan dua porsi fish and chips yang menggoda perut yang sudah lapar. Tanpa diberi aba-aba, Caro mulai menikmati makan siangnya. Professor pun melakukan hal serupa. Anehnya dia tak nampak asing meski makanan murah seperti ini pastilah bukan santapan sehari-harinya.

“Apakah kau masih punya keluarga, Caroline?” tanya Professor tiba-tiba.

Caro mendongakkan wajahnya. “Tidak,” gadis itu menggeleng. “Orang tua saya meninggal waktu saya masih kecil. Saya dibesarkan kakek saya yang juga sudah meninggal 5 tahun lalu, saya sekolah menggunakan dana perwalian. Sekarang saya hidup sendiri. Ada beberapa paman dan bibi jauh, tapi saya tak mengenal mereka.”

“Sekarang, apa alasan Professor memilih saya?” tanya Caro terus terang.

“Karena aku pikir kau satu-satunya gadis yang bisa untuk posisi itu. Kau cukup logis, tidak banyak omong dan cukup bertanggung jawab.” Bukan jawaban yang melegakan bagi seorang gadis. Gadis normal pastilah ingin jawaban yang romantis. “Selain itu kupikir kau bukan orang yang romantis, yang percaya dengan segala omong kosong jatuh cinta dan sebagainya. Percayalah, Caroline, menikah itu tak lebih dari sebuah kemitraan yang didalamnya dibutuhkan kerjasama dan kompromi. Kita sudah banyak bekerja sama dan aku terus terang menyukai cara kerjamu. Dan kupikir itu cukup untuk saat ini.”

Kemudian Professor meminta ponsel Caro mengetikkan nomor pribadinya beserta alamat emailnya, melakukan hal serupa pada gadget canggihnya, sebelum mengembalikannya kepada Caro. “Aku akan menghubungimu minggu depan, karena aku harus pergi ke Prancis besok. Kuharap saat itu kau sudah siap dengan jawabanmu. Berpikir logislah, Caroline, dan aku sangat mengharap kau terima tawaranku.”

Keduanya segera mengakhiri makan siang singkat itu dan bergabung dalam arus orang-orang yang kembali ke rumah sakit. Caro tak menyangka bahwa tawaran pernikahannya yang pertama justru berlangsung di tengah keramaian kedai yang sederhana di tengah hari bolong, bukannya di restoran mewah yang romantis.

Di rumah sakit beberapa perawat yang tadi dia temui di kedai senyum-senyum genit kepadanya.

“Tidak biasanya Professor Willis makan disana, Caro, ada apa ini?” Suster Mac. Fergus, yang paling senior, menggodanya.

Caro mendongakkan wajahnya dari catatan pasien yang sedang dibacanya. “Tidak ada yang istimewa. Kebetulan aku sedang mau berangkat makan siang dan bertemu Prof yang kemudian memutuskan pergi bersamaku,” katanya datar.

Wajah-wajah penasaran itu segera berlalu dengan kecewa. Caro memang bukan orang yang tepat untuk diajak bergosip. Meski cenderung tenang, Caro bukanlah tipe gadis membosankan, karena kenyataannya dia disukai banyak orang, selalu siap membantu, juga pendengar yang baik. Tapi memang bukan tipe banyak bicara. Terutama dia jarang membicarakan tentang dirinya. Secara penampilan Caro memang tidak terlalu menonjol, wajahnya manis, tetapi jauh dari jelita, perawakannya mungil, bila berbicara selalu langsung pada pokok pembicaraan, namun beberapa dokter senior menjulukinya berotak brilian, meski nampaknya Caro tak begitu tertarik mengejar karir. Bukan rahasia umum bila dia sedang mengejar kesempatan menjadi kolega dokter umum di poli yang ada di pedesaan.

Sisa hari yang berlalu Caro berusaha melupakan pembicaraannya dengan Professor Willis. Cermin di kamar mandinya jelas-jelas menegaskan bahwa dia tak akan cocok jadi pendamping Professor Willis. Selain itu majalah-majalah wanita yang sempat dibacanya telah menampilkan prosentasi perceraian yang semakin meninggi akhir-akhir ini. Dan memilih pasangan semenarik dan sepopuler Professor Willis bukanlah pilihan yang bijak, meskipun hubungan mereka nanti akan platonik. Caro percaya seratus persen, se-platonik apapun sebuah hubungan, selalu pihak perempuan lah yang terluka. Namun tawaran bekerja di klinik milik Prof benar-benar menggoda. Apakah Caro akan sanggup menghadapi affair-affair yang pasti terjadi antara Prof dengan koleksi gadis-gadis cantiknya? Lalu bagaimana dengan kehidupannya sendiri? Terus terang Caro masih memiliki mimpi untuk menikah baik-baik dengan lelaki sederhana, pemilik peternakan atau pertanian, di rumah desa yang hangat, dan membesarkan anak-anak mereka secara sederhana, sementara dia akan tetap berdinas dengan membuka praktek sebagai dokter desa. Semua yang tidak akan sanggup dia wujudkan seandainya dia menerima tawaran Professor Willis.

