Thursday, June 23, 2011

Tenth : I'll Fight For You

Villa di Izu tampak gelap ketika Masumi dan Maya tiba. Cuaca cukup dingin di pertengahan musim gugur itu. Maya merapatkan mantelnya, mengikuti Masumi berjalan menuju beranda. Masumi mengambil kunci di tempat persembunyian yang telah disepakati olehnya dan pasangan suami istri yang biasa mengurus kebutuhan villa itu. Pasangan Yamada telah menjaga villa itu sejak Masumi membelinya bertahun-tahun lalu. Setelah membuka pintu dan menyalakan lampu beranda, Masumi mengajak Maya ke ruang tengah villa yang kecil, tempat terdapat sofa yang menghadap ke jendela besar yang langsung menghubungkannya dengan beranda belakang, tempat pemandangan paling bagus karena menghadap langsung ke laut.

Masumi menyalakan pemanas ruangan, membuka mantelnya dan meletakkannya di kursi di seberangg Maya duduk. “Sudah cukup hangat, mari, aku buka mantelmu.”

Maya berdiri menghampiri Masumi. Jemari lelaki itu dengan cekatan membuka satu persatu kancing mantel Maya, yang mengalami nasib serupa, di lempar ke kursi, bergabung dengan milik Masumi. “Sweater yang bagus,” Masumi mengomentari sweater Maya yang berwarna hijau cerah bermotif abstrak yang malam itu dipadankan dengan celana kanvas warna coklat lumpur. “Aku suka dengan caramu berpakaian, Maya.”

“Oh ya?”

“Betul. Kau bukan jenis gadis yang asal menempelkan sesuatu yang bermerk pada tubuhnya. Kau justru memilih yang benar-benar pantas dan sesuai dengan usiamu. Agaknya London bagus juga dalam mendikte selera fashionmu.”

“Dalam salah satu sesi pelajaranku, aku mengambil kelas fashion, hanya sekedar untuk membuatku belajar tampil pantas di setiap kesempatan. Hal ini ternyata sangat bermanfaat bagi seorang artis agar tidak salah kostum ataupun berlebihan dalam berbusana.”

Masumi tersenyum, menarik Maya duduk di sofa, di sebelahnya.

“Dan kau mendapat nilai yang cukup bagus di kelas itu.”

“Hah?” Maya memandang Masumi dengan heran.

“Maya, karena aku yang memberimu beasiswamu ke London, wajar kan kalau aku mendapat laporan perkembanganmu di tiap semester?”

“Kurasa kau bukan hanya menerima laporan, jangan-jangan mentorku dalam membimbingku juga mendapat pengaruh darimu untuk mengarahkanku mengambil kelas apa dan sebagainya,” Maya mencibir masam. “Kau bukan hanya menyebalkan, tetapi juga mengerikan.”

Masumi tertawa. “Kecerdasanmu meningkat satu level lagi,” komentarnya.

Maya bersungut-sungut, “Kau ini, masih saja suka menggangguku.”

“Tapi terus terang aku suka dengan perubahanmu. Kau sekarang tampak berkelas, Maya. Kalau Daito membuka divisi fashion, maukah kau jadi iconnya?”

“Icon fashion? Kau pasti bercanda.”

“Aku serius. Lagipula Daito tidak pelit lho, pasti kau dibayar lebih dari pantas.”

“Kalau soal bayarannya sih oke. Tapi aku khawatir kalau di tengah jalan kebodohanku kembali lagi, sehingga aku tak akan bisa bekerja dengan benar. Menjadi icon fashion sebuah perusahaan artinya aku harus selalu tampil oke di setiap kesempatan. Bagaimana kalau aku sedang tidak ingin tampil bagus? Bagaimana kalau aku sedang rindu dengan baju-baju tuaku yang meski sudah belel tapi masih nyaman, dan wartawan memergokiku? Kalian dari Daito pasti takkan memaafkanku dan barisan pengacara kalian akan memburuku hidup-hidup, tak peduli aku telah mengencani direktur utamanya,” Maya bersungut-sungut.

Masumi terbahak-bahak, menarik Maya rebah di dadanya. “Kau satu-satunya orang yang bisa menghiburku.”

