Wednesday, June 29, 2011

Marriage By Arrangement (7)

Minggu-minggu berikut Caro sibuk menganalisa berbagai perasaan yang berkecamuk di dadanya. Saat berbincang dengan suaminya dia sering mendapati dirinya tanpa sadar memandang sosoknya. Mengagumi sepasang mata abu-abu tajam, dengan alis gelap, segelap warna rambutnya yang sudah mulai berubah abu-abu di pelipisnya. Mencintai garis-garis halus di wajahnya yang tampan dengan rahang kokoh dan hidung mancung aristokratnya yang sombong itu. Dan setiap memandangnya dia merasakan cintanya yang semakin dalam itu semakin sulit disembunyikan. Akankah James akan mengetahuinya?

“Caro? Sayang?” tanya James petang itu saat mereka sedang bersantai di ruang duduk sambil menunggu makan malam dihidangkan.

Cepat-cepat Caro mengalihkan pandangannya dengan wajah memerah. Lagi-lagi aku melakukannya tanpa sadar.

“Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan padaku? Kulihat kau sering memperhatikanku lebih intens, seperti seorang anak yang akan meminta sesuatu tetapi ragu-ragu untuk mengatakannya.”

“Tidak, James, tidak ada apa-apa,” katanya gugup.

“Kau yakin?”

Caro mengangguk. Dan James yang memahami bahwa istrinya tak akan membuka mulut akhirnya mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang umum. Selain seks, hubungan komunikasi di antara mereka berdua layaknya pasangan suami istri yang sudah lama menikah. Di pagi hari biasanya bila Caro sedang tidak berdinas malam, berdua dengan James mereka membawa Jason jalan-jalan. Meski hanya setengah atau satu jam ternyata mereka sangat menikmati kegiatan itu. Karena setelah sarapan pagi biasanya mereka harus disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Terkadang bila James sedang berdinas di St. Agnes, dia akan membawa Caro makan siang bersama. Saat minum teh pun selalu dia habiskan di ruangan Caro. Namun selain itu mereka baru bisa bersama saat minum teh sore. Akhir minggu biasanya mereka habiskan dengan berdua. Kadang berbelanja, menjelajah pertokoan, atau hanya sekedar menghabiskan waktu di rumah. Pernah sekali saat belum terlalu dingin James mengajak Caro nonton sepak bola dari klub yang ternyata sama-sama mereka favoritkan. Meski James tak berkomentar apa-apa tetapi Caro yakin harga tiket itu sangat mahal dan sangat sulit untuk mendapatkannya.

Undangan jamuan makan malam pun banyak berdatangan dari para kolega James. Dalam seminggu mereka bisa menghadiri tiga undangan. Kalau tidak mereka juga harus mengadakan jamuan makan balasan. Caro bukannya tak menikmati hal itu. Namun dia merasa bahwa mereka bergerak di lingkar orang-orang yang terlalu tua untuknya.

“Istri direktur St. Agnes mengundangku untuk minum teh minggu depan,” Caro mengabarkan pada James. “Mungkin aku akan menolaknya karena bertepatan dengan jadwal dinas malam.”

“Kalau kau menelpon sekarang, bisa jadi istri direktur itu akan meminta suaminya menggunakan pengaruhnya untuk membebaskanmu dari dinas malam, Caro. Kau tahu sendiri kan bagaimana para istri?”

“Dan terus terang aku tak menyukai hal itu. Hanya karena aku istrimu dan dia istri direktur, apakah berarti semua aturan bisa dibelokkan?” Caro bersungut-sungut.

“Katakan Caro, apakah rutinitas ini terlalu menjemukan bagimu?”

“Tidak juga. Hanya saja kupikir kau hanya mengenalkanku pada lingkung sosialmu secara terbatas, James. Aku yakin di masa lajangmu pergaulanmu lebih aktif dari ini.”

“Apakah kau pikir setiap malam aku berkencan dengan gadis-gadis dan berdansa dari satu klub malam ke klub malam yang lain?” James bertanya menyelidik.

“Ayolah, jangan rendahkan imajinasiku, James. Tak mungkin setiap malam kau hanya menghabiskan waktu bersama para kolega dari golongan senior. Kau tampan, kaya, dan aku yakin kau cukup populer dengan deretan gadis cantik yang antri menunggu ajakanmu.”

“Kau cemburu, Caro?”

“Jangan konyol!” bantah Caro. Tak urung wajahnya memerah. “Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Termasuk masa lalumu dan lingkungan tempat pergaulanmu. Tidak salah kan? Aku janji aku tidak akan usil.”

“Pelan-pelan saja, Caro, atau kau tak akan bisa menerimanya. Terus terang aku tak sesuci dirimu. Aku tiga belas tahun lebih tua darimu, dan selama waktu itu banyak hal sudah terjadi. Aku tak memungkiri bahwa seperti lelaki lain aku beberapa kali terlibat serius dengan wanita. Namun saat aku menikahimu aku sudah berkomitmen untukmu. Dan aku juga sudah melupakan semuanya. Bila kau khawatir aku mempunyai perempuan simpanan atau anak gelap, aku yakinkan kau bahwa itu tidak ada. Aku memuji diriku tidak sebodoh itu.”

“Kau banyak menyembunyikan hal dariku.”

“Aku tidak menyembunyikannya, aku hanya menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya padamu.”

“Termasuk kenapa kau setiap Selasa dan Kamis selalu pulang terlambat?” Caro mengangkat alisnya.

James terdiam sejenak. “Iya, termasuk yang itu.”

“Apakah ada alasan tertentu kenapa kau tak mengatakannya?”

“Kau ingin tahu?”

“Bila kau tak keberatan. Aku tahu pernikahan kita tidak seperti pernikahan normal lainnya. Bila itu kau anggap melanggar privasimu, aku tak akan mengungkitnya lagi. Asal itu tak melanggar kesepakatan kita semula, aku tak mau ada affair atau pernikahan kita bubar.”

James menatapnya tajam. Wajahnya tampak mengeras. “Kembali Caro yang bertopeng dingin. Kau tak perlu mengingatkanku akan kesepakatan pernikahan kita, Caro. Aku ingat dengan baik sekali.”

Suasana menjadi dingin. Sepanjang makan malam mereka tak banyak berbincang. Dan setelahnya dengan dalih banyak pekerjaan keduanya masuk ke ruang studi masing-masing.

Di depan meja kerjanya Caro membolak-balik bukunya dengan bosan. Dia mengutuki kebodohannya. Mereka telah bertengkar beberapa kali. Dan Caro biasanya selalu menghadapinya dengan gagah berani. Omongan-omongan James yang pedas dan sinis selalu bisa dibalasnya dengan tak kalah tajam, membuat James gemas setengah mati dan menghentikan perdebatan mereka dengan ciuman yang menggebu. Biasanya mereka akan segera berakhir di tempat tidur. Tetapi James yang keras dan dingin baru dihadapinya malam ini. Tatapan matanya yang tajam seolah mampu membungkam Caro hingga ke dasar hatinya. Caro tahu bahwa dia telah melewati batas. Dan dia sangat menyesal.

Sudah lewat tengah malam ketika akhirnya James keluar dari ruang studinya. Dia menuju ke kamar tidur dan mendapati istrinya belum kembali. Setelah berganti piama dan mengenakan jas kamar, dia memasuki ruang kerja Caro yang ternyata tidak terkunci. Dia tersenyum lembut melihat gadis itu tidur meringkuk di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Bukunya terjatuh ke lantai. Rambutnya terurai seperti awan yang kusut di bahunya. Malam ini Caro mengenakan pakaian tidur yang sama sekali tidak seksi, celana olah raga tua dan kaus katun yang sudah pudar warnanya. Namun bagi James istrinya tampak begitu menggemaskan saat sedang tidur. Kulitnya yang bersih dan halus seolah transparan. Dan bibrnya yang menjadi nilai plus tertinggi itu terbuka dan mengundang. James mendekat dan membelai wajah Caro dengan sayang, sebelum akhirnya menggendongnya ke kamar.

Pagi hari Caro terbangun saat merasakan kehangatan melingkupinya. Dengan mengantuk dipaksanya matanya terbuka dan dia langsung berhadapan dengan James yang menatapnya dengan mata membara.

“Selamat pagi, tukang tidur,” kata lelaki itu parau sambil menggerakkan bibirnya di daun telinga Caro.

“James, aku tak ingat kau mengangkatku ke tempat tidur,” bisiknya.

“Dan aku telah semalaman tidak bisa tidur, menunggumu terbangun,” James menggeram sebelum akhirnya merengkuhnya dan menciumnya dengan keras.

Secara refleks Caro membalas ciuman James, merapatkan tubuhnya yang hangat ke tubuh keras James. Pagi itu adalah salah satu hari dimana Jason kehilangan sesi jalan-jalan paginya.

