Saturday, February 11, 2012

Pindahan yuk......


Buat kalian yang setia nengokin isi blog ini, dengan ini saya beritahukan (ciee.... kayak pidato) kalo sekarang isi blog DUNIA MIMPI DUNIA PELANGI pindah ke sini
So... jangan bingung jangan sedih
Semua masih tetap sama kok
Kecuali tampilannya (berusaha) dibagusin. Bagus dalam arti lebih rapi dan gampang diakses gitu
Jadi maunya saya (pesan sponsor) ya semua followernya ngikut gitu...
Oke deh, sampe ketemu di rumah baru

Tuesday, February 7, 2012

The Last Choice (6)

Bila ada perempuan yang sanggup memporak-porandakan pertahanan emosinya serta sanggup membuatnya melakukan apapun, maka Katty lah orangnya. Katty satu-satunya perempuan yang cukup punya nyali untuk mendebatnya dengan berapi-api, bahkan tak jarang balas menyerangnya baik dengan argumentasi maupun dengan fisik. Sejak semasa kanak-kanak Katty tak segan-segan mencubit maupun menjewer telinganya manakala Sev menggodanya. Dan dari semua itu Sev sangat menikmati pertengkaran-pertengkaran mereka karena biasanya hal itu tak akan bertahan lama. Tak sampai satu jam mereka sudah kembali berbaikan, berkuda bersama, menjelajahi hutan kecil di belakang rumah mereka, atau berenang di kolam pribadi yang ada di Drake Castle. Namun Sev tak tahan bila Katty memasang wajah terluka seperti itu. Sev tak suka mendengar kata-kata Katty yang diucapkan dengan begitu dingin. Dan Sev semakin tidak suka saat Katty, bukannya mendengar pembelaan darinya, malah berbalik dan meninggalkannya berdiri seperti orang tolol.

Namun tentu saja langkah pendek Katty tak imbang dengan tungkai panjang miliknya. Dalam sekejap Sev sudah melompat dan meraih Katty. Gadis itu tepat berada di anak tangga pertama dan Sev dengan gerakan menyentak memegang bahunya serta memutar tubuh Katty menghadap kepadanya. Namun alangkah terkejutnya Sev melihat betapa mata Katty telah basah dengan air mata. Sev begitu tersentak, refleks kedua tangannya bergerak menangkup wajah terkasih itu. Namun Katty, menolak merasa lemah, balas menatap mata gelap Sev dengan kobaran amarah di balik deraian air matanya.

“Katty, sayang, tolong jangan menangis. Aku tak tahan,” suara Sev parau.

“Kau mau aku seperti apa, Sev? Aku tak tahu harus bagaimana. Aku tak mau menjadi cengeng, aku tak mau menjadi lemah. Tapi aku tak bisa menahan perasaanku. Aku tak mengerti karena aku tak pernah mengalaminya. Aku tak pernah punya kekasih sebelumnya. Dalam situasi seperti ini aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Yang aku tahu dan baru aku sadari hanyalah ternyata aku tak mengenalmu sama sekali, kau yang laki-laki seperti itu. Aku hanya tahu kau seperti yang selama ini kufahami, kau yang kutemui di Drake Castle, laki-laki yang bisa kuandalkan. Bukan kau yang di London ini, bukan kau yang bujangan tampan dan kaya yang jadi incaran dengan barisan wanita di belakangmu. Aku kehilangan arah tentang hubungan kita sekarang,” Katty berkata dengan jujur.

“Katty...”

“Sev, kumohon untuk kali ini tolong kau mengerti aku. Biarkan aku sendiri untuk memikirkan semua ini.”

Melihat sinar permohonan di mata berwarna almond itu Sev tak berdaya. Dengan lemah dilepasnya tangannya yang menangkup wajah Katty. Dengan mata nanar dipandangnya gadis itu melangkah pelan menaiki tangga dan masuk ke kamar tamu yang dulu dia tempati tanpa sekalipun menoleh kepada laki-laki yang mengiringi kepergiannya dengan tidak rela.

Dan sekarang sudah hampir pagi namun Sev tak juga bisa memejamkan mata. Di tempat tidur berukuran besar yang sekarang ditempatinya sendiri itu terasa sangat dingin dan tidak nyaman. Dengan masam diliriknya bantal di sebelahnya yang kini kosong. Sialan kau Katty! Rutuknya dalam hati dan dalam sekali gerakan melompat bangkit. Kamar ini telah bertahun-tahun menjadi sarang pribadinya. Selama ini hanya petugas kebersihan yang diberinya ijin untuk memasukinya. Meski belum genap sebulan dia berbagi dengan Katty, namun gadis itu seolah telah berada di situ selamanya. Dan sekarang, saat dia tidak ada Sev merasakan lubang yang menganga, kosong dan hampa. Apa yang telah kau lakukan padaku, Katty? Desahnya putus asa.

Setelah yakin dia tak akan bisa tidur Sev beranjak keluar. Dengan nanar ditatapnya pintu kamar tempat Katty berada. Sev berusaha menahan diri, demi menghormati permintaan Katty, untuk tidak menerobos masuk. Namun akal sehatnya telah terbang entah kemana karena dalam sekejap melawan segala logika Sev malah membuka pintu itu. Manakala dia tidak mendapati Katty disana, dengan panik dia berderap menuju satu-satunya ruangan yang mungkin didatangi gadis itu. Studio.

Pintu ruang studio tertutup, namun tidak terkunci saat Sev memasukinya. Dan di sana, di kursi kerja, Katty tertidur dalam posisi duduk. Gadis itu tampak begitu muda dan damai. Wajahnya tampak tenang. Mulutnya yang setengah terbuka begitu menggoda. Dengan mendesah Sev mendekatinya. Dan dalam satu gerakan ringan diangkatnya Katty dan dibopongnya keluar menuju peraduan mereka berdua. Maafkan aku, Katty, aku bukannya tak menghargai permintaanmu, tetapi aku tak mau sendirian, katanya pelan seraya meletakkan Katty di atas tempat tidur besar itu. Sev mengatur posisinya di sebelah Katty, meraih gadis itu dan meletakkan kepalanya di relung bahunya dan setelah menyelimuti tubuh mereka berdua, hanya dalam hitungan menit Sev pun terlelap.

Katty terbangun, merasakan kehangatan yang melingkupinya sebagaimana yang selalu dia rasakan setiap pagi dia terbangun di sebelah Sev. Bila dulu Sev menjadi tempatnya bersandar melebihi saudara sekarang Sev bahkan telah menjadi pusat hidupnya. Sev menjadi orang terakhir yang ditatapnya sebelum matanya terpejam dan orang pertama yang ditemuinya saat dia membuka mata. Katty merasakan pesonanya, gairahnya, kehangatannya, perasaan naik turun bak roller coaster saat dia begitu percaya bahwa Sev hanya miliknya, namun juga saat dia merasa begitu terpuruk dengan ketidak-yakinan akan perasaan Sev kepadanya. Seperti semalam. Eh? Bukankah semalam...dengan panik Katty membalikkan badannya, berputar agar bisa menghadap Sev yang tengah memeluknya dari belakang.

Sev merasakan gerakan Katty yang tiba-tiba segera terbangun. Saat membuka mata yang didapatinya adalah mata almond Katty yang menyala dengan berang. “Keterlaluan kau, Sev!” desisnya penuh kemarahan dan berusaha berontak dari rengkuhan Sev.

Namun mana mau Sev melepaskan Katty begitu saja. Dengan erat dipeluknya gadis itu erat-erat. “Katty, sshh... jangan berontak, sayang,” Sev berusaha menenangkan Katty yang masih saja berusaha lepas.

“Sev!”

“Sayang...sshh...diamlah. Kita akan membicarakan ini dengan tenang sebagaimana layaknya orang beradab, oke?” Sev membujuk Katty. Menyadari gadis itu berhenti memberontak, dengan lembut Sev memegang dagu Katty dan menatap dalam-dalam ke matanya.

“Kalau kau pikir kau bisa mengintimidasiku di daerah kekuasaanmu ini, maka kau salah besar, Sev,” kata Katty memperingatkan dengan dingin.

“Daerah kekuasaanku?” Sev tertawa pahit, “Sayang, asal kau tahu rumah ini telah menjadi milikmu. Aku tak bisa membayangkan tempat ini tanpa kamu. Kau pikir kenapa aku harus ambil resiko menerima kemarahanmu dengan membawamu kembali ke kamar ini semalam bila aku masih bisa tinggal di sini sendirian?”

Katty membelalakkan mata.

“Itulah arti dirimu bagiku, sayang. Aku tak ingin mencari pembenaran atas sikapku yang buruk kepadamu hari-hari terakhir ini. Itu salahku karena aku begitu ingin semua pekerjaan besarku selesai sehingga aku akan bisa punya lebih banyak waktu untuk kita. Aku juga sangat bersalah karena tak bisa terus terang kepadamu. Karena apa yang kau katakan itu benar adanya. Masa laluku tidak bersih sepertimu. Aku memiliki banyak hubungan dengan banyak wanita. Aku laki-laki sehat, meski sekarang bila aku ingat kembali aku merasa sangat malu. Dan aku lebih merasa malu lagi karena aku tak bisa mengingat dengan baik siapa dan bagaimana wajah mereka. Karena itu sudah lama sekali. Sebelum kita menjadi seperti ini. Dan sekarang aku hanya bisa mengharap kau cukup mengenalku untuk mempercayai bahwa aku tak akan mungkin mengkhianatimu.”

Katty membalikkan tubuhnya membelakangi Sev, hanya bisa diam dan mencerna semua perkataan Sev. Tahun-tahun yang terentang membentuk hubungan mereka berdua sejak dia berusia lima tahun, melewati masa kanak-kanak hingga masa dewasanya, dengan Sev selalu berada di sisinya. Siap menjadi pelarian dan sandaran. Memberinya kepercayaan diri bahwa dirinya masih memiliki orang yang bisa diandalkan, yang bisa menerimanya sebagaimana adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya tanpa menuntut dan menghakimi. Sekokoh itulah hubungannya. Namun ketika asmara terlibat di antara mereka kenapa dia menjadi goyah dan ragu? Seolah dia kehilangan figur dan arah tentang Sev, Severus Drake-nya.

“Entahlah, Sev. Di otakku aku tahu semua. Aku dengan mudah dan jelas bisa mengerti bahwa kita mempunyai dasar hubungan yang sangat kuat. Kau dan aku sudah mengenal begitu dalam sampai-sampai terasa menyebalkan untuk diucapkan. Namun di dalam hatiku aku tak bisa mencegah apa yang kurasakan. Aku merasa marah dan terabaikan. Bukan begini hubungan asmara yang kuinginkan. Aku tahu kau bekerja keras dan sangat mencintai pekerjaanmu. Namun emosi jahat dalam diriku selalu menuntut kenapa kau tak mau meluangkan waktu sedikit saja untukku? Tak cukup berhargakah aku untuk mendapat waktumu? Toh kita baru saja jadian. Harusnya aku merasa di awang-awang, menikmati segala perhatian dan pujian konyol dan penuh omong kosong sebagaimana gadis-gadis tolol lain. Tak bisakah aku mendapatkannya tanpa harus meminta?”

“Katty...”

“Diamlah, Sev, dengarkanlah semua omonganku, selagi aku cukup punya kegilaan mengatakannya kepadamu meski nanti mungkin aku akan sangat menyesal. Meski aku tak ingin memikirkannya jauh di dalam hatiku selalu ada keraguan akan hubungan kita. Selama ini aku tak pernah meragukanmu sebagai seorang kakak laki-laki ideal setiap gadis, namun sebagai kekasih?” Katty bangkit dan duduk, menarik Sev duduk saling berhadapan. “Tolong lihatlah aku baik-baik. Apakah aku cukup punya daya tarik untuk memikat lelaki tampan sepertimu? Cukup istimewakah aku untuk mendapatkan komitmenmu? Kau harus jujur pada dirimu sendiri, Sev. Aku tak mau kau terperangkap dalam fantasi kanak-kanak kita, ataupun ekpektasi orang tuamu tentang aku. Hal itu akan sangat menyakitkan bagiku sekaligus merendahkan akal sehatku. Aku ingin kau menjadi diri sendiri. Bukan sebagai kakak yang baik yang menjaga adik kecilnya, namun sebagai laki-laki sukses yang tampan, playboy yang senang dikelilingi wanita-wanita cantik dan trendy yang siap mendampingimu ke pesta-pesta mewah kelas atas yang akan membuat para klienmu terkesan. Semalam, menghadiri pesta perusahaan, bertemu dengan orang-orang, sesuatu yang selama ini selalu aku hindari, menyadarkan aku bahwa tentunya kau sangat familier dengan pergaulan sosial seperti itu. Kau membutuhkannya sebagai bagian dari profesimu. Dan aku tak yakin bahwa aku akan bisa menyesuaikan diri dengan gaya hidup seperti itu. Terlepas dari segala pembicaraan Mrs. Clever tentang kau dan Angela, sangat menyedihkan bagiku karena ternyata aku memerlukan wanita konyol itu untuk membuka mataku bahwa kau dan aku sangat berbeda. Sebagai pribadi kita tetap Sev dan Katty, tidak berubah seperti dulu. Tapi hidup sudah begitu kompleks kan?”