“Wajar. Aku kan artis terkenal. Aku tak akan mendapatkan peran Bidadari Merah bila aku tak bisa menghibur Pangeran Bisnis, Direktur Daito yang ditakuti.”

“Kau bilang aku Pangeran Bisnis, bagaimana denganmu, Maya? Apakah aku sudah menjadi pangeranmu?”

Maya menatap lekat-lekat lelaki di sebelahnya. “Apakah perlu kukatakan, Masumi?”

“Katakanlah, Maya. Aku akan sangat senang mendengarnya.”

“Masumi, kaulah pangeran di hatiku, satu-satunya,” ujarnya lembut, menatap mata Masumi dalam-dalam, yang langsung dihadiahi ciuman dari Masumi.

Mereka duduk berdampingan untuk sekian lama. Maya membisu dalam rengkuhan lengan Masumi. Masumi pun tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya tangannya yang membelai-belai rambut Maya, seolah tanpa sadar. Mereka sedang menikmati kebersamaan itu.

“Sayang sekali cuaca begini dingin sehingga kita tak bisa menikmati udara lautan di beranda,” kata Masumi menyesali.

“Duduk berdua begini saja aku sudah sangat bahagia,” Maya mendongak untuk menatap wajah Masumi. Dalam cahaya lampu tampak gurat-gurat lelah di sekeliling mata Masumi. Wajah tirus Masumi tampak pucat. Maya menelusuri garis-garis itu dengan ujung jarinya. Membuat Masumi tersentak.

“Maya...”

“Kau tampak lelah sekali, Masumi. Kau bekerja terlalu keras.”

“Tidak, Maya, karena bekerja adalah nafasku.”

“Tapi haruskah sekeras itu?”

“Jangan konyol, kau tahu apa arti kerja keras itu, Maya. Dan asal kau tahu, aku mendapat semangat untuk bekerja lebih keras sampai batas kemampuanku itu dari seorang gadis mungil yang menganggap dirinya bodoh. Karena terlalu bodohnya dia pernah mengikat bambu di seluruh tubuhnya demi menghayati peran menjadi sebuah boneka, atau dia yang rela berhujan-hujan agar tahu bagaimana perasaan Beth saat terbaring hampir mendekati ajal. Gadis bodoh yang pernah menjelma menjadi serigala dan menggigit seorang direktur muda yang tampan dan jadi idola dalam sebuah pesta. Namun suatu ketika dia pernah tampil sebagai Aldis yang cantik bak peri dan membuat sang direktur muda semakin tergila-gila. Tiga tahun yang lalu dia pergi jauh ke Eropa untuk memperdalam kemampuannya berakting, tetapi meski kemampuan beraktingnya mungkin meningkat, namun aku meragukan kewarasan otaknya karena gadis itu dengan bodohnya saat ini menyerahkan dirinya bulat-bulat dalam pelukan lelaki dewasa yang jauh lebih tua, tanpa pengawal, yang sewaktu-waktu bisa saja dalam kegilaannya merenggut kehormatannya.”

“Wow, Masumi, sepertinya aku kenal dengan gadis bodoh itu”

Masumi memencet hidung Maya dengan gemas.

“Apa yang kau sukai dari diriku, Masumi?” tanya Maya sambil meraba wajah Masumi.

“Semuanya,” jawabnya pendek.

“Kau tidak keberatan dengan kebodohanku?”

“Tidak, karena kepandaianku sudah lebih dari cukup untuk menutupinya.”

“Aku tidak cantik.”

“Aku tahu. Tetapi aku cukup tampan untuk menutupi kejelekanmu.”

“Kau menyebalkan.”

“Dan kau baik hati. Imbang kan?”

“Kau dingin.”

“Kau yang akan menghangatkanku.”

“Tahu tidak, Masumi, kalau semua ini terasa seperti omong kosong?” Maya membelalak sewot.

“Akhirnya kau sadar juga,” Masumi tertawa lebar penuh kemenangan.

“Masumi!” Maya dengan gemas mencubit pinggangnya.