Hari Kamis James mengantar Caro ke rumah sakit dan berjanji akan menjemputnya tepat waktu. Caro yang sudah sangat memahami ritme kerja praktisi kesehatan tak berharap banyak. Baik dirinya maupun James sangat sulit meninggalkan pekerjaan tepat waktu. Selalu saja ada halangan tak terduga di detik-detik terakhir jam dinas mereka. Namun hari itu keberuntungan sepertinya berpihak kepada mereka berdua. Satu menit sebelum jam kerjanya berakhir James telah muncul di depan ruangannya. Caro yang sedang mengecek kembali isi tasnya, mendongakkan wajah dan mendapati James sedang tersenyum lembut ke arahnya.

James mengemudikan mobilnya tanpa banyak bicara. Caro yang duduk di sebelahnya menahan semua rasa penasarannya dan hanya memandangi jalanan yang mereka lalui. Mereka tidak pergi terlalu jauh. James mengambil arah jalan sempit antara Bethnal Green dan Whitechapel Road, kemudia berputar ke jalanan kumuh bernama Rose Road, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat dua yang sederhana dengan jendela-jendela rendah bercat putih. Sebuah plakat papan sederhana bertuliskan “Tempat Praktek Dr. John Bright” terpasang di atas pintu. Caro menghela nafas rendah dan menoleh menatap James meminta penjelasan.

“Tidak sekarang, Caro, masuklah.”

Caro tak membantah dan dengan patuh mengikuti James memasuki pintu yang mengarah langsung ke ruang tunggu yang telah penuh dan ribut dengan pasien. Mereka berhenti bicara begitu melihat kehadiran James, mengucapkan “Selamat sore, Dokter,” dan memandang heran ke arah Caro.

“Istri saya,” dia memperkenalkan, “Dan seorang dokter juga. Dia akan membantu sore ini.”

Terdengar gumaman dari para pasien. Caro membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum ramah.

“Dok, anda benar-benar tahu cara memilih istri,” komentar salah seorang pasien yang disambut tawa oleh yang lain.

James mengangguk singkat dan menggandeng Caro memasuki ruangan, tempat seorang lelaki setengah baya bersama seorang perawat laki-laki.

“Halo, John, aku membawa istriku kemari. Caro, kenalkan John Bright, yang memiliki tempat praktek ini dan berbaik hati membiarkanku membantu dua kali seminggu.”

Caro bersalaman dengan dokter tua berwajah teduh itu.

“Dan ini perawat, Adam, yang membantu sehari-hari. Di ruang sebelah ada Sandra, resepsionis, kau bisa menemuinya nanti.”

Sandra muncul tanpa diundang. Seorang perempuan di awal limapuluhan yang meski ramah namun tampak tegas. Sambutan ramah mereka membuat Caro merasa bersalah dan sangat konyol. Apa yang telah merasuki pikirannya? Dengan penuh penyesalan Caro memandang James, namun Dr. Bright sedang berbicara.

“Saya senang sekali anda mampir, Nyonya. James telah banyak menceritakan anda, dan ternyata dia sama sekali tak melebih-lebihkan,” dia berhenti sejenak, “Anda bisa duduk di ruangan Sandra kalau tidak keberatan.”

“Saya akan membantu,” sahut Caro cepat.

James mengangkat alis dengan jenaka, “Kau dengar sendiri kan John? Kau tak akan percaya kalau istriku ini seorang malaikat?”

Baik John, Adam, maupun James tertawa berderai membuat wajah Caro memerah.

Dan sore itu hanya dengan mereka berempat Caro telah mampu mengatasi beberapa pasien dari kalangan tuna wisma, kaum jalanan, dan orang-orang dengan tingkat ekonomi rendah. Di antara kesibukannya melayani pasien yang membanjir, Caro harus menggendong seorang bayi yang memuntahkan susu di bajunya ketika ibunya menerima pengobatan dari Dr. Bright karena si bayi menolak digendong Adam. Dia juga harus membersihkan luka yang sudah hampir membusuk dari seorang remaja berpenampilan super jorok yang sepertinya tidak sadar bahwa lukanya hampir menjadi gangren.

Pasien terakhir pergi setelah waktu menunjukkan hampir jam sembilan malam. Sandra segera pergi karena dia memiliki anak-anak remaja di rumah. Karena Dr. Bright tinggal di lantai dua gedung itu, dia mengundang semuanya untuk minum teh. Pada akhirnya Caro memasuki dapur sederhana Dr. Bright, dan dengan bahan yang ditemuinya dia berkreasi menciptakan makan malam yang meski terlambat namun layak bagi mereka.

“Kubilang juga apa, John? Caro jago masak,” kata James bangga dan mencium Caro dengan lembut.

“Aku tak akan membantah. Hanya saja dia terlalu bagus untukmu,” canda Dr. Bright.

Setelah makan para lelaki bertugas membersihkan tempat bekas makan dan mencuci piring. Mereka berbincang-bincang lagi di antara minum kopi.

“Dr. Bright, apakah anda membuka lowongan untuk rekanan dalam mengurus praktek ini?” tanya Caro yang disambut tatapan terkejut lelaki tua itu. “Karena saya tak akan keberatan bekerja di klinik ini setiap hari, pada jam normal tentu saja.”

James yang duduk di sebelah Caro meremas jemari istrinya. Bibirnya menyunggingkan senyum seolah dia telah bisa menebak jalan pikiran Caro.

“Tentu saja, Dr. Willis. Asalkan James mau bermurah hati membagimu untuk kami,” Dr. Bright tertawa. “Terus terang kami memerlukan satu rekanan lagi. Namun jarang yang berminat karena kami melayani pasien yang kurang mampu. James telah berbaik hati mengurus pendanaannya sehingga kami tidak pernah kekurangan suplai obat dan peralatan.”

Akhirnya mau tidak mau mereka membicarakan tentang finansial klinik. Dr. Bright bekerja secara sukarela. Dana yang diperoleh dari Departemen Kesehatan Kota London tidak terlalu besar untuk melayani pasien yang ada. Adam dan Sandra di gaji oleh pemerintah. Dr.Bright memiliki sumber penghasilan lain dari aset yang dimilikinya, karena merasa sudah tua dan hidup sendiri dia menikmati kerja sosial itu. Dana tambahan untuk operasional klinik diperoleh dari yayasan yang dikelola James dengan menghimpun dana baik dari koceknya sendiri maupun memanfaatkan para kolega yang kaya.

Di atas tempat tidur malam itu, James menanyakan lagi tentang niat Caro. “Kau sungguh-sungguh sayang?”

“Aku serius, James. Ini tepat seperti yang kuinginkan. Lagipula aku akan sedikit mengurangi bebanmu karena aku tak mau dibayar.”

James mengangkat alisnya, “Hm?”

“Ayolah, James, kau telah memberiku uang bulanan yang jumlahnya bahkan jauh lebih besar dari gajiku selama ini. Selain itu aku juga punya dana warisan. Jadi aku bisa bebas membantu di sana. Aku harus keluar dari rumah sakit dan mengurus ijin praktek pribadiku secepatnya,” Caro membayangkan meninggalkan lembaga rumah sakit yang telah sekian tahun mempekerjakannya. “Yang aku tak habis mengerti, kenapa kau menutupi semuanya dariku selama ini?”

James terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku ingin kau menyukaiku karena diriku, bukan karena apa yang kulakukan.”

Caro terdiam, dia sangat memahami apa maksud James. Di mata orang lain hal ini bisa merupakan sesuatu yang romantis dan sedikit dramatis, bahwa seorang spesialis dengan praktek elit yang sukses di Harley Street, sering melayanai pasien-pasien internasional, dengan pasien tersebar di beberapa rumah sakit ternama kota London, memilih membantu pada praktek dokter umum biasa di kawasan kumuh dekat Whitechapel Road. Ini pasti akan sangat mengesankan gadis-gadis bahkan yang lebih bodoh darinya. Caro memutar cincin kawin di jarinya. Terus terang, bodoh atau tidak, Caro juga sangat terkesan. Caro mendongak menatap James yang memandangnya dengan tajam.

“Kulihat kau mengerti maksudku.”

Caro menjawab seketika. “Oh ya, pasti. Tapi asal kau tahu, kau sebenarnya tak perlu menyembunyikannya dariku karena aku sudah menyukaimu. Jadi apapun yang kau lakukan maupun tidak kau lakukan tak banyak berarti untuk mengubahnya.”

James mencium Caro dengan mesra dan dalam. “Kenapa ya aku sama sekali tak terkejut dengan semua reaksimu?” tanyanya dan kembali menciumnya. “Tetapi aku khawatir dan tidak yakin, Caro. Pekerjaan di Rose Road pekerjaan yang keras dan berat di lingkungan yang sangat kotor dan berbahaya. Bahkan jauh lebih buruk daripada di ruang gawat darurat. Aku tak mau kau celaka.”