Sev memandangi gadis di depannya, menyadari penderitaan gadis itu selama ini. Menyeimbangakna antara logika dan perasaan, apalagi di usia hubungan asmara mereka yang masih sangat muda, bagi gadis yang praktis dan sederhana serta tanpa pengalaman seperti Katty tentulah bukan perkara mudah. Katty selama ini telah bersembunyi dalam cangkang aman yang tidak pernah mengijinkan dirinya untuk mengambil resiko dengan menerima orang lain cukup dekat dengannya baik secara fisik maupun asmara. Pengalaman buruk masa kanak-kanak, yang dimulai ketika ibunya meninggal, kemudian harus menerima perlakuan yang tidak adil dari ibu tiri yang membuatnya melarikan diri mencari kedamaian di keluarga Sev sedikit banyak sangat mempengaruhi perilakunya di masa dewasa. Kehadiran adik tiri yang jauh lebih cantik dan istimewa kian menekan rasa percaya dirinya hingga ke dasar. Hanya penerimaan Sev sekeluarga yang menerima dirinya sebagai bagian dari mereka yang membuat Katty tetap menjadi gadis yang ceria tanpa memperlihatkan luka-luka emosi masa lalunya. Khusus untuk Sev Katty bisa menerimanya karena Sev menawarkan perlindungan seorang kakak, sebagai bagian keluarga, kepadanya.

Sev mengutuki dirinya sendiri yang begitu gegabah dalam menangani perasaan Katty yang sensitif. Meski Katty cukup logis sehingga mau berterus terang mengungkapkan semuanya, namun tetap saja Sev merasa begitu bersalah karena tidak menyadarinya sejak awal. Dia yang tumbuh bersama Katty harusnya cukup menyadari kebutuhan gadis itu untuk pengakuan, memberinya jaminan rasa aman bahwa dia tidak akan tersakiti.

“Rupanya semalam kau telah berfikir sangat keras untuk merumuskan hubungan kita, sayang.”

“Sev, salah seorang di antara kita harus ada yang melakukannya. Bila kau terlalu sibuk untuk memikirkannya, maka mau tak mau akulah yang kebagian tugas itu.”

“Sayang, aku tak pernah merasa harus memikirkannya sedalam itu karena aku sudah sangat yakin dengan perasaanku padamu. Aku tak perlu menimbang dan meninjaunya dari segala segi, termasuk tentang omong kosong ekspektasi orang tuaku maupun fantasi kanak-kanakku. Aku orang terakhir yang akan memikirkan hal-hal tolol yang merasuki kepala cantikmu itu. Aku tak perlu membuat para klien terkesan dengan pasanganku. Aku bisa membuat mereka terkesan dengan kemampuanku sendiri, tak perlu hal lainnya. Jadi, satu hal yang harus kau pegang saat kau ragu kepadaku, kepada kekurang-ajaranku yang kadang tak sengaja menelantarkanmu, bahwa dengan begitu konyol aku telah jatuh cinta setengah mati kepadamu. Sejak dulu. Namun entah kenapa kekeras kepalaanku mengalahkan harga diriku untuk merendahkan diri dan mengakuinya secara gamblang kepadamu. Kau mengerti?”

“Sev...kau...kau...” Katty terperangah mendengarkan pengakuan Sev yang blak-blakan.

“Kau tak percaya kan, sayang?” tanya Sev sambil menyeringai. Kemudian dengan sayang, dielusnya kepala Katty, “Padahal untuk mengucapkannya aku harus membuang jauh-jauh segala gengsiku. Dan kau tak mempercayainya? Sayang sekali. Aku tak tahu, bila klienku mengetahui ini mereka mungkin akan berfikir ulang untuk memakai jasaku,” katanya dengan masam.

“Karena kau tak pernah mengatakan padaku,” balas Katty pedas.

“Kuakui itu memang salahku.”

“Salah satu dari kesalahanmu. Kau belum menjelaskan soal Angela,” Katty mengejar tanpa ampun.

“Satu-satu, sayang, atau kepala cantikmu itu akan meledak. Seharusnya dengan keagresifanmu mengejar kebenaran sebuah berita, aku heran kenapa kau dulu tidak menjadi wartawan saja.”

“Sev!” seru Katty putus asa.

“Baiklah. Aku berjanji untuk menceritakan semuanya, tapi nanti. Namun satu hal yang pasti adalah Angela Clever itu tak cukup berharga untuk membuatmu cemas. Tak ada apapun di antara aku dan Angela. Aku menjamin itu.”

Kemudian tanpa Katty duga Sev bangkit dan membawa Katty bersamanya. Berat badan Katty sama sekali tak ada artinya bagi Sev.

“Hei, mau kau bawa kemana aku?” protesnya.

“Sudah siang. Aku lapar. Paling tidak kau cukup berbaik hati untuk memberiku sarapan.”

“Kau membuatku sulit mempercayai kata-katamu tadi. Jangan-jangan kau membutuhkanku di sini hanya untuk menyiapkan sarapan untukmu? Kan sudah kubilang kau cukup cari pelayan yang akan melayanimu dengan lebih baik.”

“Aku tak mau berhubungan seks dengan pelayan.”

“Kau keterlaluan!”

“Dan kau tak masuk akal!”

Pagi itu mereka menyaipkan sarapan dengan ribut. Saat roti sudah keluar dari toaster, ham dan telur sudah di goreng, serta sepoci kopi yang wangi mengepul tersaji di meja sarapan kecil di teras dapur mansion mewah itu, bukannya cepat-cepat menikmati sarapan, namun Sev malah menarik Katty duduk dipangkuannya. Diputarnya tubuh gadis itu hingga mereka saling berhadapan. “Kau tak bisa berpura-pura melupakan kewajibanmu untuk menciumku,” katanya sebelum dengan ganas melumat bibir Katty.

Katty gelagapan menerima luapan gairah Sev yang membabi buta. Dalam sekejap mereka telah melupakan semua yang telah repot-repot mereka siapkan. Untungnya kursi itu cukup kokoh untuk menyangga aktifitas fisik mereka yang seolah tak pernah terpuaskan. Saat semua telah selesai, Katty menempelkan dahinya di dahi Sev. Nafas keduanya sama-sama memburu.

“Kau bohong, Sev,” katanya pelan.

“Hmm?” Sev menelusuri leher Katty denga ujung hidungnya.

“Kau berjanji untuk membicarakan semuanya layaknya orang beradab. Tapi kau justru bertingkah bar-bar.”

Sev tertawa terbahak-bahak. “Aku kehilangan semua akal sehatku bila sudah menyangkut kamu, Katty. Tapi meski begitu aku tetap ingat bahwa kau belum pernah mengatakan apa yang kau rasakan kepadaku. Kau belum menjawab perasaanku meski kau dengan begitu tak tahu diri telah menerima layanan seksku yang luar biasa. Tapi sayang, kau harus ingat siapa aku, aku akan menagihnya, dan terus menagihnya, hingga kau mengatakan semuanya kepadaku.”

“Kau hanya buang-buang waktu,” ejek Katty. “Ini sudah siang. Kau akan terlambat untuk bekerja.”

“Ini akhir pekan.”

“Oh ya? Aku lupa kau tidak bekerja di akhir pekan.”

“Kau ke Jepang akhir pekan lalu.”

“Itu harus kulakukan sayang bila ingin minggu depan kita bisa pulang ke Oxford.”

“Sev! Kau serius?” Katty membelalak tak percaya. Kegembiraan berpendar di mata almondnya.

“Tentu,” Sev menyeringai. “Dan aku mengharapkan ungkapan rasa terima kasih yang sepadan.”

“Untuk itu kita perlu makan. Aku tak mau kau pingsan di tengah jalan,” Katty tertawa mengejek.

“Kau meragukanku, sayang?”

Tentu saja tidak. Untuk urusan satu ini tak sekalipun Katty meragukannya.

Saturday, February 4, 2012

SIXTEENTH : FOR BETTER FOR WORSE

Sepeninggal Maya, Masumi segera membuka semua dokumen pekerjaannya. Mereka memang baru berbulan madu selama empat hari, namun Masumi merasa pekerjaan begitu jauh dari dirinya saat ini. Setengah mati dia membangun mood untuk meraih kembali ketajaman otaknya yang telah beristirahat selama berhari-hari itu. Bagi orang sepertinya, liburan memang kata terakhir yang terpikirkan dan dapat dilaksanakan. Selalu ada sesuatu yang harus dikerjakan, selalu ada pekerjaan yang dapat mengalihkan perhatian dari kebutuhan akan liburan. Sebelum menikah dengan Maya Masumi hampir tak membutuhkan liburan, malah dia sangat membutuhkan pekerjaan sebagai satu-satunya curahan energi kreatifnya. Tak cukup membesarkan divisi seni di Daito, membereskan keruwetan di Takatsu, hingga mengambil alih pucuk pimpinan Daito, Masumi masih memiliki waktu untuk mengembangkan bisnisnya sendiri. Alasan utama Masumi melakukan hal terakhir tersebut karena dia selalu butuh sesuatu untuk dikerjakan dan tantangan untuk ditaklukan.

Sebenarnya hobi itu mulai dilakukannya saat dia mendapat hadiah dari Eisuke berupa persentasi saham di Daito. Selama hidupnya bersama Eisuke Masumi memang tidak pernah mendapatkan sesuatu dengan gratis. Dia bekerja keras, bahkan sejak kanak-kanak. Eisuke yang keras memperlakukan Masumi tak lebih seperti bawahan meski dia menyandang nama Hayami. Masumi digaji sesuai dengan hasil usahanya, plus bonus dalam setiap keberhasilannya. Hingga saat ini Masumi hanya berasumsi bahwa kekejaman Eisuke lah yang membuat lelaki tua itu memperlakukannya dengan begitu dingin. Namun bukan Masumi namanya bila tidak bisa mengambil keuntungan dalam setiap perlakuan yang diterimanya. Eisuke telah menarik batas jelas antara dia dan Masumi, menempatkan Masumi sebagai salah satu karyawan, dan memberi reward maupun punishment sesuai dengan hasil kerjanya. Maka Masumi tak memiliki beban moral untuk berhutang budi kepada Eisuke. Fasilitas, gajii, bonus, hadiah, dan persentasi saham yang diberikan kepadanya meskipun sangat besar dianggap Masumi sebagai angka yang cukup fair karena memang Masumi layak mendapatkannya. Dan seiring tahun demi tahun masa kerjanya jumlah kekayaan Masumi telah terakumulasi cukup banyak, lebih dari consumable pribadinya.

Sebetulya Masumi memang tidak pernah berambisi memiliki dan membesarkan perusahannya sendiri. Dia hidup dengan plot yang dirancang oleh Eisuke. Namun sisi lain dirinya yang selalu ingin menaklukkan suatu tantangan membuatnya mencoba untuk bermain-main dengan kapital pribadinya. Semula tidak dalam jumlah besar. Karena hanya bersifat iseng penyalur kelebihan waktu dan energinya. Dan dalam hal ini, melawan segala ilmu yang didapatnya dari Eisuke, yang selalu berekspansi untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan besar yang menguntungkan demi membesarkan kerajaan bisnis Daito, dengan menghalalkan segala cara, lima tahun lalu Masumi malah memulainya dengan membeli saham perusahaan-perusahaan kota kecil di Jepang yang sudah hampir bangkrut. Saham-saham itu berharga sangat murah. Namun Masumi cukup percaya diri dengan kemampuan bisnisnya dan bertaruh dengan diri sendiri bahwa dia bisa membuat sesuatu yang hampir mati menjadi sehat dan berproduksi lagi. Bahkan kalau bisa mendatangkan keuntungan berlipat.