Namun Masumi dengan gesit menangkap tangan Maya, menjepit gadis itu dan merebahkannya di sofa. Tubuhnya yang tinggi segera menindih tubuh Maya yang mungil. “Menyerah?” ancamnya.

“Siapa bilang?” Maya mencium leher Masumi, membuat lelaki itu tersentak oleh sensasi yang selalu menyulut gairahnya setiap kali bibir Maya menyentuh tubuhnya.

Menyadari taktiknya berhasil, Maya melanjutkan penjelajahan bibirnya menyusuri leher hingga ke bawah jakunnya. Detak jantung Masumi terdengar keras di dada Maya. Lelaki itu pun kehilangan kendali dirinya dan mencium bibir Maya dalam-dalam. Keduanya segera terhanyut dalam pergulatan di atas sofa, hingga akal sehat Masumi kembali dan dengan berat hati dia melepaskan diri.

“Kau bermain api, Mungil,” keluhnya sambil menarik Maya kembali dalam posisi duduk.

“Kenapa kau selalu memanggilku mungil?” Maya merajuk, sebagian karena kesal ciuman itu berakhir, namun juga karena dia selalu sebal bila Masumi memanggilnya demikian, seperti mengingatkannya pada masa lalu saat dia masih anak-anak.

“Itu satu-satunya cara untuk mengembalikan akal sehatku. Dengan selalu mengingatmu sebagai si mungil, gadis yang jauh lebih muda dariku, mencegahku untuk berbuat kurang ajar.”

“Tapi aku bukan anak-anak lagi. Aku bertanggung jawab sepenuhnya kepada apa yang kulakukan. Aku cukup dewasa untuk menerima hubungan fisik di antara lelaki dan wanita.”

“Tidak. Aku takkan membuatmu menyerahkan sesuatu yang belum menjadi hak ku, Maya. Anggap aku orang yang kuno, tetapi aku memegang teguh prinsip itu. Dan aku yakin kau pun berprinsip sama. Kau takkan menyerahkan dirimu dengan mudah kepada lelaki.”

“Satu-satunya lelaki kepada siapa aku akan menyerahkan diri, Masumi, adalah kau,” bisik Maya.

“Terimakasih, Maya. Tapi kita akan melakukannya setelah kita menikah.”

“Menikah? Kau belum pernah melamarku!”

Masumi membelalakkan mata. “Tahu tidak, aku tak pernah percaya kalau kau mengatakan dirimu bodoh. Tapi sekarang aku percaya. Kau pikir hubungan kita akan mengarah ke mana?”

Maya menggeleng. “Aku tidak tahu, kau tidak pernah mengatakannya.”

“Maya, aku sudah lewat tiga puluh, pernah menikah meski akhirnya gagal. Kau tak berpikiran aku mendekatimu untuk main-main kan?” Masumi merasa gemas sekali.

“Hm..., Rei juga berkata begitu. Tak mungkin kau mendekatiku hanya untuk pacaran main-main.”

“Untunglah Nona Aoki cukup punya akal sehat sehingga bisa memberitahumu hal-hal yang benar.”

“Tetapi apapun itu tidak menutup kenyataan bahwa kau belum pernah memintaku untuk menikah denganmu.”

“Aku akan melakukannya bila saatnya tepat.”

“Kapan, Masumi?”

“Nanti. Saat ini kita masih sangat harus hati-hati dalam menyembunyikan hubungan kita.”

“Masumi, aku bosan dengan acara sembunyi-sembunyi begini. Aku ingin mengatakan kepada semuanya bahwa aku ini milikmu!”

“Kau tahu Maya, betapa inginnya aku mengumumkan kepada dunia tentang kebahagiaan kita ini. Namun waktunya sangat tidak tepat. Terlalu banyak permasalahan yang membahayakan hubungan kita.”

“Masalah itu selalu ada, Masumi. Tidak bisakah kau dengan jujur membuka diri dan menampilkan dirimu apa adanya tanpa menutupi apapun? Bisakah kau menjadi pribadi yang terbuka dan menghadapi semua persoalan dengan apa adanya?”

“Maaf, Maya, untuk yang satu itu aku tidak bisa. Terimalah sisi burukku itu apa adanya.”