Caro menjalani kehidupannya yang tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Di apartemennya yang mungil dan nyaman Caro menghabiskan sisa waktu senggangnya yang tidak banyak. Caro sudah terbiasa sendiri. Dia tidak akan merasa canggung untuk melakukan segalanya sendiri. Pergi menonton film, ke toko buku, atau berbelanja bisa dijalaninya dengan nyaman sendirian. Namun tak jarang dia juga bergabung dengan rekan-rekan lain sesama dokter magang di rumah sakit, sekedar pergi ke pub atau ke konser musik. Memang tak ada satupun dari rekan-rekan prianya yang menunjukkan ketertarikan khusus padanya. Beberapa kali Caro, seperti gadis normal lain, memang sempat tertarik dengan rekan kerja, namun segera padam dengan sendirinya setelah tak mendapat respon. Caro telah lama menyadari bahwa personalitynya bukanlah type yang akan menarik lawan jenisnya untuk mendekat. Maka Caro menerima saja perannya sebagai sebatas teman yang baik. Di usianya yang hampir dua puluh tujuh tahun, bisa dibilang Caro belum pernah berhubungan dengan lelaki.

Saat Caro menganggap Professor Willis telah melupakan dirinya dan semua ide gilanya, lelaki itu mengiriminya pesan singkat.

“Aku akan menemuimu besok.”

Caro membelalakkan mata menatap pesan singkat di ponselnya itu. Dasar orang aneh, dikiranya aku akan seharian memikirkan dia apa? Pikirnya sebal. Dan lelaki itu juga tidak menyertakan waktu dan tempat dia akan menemui Caro. Caro pun melupakan pesan tersebut.

Keesokan harinya adalah hari libur Caro. Tapi daripada bermalas-malasan dan tidur sampai siang, Caro memilih membersihkan apartemennya yang mungil namun nyaman, ditata dengan cita rasa hangat, kepribadian Caro yang lain, yang tidak akan diketahui orang lain kecuali orang-orang terdekatnya. Setelah membersihkan kamar tidur dan ruang tengah, Caro beranjak menjelajah dapur. Di rumah Caro suka kehidupan yang rileks dan nyaman. Termasuk dia lebih suka memasak sendiri makanannya bila ada waktu. Dia bukan vegetarian, dia juga bukan tipe yang harus berdiet dengan ketat. Proporsi tubuhnya tidak ada masalah untuk melahap makanan layak dan sehat tiga kali sehari. Dia memasak hanya karena suka melakukannya, tidak lebih. Maka setelah melongok isi kulkasnya, Caro berniat untuk berbelanja.

Musim gugur membawa angin dingin. Caro, dalam balutan celana tebal, sweater, mantel, dan topi wool membungkus rambut merahnya melangkah keluar apartemen menuju toko yang menjual kebutuhan sehari-hari yang terletak hanya beberapa blok dari apartemennya. Pemiliknya seorang imigran Irlandia, seorang wanita tua yang sudah sering sakit-sakitan. Meski usaha tokonya sekarang dijalankan oleh putra bungsunya, namun Caro masih sering mendapati wanita itu duduk di balik meja kasir. Biasanya bila tidak sedang pengunjung, Caro akan menyempatkan diri mengobrol dengan wanita baik hati itu. Mendengarkan cerita masa lalunya yang sudah diulang entah berapa puluh kali. Dan hari ini adalah salah satunya. Bahkan wanita tua itu mengundangnya minum teh di lantai dua tokonya yang merangkap sebagai tempat tinggal sementara bila mereka tidak sempat pulang ke rumah kediaman mereka di daerah Cheapside. Sepanjang pembicaraan mereka selalu diselingi oleh komentar tidak setuju dari John, putra si nyonya tua. Setelah hampir satu jam, lelaki itu muncul kembali di pintu.

“Ma, Gadis Dokter mu ini punya kesibukan lain selain menemanimu beromong kosong. Biarlah dia pulang untuk menikmati libur singkatnya itu,” tegusnya halus untuk kesekian kali.

“Ah, kau ini, John, selalu saja mengganggu kesenanganku!” gerutu ibunya. “Benarkah kau sibuk, sayang? Terus terang aku ini kesepian sekali. Aku ingin John segera menikah dan memberiku cucu yang bisa kuasuh di hari tuaku yang tak berguna ini.”