Tentu saja Masumi bekerja di bawah bendera perusahaan yang memasang orang lain sebagai pimpinannya, namun tetap dilindungi perjanjian hukum berlapis yang sulit ditembus dan dipatahkan yang tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk berbuat macam-macam. Namun kecerdasan Masumi dalam menyusun strategi pemasaran, riset yang teramat mendetail, juga kepekaan bisnisnya yang menajam seiring dengan perjalanan karirnya di Daito, berhasil membawa perusahaan kecil yang mengelola penginapan dan wisata alam yang dimiliki oleh sebuah keluarga di kota kecil di pelosok selatan Jepang itu kembali berputar dan menghasilkan keuntungan yang hanya dalam waktu setahun setelah mengembalikan semua modal hanya dalam hitungan enam bulan.

Sukses di perusahaan pertama membuat Masumi mengambil langkah serupa untuk beberapa perusahaan sejenis yang tersebar hampir di semua perfektur. Hanya dalam waktu tiga tahun Masumi telah memiliki kerajaan kecil bisnisnya sendiri yang akhirnya memaksanya memakai jasa orang lain untuk mengurus bisnisnya. Bila Masumi melindungi keberadaannya dari ekspose umum bukannya tanpa alasan. Posisinya di Daito tak memungkinkan baginya untuk terlibat secara langsung dalam sebuah proyek pribadi. Selain itu Masumi menganggap itu hanyalah sekedar hobi di waktu luangnya yang sedikit. Tentu saja bisnis miliknya tidak akan ada apa-apany dibanding Daito. Namun bisnis kecil itu cukup tangguh dan menguntungkan. Bahkan beberapa dari perusahaan kecil itu secara terpisah telah masuk bursa nasional dengan harga saham yang cukup bersaing. Masumi sengaja memisahkan management antar perusahaan itu untuk menghindari efek domino bila salah satu perusahaan hancur, entah karena miss management maupun ekspansi dari luar.

Namun beberapa bulan lalu sebelum menikah, Maya mengungkapkan keinginannya untuk membangun sebuah hidup bersama Masumi, ingin mementaskan Bidadari Merah bersama Masumi, ingin menjalin cerita mereka berdua sendiri, barulah Masumi berfikir untuk mencurahkan waktunya lebih banyak untuk kerajaan kecilnya itu. Sebelumnya jaringan bisnisnya itu hanya dilindungi sistem standar yang tidak terlalu rumit, tidak seperti Daito yang mengaplikasikan multilayer security demi melindungi bisnisnya dari ekspansi musuh. Namun dengan rencana pernikahannya dengan Maya dan mengantisipasi segala hal buruk yang mungkin terjadi bila dia nanti harus berperang melawan Daito, paling tidak Masumi ingin mendapatkan perlindungan finansial bagi dirinya dan Maya. Maka satu-satunya jalan adalah perusahaan itu harus aman, bahkan dari ekspansi Daito yang kemungkinan besar akan mengejar, melibas, dan menghancurkan mereka berdua. Maka Masumi melalui Hijiri berusaha menemukan bekas rekan bisnis di masa lalu dan bertolak ke Singapura, beberapa saat sebelum hari pernikahannya.

Kengo Sawajiri sekitar lima tahun lebih tua dari Masumi. Mereka dulu satu universitas. Meski Masumi lebih muda namun Kengo Sawajiri mengetahui betapa cerdas otak Masumi dan kemampuan bisnisnya yang luar biasa sehingga menganggapnya rekan sederajat. Bahkan setelah mereka sama-sama terjun langsung di dunia bisnis. Kepiawaian mereka sederajat. Namun berbeda dengan Masumi yang berkonsentrasi membesarkan Daito dengan mengambil base di Jepang, Kengo memilih Hongkong sebagai pusat kegiatannya dan telah menguasai ekspor impor di wilayah Asia. Masumi menghubungi Kengo karena mereka berdua sama-sama tertarik dengan sistem keamanan perusahaan. Dulu saat merancang sistem keamanan Daito sesuai permintaan Eisuke, Masumi memang telah bekerja sama dengan Kengo. Dan sekarang untuk alasan yang sama dia menemui lelaki itu. Mengunjungi apartemen pribadinya di Singapura yang dia tinggali bersama salah satu kekasih gelapnya, wanita berkulit gelap asal Thailand, Kengo dan Masumi menghabiskan waktu selama dua hari untuk merencanakan kerja sama bisnis dan rancangan sistem keamanan mereka. Kengo memuji cara kerja otak Masumi untuk memanfaatkan pihak ketiga dalam kerjasama mereka sehingga keberadaan mereka berdua tetap terselubung. Bahkan Hijiri yang merancang pertemuan ini tidak tahu menahu strategi tersebut, pikir Masumi.

Masumi memiliki naluri yang bagus, dia menyadari keberadaan Hijiri, maupun Mizuki, di sisinya, menjadi tangan kanannya, tak lepas dari keinginan Eisuke untuk mendapat informasi pertama terhadap setiap sepak terjangnya. Meski Masumi tak meragukan loyalitas Hijiri dan Mizuki, namun Masumi tak ingin menempatkan mereka dalam posisi sulit saat dirinya harus berhadapan dengan Eisuke dan Daito. Untuk itulah Masumi memilih bekerja sendiri.

Setelah satu jam bekerja di depan laptopnya, barulah Masumi teringat mengecek ponselnya yang menghubungkannya dengan Daito. Pesan dan panggilan tak terjawab dari Mizuki dan Hijiri menumpuk sejak sehari sebelum hari pernikahannya. Namun anehnya semua itu terhenti dua hari lalu. Tak ada panggilan bahkan pesan singkat sekalipun dari kedua orang dekatnya di Daito itu. Bahkan email berisi pekerjaan pun tak lagi mengisi mailboxnya. Masumi berfikir sejenak, lalu merasa was-was, dan meningkat menjadi kekhawatiran. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Ini hanya pertanda satu hal. Masalah. Eisuke telah mulai beraksi dengan mengerahkan dua orang terbaiknya itu.

Conflict Management. Eisuke cukup kejam untuk menerapkan manajemen konflik ini terhadap orang dekatnya yang semula bersekutu, memposisikan mereka dalam situasi berlawanan, memaksa mereka bertahan dan menyerang orang yang dulu adalah kawan demi mendapat yang terbaik. Strategi menyerang titik terlemah lawan yang dalam hal ini hanya ada satu nama. Maya.

Secepat kilat Masumi meraih nomor pribadinya yang dia bagi hanya bersama Maya dan menghubungi istrinya.

***

Maya meninggalkan apartemen dengan menggunakan taksi yang telah dipesan Masumi melalui security di pintu depan. Taksi itu kemudian meluncur menuju apartemen lamanya yang sekarang ditinggali Rei bersama Sayaka. Teman-teman yang lain masih di apartemen lama, kecuali Mina yang sekarang telah pindah bersama calon suaminya. Meskipun Maya telah beberapa hari berada di ruang tertutup dan hanya bersama Masumi, namun secara mengherankan ternyata Maya sama sekali tak merindukan dunia luar. Dunianya sekarang telah terpusat pada Masumi. Dimana Masumi berada maka disitulah dia merasa bahagia. Baru lima menit dia dalam taksi dia sudah merindukan Masumi. Pasti semua akan sempurna bila dia bersama Masumi, menikmati cerahnya musim semi. Sebetulnya Maya tak ingin pergi kemana-mana. Namun dia tahu meski tak mengatakannya Masumi tak ingin diganggu. Dia cukup peka untuk membiarkan suaminya itu tenggelam dalam pekerjaan yang dicintainya itu. Dan meski sambil memaksakan diri Maya berangkat menemui Rei.
Di gang yang menuju ke apartemen yang ditinggali bersama Rei, Maya bertemu teman-teman dari Teater Ikkakuju. Dengan gembira Maya turun dan bergabung bersama mereka, meneruskan sisa dua ratus meter itu dengan berjalan kaki. Rasanya aneh. Padahal belum seminggu dia tidak bertemu mereka, namun semua terasa lain. Maya merasa menjadi pribadi yang baru.

Sesuatu yang juga dirasakan Rei begitu mereka bertemu.

“Aku tidak mau membuatmu besar kepala, Maya, tetapi kupikir pernikahan baik untukmu. Kau nampak cantik sekali,” komentar Rei.

“Ah...Rei, aku bahagia sekali. Kuharap kau segera menemukan pangeranmu dan segera menikah seperti aku,” jawab Maya yang langsung disambut oleh koor teriakan semua yang hadir.

Maka suasana pun kembali ramai seperti biasa saat mereka berkumpul. Mereka asyik membicarakan berbagai hal tentang teater dan pertunjukan. Dalam keceriaan itu terbersit dalam pikiran Maya untuk membaginya bersama Masumi. Maya tidak yakin Masumi punya cukup teman untuk diajak bercanda. Hidup suaminya itu hanya di sekitar kerja dan kerja. Kelak, tekad Maya, saat mereka sudah cukup lama bersama, saat mereka lebih mengenal satu sama lain dengan lebih baik, saat Masumi sudah bisa membuka dirinya yang selama ini tertutup, Maya ingin membagi hidup yang penuh tawa ceria, baik dalam suka dan duka, bersama Masumi. Maya ingin melihat Masumi tertawa lepas seperti laki-laki lain. Mungkin mereka akan makan ramai-ramai bersama teman-temannya. Mungkin juga mereka, bila sudah punya anak, akan membawa anak-anak mereka bermain di taman. Maya membayangkan semuanya dengan mata melamun.

Tepat saat itu suara ponselnya berbunyi. Masumi.

"Maya, kau dimana?" Masumi bertanya tanpa repot-repot mengucapkan salam.

“Aku bersama teman-teman di apartemen. Kenapa?”

"Apa kau tidak merasa diikuti? Atau dibuntuti seseorang?"

Maya mengerutkan alis mendengar suara Masumi yang khawatir. “Emm...aku tidak tahu. Tadi aku ketemu teman-teman di depan gang, jadinya aku turun dari taksi dan berjalan kaki bersama mereka. Kenapa, Masumi?”

"Maya, kamu harus selalu bergerombol bersama teman-temanmu. Tolong minta mereka memperhatikan sekeliling. Kau aktris hebat, beraktinglah seolah-olah kau tinggal di apartemen itu bersama Rei, oke? Dan bila siapapun, siapapun itu, menanyakan apakah kau bertemu aku, tolong bilang kau tidak mengetahui keberadaanku."

“Masumi...”

"Tolong dengarkan aku, Maya. Tolong jangan katakan tentang situasi kita ini kepada siapapun. Bahkan Mizuki dan Hijiri. Kau mengerti?"

“Tapi, Masumi...”

"Demi kebaikanmu, sekali ini tolong ikuti permintaanku tanpa bertanya."

Maya menyadari betapa debar jantungnya berpacu cepat di atas normal. Tanpa dia sadari wajahnya memucat. Bila Masumi sudah begitu khawatir, berarti keadaan memang benar-benar gawat. “Baiklah, Masumi.”

Terdengar desah nafas lega di seberang sana.
"Maya, maaf. Itu kulakukan hanya demi kamu. Karena aku terlalu mencintaimu dan tak ingin kehilangan kamu."

“Aku mengerti. Aku pun mencintaimu.”

"Baiklah, sayang. Jangan pulang sebelum aku meneleponmu. Aku akan mengatur cara bagaimana aku bisa menemuimu disana. Tetap minta Rei mendampingimu. Aku merindukanmu. Jaga dirimu baik-baik ya? Demi untukku."

“Baiklah.”

Saat menutup ponselnya Maya baru menyadari bahwa semua temannya sedang memperhatikannya. Melihat ketegangan di wajah Maya mereka menatapnya dengan khawatir.

“Maya, apa yang terjadi?” tanya Rei tanpa basa basi.

Dengan singkat Maya menjelaskan apa yang dikatakan Masumi di telepon.

“Bila Pak Masumi sudah khawatir, itu tandanya situasi mulai serius. Beliau orang yang tidak gegabah dalam bertindak. Demi kebaikan kalian berdua, lebih baik kau tidak usah macam-macam, Maya,” kata Rei tegas.

Tepat setelah Rei mengakhiri kata-katanya, terdengar bunyi langkah kaki berhenti di depan pintu. Refleks semua menoleh ke pintu.

“Hei, siapa yang mau tambah bir lagi? Ini, masih banyak. Kau beli banyak kan kemaren, Rei? Jangan bilang kau habiskan sendiri!” kata Maya tiba-tiba. Suaranya sangat riang seperti biasa, meski wajahnya masih tegang. Namun dalam sesaat Maya seperti memakai topeng dan menjelma menjadi Maya yang ceroboh dan ceria.

Semua terkejut melihat tingkahnya. Namun hanya beberapa detik karena mereka langsung mengerti jalan pikiran Maya. Dalam sekejap suara mereka kembali riuh dan suasana dalam rumah itu, bagi siapapun yang mendengarkan dari luar, tampak normal seperti layaknya perkumpulan anak muda yang aktif dan berisik.