Maya menatap Masumi, berusaha memahami dan memaklumi. Akhirnya dia menyerah. Masumi telah sekian lama menjadi makhluk dingin dan tertutup di bawah tempaan pemilik Daito yang mendidiknya dengan keras untuk menjadi seorang pewaris. Pasti tidak mudah merubah hal itu. Maya harus menguatkan diri menerima sisi buruk itu karena dia pun bukan makhluk yang sempurna.

“Maafkan aku, Masumi. Aku akan berusaha,” dia menyentuh lembut lengan Masumi.

Masumi memandang gadis pujaannya itu, maafkan aku sayang, karena ini satu-satunya cara melindungimu, batinnya dalam hati. Namun direngkuhnya gadis itu dengan erat, mencium wangi rambutnya yang tergerai. “Sudah dini hari, kita sebaiknya tidur.”

“Peluk aku sampai tertidur, ya. Jangan tinggalkan aku,” pinta Maya.

“Tentu, sayang,” janjinya, meski memeluk Maya semalaman akan membuatnya sangat tersiksa. Namun pengorbanannya akan sepadan dengan hasilnya.

Pagi hari. Masumi yang terbiasa bangun awal, telah terjaga lebih dulu daripada Maya. Dipandanginya wajah Maya yang masih tertidur di rengkuh bahunya. Mulutnya sedikit terbuka dan begitu menggemaskan. Dalam kondisi tertidur Maya tampak begitu muda dan segar. Dengan lembut ujung jari Masumi menelusuri wajah Maya, lengkung alisnya, tulang pipinya, hidungnya, hingga bibirnya. Seperti tak puas-puasnya, dia menyelusupkan hidungnya di gerai rambut Maya yang kusut dan menghirup aromanya, aroma yang hany bisa diidentikkan dengan satu hal, aroma Maya. Hangat dan manis. Dipeluknya erat tubuh mungil yang terlelap itu. Merasakan kebahagiaan yang sama seperti pagi hari di hotel Yokohama. Andaikan aku hanya seorang Masumi Fujimura, bukan Masumi Hayami yang bertanggung jawab kepada seluruh Daito, yang memiliki musuh di penjuru negeri yang ingin menjatuhkanku, mungkin aku akan dengan senang hati segera memperistri gadis ini. Menjadikannya orang terakhir yang dipandangnya sebelum memejamkan mata, dan yang pertama dilihatnya saat dia bangun. Alangkah indahnya.

Seolah merasakan pandangan Masumi, Maya membuka matanya dengan berat. Sejenak dia seperti linglung, bingung dengan tempat asing ini. Kemudian saat dilihatnya wajah yang begitu dekat dengan wajahnya, senyumnya pun terkembang. “Selamat pagi, Masumi.”

“Selamat pagi. Kuharap tidurmu nyenyak.”

“Hmm...,” Maya menyelusupkan wajahnya di dada Masumi. Mencium harumnya tubuh Masumi. “Aku suka baumu, enak,” katanya polos sambil menghirup nafas dalam-dalam. “Aku suka bangun dan bermalas-malasan begini. Sayang lusa aku harus sudah mulai bekerja. Masumi, kapan kita punya kesempatan seperti ini lagi?”

“Entahlah, Maya. Tetapi paling tidak kita memiliki hari ini dan besok untuk berdua.”

“Omong-omong, apa menu sarapanku pagi ini?”

“Mari kita tengok apa isi lemari dapur,” Masumi membawa Maya bangkit bersamanya. Nafasnya sedikit tercekat melihat tungkai telanjang Maya yang tidak tertutup oleh kemeja tuanya yang digunakan Maya sebagai baju tidur. Masumi sendiri mengenakan celana olah raga berbahan kaus dan t-shirt. Anda ada wartawan yang mendpatiku dan Maya seperti ini, mampuslah kami berdua, batinnya .“Sebaiknya kau pakai jas kamar, Maya. Aku tak sanggup melihat kaki telanjangmu,” katanya seraya mengaduk-aduk lemari mencari jas kamar. Ketika ditemukannya benda yang dicari, segera dipasangnya di tubuh Maya.

“Masumi, kau sudah pernah melihatku telanjang, kenapa mesti malu?” protes Maya.