“Ini memang hari liburku, tapi jangan khawatir, John akan segera menemukan pasangan yang cantik, yang akan memberimu cucu-cucu yang juga cantik untuk kau manjakan,”

Caro menyentuh lembut pipi wanita tua itu seolah meyakinkan. “Sekarang aku harus pulang, percayalah kau akan baik-baik saja. John sangat menyayangimu, kau tahu kan?”
Wanita tua itu tersenyum lembut. “Seandainya menantuku nanti seperti kau, Caro, pasti aku akan bahagia sekali.”

Caro tertawa, tapi melihat John yang berdiri salah tingkah dia segera menghentikan tawanya. “Sebaiknya aku segera pulang,” katanya sambil beranjak.

Belanjaan Caro tidak banyak. Hanya dua kantong kertas yang akan dengan mudah dibawanya. Tapi John menawarkan bantuannya untuk membaawanya ke apartemen Caro. Gadis itu menatap John dengan heran. Mata hijaunya yang indah membelalak bersinar.

“Mungkin sedikit udara segar akan baik bagiku daripada aku hanya berkutat di toko itu. Lagipula berjalan berdua pasti lebih menyenangkan daripada sendiri. Iya kan?” dalihnya, meski tak urung wajah lelaki itu memerah.

Wow... apakah ini rayuan? Pikir Caro. Tapi segera dibuangnya jauh-jauh pikiran itu. Dengan riang gadis itu menyerahkan satu kantung kertasnya kepada John dan melangkah riang di samping lelaki itu. John berperawakan tinggi besar seperti orang viking, dengan rambut merah keriting berantakan. Meski wajahnya agak kasar, namun matanya menyorotkan kebaikan bak malaikat. Caro menyukai John. Terus terang tak akan banyak bahan pembicaraan yang bisa dilakukan oleh Caro dengan John karena lelaki ini begitu sederhana. Tetapi ternyata Caro menyukai ditemani oleh John, meski mereka lebih sering diam. Kalaupun berkomentar itupun terbatas pada cuaca. Pada satu blok terakhir barulah John banyak bercerita tentang kerinduannya pada kampung halamannya yang hijau. Dia juga bercerita tentang peternakan yang dimiliki pamannya. John mengatakan bahwa dia suka sekali membantu pekerjaan di peternakan. Kalau bukan karena ibunya yang sudah tua di London yang memintanya mengurusi usaha keluarga John akan lebih memilih tetap di desa. Caro mendengarkan cerita John dengan seksama.

Sayang pembicaran mereka harus terhenti karena mereka telah sampai di depan gedung apartemen Caro.

“Caroline,” sebuah suara mengejutkan Caro.

Gadis itu menoleh mencari sumbernya, dan tampak Professor Willis sedang berdiri di samping mobil mewahnya dalam setelan paginya yang meski tidak formal namun tampak mahal.

“Professor?”

Lelaki itu melangkah gontai mendekati mereka berdua.

“Saya tak menduga Anda akan datang sekarang.”

“Aku sudah mengirim pesan kemarin.”

“Iya, tapi Anda sama sekali tidak menyebutkan waktu atau tempatnya...,”

“Ah, maafkan kekasaranku,” Professor Willis tersenyum, gaya tenang tingkat atas dan sopan santun tak tercela memang sudah menjadi ciri khasnya, mungkin hasil didikan sekolah asrama mahal yang sudah menjadi tradisi turun temurun keluarga-keluarga tua dan kaya dari Inggris. “Temanmu?”

“Oh, ya, kenalkan ini John, pemilik toko langgananku. Dia berbaik hati menemaniku pulang dari berbelanja. John, kenalkan, Professor Willis, atasanku dari rumah sakit,” Caro mengenalkan mereka dengan kikuk.

John pun tak kalah kikuk. Tangannya yang kasar tampak aneh saat menjabat tangan panjang elegan dan terawat milik Prof.

“Caro, aku pulang dulu ya, Ma pasti sudah menungguku,” katanya sambil menyerahkan kantong kertas pada Caro. “Maaf aku tak mengantar sampai ke dalam. Sampai ketemu lagi,” John mencium lembut pipi Caro sebelum berlalu. Bibirnya yang hangat meninggalkan jejak di hati Cari dan membuat wajah gadis itu merah padam. Pasti John mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mencium Caro, karena Caro tahu betapa pendiam dan pemalunya John.

Semua itu tak luput dari mata jeli Professor.

“Salah satu penggemarmu, Caroline? Atau, bolehkah aku panggil Caro?”

“Kami berteman,” jawab Caro singkat dan melangkah memasuki apartemen.