Suara ketukan di pintu memang terdengar jelas oleh mereka. Namun mereka tak mempedulikan, berlagak seolah mereka memang sedang asyik bercengkrama dan tidak mengharapkan adanya tamu. Baru pada ketukan yang ketiga, Rei berteriak. “Maya! Buka pintunya! Siapa tahu itu tetangga yang sedang mengirim makanan.”

“Baik, Rei!” seru Maya yang segera meloncat bangkit dan berlari dengan ribut menuju pintu depan dan membukanya.

Mizuki telah berdiri di depan pintu. “Selamat siang, Nona Kitajima.”

Maya tersenyum lebar, menyambut Mizuki dengan ramah. “Wah... Nona Mizuki! Sungguh tak disangka. Silakan masuk, Nona. Kebetulan kami semua sedang berkumpul. Ada banyak makanan di dalam.”

Mizuki dengan pembawaanya yang tegas dan dingin tanpa basa-basi masuk ke dalam apartemen. Maya melirik sekilas tanpa kentara dan mendapati Mizuki meski dengan diam tampak mengamati seluruh isi apartemen.

“Saya baru tahu kalau Nona Kitajima pindah kemari,” katanya setelah duduk.

“Ah, ini saya tinggali bersama Rei dan Sayaka. Kebetulan kami menemukan lokasi yang bagus dan tenang saat sewa apartemen lama kami hampir habis. Lagipula Mina, salah satu teman kami juga sudah pindah, tinggal bersama calon suaminya. Omong-omong, ada perlu apa Nona Mizuki datang kesini? Tentunya Nona cukup bersusah payah menemukan alamat ini.”

“Pak Masumi mengirim saya kemari.”

Maya berusaha tidak tampak terkejut atas dusta itu.

“Oh ya? Ada perlu apa?”

“Beliau hanya ingin memastikan bahwa Anda baik-baik saja karena sudah lama Anda tidak muncul di Studio Daito.”

“Oh, itu karena kami semua pergi ke Lembah Plum baru-baru ini. Pak Genzo mengundang kami. Bersama Pak Kuronuma dan istrinya juga,” kata Maya. Kalau Nona Mizuki hendak menkonfirmasi akan sangat mudah karena pada kenyataannya mereka semua memang pergi ke pernikahan Maya dan Masumi di Lembah Plum.

“Apakah Sakurakoji juga pergi kesana?”

“Tidak, Nona Mizuki. Seperti Anda tahu, Sakurakoji dan saya, kami sama-sama sedang sibuk sendiri-sendiri dan saling tidak berhubungan. Hanya sekali dia menemui saya dan Rei sejak saya pulang dari London.”

Selanjutnya mereka berbasa-basi sejenak sebelum akhirnya Mizuki pamit.

Sepeninggal Mizuki, mereka bersandiwara seoalh tidak ada apa-apa. Setelah lewat satu jam, barulah mereka dengan pelan dan tersamar membicarakan kunjungan tak terduga itu. Setelah itu mereka memutuskan untuk meneruskan sandiwara dengan beraktifitas sebiasa mungkin karena bukan tidak mungkin kalau area tempat tinggal mereka telah dimata-matai. Kepada Masumi Maya mengirimkan pesan bahwa dia akan pergi berbelanja bersama Rei dan Sayaka, agar mereka terlihat normal sebagaimana layaknya kegiatan harian mereka. Tak lupa Maya meminta Masumi tak usah mengkhawatirkannya dan berkonsentrasi terhadap apapun yang sedang dilakukannya.

Mana mungkin aku tidak mengkhawatirkanmu, Maya, batin Masumi masam. Semua kulakukan hanya untukmu. Aku menempuh resiko sedemikian besar hanya untuk berada tetap di sampingmu.

Sore itu pula Masumi melakukan telepon darurat antar negara. Panggilannya dijawab pada dering pertama.

“Sawajiri.”

“Rupanya teleponku sudah kau nantikan, Sawajiri,” kata Masumi.

Terdengar tawa di seberang sana. “Tentunya aku sudah cukup mengenalmu untuk dapat mengantisipasi setiap gerakanmu. Kuduga kecepatan refleksmu yang luar biasa itu yang membimbingmu untuk menghubungiku.”

“Aku hanya sedang tidak merasa nyaman dengan kondisi yang sepertinya akan kuhadapi.”
Sawajiri tertawa terbahak-bahak oleh pilihan kata Masumi ini. “Itulah resikonya bila kau berniat menabuh genderang perang dengan raksasa yang kebetulan adalah guru pembimbingmu sendiri. Tapi bukankah justru itu menjadi tantangan yang sangat menarik bukan? Kuakui ketajaman nalurimu sungguh membuat iri. Bila kau menanyakan apakah orang yang dulu menjadi penghubung antara kita itu telah mengontakku, maka kau benar. Seperti yang kau perkirakan sebelumnya, orangmu itu, atau apalah namanya, baru saja menghubungiku mengatas-namakan dirimu.”

“Kapan Hijiri menghubungimu?”

“Pagi tadi. Makanya seperti aku katakan bahwa nalurimu kuat dan responmu sangat cepat. Aku, bila saja kau tidak memberiku peringatan dan memperkirakan apa yang terjadi, pasti sudah mempercayainya dan menyerahkan dirimu bulat-bulat kepadanya.”

“Dan apakah itu kau lakukan?”

“Tentu aku tidak sebodoh itu. Tawaranmu lebih menguntungkan daripada apa yang bisa ditawarkan oleh Hijiri. Bisnis tetaplah bisnis, Hayami, meski kau adalah temanku.”

Setelah bercakap-cakap sejenak akhirnya keduanya menyepakati tentang ditunjuknya seorang perantara yang kredibilitasnya telah sama-sama mereka uji. Tachibana Rui, muda, cemerlang, berani, dan ambisius, yang selama ini secara luar biasa telah memegang kendali kerajaan bisnis Masumi. Jauh lebih muda dari Hijiri, namun memiliki basic pendidikan bisnis yang bagus serta ketajaman naluri bak berlian yang hanya perlu sedikit polesan. Meski baru setengah jadi namun dengan keberadaan Masumi sebagai pemberi perintah dan arahan selama ini, sosok Tachibana sangat menjanjikan. Tachibana dijadwalkan akan bertemu Masumi keesokan harinya. Pemilihan waktu yang tepat karena sisa hari ini akan dipergunakan Masumi untuk menyelesaikan situasi yang melibatkan Maya dan teman-temannya. Saat ini Maya masih aman berada di tengah teman-temannya. Tetapi tidak untuk jangka waktu lama. Perlu tindakan teliti dan hati-hati untuk menyikapi situasi ini. Karena dampaknya akan sangat besar di hari-hari mendatang.

Menjelang senja Masumi secara tersembunyi menyelinap meninggalkan apartemen mewahnya menuju apartemen lama Maya. Mempergunakan kunci yang telah diberi pleh Maya dulu Masumi menunggu kedatangan istrinya di ruangan sederhana yang penuh kenangan itu. Dia telah membawa serta beberapa barang yang akan mereka butuhkan untuk tinggal selama beberapa hari. Sepanjang perjalanan Masumi sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa dia tidak sedang diawasi maupun diikuti. Masumi hanya perlu menunggu sekitar setengah jam dalam kegelapan sebelum sebuah mobil box barang berhenti di depan gedung apartemen Maya. Menyelinap di antara para pekerja yang rupanya dari jasa angkutan yang sedang membantu salah seorang penghuni yang sedang pindah, Masumi yang mengenakan celana jeans, jacket, topi, dan kaca mata hitam, berhasil masuk dengan mulus ke dalam gedung.

Menjelang waktu makan malam Maya pulang bersama Rei. Tak sampai sepuluh menit Rei keluar lagi dari pintu apartemen. “Jaga rumah baik-baik ya, Maya. Hati-hati kalau di rumah sendiri dan jangan sembarangan membuka pintu untuk orang asing. Aku tidak pulang malam ini. Aku dan Sayaka harus membantu Mina berbenah.” Rei memperingatkan Maya dengan suara yang dikeraskan untuk mengelabui siapapun di luar sana yang sedang mengamati apartemen. Mereka memberi kesan seolah Maya akan tinggal sendiri di rumah.

Sepeninggal Rei, Masumi segera mengunci pintu depan dan meraih Maya dalam pelukannya. “Maya...” desahnya sambil memeluk erat istrinya, memastikan bahwa Maya baik-baik saja tak kurang suatu apa.

Maya yang memahami kekhawatiran suaminya, meski dia sendiri merasa takut dan kalut, berusaha tidak menampakkannya. Sebaliknya dia dengan tersenyum lembut menangkup wajah Masumi dengan kedua telapak tangannya. “Masumi sayang, aku baik-baik saja. Kau lihat sendiri kan?” katanya pelan.

Malam itu mereka berpelukan di atas futon di kamar lama Maya yang sangat sederhana. Sangat berbeda dengan kamar mereka di apartemen. Namun mereka sangat bahagia bisa berdekatan seperti itu. Bisa saling menguatkan dan menjaga.

“Sepertinya tak ada jalan lain, untuk beberapa hari mendatang, sampai segalanya siap bagiku untuk mengumumkan tentang pernikahan kita, sekaligus melepas semua atributku yang berhubungan dengan Daito, kita harus tinggal di sini. Karena bagaimanapun tempat ini paling aman untukmu. Selalu ada teman-temanmu yang akan menjaga dan menemanimu bila aku sewaktu-waktu harus pergi,” kata Masumi.

“Aku akan sama bahagianya di sini atau di manapun selama itu membuatmu berhenti mengkhawatirkanku.,” sahut Maya seraya merebahkan kepalanya di lekuk bahu Masumi. “Aku hanya tidak menyangka Nona Mizuki, bahkan Tuan Hijiri yang selama ini begitu loyal kepadamu, yang selama ini juga begitu banyak membantu kita, malah berbalik memusuhi kita.”

“Mereka hanya menjalankan tugas,” kata Masumi datar. “Dari semua orang, aku yang tahu persis loyalitas dan dedikasi mereka terhadap pekerjaan. Dan aku orang pertama yang tidak mau menempatkan mereka dalam posisi sulit. Bila saja aku mau, aku bisa saja berbuat curang pada Eisuke dengan membajak mereka berdua, yang kuyakin akan mereka lakukan. Tetapi itu tindakan pengecut. Aku ingin menghadapi pertarungan ini dengan keberanian seorang satria. Aku ingin memenangkannya secara jantan demi menghargai diriku sendiri yang terlalu lama dan terlalu sering bertindak curang. Untuk itu aku memintamu untuk bersabar, Maya, beri aku beberapa hari lagi. Aku harus menjalankan semua rencanaku dulu.”

“Ambillah waktu selama yang kau perlukan, Masumi. Aku tidak apa-apa.”

“Setelah semua jelas, mungkin kita akan hidup menderita.”

“Aku sudah sering menderita sendirian. Bila nanti aku harus menderita bersamamu, pasti rasanya akan lebih ringan bukan?”

Masumi menatap mata bening istrinya, melihat ketulusan yang terpancar di binar kedua bola mata itu. Ya Tuhan, kau memberiku seorang dewi, dan terkutuklah aku bila membuatnya menderita demi aku, batinnya. Masumi pun menghujani wajah Maya dengan kecupan lembut. Maya menengadah, melingkarkan kedua lengannya di leher Masumi. Sesaat kemudian mereka menikmati momen yang hanya bisa dibagi oleh mereka berdua. Momen khusus yang menyatukan keduanya dalam ikatan magis persatuan dua jiwa yang telah saling menemukan dan melengkapi.

Dua hari kemudian, setelah malam sebelumnya Masumi kembali ke kediaman resmi Hayami, bersikap seolah tidak ada sesuatu pun yang terjadi, seolah dia baru pulang dari perjalanan bisnis seperti biasa, Masumi memasuki ruang kerjanya di Gedung Daito. Mizuki, seperti biasa, telah berada di tempatnya biasa duduk, berusaha keras menghapus segala ekspresinya dalam raut muka dingin professional.

“Selamat pagi, Pak Masumi. Saya heran, Anda masih ingat jalan menuju ke kantor ini,” sambutnya dengan sindiran pedas.

“Aku tak akan tersesat karena, seperti kau tahu, gedung baru ini aku sendirilah yang menyetujui rancangannya,” sahut Masumi ringan. “Bagaimana kabar pekerjaan.”

“Bila Anda bisa mengambil liburan cukup lama dan mendadak, berarti Anda telah yakin bahwa semua baik-baik saja, Pak Masumi.”