“Percayalah, James, aku bisa menjaga diri. Aku tak serapuh kupu-kupu, tahu?” Caro memegang wajah suaminya meyakinkan. “Lagipula meski ini tak seindah impianku untuk menjadi dokter di pedasaan, paling tidak ini mendekati,” Caro tersenyum kecil.

“Apakah kau masih terobsesi dengan impianmu itu, Caro?” tanya James.

“Tentu saja. Orang boleh punya mimpi kan?” Caro yang dalam suka cita rencananya itu sama sekali tak memperhatikan tatapan James yang tajam.

***

Hanya perlu waktu dua minggu bagi Caro untuk melepaskan diri dari pekerjaan lamanya dan memulai aktifitas barunya sebagai dokter umum di klinik Dr. Bright. Namun demi ketenangan James, Caro tak pernah menyetir sendiri ke sana. James selalu mengantar dan menjemputnya. Kalau sedang sibuk tugas itu dibebankan kepada Knotty. Karena James selalu datang hari Selasa dan Kamis, maka khusus dua hari itu Caro bekerja dari siang setelah makan hingga malam menemani James. Secara umum Caro menikmati pekerjaan barunya. Caro juga harus melakukan kunjungan ke pasien. Biasanya dia selalu ditemani oleh Adam. Baik Dr. Bright maupun James kompak melarang Caro untuk merambah zona yang berbahaya karena di daerah-daerah dimana pasien klinik tinggal terkenal sangat rawan.

Natal menjelang dengan kabar gembira dari kedua orang tua James yang akhirnya memutuskan kembali ke Inggris. Mereka akan singgah di Richmond sebelum pulang ke York. Itu artinya Caro berkesempatan menghabiskan akhir pekan bersama mertua yang baru dikenalnya lewat chatting internet dan telepon. Sekaligus pertama kalinya dia akan mendatangi Richmond. Meski rumah di sana telah menjadi milik James, namun baik James maupun Caro sepakat untuk sementara mereka belum mau meninggalkan rumah di Mayfair ini.

Sabtu pagi yang dingin, dengan membawa Jason di jok belakang, mereka menyusuri jalanan yang mulai ditutupi salju tebal. Setiba di depan rumah di Richmond, Caro ternganga melihat keindahan bangunan kuno itu. Selain besar rumah itu juga tampak indah. Dan sekarang dengan ditutupi salju membuatnya benar-benar seperti dalam dongeng.

“Kau menyukainya?” tanya James menggoda melihat istrinya yang ternganga.

“Kau serius? Ini indah sekali.”

Sambil tertawa James menggandeng Caro menuju pintu sementara Jason menyalak gembira di antara mereka. Pintu depan dibuka oleh lelaki tua yang berwajah ramah.

“Selamat datang, Tuan James. Sudah lama sekali anda tidak ke sini,” sambutnya.

“Greg, senang melihatmu lagi. Ini kenalkan, istriku, Caro. Caro, ini Greg yang bersama istrinya menjaga rumah ini untukku.”

Caro tersenyum menjabat tangan Greg. James seolah diberkati dengan dikelilingi orang-orang yang loyal padanya. Caro teringat Knotty dan Hannah di Mayfair. Terdengar suara seorang perempuan memanggil dari arah dalam. James langsung menarik Caro memasuki rumah yang begitu luas dan ditata dengan interior mewah yang antik. Ibu James sudah menunggu di ruang duduk bersama ayahnya. Wanita itu masih tampak menarik dan lembut meski usianya sudah lewat enam puluh. Sementara ayah James adalah versi tua dari putranya, tetap tampan dan tegap di usia senja. Caro menerima pelukan dan ciuman dari keduanya sebelum akhirnya duduk di sebelah ibu mertuanya.

“Sayang, akhirnya aku bertemu denganmu,” katanya dengan bahagia menggengam tangan Caro. “Aku bahagia untuk kalian berdua. Kau gadis yang begitu tepat untuk James. Tidak rugi dia menunggu selama ini untuk mendapatkan gadis sepertimu.”

Caro menerima pujian mertuanya dengan wajah tersipu. Mereka berbincang dengan akrab, menceritakan masa lalu James yang membuat lelaki itu protes keras.

“Ibu, aku bukan lagi anak kecil, janganlah aku dipermalukan di depan istriku.”

“Ah, omong kosong, bagiku kau tak lebih bayi yang kemarin aku timang dan memakai popok,” canda ibunya.

Selesai makan siang kedua orang tua James harus beristirahat. Kesempatan itu digunakan James untuk menggiring istrinya mengelilingi rumah. Rumah ini sangat besar dengan banyak kamar berukuran luas. Mereka akan menempati kamar utama yang ada di bagian depan rumah yang luas ruangannya hampir seluas apartemen lama Caro. Perabotnya terbuat dari kayu kuno yang indah dan antik. Tempat tidur yang besar dan tinggi, lemari yang besar, hingga meja rias kuno yang tak kalah antiknya. Seprai, gorden, taplak, tutup lampu semua berbahan sutra kuno yang dijaga dengan baik. Karpetnya yang tebal menutupi lantai menawarkan kenyamana.

“Kamar ini ditempati turun temurun oleh keluargaku sejak hampir lima generasi lalu, dan tak satupun dari tiap generasi merubah tradisi ini,” James menerangkan. “Kini giliran kita, karena aku anak lelaki tertua. Namun kita tak harus mengikuti tradisi itu. Semua terserah padamu. Kalau kau ingin merombak seluruh perabotan dalam rumah ini aku akan dengan senang hati menurutinya dan tak ada seorang pun yang akan menyalahkanmu.”

“Merombak tempat ini? Kau gila James bila menganggapku akan merubahnya. Rumah ini cantik dan aku sangat menyukainya, apa adanya.”

Di lantai bawah ada ruang anak-anak yang sangat luas. Meski tidak ditempati untuk sekian lama, namun ruangan itu tetap terjaga bersih dan rapi. Deretan tempat tidur mungil mengisi sepanjang sisi dindingnya selain rak-rak tempat menyimpan mainan.

“Kami berempat rata-rata tinggal di sini hingga lulus taman kanak-kanak, saat kami sudah mendapat kamar masing-masing. Meski kami punya pengasuh, namun ibu setiap hari yang mengasuh dan menjaga kami.”

Selanjutnya James menunjukkan pada Caro kamarnya saat remaja. Caro tertawa melihat foto-foto James jaman masih kanak-kanak hingga remaja. James tampak sebagai remaja tampan yang populer dan sedikit nakal. Dari buku kenangan masa sekolah menengah, James menunjukkan pada Caro pacar pertamanya. “Namanya Cynthia. Dia cantik, pirang, dan aku memacarinya semata-mata karena akan tampak keren kalau berpacaran dengan gadis yang menjadi incaran setiap anak laki-laki. Sayang pada tahun terakhir sekolah, setelah kami putus dia berpacaran dengan bintang sepak bola dan keluar sebelum tamat karena hamil. Kudengar sekarang dia di London bekerja di sebuah klub malam dan sudah bercerai tiga kali.”

Foto-foto James di universitas menunjukkan perubahan yang sangat banyak. Selain tubuhnya lebih kekar, raut muka bandel pun tak lagi muncul di kedua matanya. Saat itu James sudah menjelma menjadi lelaki muda yang serius. “Kau pasti tahu seperti apa kulian kedokteran itu kan? Kau mengalaminya sendiri,” katanya sambil tertawa.

“Kamar ini sepertinya tak berubah, James. Waktu seperti berhenti di tempat ini.”

“Aku yang meminta untuk tidak merubah kamar ini. Telah lama aku menantikan kesempatan untuk mencumbu istriku di kamar ini,” James menatap Caro dengan tatapan berapi-api. “Dan sekarang, Caro, aku tak mau menunggu lagi.”

Akhir pekan itu menjadi akhir pekan yang tak terlupakan oleh Caro. Kedua mertuanya adalah orang-orang yang memiliki pernikahan kokoh dan bahagia sehingga kebahagiaan mereka seperti menular kepada orang-orang di sekitarnya.

“James begitu mirip ayahnya. Dulu pun ayahnya menikah denganku setelah usianya empat puluh. Kami bertemu di rumah sakit juga, dia menjadi dokter di sana dan aku seorang perawat. Ayah James sangat populer dan sangat tampan sehingga seperti mimpi rasanya ketika dia melamarku. Dan sejak itu aku selalu merasa bersyukur karena telah dicintai begitu dalam olehnya,” cerita ibu James.

Sayang James tak mencintainya. James menyayangi dan menyukainya, tapi tidak mencintainya.

Malam hari di kamar mereka, James dan Caro sedang bersiap untuk tidur.

“Bagaimana sayang, pendapatmu untuk tinggal di sini?”

“Aku akan suka sekali, James. Namun rumah ini begitu besar sedangkan kita hanya berdua saja.”