“Maya, pertahanan diriku tak selamanya bagus. Bisa saja aku menerkammu saat ini juga.”

“Aku tidak keberatan.”

“Maya! Kumohon untuk yang satu ini jangan main-main.”

“Tapi ingat, Masumi, aku punya batas waktu. Kalau sampai dalam enam bulan ini kau tidak juga menikahiku, maka mau tak mau kau harus menerimaku dengan atau tanpa pernikahan,” ancamnya.

Masumi mendelik. “Dasar keras kepala!” katanya sengit.

“Dasar dingin!” semprot Maya tak kalah sengit.

Namun tak sampai lima menit kemudian keduanya sudah akur di dapur menyiapkan sarapan pagi. Masumi memanggang roti sementara Maya mengeluarkan karton susu, menuangnya ke dalam gelas, dan memanaskannya di microwave. Saat mereka sudah duduk berhadapan di meja makan sambil menyantap hidangan sederhana itu, sambil lalu Maya berkomentar, “Aku tak perlu makan di restoran mewah. Begini saja berdua denganmu aku sudah bahagia.”

“Baguslah, karena kau akan banyak menghemat uangku.”

“Masumi, ceritakan padaku, berapa banyak gadis yang kau bawa ke restoran mewah atau hotel? Dan apakah standarmu yang kuno itu juga berlaku untuk mereka?”

“Tak terhitung. Ketika aku masih di divisi seni, berkencan adalah bagian dari pekerjaan. Kadang dengan artis atau putri dari sponsor yang sedang kuincar mendanai pertunjukan tertentu. Tetapi aku tak pernah terkesan dengan mereka. Bagiku mereka tak lebih dari alat untuk memuluskan bisniaku. Dan soal standarku, sampai saat ini aku belum pernah melakukannya dengan perempuan manapun.”

“Bahkan juga Shiori?”

“Bahkan juga Shiori.”

Maya tertegun. Air mata haru membanjiri kelopak matanya. Namun cepat-cepat dihapusnya.

“Kenapa kau begitu kejam pada Shiori, Masumi? Perempuan itu tidak pernah menyakitimu, bahkan dia sangat mencintaimu, Masumi. Bagaimana sakit hatinya dia karena kau mengabaikannya, aku bisa merasakannya.”

“Itu pilihannya, Maya. Kau jangan lemah hati menghadapi orang seperti itu. Kau tidak mengenalnya dengan baik. Dia sudah tahu apa yang didapatnya ketika memilih menikahiku. Aku hanya menunggu sampai kapan dia sanggup bertahan,” Masumi berkata dengan datar.

“Kau benar-benar mengerikan!” katanya berusaha bercanda.

“Tapi denganmu benar-benar lain, Maya. Kau satu-satunya gadis yang mengisi hatiku belasan tahun terakhir ini, sejak pertemuan kita yang pertama. Kau begitu istimewa.”

“Kalau itu pujian, aku ucapkan terima kasih.”

Keakraban mereka terganggu oleh suara mobil yang memasuki halaman. Kedua ya langsung menoleh. Tampak seorang lelaki tegap yang mengenakan kacamata hitam dan topi golf keluar dari mobil. Hijiri. Itu hanya berarti satu hal, masalah.

Masumi langsung berdiri, memberi isyarat pada Maya untuk tetap di tempat, dan melangkah cepat keluar. Melihat majikannya menyambutnya di teras, Hijiri membuka topi dan kacamatanya.

“Ada masalah, Hijiri?”

“Maafkan saya, Tuan. Sebaiknya Tuan Hayami dan Nona Kitajima mendengar berita ini.”

Maya tak perlu dipanggil lagi karena saat itu juga dia sudah berada di depan pintu. Tampak aneh dalam jas kamar Masumi yang kedodoran.

Mereka pun segera menuju ruang tengah. Maya duduk merapat pada Masumi di sofa, sementara Hijiri mengambil kursi di seberang mereka. Tanpa berbicara sepatah kata pun, Hijiri memberikan sebuah surat kabar yang menjadi milik salah satu pesaing Daito dan membaca headlinenya.