Masumi tertawa mendengar jawaban bawahannya itu. “Rupanya kepergianku selama beberapa hari ini semakin mengasah ketajaman lidahmu. Tentunya kau telah siap menghukumku dengan tumpukan pekerjaan yang tidak mengijinkanku untuk beristirahat, bahkan untuk bernafas sekalipun.”

“Semua sudah saya siapkan di meja Anda, Pak Masumi,” jawab Mizuki, “Selamat menikmati,” tambahnya.

Masih sambil tertawa, Masumi menghilang di balik pintu.

Begitu pintu tertutup, Mizuki segera meraih ponselnya. Dengan cepat dia membuka sebuah nomor dan menuliskan sebuah pesan singkat.

Masumi Hayami sudah muncul kembali.

Di sebuah villa di Prancis Selatan.

Asa, dengan suara langkahnya yang pelan, menghampiri Eisuke yang sedang duduk menatap ke luar jendela. Setelah tiba di belakang majikannya, laki-laki tua itu memberi tanda dengan deheman ringan.

“Sepertinya kau sudah mendapat info dari Tokyo,” kata Eisuke tanpa menoleh.

“Benar, Tuan, seperti yang Tuan harapkan.”

“Baiklah, malam ini kau bersiap-siap. Kita kembali ke Jepang besok.”

Tuesday, January 24, 2012

Run To You (2)