“Rumah ini memang dibangun jaman dulu saat masing-masing keluarga terbiasa memiliki banyak anak. Ruang anak-anak di lantai bawah sudah begitu lama kosong sejak kami berempat menempatinya.”

Caro menatap suaminya dengan jantung berdebar.

“Apa pendapatmu tentang anak, Caro?”

“Aku suka anak-anak.”

“Berapa anak yang kau inginkan?”

“Dua, empat, berapapun tak akan masalah.”

“Kau masih meminum obat pencegegah kehamilan?”

Malam itu diawasi oleh mata tajam suaminya, Caro mengeluarkan botol berisi pil pencegah kehamilan yang dia bawa dalam tas. Caro membuka tutupnya dan menuang isinya ke dalam kloset sementara botol kosong itu berakhir di tempat sampah. Seperti kesetanan James langsung mengangkat istrinya, membawa ke tempat tidur yang besar itu, dan menindihnya. “Sayang, aku tak sabar untuk segera menjadi ayah,” bisiknya parau penuh gairah.

Beberapa saat kemudia, dengan berpelukan keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah kenapa percintaan mereka malam itu terasa lain. James yang pertama begitu menggebu, kemudian mencumbunya dengan lembut dan penuh pemujaan membuat Caro ingin menangis dan meneriakkan perasaannya kepada suaminya. Namun bibirnya tetap bungkam.

“Caro, kau sama sekali belum pernah mengundangku ke rumahmu di Essex,” bisik James dalam keremangan cahaya lampu tidur antik di samping ranjang mereka.

“Rumahku sangat sederhana dan tidak ada apa-apanya dibanding milikmu, James.”

“Kau sudah melihat semua kehidupan masa laluku. Rasanya tidak adil bila aku tidak mendapatkan kesempatan yang sama.”

“Ah, James, masa laluku tidak semenarik masa lalumu,” Caro mengelak.

“Caro, kau sangat tidak berperasaan. Undang aku ke Essex, oke?”

“Hm...”

“Caro...” melihat istrinya sedang bermaksud menggodanya lebih lama, cepat-cepat James begerak, mendominasi Caro dengan tubuhnya yang besar, “Bila aku mencumbumu dengan sangat lembut dan memuaskanmu berkali-kali, apakah kau akan mengundangku ke Essex?”

Sebuah godaan yang tidak mungkin ditolak oleh Caro.

Monday, June 27, 2011

Eleventh : Just The Two Of Us

Masumi memandang ayahnya dengan dingin. “Aku tahu kalau Maya Kitajima telah berada di Jepang, dan telah pula menanda-tangani kontrak kerja di bawah manajemen Daito. Aku tak menceritakannya karena kupikir ayah tidak tertarik.”

“Gadis itu selalu menarik bagiku,” Eisuke seperti melamun. “Sejak kematian Mayuko, terus terang memikirkan Bidadari Merah membuatku tertekan. Perselisihan kami belum selesai dan Mayuko meninggal sebelum kami sempat berbaikan. Namun entah mengapa memikirkan Maya Kitajima, aku sama sekali tak tertekan. Bidadari Merah yang unik. Sama sekali tak memiliki kesan seorang dewi. Karena Mayuko yang menemukan dan mendidiknya, maka aku tak bisa banyak komentar. Pasti dia melihat apa yang tidak aku lihat dalam diri gadis itu.”

Masumi tak memberi komentar sedikit pun. Dia justru memandang ke halaman yang sudah gelap karena malam telah menjelang.

“Kau masih ingat, Masumi, tujuan divisi seni Daito didirikan?”

“Masih, ayah, untuk mementaskan kembali Bidadari Merah.”

“Dan hal itu tidak berubah,” tiba-tiba Eisuke menatap kembali Masumi dengan tajam. “Kau memang sudah mengambil alih pucuk pimpinan di Daito. Tetapi aku tetap pimpinan tertinggi dan kau menerima perintah dariku. Sekarang dengan kembalinya Maya Kitajima ke Jepang, yang tentunya berarti pula Bidadari Merah sudah siap dipentaskan, aku mau kau kembali fokus ke divisi seni dan memenangkan hak itu. Tentunya kau tetap pada posisi dan pekerjaanmu di Daito. Tunjukkan kalau kau mampu, Masumi. Kau mengerti?”

Masumi menatap ayahnya. Wajahnya yang datar sama sekali tak memancarkan segala kegundahan yang berkecamuk di dadanya.

“Sekarang dengan kembalinya Maya Kitajima ke dalam manajemen Daito, kurasa takkan sulit bagimu untuk merebut hak itu darinya. Seperti kita tahu, gadis itu begitu lugu dan bodoh. Pasti tak sulit untuk orang sepertimu untuk menghancurkannya.”

Suara tawa Eisuke seperti siraman air cuka di hati Masumi yang telah berdarah. Perih.

Malam itu Masumi tidak tidur. Dibukanya kembali semua file yang memuat informasi tentang divisi seni. Dia sudah hampir tiga tahun, sejak menikah dengan Shiori, melepaskan diri dari segala urusan divisi itu. Pertama ketika dia terlibat dalam kemelut Takatsu, dan kemudian dia memegang kendali dari seluruh divisi usaha yang ada di Daito sementara divisi seni diserahkan kepada seorang general manager baru yang masih muda dan ambisius. Meski Masumi tak terlibat dalam detail kinerja masing-masing divisi, tetapi Masumi sebagai representatif pimpinan tertinggi berhak memutuskan maupun mengintervensi dari divisi-divisi di bawahnya. Akses data Masumi tak terbatas sehingga setiap kebijakan dan keputusan yang diambil bisa dengan mudah didapatnya untuk dipelajari, dan bila perlu direvisi tanpa menunggu persetujuan dari manager divisi yang bersangkutan.

Meneliti kembali kontrak-kontrak arti di bawah manajemen Daito, Masumi melihat bahwa sebagian besar masih mengikuti pola kontrak dari manajemen di bawah pimpinannya dulu, tak banyak berubah. Agaknya model kepemimpinannya telah menjadi standar tak terlulis di Daito sehingga inovasi-inovasi baru tak banyak dibuat. Masumi terbiasa membuat kontrak dengan batasan-batasan yang sekilas akan sangat menguntungkan sang artis. Namun di sisi lain Daito mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari menjual artis-artis tersebut kepada jaringan televisi, iklan, maupun film. Dukungan barisan pengacara menyiapkan kata-kata dalam kontrak yang singkat dan lugas namun tak terbantahkan.

Kecuali kontrak Maya Kitajima. Memang dalam kontrak antara artis satu dan yang lainnya tidaklah sama. Ada batasan maksimal yang memberikan ruang gerak bagi artis yang bersangkutan untuk bernegosiasi, terutama artis yang telah menjadi icon bidang tertentu yang sudah memiliki nilai jual tersendiri dan bebas menentukan nilai tawar. Peluang inilah yang Masumi gunakan untuk mendesain kontrak Maya. Masumi bekerja di bawah bayangan, tentu saja. Masih diingatnya perjalanan bersama Mizuki ke kampung halaman Bidadari Merah untuk menemui Genzo. Mereka berbicara panjang lebar mengenai Bidadari Merah dan Maya Kitajima. Pada sosok tua kebapakan itulah Masumi menerangkna rencananya untuk memasukkan Maya Kitajima dalam manajemen Daito namun dalam posisi masih sebagai artis lepas. Masumi pula yang meminta Genzo mencari pengacara untuk Maya serta menyarankannya untuk menunjuk Rei Aoki sebagai manajer pribadi Maya. Sementara dari pihak Masumi, secara khusus menunjuk Mizuki sebagai supervisor yang akan mengawasi dengan ketat proses pembuatan kontrak itu, bukan sebagai wakil dari Daito, melainkan dari Masumi Hayami atas nama Mawar Jingga, sebelum akhirnya diajukan kepada divisi seni Daito. Bisa dibilang kontrak tersebut adalah kesepakatan antara Masumi Hayami terhadap Divisi Seni Daito.

Dan sekarang salinan elektronik dokumen itu telah terbuka di layar laptopnya. Masumi berusaha keras mencari celah yang memungkinkan Daito untuk menekan Maya Kitajima. Baik Maya maupun Rei masih sangat yunior. Pengacara yang ditunjuk dengan saran Genzo lumayan bagus, namun bukanlah pengacara kelas satu yang bisa melawan barisan pengacara korporasi milik Daito. Saat itu kalau bukan campur tangan Mizuki di bawah pengawasan ketat Masumi mungkin Daito sudah bisa melahap Maya bulat-bulat di bawah cengkramannya. Sekarang Masumi harus bisa mematahkan sistem pertahanan Daito yang tangguh, yang dirancang Eisuke untuk melindungi Daito dari segala ekspansi dan intervensi dari luar.