Professor mengikuti langkah Caro, mengambil kedua kantung belanjaan dari tangan Caro. Tanpa komentar Caro berjalan memasuki lift, menuju ke apartemennya di lantai 11. Mereka berjalan berdampingan dalam diam. Pun ketika Caro mempersilakan Prof memasuki kenyamanan sarangnya. Tak seorang lelaki pun pernah memasuki apartemennya sebelumnya. Professor Willis satu-satunya lelaki yang cukup nekad untuk memasuki ruang pribadinya itu. Caro masih bertanya-tanya apa motif Prof.

“Lebih baik aku letakkan belanjaan ini di dapur,” kata Prof yakin, seolah telah terbiasa berada di sana.

Semaumulah, batin Caro sambil memasuki kamar untuk melepaskan mantel, topi, dan sarung tangannya. Saat Caro keluar beberapa saat kemudia dilihatnya Prof sudah mengeluarkan dan menata belanjaannya di lemari pendingin. Selain itu lelaki itu juga sudah menyalakan mesin pembuat kopi.

“Kau tidak keberatan kan kalau aku membuat kopi? Terus terang hawa di luar sangat dingin, dan aku sangat capek.”

Caro membelalakkan mata, “Kapan anda tiba dari Prancis?”

“Pagi ini. Aku pulang sebentar untuk sarapan. Aku sudah berjanji akan menemuimu, Caroline.”

“Anda tampak lelah. Lebih baik Anda tunggu di ruang tengah, saya akan siapkan kopinya,” saran Caro yang tiba-tiba merasa kasihan.

Lelaki itu menurut tanpa protes. Ketika Caro memasuki ruangan dengan membawa poci kopi, scones, selai dan mentega, lelaki itu bersandar di sofa sambil menyelonjorkan kakiknya di meja. Matanya terpejam. Setelah meletakkan kopi di meja, Caro duduk di kursi yang berada di seberang sofa, sesaat dia tergoda untuk mengamati lelaki ganteng yang kini tertidur di sofanya. Namun akal sehat mencegahnya melakukan hal itu. Maka diraihnya surat kabar dan mulai membaca.

“Maaf, aku tertidur,” kata lelaki itu beberapa saat kemudian.

Caro hanya tersenyum sambil menuang kopi yang masih mengepul ke cangkir. “Anda terlihat lelah,” katanya maklum.

Mereka menikmati kopi dalam diam.

“Professor...”

“James. Panggil aku James. Kau tak keberatan kalau aku panggil Caro?”

Caro mengedipkan matanya terkejut. “Tetapi itu sangat tidak sopan, Professor.”

“Panggil aku James, tetapi di rumah sakit aku tetap Professor, dan kau Caroline.”

“Baiklah, James, terus terang aku belum menganggap kau serius dengan ucapanmu minggu lalu.”

James menatap gadis di depannya. Terus terang tadi dia agak terkejut menemukan kepribadian Caro yang lain. Saat gadis itu berjalan sambil tertawa dan berbincang akrab dengan John, James seperti menemui gadis lain yang sama sekali tidak dikenalnya. Caroline yang dia kenal di rumah sakit adalah gadis pendiam, agak menyembunyikan diri, tenang dan rapi. Tetapi saat ini, dengan mengenakan celana jeans usang dan T shirt longgar, dan rambut merahnya yang sebahu diikat santai, Caro tampak seperti gadis remaja. Wajahnya yang bersih tanpa kosmetik menampilkan rona segar, apalagi kedua pipinya yang merona merah sehat. James juga terkejut melihat penataan apartemen Caro yang hangat dan berselera. Semua barang terletak rapi namun tidak kaku, terorganisir, mudah dijangkau namun tetap nyaman. Saat James melihat isi lemari pendinginnya dia menduga gadis itu jenis yang gemar memasak. Mungkin dia sering mengolah sendiri makanannya. Saat ini James tak tahu harus berkata apa. Gadis di depannya ini sama sekali tak dikenalnya.

to be continued

6 comments:

  1. Cerita ini bagus loh, tak sabar kelanjutannya :)

    ReplyDelete
  2. bagusss.... refreshing yang menyenangkan setelah membaca FF Topeng Kaca yang "agak panjang"
    ditunggu lanjutannya yaa..

    ReplyDelete
  3. bagus...... kapan update lanjutannya lagi????????

    ReplyDelete
  4. Aku bener-bener ga nyangka ada yang suka cerita ini. Waktu mau upload deg-degan juga, kuatir ga ada yang minat bacanya. Makasih sudah menikmati kisah ini.
    Update ditunggu ya....

    ReplyDelete
  5. aku baru bacaaa baguuuss hehehe kayak baca harlequin tp lebih seruuu ;) lanjuuuuta aahhh
    anita f4evermania

    ReplyDelete
  6. bagus kok sis...asal jangan kepanjangan kayak TK hehehe

    ReplyDelete