Meski Lucy membutuhkan sepoci besar teh dengan susu yang banyak, mandi berendam selama setengah jam, serta membaca beberapa halaman surat kabar untuk melupakan insiden menyebalkan tadi pagi, usai makan siang moodnya sudah kembali. Bahkan setelah Lucy menunggu datangnya omelan Suster Kepala atau Suster Pengajar yang ternyata tak kunjung datang, akhirnya Lucy tertidur dengan damai. Dan saat gilirannya bertugas malam hari tiba dia dengan riang melenggang menuju ke bagian anak-anak yang ada di sayap bangunan terjauh di belakang gedung rumah sakit. Kebisingan yang terjadi di tempat yang dipenuhi makhluk-makhluk mungil yang kadang begitu menggemaskan namun tak jarang juga sangat menyebalkan tak juga mengendurkan semangatnya. Selain bertugas bersama tiga perawat senior, malam itu Lucy menerima kunjungan tak terduga dari Douglas Smithson, seorang dokter magang di unit gawat darurat yang menyempatkan diri menjenguknya sebelum pulang ke kamar sewaannya yang berada tak jauh dari rumah sakit. Di sela obrolan ringan penghilang kantuk di antara sepoci kopi, pemuda itu juga menemaninya menenangkan beberapa anak yang menolak untuk tidur dengan berbagai alasan yang intinya adalah ungkapan ketidak-nyamanan mereka atas penyakit yang diderita maupun karena tidak kerasan berada di tempat asing. Namun Doug yang begitu lembut bisa melunakkan mereka di saat Lucy hampir putus asa dan kehilangan cara untuk membujuk.
Doug pemuda yang baik. Lucy mengenalnya sudah setahun ini dan telah beberapa kali pergi berdua dengannya untuk makan malam maupun ke bioskop. Semula keduanya sama-sama berharap akan memiliki hubungan asmara yang indah. Namun keduanya akhirnya tak dapat mengingkari kenyataan bahwa mereka tak akan lebih dari teman dekat. Dengan Lucy Doug yang pemalu merasa nyaman untuk mengungkapkan semua perasaannya dan membuang semua rasa malu sementara Lucy yang ceria namun meledak-ledak serta berpandangan terbuka menanggapinya dengan apa adanya sebagaimana seorang sahabat yang baik. Hingga akhirnya mereka memutuskan bahwa hubungan persahabatan lebih berharga bagi keduanya dari pada hubungan asmara yang tidak nyambung. Chemistry antara keduanya sama sekali bukan di wilayah itu.
Lucy pulang pada hari liburnya dua minggu kemudian. Sebuah perjalanan jauh yang hanya bisa dia lakukan sebulan sekali. Sebuah desa kecil dekat Beaminster di antara perbukitan Dorset, yang artinya Lucy harus menggunakan kereta menuju Crewkerne, dimana ayahnya biasa menjemputnya dengan mobil Ford tua milik keluarga. Dan seperti biasa ayahnya telah menunggunya di stasiun. Laki-laki separuh baya dengan rambut merah wortel yang sekarang memudar dimakan usia serta mata biru lembut dan hangat, mewariskan semua garis wajah tidak istimewa serta postur kurusnya kepada putri bungsunya itu. Kecuali mata hijaunya tentu. Dan tak seorangpun dalam keluarga yang tahu dari mana warna mata Lucy berasal.
Di antara perjalanan dari stasiun menuju rumah ayah Lucy banyak bercerita tentang gossip-gossip di wilayah mereka, beberapa pasien, maupun obrolan ringan keluarga. Lucy menanggapinya dengan kegembiraan seperti biasa serta menceritakan dengan riang tentang kasus-kasus yang dipelajarinya baik di sekolah perawat maupun di rumah sakit tempatnya magang sekarang. Beberapa kali ayahnya mengerling kepadanya seolah meyakinkan diri bahwa putri bungsunya ini benar-benar segembira seperti yang ditampakkannya. Tak pernah sekalipun dia berhenti menyesali ketidak-beruntungan putri kecilnya ini. Di antara kelima anaknya hanya Lucy yang mewarisi ketidak-istimewaan wajah darinya. Keempat yang lain mewarisi rambut pirang madu serta tulang wajah tinggi menawan dengan hidung aristokrat dari ibunya. Keempat anaknya yang lain bermata biru, sama seperti kedua orang tuanya. Namun di antara mereka semua Lucy lah yang paling cerdas, kecerdasan yang sia-sia karena saat gadis itu menunjukkan minatnya untuk melanjutkan ke universitas mengikuti jejak ayahnya mengambil studi kedokteran, tidak ada lagi dana yang tersisa. Kedua kakak laki-lakinya masih belum lulus. Greg si nomor tiga sedang menjadi dokter magang di rumah sakit di Bristol sementara John yang hanya dua tahun lebih tua dari Lucy baru di universitas mengambil studi kedokteran juga. Miriam dan Charlotte menyadari kalau mereka tidak cocok dengan dunia pendidikan tinggi, jauh-jauh hari telah memutuskan menikah begitu lulus sekolah menengah dan sekarang keduanya telah menjadi ibu dari anak-anak yang memberi kontribusi sebagai cucu keluarga Prendergast. Tinggallah si bungsu Lucy, mengubur cita-citanya untuk menjadi dokter anak, memilih tetap berkarir di rumah sakit sebagai perawat. Meskipun aku tidak bisa menjadi dokter, paling tidak aku masih memiliki peluang menjadi istri dokter, begitu selalu candanya berusaha membesarkan hati.
Mrs. Prendergast menyambut kedatangan keduanya dengan senyum hangat dan ceria di pintu rumah yang meski cukup besar namun sangat sederhana itu. Diciumnya penuh cinta putri kesayangannya itu serta mengabarkan bahwa sore nanti seluruh kakak-kakak Lucy beserta ipar dan keponakan akan datang berkumpul untuk makan malam. Lucy dengan bahagia mengikuti ibunya ke dapur. Sementara ibunya sibuk melakukan entah apa di sekitar kompor Lucy duduk di meja makan sambil menikmati strawbery segar yang terhidang di keranjang di atas meja mendampingi kue buah yang cukup besar.
“Rasanya aku bisa menghabiskan kue buah ini seoarnag diri,” celetuknya. “Aku sudah begitu bosan dengan makanan rumah sakit dan makanan murah di kedai pinggir jalan.”
“Apakah kau belum bertemu pemuda tampan, seorang dokter mungkin, yang cukup punya uang untuk mengajakmu makan makanan layak di restoran, sayang?” tanya ibunya sambil lalu.
“Belum,” jawab Lucy singkat, dan entah kenapa bayangan wajah professor tampan yang angkuh itu berkelebat di matanya. “Kebalikannya malah aku membuat seorang professor tersinggung berat dan marah.”
“Oh ya? Pasti kau tidak sengaja kan sayang?”
Terpujilah hati bersih ibunya yang tak pernah berprasangka buruk. Yang menganggap dan memperlakukan semua anaknya meski sudah beranjak dewasa masih sebagai bayi mungil berhati malaikat yang tidak mungkin akan melakukan kesalahan kecuali tanpa di sengaja.
Obrolan tentang Lucy membuat seorang professor marah muncul lagi saat makan malam keluarga besar itu. Kakak-kakak Lucy yang telah menikah memang tinggal tidak jauh dari rumah orang tuanya. Sementara kedua kakak laki-lakinya selalu senang pulang saat seluruh anggota keluarga berkumpul. Sehingga setiap kedatangan Lucy selalu disambut meriah membuat Lucy selalu merasa disayang sebagaimana layaknya putri bungsu.
“Apakah professor itu sudah tua?” tanya Charlotte yang paling cantik di antara perempuan keluarga Prendergast.
“Cukup tua juga, mungkin sekitar empat puluh tahun,” sahut Lucy santai sambil mengambil sepotong besar pudding. “Tetapi dia belum punya anak dan belum menikah.”
“Oh ya? Bagaimana kau mengetahuinya? Gosip?”
“Dia mengatakannya kepadaku.”
Sebuah pernyataan yang sangat memancing rasa ingin tahu. Tapi Lucy dengan gayanya yang tidak peduli mengatakan bagaimana dia bisa bertatap muka dengan professor itu.
“Apakah dia tampan?” kali ini Miriam yang bertanya. Dia telah berhasil menyerahkan Timmy, anak bungsunya yang berusia dua tahun itu, dalam pengawasan suaminya.
“Sangat. Dia tinggi besar, rambut pirang, mata biru dan memiliki belahan dagu. Cocok sebagai seorang playboy.” Lucy berhenti sebentar untuk berfikir. “Dan dia memiliki suara yang bagus, berat dan dalam.”
“Tetapi sepertinya kau tidak suka padanya, sayang,” sahut ibunya.
“Mom, professor itu juga sangat tidak suka padaku,” jawabnya cepat. “Bayangkan saja, tertidur saat dia memberi ceramah? Benar-benar tak termaafkan.”
“Tetapi dengan begitu kau malah bisa berbicara langsung dengannya kan?” Miriam mengerling geli.
“Kalau aku itu Miriam atau Charlotte, kalian pasti tahu kata-kata yang tepat dan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi laki-laki. Tetapi aku malah membuatnya lebih marah. Dan itu membuatku juga semakin marah. Aku pergi begitu saja dari hadapannya tanpa ba bi bu lagi,” sungut Lucy yang disambut gelak tawa semua yang mendengarkan. “Tetapi tidak apa-apa. Aku tak memiliki wajah menawan untuk diingat. Dalam waktu sebentar dia juga pasti sudah akan lupa,” tambahnya.
“Tetapi penampilan kan bukan segalanya, Lucilla,” ayahnya menimpali. Meski Lucy agak jengah dipanggil dengan nama panjangnya namun ayahnya selalu tak pernah mendengarkan keberatannya. “Mungkin ungkapan penyesalan yang sepantasnya karena tertidur saat ceramah dengan alasan masuk akal dan kata-kata yang manis akanmenciptakan opini yang bagus terhadap dirimu, sayang.”
“Tapi sayang,” ibunya menyahut, “Kau kan tahu bahwa putri kita itu terlalu manis dan jujur sehingga selalu mengungkapkan apa yang dipikirnya. Aku takkan pernah menyalahkannya. Dia memang seharusnya beristirahat dan tidak hadir dalam ceramah itu.”
“Tapi Mom, kalau Lucy tidak hadir, dia tidak akan pernah mengenal spesies laki-laki paling luar biasa itu,” Greg berkata iseng. “Ya kan, Luce?”
“Harusnya kau tetap bersikap manis padanya, Sist,” kali ini John yang ikut nimbrung.
“Tidak perlu. Dia pasti sudah diperlakukan sangat manis oleh semua perempuan yang ditemuinya. Dia jenis orang yang hanya akan makan di restoran kelas atas dan bergaul dengan kalangan atas serta membuat segerobak uang dengan praktek pribadi yang mahal.”
“Apakah ada kemungkinan kau akan bertemu dengannya lagi, sayang?” tanya ibunya belum putus asa.
“Sepertinya tidak. Dia orang Belanda, Mom. Dia datang karena permintaan Sir Wyatt, direktur rumah sakit yang sepertinya berteman dekat atau kenalan begitu.”
“Omong-omong tentang Belanda, kalian ingat teman Dad yang orang Belanda kan?” tanya ayahnya. “Dokter De Groot. Beberapa hari lalu dia menelepon Dad dan mengatakan bahwa dalam beberapa hari ke depan dia akan menghadiri sebuah seminar di London. Dan dia tidak lupa padamu, Lucilla. Dia juga menanyakan kabarmu. Dia masih ingat bahwa kau sekarang sedang di St. Norbert Hospital, Dad pernah menyinggungnya saat dia menelepon beberapa bulan yang lalu. Kami memang masih berkirim kabar dan kartu Natal, kau ingat? Dia berjanji kalau ke London nanti dia akan menemuimu. Dan dia juga masih ingat akan kunjunganmu ke Belanda belasan tahun yang lalu. Bukankah putrinya sebaya denganmu?”
Mata Lucy langsung membelalak penuh suka cita. “Oh iya, Mies dan Jaan. Mereka dulu baik sekali padaku. Juga Mevrouw De Groot. Sayang Mevrouw sudah meninggal.”
“Dokter De Groot bilang ingin mengundangmu lagi ke sana. Putrinya ingin bertemu denganmu. Kau tidak keberatan kan kalau Dad memberikan nomor handphonemu padanya?”
“Tentu tidak, Dad. Diundang ke Belanda? Pasti asyik.”
“Tetapi, Lucy, bagaimana kabarnya Doug temanmu itu?” Charlotte mengembalikan pembicaraan. Setelah kedua gadis tertua menikah dan bahagia, mereka rupanya sepakat untuk turut campur dalam kehidupan asmara Lucy yang bisa dikatakan gersang itu.
“Masih baik-baik seperti biasa. Kami sering pergi bersama bila waktu memungkinkan. Kenapa?”
“Apakah hubungan kalian akan berkembang lebih dekat?”
“Tentu. Saat ini kami sangat dekat seperti saudara. Bahkan sepertinya aku akan mencomblanginya mendekati Jessica, temanku sesama siswa perawat.”
“Astaga, Luce! Buat apa kau comblangi temanmu bila kau sendiri belum pernah dapat pacar sekalipun?”
“Hei! Hei! Kok kalian yang sewot sih?” tanya Lucy geli memandang wajah-wajah sebal di sekitarnya.
Saat libur berakhir, berbekal sekotak besar makanan dan kue-kue buatan ibunya, Lucy meski dengan berat hati kembali ke London. Kali ini Greg yang sedang ada urusan di London menemaninya naik kereta api dan taksi. Lucy sampai di St. Norbert saat sudah hampir senja. Dengan bawaan cukup banyak tubuh kurusnya tertatih-tatih menaiki tangga depan rumah sakit. Karena terlalu repot dengan barang-barangnya Lucy tak memperhatikan kehadiran Doug yang sedang melintasi lorong.
“Luce!” panggil pemuda itu.
Lucy mendongak dan tertawa lebar melihat siapa yang memanggilnya. “Hai, Doug! Bisa kau bantu aku?”
“Pasti,” Doug mendekat. Sebelum mengambil barang bawaan dari tangan Lucy pemuda itu mencium pipi Lucy. “Aku sudah tidak sabar mencicipi oleh-oleh kue buatan ibumu.”
“Jangan khawatir, ada banyak makanan yang kubawa. Dan teman-temanku terlalu ketat dengan diet mereka untuk dapat menikmatinya.”
Dan dengan tertawa-tawa keduanya berjalan menuju mess perawat di bagian belakang gedung. Namun keduanya tak memperhatikan sepasang mata yang memperhatikan dengan rasa tertarik dari depan pintu ruang konsultasi dokter-dokter spesialis yang berada di salah satu sayap rumah sakit dengan salah satu lorongnya yang terhubung dengan lorong utama.
Fraam telah berada kembali di London sejak kemarin. Dan demi memenuhi janjinya dengan Sir Wyatt untuk meninjau sebuah kasus dia berada di St. Norbert sejak siang tadi. Bersamanya seorang kawan lama, Professor James Willis. Meski Professor Willis lebih banyak beraktifitas di St. Agnes Hospital, namun dia juga memiliki beberapa pasien di St. Norbert. Dulu mereka sering bertemu dalam kegiatan-kegiatan medis maupun seminar yang diselenggarakan di berbagai penjuru dunia. Dan mereka semakin dekat ketika adik perempuan Professor Willis, Joana, menikah dengan Duert, adik lelaki Fraam beberapa tahun yang lalu.
Professor Willis, atau James, beberapa tahun lebih tua dari Fraam. Sangat tampan dengan wajah aristokrat khas Inggris, yang sekarang semakin bersinar dengan kebahagiaan setelah mempersunting seorang dokter yang berpenampilan manis dan tenang, Caroline. Fraam semalam memenuhi undangan makan malam keluarga itu yang sekarang menetap di rumah besar di Richmond bersama putra mereka yang baru berusia satu tahun. Hubungan James dan istrinya sepertinya sangat kokoh, siapapun bisa melihat betapa James memuja istri mungilnya itu. Fraam yang cukup lama mengenal James agak terkejut dengan wanita pilihan James. Seperti dirinya James tak kurang pendamping wanita yang berwajah laur biasa glamor dan menawan. Namun sepertinya Caroline yang bermata hijau itu telah menjadi pelabuhan hati James setelah sekian lama. Yang tiba-tiba mengingatkan Fraam pada gadis bermata hijau yang lain. Lucy, gadis berambut wortel berlidah tajam dan agak kurang ajar yang tanpa Fraam kehendaki menyita perhatiannya lebih dari yang seharusnya.