Akhirnya saat itu tiba, ayah. Kau dan aku harus bertarung memperebutkan Bidadari Merah itu. Sejak lama aku tahu bahwa musuh terbesarku bukan Mayuko, bukan pula Maya, namun kau sendiri, ayah angkatku. Sedangkan kau, apakah kau sadar bahwa anak yang kau angkat dan kau didik ini telah menjadi musuhmu? Batin Masumi.

Hari Senin pagi-pagi Masumi telah menyuruh Mizuki untuk menyiapkan rapat mendadak internal divisi seni. Mizuki yang meski agak keheranan menjalankan perintah tasannya tanpa banyak komentar. Membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk mengorganisir peserta rapat secara keseluruhan. Masumi pun memberitkan keputusan Eisuke yang memerintahkan Masumi kembali terlibat secara langsung di divisi seni, sekaligus persiapan-persiapan menghadapi tender pemnetasan Bidadari Merah yang kemungkinan akan segera dilaksanakan oleh Persatuan Drama Nasional.

Sementara Masumi masih juga harus diganggu oleh wartawan sehubungan gossip tentang foto panasnya di media massa. Pagi tadi saat Masumi tiba di gedung Daito, banyak para wartawan berkerumun di seberang jalan yang menjadi pintu masuk kompleks perkantoran Daito. Sementara Mizuki harus setengah mata menangani telepon yang datang bertubi-tubi baik dari surat kabar maupun televisi. Masumi dengan wajah dingin memerintahkan Mizuki untuk menolaknya.

Maya yang minggu itu sudah memulai aktifitasnya secara normal, sama sekali tak terusik dengan wartawan soal gossip dan sebagainya. Rata-rata dia hanya diwawancara untuk rencana-rencananya setelah kembali ke Jepang serta pementasan kembali Bidadari Merah, yang semuanya dijawab dengan lugas dan tegas oleh Maya. Ketika wartawan-wartawan gossip mulai bertanya soal kehidupan pribadinya, dengan tegas pula Maya menolak menjawab, dengan alasan untuk mengejar segala ketertinggalan dia akan konsentrasi kepada karirnya dulu. Kesibukannya sangat padat, dari pagi hingga malam. Dengan didampingi oleh Rei, mereka mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen membahas tentang jadwal syuting drama serial maupun iklan, sekaligus rencana promo dengan masing-masing jaringan televisi yang telah mengkontrak Maya. Sementara itu Maya masih harus mengikuti latihan teater standar yang dilaksanakan pihak manajemen Daito untuk mengembangkan bakat dari artis-artis yang dimilikinya. Belum lagi masalah berburu apartemen yang ternyata sangat sulit dan melelahkan.

“Untung kontrakku sebagai manajer pribadimu memberiku prosentasi keuntungan yang layak, Maya, jadi sepadan dengan lelahnya. Kalau tidak aku pasti akan menuntutmu,” komentar Rei saat mereka sedang naik taksi berdua menuju teater bawah tanah tempat Rei akan melakukan latihan bersama anggota yang lain.

“Maafkan aku, Rei. Kalau kau rasa terlalu berat menjadi manajerku, kau tinggal bilang ya? Aku tak mau mengganggu karir artismu.”

“Tenang saja. Sejauh ini aku masih bisa mengatasi. Kalau nanti aku sudah tidak mampu, aku akan bilang terus terang padamu. Kita kan berteman. Lagipula, kalau bukan aku, siapa lagi yang mau mengurusi artis bodoh dan konyol yang suka ceroboh sepertimu, Maya?”

Maya meringis.

Minggu yang teramat sibuk itu ternyata semakin menggila di minggu berikutnya. Jadwal yang padat sama sekali tak menyisakan kesempatatan bagi Maya untuk bersantai. Dia dan Masumi bahkan belum sempat bertemu lagi sejak peristiwa heboh di hari Sabtu pagi itu. Pernah sekali suatu malam Masumi meneleponnya dan mengatakan bahwa untuk sementara mereka lebih baik tidak bertemu dulu karena dia sedang dikuntit para wartawan. Sebetulnya perkara menyamar bukan hal sulit bagi Masumi, tetapi nampaknya Masumi sedang sangat sibuk hingga Maya pun menerima saja tanpa komentar meski dia sudah sangat rindu ingin bertemu.

Saat berada di gedung Daito pun Maya sangat ingin menghambur mencari Masumi yang telah pindah kantor sejak kepergiannya ke London. Namun ditahannya kuat-kuat keinginan itu. Kalaupun Masumi tidak atau belum bersedia menemuinya pasti dia punya alasan tersendiri. Maya tidak mau menjadi beban bagi Masumi dengan bertindak semaunya. Meski keraguan sempat menelusup ke relung hatinya akan cinta Masumi, namun Maya bertekad sekuat tenaga untuk mempercayai lelaki itu. Saat hatinya gundah oleh perasaan tak pasti, Maya selalu berusaha mengenang Masumi sebagai Mawar Jingga, sosok di balik bayangan yang selama ini sangat mendukungnya, memberinya semangat di saat dia terpuruk sekalipun. Itulah Masumi yang sesungguhnya. Bukan sosok praktisi bisnis yang bertopeng angkuh dan dingin serta tak berperasaan.

Pada akhir pertengahan minggu kedua barulah Maya menemukan apartemen seperti yang diinginkannya. Meski agak jauh dari tempatnya bekerja, namun sangat dekat dengan stasiun kereta yang memudahkan jalur transportasinya. Apartemen sederhana di lingkungan cukup bagus, menghadap ke arah sungai dengan lapangan luas di depannya tempat anak-anak bermain dan berolah raga. Apartemen tersebut tidak terlalu besar, berkamar tidur dua dengan dapur yang tidak terlalu kecil dan terletak di lantai dua. Sekali melihat Maya langsung merasa pas. Pemiliknya seorang nenek tua yang tampak baik hati dan lembut. Setelah semua kesepakatan dibuat dengan putra si nenek, diputuskan Maya akan mulai pindah pada hari Sabtu pagi. Dibantu Rei dan teman-teman lain Maya mulai mencari beberapa perabot yang akan diisikan ke apartemen barunya karena perabot di apartemen lama akan ditinggalkannya. Maya tahu bahwa dia harus memberi-tahu Masumi akan kepindahannya, namun Maya berencana mengabarkan setelah semua beres dan dia telah nyaman di tempat barunya. Dia tak ingin membuat Masumi merasa terbebani dengan membantunya berbenah.

Hari Sabtu akhirnya Maya pindah apartemen. Teman-temannya dengan kompak membantunya menata tempat baru itu hingga saat senja Maya sudah mulai bisa menikmatinya dengan layak. Mereka berbelanja dan memasak bersama untuk mengadakan pesta kecil. Selain itu Maya juga mengirimkan makanan ke tetangga kanan dan kiri sebagai tanda perkenalan. Saat malam menjelang dan teman-temannya akhirnya berpamitan pulang, barulah Maya mulai merasa kesepian.

“Kau mau menemaniku kan, Rei?” pinta Maya ketika dilihatnya Rei pun bersiap mengikuti rekan-rekan yang lain untuk pergi.

“Jangan konyol, Maya! Tujuanmu cari apartemen sendiri kan biar privasimu dengan Pak Masumi tidak terganggu? Jadi yang harusnya kau undang ke sini bukan aku, tetapi Pak Masumi!”

“Tapi, Rei, aku malu.”

“Ya ampun anak ini! Baru dua minggu di Jepang, penyakit manjanya sudah kambuh lagi. Orang akan heran bila tahu kau ini adalah Bidadari Merah dan kekasih Pak Masumi Hayami dari Daito!”

“Tapi Rei...”

“Ah, sudahlah, demi kebaikanmu sendiri, aku harus pulang. Jangan telepon aku kalau tidak benar-benar penting!” dengan kata-kata itu Rei pun berlalu, meninggalkan Maya sendirian.

Akhirnya dengan sedih Maya bersiap tidur di kamarnya yang baru. Masih terasa sangat asing. Namun dia pernah mengalami kondisi yang lebih kesepian dari pada ini, saat pertama tinggal di London. Tak urung hingga tengah malam Maya tak juga bisa memejamkan matanya. Pikirannya pun kembali kepada Masumi. Sedang apakah dia sekarang? Apakah masih bekerja? Maya tahu Masumi jarang sekali mengambil libur. Bahkan hari Sabtu dan Minggu pun dia tetap bekerja hingga larut malam.

Tiba-tiba ponselnya yang terletak di meja pendek di samping kasurnya bergetar. Maya dengan perasaan gembira segera meraihnya. Masumi. Pesannya singkat saja.

Sudah tidur?

Belum.

Sebentar kemudian ponsel itu berbunyi dan Maya segera menekan tombol hijau.

Maya?

“Masumi? Kau masih bekerja?” tanyanya

Iya. Aku sedang berada di Kobe untuk urusan pekerjaan, hari Minggu sore baru bisa kembali ke Tokyo. Kau baik-baik saja? Kenapa belum tidur? Sudah larut lho.