“Wanita di balik Pangeran Bisnis Daito”

Jumat malam, di pinggir jalanan Tokyo. Siapa sangka Direktur Utama Daito yang terkenal tampan dan dingin ini akan bercumbu dengan panas di dalam mobilnya, dalam keremangan lampu jalan? Identitas pasti wanita tersebut belum ditemukan. Namun ciri-cirinya sangat jelas, karena wanita, atau gadis?, dengan ukuran tubuh cukup mungil dan rambut panjang tergerai tersebut ditemui Masumi Hayami di pinggir jalan dan kemudian masuk ke mobilnya. Kamera wartawan kami menangkap adegan ketika keduanya sedang berciuman dengan panas. Selanjutnya mobil tersebut melaju ke arah luar kota, mungkin menuju hotel terdekat untuk melanjutkan kencan mereka. Siapakah wanita tersebut? Akankah Masumi Hayami mengekspose siapa teman kencannya? Seperti kita tahu sejak pernikahannya dengan pewaris Takamiya, Shiori, berakhir, duda yang banyak menjadi incaran ini sering terlibat kencan di hotel maupun restoran mewah dengan perempuan-perempuan cantik dari kalangan artis, pengusaha, hingga politisi. Namun tak satupun yang berlanjut. Akankah wanita ini akan berbeda?


Dan dibawah headline itu tampak foto Masumi yang sedang mencium maya dalam mobil. Namun agaknya kegelapan menyelamatkan Maya expose media masa. Masumi membaca cepat isi artikel. Sementara Maya duduk dengan wajah pucat di sebelahnya.

“Nama Nona Kitajima tidak disebutkan. Agaknya mereka tidak mengenali Nona Kitajima karena suasan gelap di malam hari. Namun bukannya menutup kemungkinan mereka akan menduga-duga siapa wanita yang bersama Anda, Pak Hayami,” kaya Hijiri datar. “Saya sudah menyelidiki tempat di sekitar sini dan menemukan beberapa wartawan yang mengintai menunggu . Jadi demi kebaikan Anda berdua, saya sarankan Anda segera meninggalkan tempat ini.”

Sisa hari itu berakhir seperti mimpi buruk. Masumi menyamar dengan memakai mobil Hijiri. Wajahnya tampak keras dan dingin, sementara Maya yang duduk di sebelahnya dengan mengenakan kacamata hitam dan memasukkan rambutnya ke dalam topi, tidak berani berkata apapun. Masumi keluar dari wilayah villa melalui jalan-jalan alternatif menyusuri jalan desa yang berkelok-kelok, demi mengelabui para penguntitnya. Beberapa kali dia meminta Maya merunduk ketika matanya menangkap adanya gerakan yang mencurigakan, sampai akhirnya mereka sampai di stasiun kereta api terdekat. Di sana Hijiri telah menunggu dengan mobil Masumi. Seperti kesepakatan semula, Maya akhirnya pulang ke Tokyo naik kereta dikawal oleh Hijiri, sementara Masumi, sendirian mengendarai mobilnya.

Maafkan aku, Maya.

Hanya itu pesan pendek Masumi yang dikirim ke ponsel Maya. Gadis itu menatap nanar layar kecil itu, membaca berulang-ulang, berusaha mencari kata-kata lain yang bisa menghibur hatinya.

“Selanjutnya akan seperti apa hubungan kami, Pak Hijiri,” keluhnya berurai air mata kepada Hijir yang duduk tenang di sebelahnya dalam kereta yang melaju cepat menuju Tokyo.

“Serahkan semuanya pada Tuan Hayami, Nona. Yakinlah dia akan mampu menyelesaikan semuanya. Dia laki-laki yang baik dan penuh tanggung jawab.”

“Benar, Pak Hijiri, maafkan saya, seharusnya saya tak pernah meragukan Masumi. Saya merasa bodoh dan konyol.”

Maya menuju apartemennya dengan mengendarai taksi. Setibanya dia disambut Rei dengan wajah khawatir. Di ruang duduk teman-temannya dari Teater Mayuko dan Ikkakuju juga telah menunggu.