Dan sekarang saat Fraam terlibat pembicaraan serius dengan James dan Sir Wyatt, tiba-tiba telinganya menangkap seseorang menyerukan nama Lucy. Atau kedengarannya seperti Lucy. Dan benar saja dalam waktu tak terlalu lama dia menyaksikan Lucy dengan seorang pemuda yang sepertinya dokter magang berjalan berdua sambil tertawa-tawa melintasi lorong. Dan Fraam hampir meragukan ketajaman matanya karena di bawah lampu lorong yang tidak terlalu terang wajah Lucy yang sedang tertawa terlihat begitu segar dan secara tak terduga, cantik. Ya Tuhan, kalau Lucy Prendergast tampak cantik di matanya sepertinya dia harus cepat-cepat memeriksakan matanya.
Dokter De Groot menelepon Lucy tepat saat gadis itu akan beristirahat minum teh seusai dinas malam. Kawan lama ayahnya itu berniat untuk mengajaknya keluar untuk berbincang melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu. Namun setelah tarik ulur menemukan kecocokan waktu akhirnya mereka berdua memutuskan dengan sangat menyesal bahwa jadwal kerja Lucy yang padat ternyata tidak bisa bertemu dengan jadwal seminar Dr. De Groot. Namun Lucy menyanggupi untuk menerima undangan keluarga De Groot berlibur ke Belanda saat cutinya tiba. Akhirnya disepakatilah sebuah tanggal di bulan depan saat Lucy akan berangkat ke Belanda. Setelah mengucapkan terima kasih dengan manis dan tak lupa menitip salam sayang untuk Jaan dan Mies, Lucy menutup pembicaraan dengan hati berbunga-bunga.
Seminggu kemudian Lucy kena giliran dinas pagi. Itu artinya adalah makan siang yang sering kali terlambat sementara waktu makan malam masih jauh. Dan bila cukup beruntung kantin akan tetap buka meski dengan menu sisa-sisa yang orang lain enggan untuk memakannya. Namun Lucy dan rekan-rekannya senasib tidak cukup beruntung sore itu. Jam makan siang telah lama berlalu karena sudah menunjukkan pukul empat lewat saat mereka meninggalkan ruangan. Ketika melihat etalase makanan di kantin Lucy hampir kehilangan selera makan. Salad yang tersisa hanyalah tinggal daun lettuce yang telah layu dengan anchovy yang sudah mengeras dan saus yang berlendir menjijikkan. Sementara roti yang harusnya hangat, empuk dan lembut tinggal bongkahan keras dan menghitam yang sama sekali tak layak makan. Maka bersama delapan rekan lainnya Lucy memutuskan untuk mencari fish and chip dari kedai di seberang jalan yang biasanya tetap buka hingga tengah malam. Dan karena di antara mereka semua hanya Lucy yang paling muda dan paling tidak terbiasa dengan ritual sebelum tidur seperti menggulung rambut atau memasang aneka masker di wajah demi menjaga kecantikan alami, maka Lucylah yang didaulat untuk membelikan mereka semua.
Maka disinilah Lucy sekarang. Tanpa repot-repot mengganti baju, hanya dengan memakai mantel tipis untuk menutupi seragamnya dan dengan mendekap bawaan dalam kantong kertas Lucy berjalan riang menembus lalu lintas padat kota London menuju ke pintu masuk rumah sakit. Kepadatan para pejalan kaki serta kebisingan beragam kendaraan yang memenuhi jalan raya tak menghalangi langkah gadis itu yang ringan berirama bak menari. Namun tiba-tiba
Dan Lucy tanpa repot-repot mengganti baju seragamnya, hanya memakai mantel dan melenggang ceria dengan langkah-langkah kakinya yang ringan sehingga seolah menari, menuju keluar rumah sakit. Namun langkah Lucy terhenti manakala seorang anak, laki-laki, yang rupanya terlepas dari gandengan tangan ibunya, berlari melesat menabrak Lucy. Tak cukup sampai di situ, rupanya si anak tersebut langsung menghambur menuju jalan raya,meninggalkan padatnya pejalan kaki di trotoar menuju lautan mobil, taksi dan bus yang merayap dalam macetnya lalu lintas petang. Lucy yang mengetahui hal tersebut secara refleks berlari mengejar si anak, meninggalkan ibunya yang tengah menjerit histeris. Dalam sekajap mata Lucy telah berhasil menjangkau si anak yang telah tiba di seperempat lebar jalan raya. Hanya saja keduanya tak menyadari manakala sebuah taksi bermanuver merebut tempat kosong yang ditinggalkan sebuah mobil dan hanya Tuhan yang tahu bagaimana akhirnya bumper taksi tersebut menghantam Lucy yang hampir berhasil menjangkau trotoar dan mengakibatkan keduanya jatuh terpelanting setelah sempat terseret beberapa meter jauhnya. Namun Lucy bukanlah Lucy kalau tidak bisa mengantisipasi kejadian itu secepat refleksnya berjalan. Pengalaman berkelahi dengan dua abang yang badung mengajarkan padanya bagaimana cara terjatuh dengan aman. Dan kebaikan hatinya yang tanpa sadar telah tertanam dalam jiwanya sejak kecil mengatur gerak tanpa sadarnya sehingga dia bisa terjatuh dengan mengorbankan punggungnya sendiri demi menyelematkan si bocah dalam pelukannya.
Semua terjadi seolah hanya dalam sekejap mata. Dan ketika akhirnya Lucy sadar dirinya telah dikerumuni begitu banyak pejalan kaki termasuk ibu si anak yang masih histeris. Lucy merasa dirinya konyol sekali karena dalam kondisi terlentang di trotoar, kepalanya terasa sakit luar biasa akibat membentur beton, ditambah lagi kantung ikan cod dan keripik yang tadi dipeluknya di dada sekarang sudah tak karuan bentuknya terhimpit oleh si anak yang ditolongnya. Namun di antara semua orang yang mengerumuninya matanya hanya terpaku pada sosok tinggi besar yang berhasil menyeruak di antara kerumunan orang dan sekarang menatap Lucy dengan tatapan setengah geli setengah mengejek. Professor der Linssen.
“Well...well, ternyata kamu lagi,” komentarnya dan dengan luwes membungkuk untuk menarik si kecil yang masih erat memeluk leher Lucy sambil melolong-lolong ketakutan.
Setelah memberikan si kecil kepada ibunya dan meminta si ibu segera menuju ke Unit Gawat Darurat St. Norbert yang berada hanya beberapa meter dari lokasi kejadian, dia menoleh kembali ke arah Lucy. Gadis itu sedang bersusah payah bangkit dan dengan raut muka semerah udang rebus menolak beberapa orang yang berusaha menolongnya. Dan ketika Professor mengulurkan tangannya Lucy hanya mendenguskan “Terima kasih, saya bisa sendiri,” ucapan yang sia-sia karena laki-laki tersebut alih-alih mendengarkan dengan gentleman menuruti permintaan Lucy, dia malah dengan satu gerakan mudah mengangkat Lucy dan menggendongnya. Langkahnya tegap dan panjang membawa Lucy menuju halaman rumah sakit, mengabaikan sejuta protes yang terlontar dari mulut Lucy.
“Diamlah, Lucy. Lebih baik hemat nafasmu,” katanya dan dengan iseng menambahkan, “Kau bau ikan!”
Dengan Lucy dalam gendongan, Professor menyusul wanita yang membawa si bocah menuju ke Unit Gawat Darurat di bagian depan rumah sakit. Begitu mereka tiba serombongan perawat, beberapa dikenal oleh Lucy, datang dengan kursi roda. Dengan hati-hati Professor meletakkan Lucy di kursi roda. “Anak laki-laki itu aku yakin tidak terluka terlalu parah, tetapi dia tetap harus diperiksa,” katanya kepada dokter magang yang sedang berjaga dan menyambut mereka. Kemudian menoleh ke arah Lucy. “Dan kau, Miss Prendergast, kau mengalami benturan cukup keras di kepalamu dan juga goresan di sepanjang bagian tubuh belakangmu.”
Lucy terdiam seperti memikirkan sesuatu.
“Tak perlu berpura-pura tidak sakit, Lucy. Aku melihatmu ketika terseret taksi dan terpelanting ke trotoar itu. Lebih baik kau segera masuk ke ruang periksa dan bersiap diri. Kau pasti tahu prosedurnya.”
“Saya tidak berpura-pura, Professor. Saya sedang berusaha memutuskan mana bagian tubuh saya yang paling sakit,” balas Lucy sewot.
“Oh ya, untuk siapakah semua makanan yang tadi kau bawa? Aku bisa mengusahakan menggantinya karena pasti mereka sedang menunggu.”
“Itu untuk perawat di asrama kamar B-8. Sembilan potong ikan cod dan sekantung keripik kentang ukuran besar. Terimakasih kalau Anda bersedia menyuruh seseorang untuk membelikan gantinya. Namun Saya sedang tidak membawa uang cukup, Professor. Tapi nanti akan saya akan titipkan uang penggantinya kepada porter di depan untuk Anda.” Lalu dengan ekor matanya dia melihat Doug yang sedang bergegas ke arahnya. “Dokter Smithson sedang menuju kemari, saya bisa meminta tolong kepadanya,” kata Lucy. Lalu dengan tersenyum manis, seolah segala kekesalannya hilang dia berkata, “Terimakasih banyak, Professor der Linssen karena telah menolong saya.”
Lucy tak sempat memperhatikan ekspresi sang professor karena saat Doug mendekat dia telah didorong perawat masuk ke ruangan oleh perawat sementara Doug berbicara dengan professor.
Di dalam ruang periksa Lucy meminta perawat meninggalkannya dan segera menyiapkan dirinya sendiri untuk diperiksa. Dilepasnya semua pakaiannya yang penuh debu, minyak dan bau amis. Dia mencuci tangan dan wajah di wastafel lalu mengenakan baju periksa. Kasur tipis berlapis finil itu tampak begitu menggoda bagi Lucy yang baru menyadari kalau dirinya kelelahan. Segera dia membaringkan dirinya disana, menarik selimut dan mengatur posisi tidurnya tertelungkup sehingga siapapun yang nanti memeriksanya tidak akan kesulitan. Seketika saat kepalanya menyentuh bantal, seketika itu pula kantuk menyerangnya. Sehingga saat terdengar suara tirai digeser dan langkah kaki mendekat ke tempat tidur, dia berada di batas kesadaran antara tidur dan bangun.
“Nah, Lucy, mari kita lihat seberapa parah luka yang kau alami,” suara berat Professor der Linssen terdengar. Lalu terdengar seorang perawat datang dan menimpali beberapa perintah professor.
Keheranan yang menghampiri kepalanya kenapa Professor yang muncul dan bukan Doug terkalahkan oleh kantuk luar biasa. Dalam sedetik Lucy telah terlelap.
Lucy terbangun setelah tertidur selama satu jam. Paling tidak jam di dinding memberitahukan demikian. Mendapati seorang perawat senior di sebelahnya.
“Ah, rupanya kau sudah terbangun, sayang. Professor yang orang Belanda itu tadi memintaku menunggu sampai kau terbangun sendiri. Baik hati sekali dia, mau memeriksamu sendiri. Kau tahu berapa ongkos seorang konsultan kaliber internasional seperti dia dalam sekali periksa?” katanya seraya membantu Lucy bangkit.
“Ya, Suster,” sahut Lucy patuh.
“Kau mengalami lebam dan goresan punggung yang sangat parah. Namun untungnya tidak ada tulang patah. Professor sendiri bilang bahwa kau memiliki gerak refleks yang bagus sehingga memperingan luka-lukamu. Dia berada di sana saat kejadian.”
“Kenapa Professor der Linssen merasa perlu untuk memeriksa saya Suster? Kan cukup dokter praktek? Saya lihat Dokter Smithson sedang bertugas.”
“Dia sedang berada di sini. Dan karena dia melihat langsung semuanya wajar bila dia merasa itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Nah sayang, sebentar lagi seseorang akan membawakanmu kursi roda dan mengantarmu ke asrama. Di sana pengurus asrama akan membantumu untuk mandi air hangat dan semua keperluanmu yang lain. Ku harap kau beristirahat. Professor der Linssen telah menuliskan catatan untuk Kepala Ruang tempatmu berdinas agar memberimu waktu istirahat selama minimal lima hari hingga luka-lukamu sembuh.”
“Lalu anak laki-laki itu?”
“Dia baik-baik, sayang. Dan sudah pulang bersama ibunya. Tadi ibunya kesini untuk mengucapkan terimakasih. Karena kau sedang tidur dia berjanji akan kembali besok. Nah, sayang, itu sudah datang orang yang akan menolongmu. Lebih baik kita segera bersiap.”
Hari berikutnya Lucy merasa seperti selebriti. Teman-temannya tak henti-henti datang baik membawakannya berbagai makanan maupun untuk sekedar bergossip. Tak kurang dari Kepala Perawat yang mengunjunginya, menyanjungnya atas tindakan heroik yang dilakukannya, sesuatu yang diterima dengan muka merah padam karena malu oleh Lucy. Sepanjang hidup Lucy tak pernah menerima begitu banyak perhatian dan pujian seperti ini. Bahkan pada petang itu jantungnya serasa copot saat direktur sendiri, Sir Wyatt, datang mengunjunginya. Lucy yang tidak pernah berada sedekat ini dengan orang nomor satu di St. Norbert, merasa grogi dan menjawab pertanyaan kebapakan dari direktur dengan terbata-bata. Namun semua kehebohan itu belum seberapa dibandingkan yang terjadi keesokan harinya manakala seorang perawat membawakan bingkisan luar biasa mencolok mata untuk Lucy. Rangkaian bunga yang pasti mahal dengan pita cantik, sekotak besar coklat mahal, sekaleng kopi dan sekotak teh yang semuanya dari Fortnum Mason, serta setumpuk majalah mengkilap serta novel-novel yang pasti akan disukai oleh gadis-gadis seusianya.
“Nah. Miss, apapun yang kau pikirkan tentang konsultan dan dokter spesialis, paling tidak ada satu yang cukup menghargai perbuatanmu dengan layak, atau malah berlebihan?” canda Suster Edgar si pembawa paket.
Lucy hanya tersenyum menanggapi gurauan perawat yang lembut itu. Apalagi ketika kamarnya diserbu oleh teman-temannya yang sangat penasaran dengan paket yang diterima Lucy. Bahkan selembar kartu berwarna hijau dari kertas mahal berisi coretan professor yang berantakan berisi kata-kata : Untuk Miss Prendergast, semoga lekas sembuh. Fraam der Linssen, tak luput dari perhatian mata-mata menyelidik itu. Dia pernah mengatakan namaku aneh, padahal namanya sendiri begitu sulit diucapkan. Mulutku serasa penuh hanya untuk mengucapkan namanya secara lengkap. Dan tulisan tangannya luar biasa kacau, seolah dia mencelup seekor laba-laba ke dalam tinta dan menyuruhnya berjalan di atas kertas, omel Lucy dalam hati.