“Masumi, aku sekarang sendiri.”

Teman-temanmu kemana?

“Tidak, anu... maksudku aku sekarang tinggal sendirian.”

Maya!

“Maaf aku baru bilang. Sesuai saranmu akhirnya aku memutuskan mencari apartemen sendiri. Rei membantuku mencari. Jadilah aku pindah hari ini. Sekarang aku resmi tinggal sendiri.”

Kenapa kau tidak memberitahu aku rencanamu, Maya?

“Aku tak mau merepotkanmu. Teman-temanku semua telah membantuku kok. Lagipula menurutmu situasinya sangat tidak tepat untuk kita bertemu kan?”

Iya. Wartawan masih menguntitku. Tapi kalau waktuku sudah agak luang, aku pasti akan mengatur cara agar bertemu denganmu. Bagaimana dengan kegiatanmu, Mungil.

“Seperti biasa. Aku tak perlu melapor padamu kan? Kamu pasti sudah punya detail kegiatanku selama minggu-minggu ini. Jangan-jangan malah kau yang menjadwalkan semuanya ini dan menyiksaku dengan pekerjaan?” tuduh Maya.

Terdengar tawa di ujung sana. Iya, aku sudah tahu semuanya. Baguslah kalau kau sudah menyadarinya, berarti kau sudah bisa memahamiku dengan baik.

“Masumi, apa kau tidak merasa sia-sia meluangkan waktu dengan mengawasiku? Bukannya urusanmu jauh lebih banyak dan lebih penting daripada memata-mataiku?”

Di antara semua urusan, kaulah yang terpenting Maya.

Sesaat keduanya tak berkata-kata, tak tahu harus berbicara apa.

“Masumi...aku rindu.”

Di ujung sana, Masumi menghela nafas dengan berat. Aku juga sangat merindukanmu.

Setelah saling mengucapkan selamat malam, akhirnya mereka menutup pembicaraan.

Di Kobe, Masumi masih belum keluar dari ruangan hotel yang memang diperuntukkan sebagai ruang kerja sementara. Setelah mendengar suara Maya, Masumi sungguh tak tahan ingin segera bertemu dengan gadis itu. Sayangnya jadwalnya sangat ketat dan urusannya sangat banyak. Namun entah mengapa hari-hari terakhir ini Masumi merasa gairahnya untuk bekerja mulai menurun. Dia mulai bertanya-tanya apa yang dicarinya dari bekerja. Dulu dia bekerja karena ingin membuktikan diri bahwa dia mampu. Dia bekerja keras tak kenal waktu karena itulah satu-satunya tujuan hidupnya, tujuan yang telah disiapkan oleh Eisuke Hayami untuk Daito. Masumi saat itu sadar sepenuhnya bahwa dia hanyalah alat kekuasaan yang dikendalikan oleh Eisuke dengan kedok anak angkat. Dan selama ini Masumi tak pernah keberatan. Pekerjaan adalaj kenyamanan baginya. Pekerjaan adalah pelarian baginya. Pelarian saat dia tidak bisa dengan jujur mencintai gadis pujaannya, pelarian ketika dia harus menerima pernikahan yang tidak diinginkannya, dan pelarian ketika rumah tangganya kandas dan dia tak bisa menjangkau gadis yang saat itu jauh di seberang lautan.

Tetapi sekarang? Kenapa pekerjaan menjadi beban baginya? Ketika semua kendali telah di tangannya, kenapa semua terasa kehilangan tantangannya? Selain itu Masumi merasa tak memerlukan pekerjaan lagi untuk bersembunyi. Toh gadis itu sudah berada dalam rengkuhannya. Yang dia perlukan hanyalah bagaimana dia bisa melindunginya. Namun pekerjaan pula yang membuatnya tak bisa dengan bangga memeluknya, menunjukkan kepada dunia bahwa mereka bahagia dan saling memiliki. Pekerjaan pula yang menempatkannya dalam pertarungan antara Daito dan Maya Kitajima, melanjutkan pertarungan sebelumnya dengan pendahulu Maya, Mayuko, dalam perebutan hak pementasan Bidadari Merah. Masumi yang berada di persimpangan, harus mempersiapkan strategi jitu demi melindungi orang yang dicintainya. Meski dengan resiko terburuk dia akan kehilangan segalanya. Kehilangan Maya dan Daito. Perang itu akan segera tiba. Bahkan Masumi sudah bisa mencium gelagatnya dari sekarang. Ayahnya pun tak segan-segan sudah mulai menghimpun kekuatan dari beberapa orang kepercayaan untuk memastikan Masumi mengambil langkah yang benar. Masumi bukan orang bodoh, Eisuke menyadari itu. Dan Eisuke pun di usia senja ternyata tak kehilangan ketajaman berfikir dan bertindak, dan masih berusaha memegang kendali semuanya. Masumi, untuk pertama kali dalam karirnya, merasa bimbang.

***

Maya sedang berada di gedung Daito untuk mengatur konferensi pers terkait kontraknya dengan drama televisi yang akan ditayangkan Fuji TV ketika Masumi mengirimkan pesan singkat.

Aku di kantor sekarang. Apakah kau bisa datang menemuiku?

Maya menoleh pada Rei. “Rei, Masumi ingin ketemu, setelah ini jadwalku kosong kan?”

Belum sempat Rei membalas, ponselnya telah berbunyi. Ternyata Mizuki yang meminta Rei untuk mengosongkan jadwal Maya untuk satu jam ke depan. Rei, setelah menutup telepon mendelik sewot ke arah Maya. “Bilang pada kekasihmu itu, kalau mau mengosongkan jadwal, harusnya dia langsung telepon kepada manajer divisinya sendiri untuk merubah jadwal sesuai keinginannya,” semprotnya sewot.

Maya hanya tertawa. Dia sendiri sudah tak sabar ingin ketemu Masumi. Makanya dia segera bersiap-siap meninggalkan tempat.

“Ingat, Maya, hanya satu jam!” ancamnya.

“Iya, iya, nanti aku ke tempat latihan sendiri. Aku bisa kok,” dan dengan riang Maya meloncat pergi.

Lorong-lorong gedung pusat Daito terasa agak asing bagi Maya yang telah lama tidak lagi terbiasa berkeliaran di sana. Dia terpaksa harus meminta Masumi memandunya lewat telepon untuk bisa menemukan ruangan dimana Masumi bekerja. Setelah tiga kali nyasar ke lorong yang salah, akhirnya dengan terengah-engah Maya tiba di depan pintu dengan nomor ruangan yang dimaksud. Mizuki yang membukakan pintu baginya setelah Maya mengetuk pelan sekali.

“Akhirnya. Pak Hayami sudah menunggu Anda, Nona,” kata perempuan itu singkat.

“Selamat siang, Nona Mizuki,” sapa Maya riang.

Mizuki hanya menyeringai dan mengantarkan Maya ke pintu yang berada di dalam ruangan. Mizuki pun mengetuk pelan sekali yang disambut suara berat menyuruhnya masuk. Mizuki membuka pintu yang berat itu, tetapi tidak ikut masuk.

“Ini Nona Kitajima, Pak.”

“Terimakasih, Mizuki.”

“Ingat Pak, hanya satu jam,” Mizuki memperingatkan sebelum mendorong Maya masuk dan menutup pintu dengan pelan.

Maya, berdiri di dekat pintu dengan kikuk. Ruang kerja pribadi Masumi begitu besar dan mewah. Maya sedikit merasa takut. Dulu, di kantor lama, Maya seringkali datang menemui Masumi. Saat itu mereka berdua masih berposisi sebagai musuh. Mereka kerap kali bertengkar dan beradu mulut. Namun sekarang, entah mengapa Maya merasa jengah.

Masumi tersenyum melihat kehadiran Maya. Tubuhnya yang tegap seperti biasa dibalut pakaian kerja bercita rasa tinggi. Masumi memang sudah melepaskan jasnya. Kemejanya yang berwarna hijau berbahan sutra halus dipadu dengan dasi mahal dengan motif dan warna yang sesuai. Melihat Masumi begitu tampan, Maya menundukkan kepala dengan minder. Rasanya tak percaya kalau lelaki ini adalah lelaki yang sama yang memeluknya pada malam-malam di Yokohama dan di Izu.

Menyadari kegugupan Maya, Masumi melangkah gontai mendekat. Namun sebelum berkata apa-apa dia mengunci pintu di belakang Maya dan membuat gadis itu mendongak tak mengerti.

“Aku ingin berdua saja denganmu sejenak, aku tak mau diganggu. Bahkan oleh Mizuki sekalipun,” katanya lembut. Kemudian di raihnya bahu Maya. Dengan telunjukknya dia mengangkat dagu Maya untuk mendongak menghadapnya. “Ada apa, Maya? Kenapa gugup?”

“A...a...aku...” Maya terbata-bata.

Masumi tersenyum lembut. “Kuharap perpisahan beberapa minggu ini tak membuatmu melupakan aku.”

“I...iya...”

“Maya,” Masumi mendesah pelan, kemudian menunduk dan mengecup bibir Maya dengan lembut. “Bagaimana? Masih ingat aku?”

Wajah Maya yang merona merah membuat Masumi tertawa dan meraih gadis itu dalam pelukannya yang erat. Jantung Maya berdebar kencang. Sungguh, ini seperti kencan pertama saja. Perjumpaan mereka serasa asing. Masumi di sarangnya tiba-tiba menjelma menjadi sosok asing baginya.

“Masumi...” Maya berbisik di dada Masumi.

“Hm? Ada apa Maya? Aneh ya kau menemuiku di kantor? Maaf, aku tiba-tiba mengundangmu. Karena tiba-tiba saja terpikir olehku bahwa satu-satunya tempat aman buat kita bertemu adalah kantorku. Di sini tidak ada wartawan yang bisa memergoki kita. Di sini juga tak akan ada yang berani mengganggu dan mengusili kita,” Masumi menarik Maya untuk duduk di sofa. Tidak Cuma menariknya untuk duduk berdekatan, lelaki itu dengan mudah menarik Maya dan mendudukkan ke pangkuannya. “Kau merasa nyaman?” bisiknya sambil membelai rambut Maya.

“Iya, maaf, aku begitu gugup tadi. Rasanya tak percaya akhirnya bisa bertemu denganmu.”

“Aku juga, Maya. Aku begitu merindukanmu, hingga ketika melihat kesempatan tadi aku langsung menyuruh Mizuki mengatur pertemuan kita.”

“Masumi, saat kita jauh, aku tak sabar ingin segera bertemu denganmu, begitu banyak yang ingin kuceritakan padamu. Namun sekarang aku tak mengingat satu pun.”

Masumi tertawa menanggapi keluguan Maya. “Ceritakan apa saja, Maya, hiburlah aku dengan berita teman-temanmu. Hanya dengan memelukmu dan mendengar celotehmu, hatiku merasa tenang.”

“Masumi, pakah kau sedang dalam masalah?”

Masumi terdiam.

“Masumi, aku tahu aku sangat bodoh. Hingga kalau kau ceritakan pun aku tidak akan mengerti maksudnya. Tetapi paling tidak dengan mengatakannya beban hatimu akan menjadi lega.”

“Oh ya?”

“Betul. Aku punya pengalaman dulu di London dengan temanku Pierre dari Prancis, ingat kan? Saat aku sedang rindu rumah, saat aku sedang merindukanmu, aku sering bercerita kepada Pierre.”

“Nampaknya kalian cukup akrab.”

“Iya, meski orang yang mendengar kami bercakap-cakap pasti akan menganggap kami berdua gila. Aku terus nyerocos kepada Pierre dalam bahasa Jepang, aku mengatakan semuanya. Sementara Pierre menanggapi tak kalah seru seolah dia mengerti. Padahal apa yang dikatakannya aku tak tahu sama sekali karena dia mengatakannya dalam bahasa Prancis.”

Masumi tergelak mendengar cerita Maya. Terbayang betapa lucu suasananya.

“Tetapi setelah mengatakan semuanya aku merasa lega.”

Masumi setelah berfikir beberapa saat akhirnya mau juga buka mulut.

“Ini tentang posisiku di Daito, Maya. Lambat laun kau pasti akan mendengar kabar bahwa ayahku telah menugaskan aku untuk kembali mengurusi divisi seni di Daito. Ini sehubungan dengan kepulanganmu dan rencana pementasan Bidadari Merah. Hal itu kau pasti sangat faham.”

“Iya, aku sudah mengatur jadwal pertemuan dengan Persatuan Drama Nasional untuk membahas masalah tender pementasan Bidadari Merah.”

“Kau tahu, Maya, saat ini perusahaan-perusahaan yang telah lama mengincar hak itu sudah mulai mengatur strategi untuk memenangkan tender itu. Termasuk, dan terutama Daito karena ayahku masih sangat terobsesi dengannya. Dan aku sebagai calon penerus dan pewaris mendapat perintah langsung untuk memenangkannya.”

Maya terdiam. Sebetulnya membicarakan hak pementasan Bidadari Merah seperti membuka luka lama saja. Sejarah antara Maya dan Masumi terpilin di sekitar karya agung itu, yang melibatkan orang-orang dekat mereka, Bu Mayuko dan Pak Ichiren, serta Eisuke Hayami. Sejarah yang begitu kelam dan ternoda pengkhianatan dan kekejaman. Baik Maya maupun Masumi sama-sama menyadari bahwa lambat laun mau tidak mau suka tidak suka masa lalu itu akan datang menghampiri mereka. Dan jalinan cinta keduanya yang baru tumbuh dan bersemi pastilah masih diragukan kekuatannya menghadapi badai itu.

“Akhirnya saat itu datang juga, Masumi. Bidadari Merah maksudku. Akankan kita akan berdiri sebagai lawan?”

“Aku tak mau melawanmu, Maya. Tetapi aku juga tak bisa melihat Daito, di bawah kendali siapa pun itu, menghancurkanmu. Medan perang ini terlalu besar untukmu.”

“Katakan, Masumi, apa yang harus kulakukan?”

“Aku tak tahu, Maya, terus terang. Tetapi saat ini hal yang paling aman buatmu adalah kau merapat dan meminta perlindungan dari Persatuan Drama Nasional. Paling tidak di sana aku masih bisa melindungimu meski hanya di balik bayangan.”

Keduanya terdiam dan asyik berkutat dengan pikiran masing-masing. Maya merapatkan dirinya ke pelukan Masumi sementara Masumi seperti tanpa sadar membelai-belai rambut Maya.

“Masumi, aku sudah berhari-hari menempati apartemen baru. Tetapi kau sekalipun belum pernah muncul,” kata Maya memecah kesunyian.

“Hm? Iya. Semula aku berencana memberimu kejutan dengan muncul tiba-tiba di apartemenmu Jumat malam nanti. Tetapi berhubung kau sudah menyinggungnya sekalian saja kukatakan.”

“Benarkah? Bagaimana kalau kau diikuti wartawan?”

“Gampang, serahkan saja kepadaku.”

Jumat malam seperti janjinya Masumi muncul di apartemen baru Maya. Lelaki itu mengenakan celana jeans, kaos polo dan jacket bisbol. Kepalanya pun tertutup topi bisbol. Di tangannya menggenggam serangkaian mawar jingga dan kantong makanan.

“Aku tak mendengar suara mobilmu,” kata Maya sambil membukakan pintu dan mengajak Masumi masuk.

“Aku diantar Hijiri. Aku turun di persimpangan depan itu dan berjalan kaki kemari,” Masumi meletakkan barang bawaannya di meja dan duduk di lantai.

Maya menerima bunga dan menciumnya dalam-dalam. “Sudah lama sekali aku tak menerima bunga darimu. Aku selalu menunggu kapan kau akan mengirimkan bunga lagi untukku.”

Masumi membenarkan dalam hati. Sudah begitu lama. Maya muncul membawa vas untuk bunga-bunganya juga piring dan mangkok. Sementara Maya sibuk dengan mawar kesayangannya, Masumi kebagian mengeluarkan makanan dan menatanya dalam piring dan mangkuk.

“Aku sengaja membawa makanan karena aku tidak yakin akan mendapatkan makan malam yang layak di sini,” katanya yang disambut pelototan mata sebal dari Maya.

“Kau curang. Kau tidak memberitahukan jam berapa akan datang. Jadinya aku belum siap-siap. Tadinya aku ingin dandan cantik buatmu.”

“Oh ya?” Masumi meneliti penampilan Maya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Saat itu Maya hanya mengenakan gaun rumah sederhana dan rambut panjangnya diikat sekenanya dengan karet gelang. Wajahnya bersih tanpa riasan sama sekali. “Bagiku kau sudah cantik sekali.”

“Omong kosong! Setelah seharian bertemu dengan para artis cantik tak mungkin kau menganggapku yang kedodoran begini sebagai gadis cantik. Kalaupun kau ngotot, berarti matamu itu sudah waktunya dibawa ke dokter mata.”

Masumi tergelak. “Para artis dan gadis cantik itu tak satupun berani membantah perkataanku. Berbeda dengan kamu. Baru juga aku datang kau sudah ngomel-ngomel.”

“Siapa suruh kau jadi kekasihku?”

“Lho, aku sebenarnya memang tidak berniat jadi kekasihmu. Aku hanya sedang melestarikan keturunan langka yang hampir punah ini. Tahu tidak, kau ini edisi terbatas yang sudah tidak diproduksi lagi.”

“Masumi!” Maya segera menyerang Masumi dan memukuli punggungnya. Lelaki itu terbahak-bahak geli.

“Aw! Aw! Sudah, Maya, aku geli! Ampun deh! Kamu ini kalau sudah memukul betul-betul...”