Ternyata waktu pemulihan selama lima hari bagi Lucy berlalu terlalu cepat. Pada hari terakhir Lucy merasa dia sudah sehat seperti sedia kala dan sore itu dia menghadap ke kepala ruang anak untuk menerima jadwal kerjanya yang akan dimulai normal keesokan harinya. Sesudahnya karena hari masih panjang untuk dihabiskan di asrama Lucy memutuskan pergi berjalan-jalan ke mall. Sekedar window shopping pasti bagus untuk moodnya. Maka Lucy pun keluar dari lingkungan rumah sakit untuk pertama kalinya setelah lima hari menuju ke keramaian manusia yang sibuk beraktifitas di jalan. Saat di perempatan Knightsbridge lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. Bergegas Lucy mengikuti yang lain menyeberang jalan. Tiba di tengah jalan matanya menangkap semuah mobil mewah, Aston Martin model terbaru yang tengah menanti lampu hijau buat kendaraan. Namun yang lebih menarik perhatian Lucy adalah si pengemudinya. Professor der Linssen. Tak salah lagi. Jadi dia masih berada di London. Dan perempuan yang berada di sebelahnya, berambut pirang dan begitu trendy seolah salah satu finalis British Next Top Model. Pasangan yang luar biasa dan membuat bibirnya secara tanpa sadar menganga. Namun Lucy buru-buru mengalihkan pandangan dan berlalu secepatnya. Apa yang dilakukan professor sok ganteng itu di luaran dengan gaya hidupnya yang glamor itu toh bukan urusannya. Meski dengan gemerlap kehidupan kalangan atas yang dilakoninya sangat mengherankan bila professor masih terpikir untuk mengiriminya bunga dan bingkisan. Barangkali juga itu semua dilakukan oleh sekretarisnya. Laki-laki itu cukup menuliskan kartu sekedarnya untuk memberikan sentuhan personal. Sesuatu yang cukup mudah dilakukan. Dengan itu Lucy pun membuang segala pikiran tentang professor yang agak aneh tersebut dan meneruskan rencananya menuju pusat pertokoan.
Apapun yang dipikirkan oleh Lucy, ternyata Fraam melihat saat gadis itu berjalan dengan langkah kakinya yang ringan berirama, seperti menari, begitu Fraam mendefinisikan gaya jalan Lucy yang sepertinya hanya dimiliki oleh gadis itu seorang. Rambut wortelnya berantakan tertiup angin. Dengan mengenakan celana denim dan blus ditutup jacket serta sepatu santai gadis itu tampak begitu muda. Seperti gadis sekolah menengah saja. Dan entah kenapa setiap nama Lucy melintasi kepalanya Fraam semakin sadar betapa usianya sudah tidak muda lagi. Dan itu untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun menyandang gelar bujangan dengan sangat bangga, Fraam merasa sangat tidak nyaman. Seperti kali ini. Tanpa sadar matanya mengikuti gadis itu hingga hilang dari pandangan. Sekilas tadi sempat dilihatnya gadis itu menoleh ke arahnya, atau ke arah mobilnya yang memang glamor. Tapi hanya sebentar. Sebelum dia kembali melenggang menyeberangi jalan entah kemana.
“Apa yang kau lihat?” tanya Chantal, si blonde di sebelahnya.
“Bukan apa-apa. Kupikir aku melihat seseorang yang kukenal,” dan lampu pun berubah hijau untuk kendaraan. Tanpa banyak bicara Fraam menjalankan mobilnya. Diliriknya sekilas perempuan di sebelahnya. Putri salah satu kolega. Gadis sosialita yang terbiasa dengan gaya hidup kelas atas, yang tak akan mau bersusah payah bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Sokongan dana tak terbatas untuk memenuhi gaya hidupnya dari orang tuanya serta deretan calon suami kaya raya yang potensial telah dipersiapkan oleh para orang tua untuk putrinya. Fraam mendengus dalam hati. Kehidupan seperti ini, mendampingi perempuan-perempuan cantik makan malam di restoran mewah, dimana mereka bahkan terlalu takut untuk menikmati makanan-makanan mahal itu demi alasan diet ketat, atau menonton opera meski dia menyukainya, namun tanpa partner yang tepat akan terasa sangat hambar, mulai terasa membosankan. Kadang Fraam lebih menikmati jam kerjanya yang panjang dan berat di rumah sakit atau bersantai di rumahnya dalam kesunyian, membaca buku, mendengar musik, ditemani anjing golden retriever miliknya. Sepertinya aku benar-benar mulai menua, batinnya.
Hari-hari berlalu dengan normal bagi Lucy. Jam kerja yang panjang dan melelahkan di ruang anak-anak, kuliah menjemukan dari para tutor di hall, bergossip dengan teman-temannya, jalan-jalan keliling mall, satu dua kali keluar makan malam atau nonton bioskop, kadang dengan teman sesama siswa perawat, namun juga sering dengan Doug. Sesuatu yang sangat normal bagi gadis pekerja berusia awal dua puluhan seperti dirinya. Sesekali dia masih ingat sosok professor tampan dari Belanda itu. Namun hanya sekilas. Meski rasanya tak percaya kalau laki-laki itu dengan pandangan mata yang mengejek, mengatainya bau ikan, namun juga yang membopongnya menuju rumah sakit, bahkan mengiriminya bingkisan yang terlalu berlebihan untuk gadis sepertinya. Ah, kenapa pula aku harus pusing, itu uangnya sendiri. Dan mungkin baginya mengeluarkan uang untuk membeli bingkisan mewah baginya tak lebih seperti memberi sedekah bagi pengemis di jalan. Dan dengan menyeringai Lucy pun melupakannya.
Dokter De Groot memenuhi janjinya. Satu minggu sebelum tanggal yang disepakati beliau mengirimkan surat yang juga dilampiri dengan tiket penerbangan kelas ekonomi dari Heathrow ke Schipol dengan pesan bahwa Jaan yang akan menjemputnya di sana. Karena jadwal keberangkatan pesawat hari Senin sore maka Lucy berencana pulang ke rumah orang tuanya Sabtu pagi, meski itu berarti setelah dinas malam, tanpa tidur, Lucy harus mengejar kereta api dan melanjutkan tidur di perjalanan. Lucy akan berangkat ke London Senin pagi langsung ke bandara agar lebih praktis.
Malam terakhir sebelum kepulangannya ke ke Beaminster, keadaan di ruang anak-anak sangat tak tertahankan. Delapan pasien mungil itu seolah kompak mengeluarkan kemarahannya dan membuat kalang kabut ketiga perawat yang berjaga di ruangan. Dan Lucy sedang berkutat dengan seoarng batita yang sangan sakit dan sangat marah serta menangis menjerit-jerit minta pulang. Lucy berusaha mendiamkan dengan mendukungnya dan meletakkan kepalanya di pundak seraya mengocehkan kata-kata bujukan. Kata-kata bujukannya hampir berhasil kalau saja Dr. Henderson, ahli bedah yang tadi siang mengoperasi salah satu anak yang sekarang sedang tertidur nyenyak di pojok ruangan, datang untuk visite. Dan bersamanya tinggi menjulang dan sama sekali tidak jelas kepentingannya adalah Professor der Linssen. Entah kenapa Lucy merasa mulai jengkel karena sepertinya laki-laki itu selalu muncul dimana-mana. Dan melihat kedatangan kedua laki-laki itu anak dalam dukungan Lucy menjerit semakin keras.
“Professor der Linssen ingin berbicara kepadamu, Miss Prendergast,” kata Dokter Handerson.
Lucy mengerutkan alis menatapnya. Dia seoarng lelaki yang cukup pendek dan berbakat untuk menjadi gemuk dan botak. Dan yag lebih menjengkelkan dia selalu membuat anak-anak ketakutan dan menangis lebih keras. Bukan karena dia jahat, tetapi hanya karena dia sangat tidak suka melihat anak sakit, hal yang sangat ironis bagi seorang dokter. Dan sepertinya aura itulah yang tersampaikan kepada makhluk-makhluk mungil malang itu. Seperti si kecil yang menjerit-jerit marah dan putus asa dalam dukungan Lucy saat ini.
“Letakkan anak itu kembali ke boks, Suster,” perintahnya tidak sabar kepada Lucy.
Lucy tak akan berniat menuruti perintah itu. Dia malah menunduk dan membalikkan badan, kembali sibuk menenangkan si kecil. Namun dia terkejut saat sepasang lengan kokoh dan panjang terulur mengambil anak dari gendongan Lucy, dan meletakkan kepala si kecil dibahunya yang bidang. Secara otomatis si kecil menghentikan tangisnya, memutar kepalanya untuk menatap siapa yang mendukungnya dan tertawa menunjukkan gigi susunya yang baru tumbuh dua itu. Dengan wajah masih bersimbah air mata, leleran liur di bibir serta ingus di hidung, bocah itu tertawa ceria dan berkata, “Da...da....”
Professor der Linssen tertawa, dengan tangannya yang bebas menowel pipi gemuk itu. “Nah, sekarang kembalilah kepada Suster Cantik ini, sayang. Jangan rewel ya, kasihanilah dia,” dengan kata-kata itu Professor der Linssen mengembalikan si bocah kepada Lucy. “Kau tidak perlu khawatir begitu. Anak kecil suka padaku. Bukankah kau sendiri pernah mengatakan bahwa aku pasti seorang ayah yang baik?” katanya kepada Lucy.
“Yang saya khawatirkan bukanlah Anda akan menakut-nakuti anak ini, Professor. Saya hanya khawatir ingus dan liur anak ini akan mengotori baju Anda yang mahal,” jawab Lucy.
Professor der Linssen menyambutnya dengan tawa terbahak-bahak. “Miss Prendergast, selalu siap dengan jawaban yang tak terduga,” dan setelah Lucy meletakkan si kecil kembali ke boksnya laki-laki itu menambahkan, “Aku bertemu Smithson barusan dan kudengar dari dia kau akan pulang ke Beaminster besok pagi. Kebetulan aku akan ke Bristol. Aku akan memberimu tumpangan.”
Pada tawaran yang lebih mirip perintah itu Lucy hanya menanggapi dengan dingin, “Anda baik sekali. Tetapi saya pergi dengan kereta. Lagi pula Beaminster agak diluar jalur Anda.”
“Ah, Beaminster adalah bagian dari Inggris yang selalu ingin kukunjungi,” dia meyakinkan dengan manis. “Apakah jam sepuluh terlalu pagi untukmu? Kau bisa tidur di sepanjang jalan bila kau mau.”
Dengan kata lain, pikir Lucy masam, tidak akan ada bedanya aku ada atau tidak. Siapalah aku ini. Toh aku bukan si blonde yang spektakuler yang cocok untuk bertengger di mobilnya yang hebat itu.
Seolah memahami jalan pikiran Lucy, laki-laki itu menambahkan, “Kalau boleh memilih, aku pasti lebih suka kalau kau tetap terjaga sepanjang perjelanan dan menghiburku dengan celotehanmu yang suka diluar dugaan itu. Tetapi dengan jam kerjamu sekarang sepertinya aku tak bisa berharap lebih. Dan jangan katakan aku laki-laki yang suka menuntut sesuatu yang masuk akal.”
Wajah Lucy kontan memerah.
“Jam sepuluh aku akan menunggumu di depan.”
“Baiklah, Sir. Terima kasih,” katanya. Dan kepada Dokter Henderson Lucy menganggukkan kepalanya.
Dengan anggukan singkat Professor der Linssen melangkah pergi diikuti Dokter Henderson.
Keesokan paginya Lucy, karena cuaca yang sudah mulai panas, hanya mengenakan celana denim selutut dan t-shirt katun berpola bintik-bintik yang manis, telah siap dengan tas ranselnya dan berderap ke pintu depan. Masih kurang lima menit dari waktu yang dijanjikan dan dia berencana akan ngobrol sebentar dengan portir yang berjaga di bagian depan. Laki-laki ramah yang selalu siap membantu siapapun. Namun ternyata Professor der Linssen sudah berdiri di sana. Laki-laki itu dalam pakaian resmi maupun santai tetap menguarkan aura yang sama, mahal! Namun Lucy menolak untuk terintimidasi. Biar dia berpenampilan selayaknya gembel, dia tak peduli. Yang mengajak kan laki-laki itu, bukan dia yang ngotot ikut. Maka dengan mengangkat kepala Lucy berderap gagah menemuinya.
“Selamat pagi, Professor,” salamnya ceria.
“Selamat pagi, Lucy. Aku senang tak perlu harus menunggu,” katanya seraya menatap Lucy dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Bila saya terlambat mungkin Anda sudah meninggalkan saya, Sir. Dan saya pasti menyesal tidak sempat merasakan mobil Anda yang hebat itu.”
“Masih Lucy yang sama. Suasana pagi ternyata semakin mempertajam lidahmu,” komentar professor sambil tertawa geli.
Beberapa saat kemudian setelah berpamitan dengan portir, Lucy sudah duduk nyaman di jok kulit mahal dalam mobil yang sejuk dan beraroma harum. Sangat lain bila dibandingkan dengan mobil tua ayahnya. Apalagi dengan kereta api. Ditambah lagi Professor der Linssen sepertinya seorang pengemudi yang ahli, sama ahlinya dia dalam mengatasi bocah yang menangis atau menghadapi pasien di ruang operasi. Dan tidak mengherankan bila dia juga ahli dalam menangani wanita-wanita cantik. Tak pernah sekalipun dia mengeluarkan umpatan pada lalulintas London yang padat. Llucy juga tidak mendapati tangannya yang berjari-jari panjang elegan terawat itu mengetuk-ketuk kemudi dengan tidak sabar. Tanpa malu-malu Lucy mengamati pria di sampingnya itu.
“Apapun yang ada dalam pikiranmu itu, lebih baik katakan saja. Aku sudah mulai terbiasa mendengar celetukanmu itu,” kata professor. “Aku tak heran bila kau masih marah padaku. Aku memang kadang pemarah, bertemperamen buruk dan arogan. Namun aku bukan pendendam. Kau boleh tidur semaumu saat aku meberi kuliah lain kali meski aku yakin semua kuliah yang aku sampaikan sangat bermutu, namun aku akan pura-pura tidak tahu. Itu salah satu dari daftar kebaikan hatiku yang sedikit yang bisa kutawarkan padamu.”
“Sebaliknya, Sir, saya sedang mengagumi Anda. Anda memang tampan. Dan saya hampir yakin bahwa Anda juga orang baik,” kata Lucy terus terang.
Suara tawa terbahak memenuhi mobil itu. “Andai adik perempuanku bertemperamen sepertimu.”
“Anda punya adik perempuan?”
“Kenapa kau heran? Aku punya saudara, laki-laki dan perempuan seperti orang lain. Aku juga punya orang tua, lengkap sepasang, ayah dan ibu. Tentu kau tak berfikir aku dilahirkan dari batu kan?”
“Well... biasanya orang-orang tua seperti Anda akan membicarakan anak dan istri.”
“Tetapi seperti pernah kukatakan padamu aku tak memiliki keduanya. Mungkin karena bagimu aku sudah terlihat sebagai laki-laki separuh baya. Memang usiaku sudah hampir empat puluh dan tidak akan bisa dikatakan muda lagi.”
“Omong kosong. Orang bilang usia empat puluh bagi laki-laki adalah usia emas. Sedangkan perempuan lebih cepat menua.”
“Benarkah? Apa yang kalian lakukan dengan segala bedah plastik, face lift, sesi tanpa akhir di klinik kecantikan dan parade baju-baju di setiap musim?”
“Itu menunjukkan Anda hidup di planet yang berbeda dengan kami para pekerja, Sir. Anda tak akan berkata demikian kalau saja Anda tahu betapa penderitaan kami para gadis agar tetap terlihat pantas dengan segala krim wajah dan penggulung rambut itu,” Lucy mengakhiri perkataannya karena rasa kantuk tak tertahankan.
“Ah, kau sudah terlalu lelah. Tidurlah. Aku akan membangunkanmu nanti.”
Tak perlu waktu lama bagi Lucy untuk segera tertunduk dan tertidur lelap. Dia tak sadar waktu Fraam membetulkan kepala gadis itu yang hampir membentur pintu mobil dan menyandarkannya di bahu bidangnya. Aku pasti sudah gila, pikirnya sambil mengamati rambut pendek Lucy yang meski berantakan namun tebal dan bersih. Dia berkali-kali menganalisa letupan perbuatannya yang tak terkontrol bila berhubungan dengan Lucy. Seperti semalam, hanya karena mendengar dari Smithson tentang Lucy yang akan pergi ke Beaminster telah cukup membuatnya menyeret Handerson ke ruang anak menemui Lucy. Dan sesudahnya dia terheran-heran sendiri karena terus terang dia tak punya urusan apapun di Bristol. Bahkan dia telah menolak menghabiskan akhir minggu di rumah James dan Caro di Richmond hanya untuk mengantar gadis berambut wortel ini pulang. Dan tadi pagi, menatap cermin di kamarnya di hotel Ritz tempatnya mnginap, dia melihat betapa wajahnya tampak semakin tua. Terlalu tua. Terlalu tua untuk apa? Terlalu tua untuk siapa? Agaknya dia harus cepat kembali ke negaranya untuk menjaga kewarasan otaknya.