“Siapa suruh kau terus-terusan menggodaku?”

“Soalnya kalau aku tidak menggodamu pasti yang ada di pikiranku hanyalah menciummu.”

Wajah Maya memerah seperti kepiting rebus.

“Kenapa Maya? Masih malu? Padahal tempo hari kau mengancamku kalau sampai enam bulan aku tidak menikahimu, kau akan nekad, dengan atau tanpa peringatan,” Masumi menyeringai. “Kemarilah, Maya, beri aku ciuman yang mesra untuk menghapus hari-hariku yang kelabu tanpa kehadiranmu.”

Maya mendekat ke Masumi. Dengan malu-malu dia mendekatkan bibirnya, yang langsung disambut dengan rakus oleh Masumi. Saat lelaki itu akhirnya mengakhiri ciumannya, dia berkata riang, “Sepertinya menu pembukanya sudah cukup. Kalau kebanyakan nanti malah mematikan selera terhadap makanan utama. Kita makan malam dulu, Mungil.”

Mereka makan bersama dalam suasana kebersamaan yang sederhana dan akrab. Sesudahnya Masumi membantu Maya mencuci piring dan membereskan meja. Mereka bekerja sambil bercanda dan saling menggoda. Masumi yang hanya dalam Jeans dan kaos polo tak ragu-ragu mengenakan celemek Maya yang berwarna merah dengan motif buah-buahan. Lucu sekali. Membuat Maya tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Yang dibalas oleh Masumi dengan mencipratkan air ke arah Maya. Pada akhirnya lantai dapur menjadi basah kuyup. Sambil tertawa mereka harus membersihkan kembali dapur yang berantakan.

Malam itu Maya dan Masumi berbaring berdampingan di depan televisi dengan saling berpelukan.

“Kita seperti pasangan suami istri yang normal, ya, Mungil.”

“Hm..”

“Bersamamu aku merasa menjadi manusia normal, lelaki normal yang mencintai kekasihnya, bahkan mungkin suami normal yang mencintai keluarganya. Aku jadi teringat masa kecilku dulu. Aku suka berbaring di depan televisi sambil menonton kartun sementara ibuku sibuk dengan kegiatannya sendiri, entah itu menambal bajuku atau menyulam baju hangat untuk ayah. Kami keluarga yang sederhana sebelum ayahku meninggal. Dan aku seperti anak normal lain suka sekali berolah raga. Main bola atau memancing bersama teman-temanku,” mata Masumi menerawang ke langit-langit. “Sekarang baru kurasakan betapa rindunya aku dengan kehidupan itu.”

Maya memiringkan tubuhnya dan menatap lelaki di sampingnya. “Masumi, saat kita menikah nanti, kehidupan rumah tangga seperti apa yang kau inginkan?”

Masumi menggerakkan tubuhnya dan menghadap Maya. “Entahlah. Aku belum punya konsep yang jelas tentang kita, Maya, semua terjadi terlalu cepat. Tetapi secara umum aku ingin kita punya anak dan mendidik anak-anak dengan kasih sayang. Aku tak mau anak-anak kita nanti menjalani kehidupan seperti aku. Dan pastinya aku selalu ingin bersamamu.”

Tatapan mata keduanya menjadi semakin intens. Maya mengulurkan tangannya dan ujung-ujung jarinya membelai wajah keras Masumi. Menelusuri sepasang mata yang bersinar tajam itu, hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh, hingga akhirnya sepasang bibir yang selalu dirindukannya. “Kau tampan sekali, Masumi. Rasanya aku masih seperti bermimpi mendapatkan lelaki sepertimu. Aku yang pendek dan sederhana begini, siapa yang percaya?”

“Akulah yang tak layak untukmu, Mungil. Hidupku keras, aku telah melukai dan menghancurkan kehidupan banyak orang, termasuk kau, ibumu, gurumu, hingga teman-temanmu,” Masumi berkata getir, “Aku tak layak mendapat hati seorang dewi,” dipegangnya tangan Maya yang sedang menelusuri wajahnya, kemudian diciumnya satu persatu jemari Maya dengan lembut. “Kau terlalu suci untukku, Maya. Denganmu aku harus mengerahkan segala kemampuanku untuk menahan diri agar aku tak gelap mata dan menodaimu.”

Maya menghentikan kata-kata Masumi dengan meletakkan telunjuknya di bibir Masumi. “Aku milikmu, Masumi. Aku tak yakin akan bisa mencintai lelaki lain sebesar aku mencintaimu.”

Masumi mendesah pelan, “Maya...”

Dan keduanya pun berciuman dengan dalam. Acara di televisi terlupakan. Masumi dengan rakus melahap bibir Maya, kemudian menghujani wajah Maya dengan ciuman. Mulutnya terasa panas membara. Maya menyelusupkan jari-jarinya ke rambut Masumi yang tebal, sementara Masumi menjelajahi punggung Maya dengan tangannya yang lebar dan kokoh. Gadis itu mendesah dalam pelukan Masumi, tubuhnya meliuk terbakar perasaan yang selama ini tak diketahui telah dimilikinya. Serbuan sensasi asing yang tak dikenalnya membuatnya seperti melayang. Masumi mengerang saat bibir lugu Maya menjangkau leher dan terus turun di pangkal pertemuan antara leher dan dadanya. Gadis itu tak tahu apa yang diperbuatnya dan tak tahu apa efeknya bagi Masumi.

“Maya...sayang...sshhh...kita harus berhenti manis,” Masumi mengeluh berusaha melepaskan diri.

Maya yang tenggelam dalam dunianya, menatap Masumi. Matanya berbayang nanar seolah bermimpi.

“Sayang, kita tidak bisa terlalu jauh lagi. Kita harus berhenti atau aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi, oke? Jadilah gadis manis,” Masumi meletakkan Maya kembali dalam pelukannya. Jantungnya masih berdetak liar. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

Maya meringkuk membelakangi Masumi. Masumi menarik Maya mendekat. Menyandarkan punggung Maya lekat di dadanya. “Maafkan aku, Mungil. Bila saatnya nanti tiba aku berjanji tak akan menahan diri lagi,” bisiknya mesra di telinga Maya.

Saat yang dimaksud itu terasa sangat jauh bagi mereka berdua. Tak disangka bahwa posisi dan status yang selama ini mati-matian mereka kejar justru menjadi penghalang bagi keduanya untuk menikmati kasih sayang yang begitu indah.

“Masumi, seberapa besarkah arti Daito bagimu?” tanya Maya tiba-tiba.

“Entahlah Maya. Kalau bulan lalu kau bertanya berapa besarnya Daito bagiku, maka aku akan menjawab bahwa Daito adalah seluruh kehidupanku. Namun sekarang aku tak yakin lagi.”

“Fahamkah kau akan besarnya cinta antara Akoya dan Isshin, Masumi?”

“Bahwa cinta berarti membuang segalanya hanya demi orang yang dicintai, segala jabatan, status, dan masa lalu adalah tak berarti bila ingin menjadikan orang yang dicintai sebagai miliknya.”

“Tak bisakah kita seperti itu, Masumi? Melupakan bahwa aku seorang artis dan kau direktur Daito, dengan hanya menjadi diri kita sendiri, Maya dan Masumi, saling mencintai dengan jujur dan apa adanya?”

“Maya...”

“Apakah akan sangat berat bagimu meninggalkan Daito? Tak bisakah kau, dengan namamu sendiri, membangun sebuah teater dan perusahaan dengan aku sebagai artisnya dan kau sebagai direkturnya? Teater punya kita sendiri yang akan mementaskan Bidadari Merah langsung dengan kedua tanganmu sendiri. Bila kau sudah bisa membesarkan Daito, tak bisakah kau menciptakan sendiri jalan dan namamu di dunia bisnis pertunjukan? Milikmu sendiri, Masumi.”

Masumi sangat terkejut dengan ucapan Maya yang tak terduga.

“Masumi, keinginan terbesarku sebenarnya adalah kau yang mementaskan Bidadari Merahku, bukan Daito, juga bukan perusahaan yang lain. Kau, Masumi, entah dengan nama Hayami atau tidak di belakang namamu, entah sebagai direktur Daito atau Cuma lelaki biasa, aku tak peduli. Karena aku tahu aku mencintaimu, dirimu yang sesungguhnya tanpa embel-embel apapun. Kau yang direktur atau kau yang hanya pegawai rendahan, asalkan itu kau Masumi ini yang kukenal, maka aku akan tetap mencintaimu sama besarnya. Karena kaulah Isshinku di dunia ini dan aku, Akoya bagimu. Kita akan membagikan cinta dan kebahagiaan kita dengan panggung milik kita sendiri. Hanya kita berdua.”

“Seperti Mayuko Chigusa dan Ichiren Ozaki?”

“Iya, seperti Bu Mayuko dan Pak Ichiren.”