“Maya, kami semua mencemaskanmu. Pemberitaan di media masa gencar sekali tentang Pak Masumi. Meski namamu tidak disebut-sebut, tetapi kami tetap khawatir.”

Maya menutup wajahnya dengan bingung. “Aku tak tahu aku harus bagaimana,” keluhnya.

“Untuk sementara lebih baik kamu tidak melakukan apa pun. Biarkan masalah mereda dengan sendirinya. Sebab bila media tahu kaulah gadis yang bersama Pak Masumi, habislah kalian dikuliti hidup-hidup. Apalagi sebentar lagi rencana pementasan Bidadari Merah akan dilaksanakan dan Daito pasti menjadi salah satu perusahaan yang menginginkannya. Gossip akan berkembang tak terkendali.”

“Aku tak mau Masumi terlibat masalah. Dia sudah begitu banyak berkorban. Kasihan dia bila harus menghadapi semuanya sendirian.”

“Maya, hal terakhir yang diinginkan Pak Masumi darimu adalah rasa kasihan. Dia orang yang tangguh, jadi rasa kasihanmu itu terdengar konyol dan tidak masuk akal.”

Maya tetap sedih karena dia pasti tak akan bisa bertemu Masumi, paling tidak untuk beberapa lama hingga semua teratasi.

Sementara di kediaman resmi Hayami, Masumi, dengan wajah dingin dan kaku menerima murka ayahnya. “Begini caranya kamu bersikap? Seceroboh inikah kamu, Masumi, hingga kamera menangkap kencanmu yang memalukan di pinggir jalan, di dalam mobil, dengan wanita tk dikenal? Gambar dan artikel ini menyiratkan kau seperti sedang kencan dengan pelacur jalanan!”

Masumi tersentak mendengar gelegar suara Eisuke.

“Wanita itu gadis baik-baik,” katanya tajam. “Ayah harusnya cukup mengenalku dan tahu kalau aku takkan pernah berkencan dengan pelacur jalanan.”

“Aku tak peduli siapa perempuan itu. Tetapi aku tak mau birahimu yang tak terbendung itu mencoreng nama Daito!”

“Aku akan membereskan masalah ini secepatnya. Ayah tak perlu khawatir. Nama Daito aman. Asal ayah tahu, aku tak pernah berhutang sepeser pun pada Ayah maupun Daito. Aku bekerja sejak kecil dan tak pernah makan gratis di rumah ini. Dan seperti biasa, aku ingatkan bila ayah lupa, apapun yang kulakukan tak pernah merugikan Daito, tetapi justru menguntungkan Daito berlipat-lipat. Jadi harusnya ayah sadar siapa sekarang yang pegang kendali. Soal masalah, ayah cukup tahu bahwa Daito banyak musuh yang pasti dengan senang hati memanfaatkan segala kesempatan untuk menjatuhkan kita. Sekarang giliranku. Tetapi siapa yang tahu bila suatu saat tiba giliran ayah yang diserang?”

“Kau mengancamku, Nak?”

“Aku tak cukup bodoh untuk mengetahui bahwa tak seorang pun bisa mengancam Eisuke Hayami.”

“Syukurlah kau tahu posisimu. Omong-omong, apa kabarnya Bidadari Merah? Gadis itu sudah berhari-hari berada di Tokyo. Aneh sekali kau tidak mengatakan sepatah kata pun tentangnya kepadaku.”

Masumi terkejut mendengar Eisuke menyebut nama Maya. Apakah orang tua itu sudah mengetahui hubungannya dengan Maya? Dan apakah yang direncanakannya? Menghancurkan mereka berdua? Pikir Masumi penuh kengerian.

8 comments:

  1. makasiiiih updatenya....tapi..
    kuraaaaaaaaaang. ^_^
    d tunggu kelanjutanny y sist

    ReplyDelete
  2. blushing bacanyaaaa hihihihihi, btw makasih apdetnya :)

    ReplyDelete
  3. waaaah tambah rame...tambah seru, tambah deg2an.....
    Suka dengan Maya yg terkesan agak berani2 seruuuuu Lanjut lagi dong sist,.....ditunggu ya

    ReplyDelete
  4. makasih updatenya Olly..
    Suka..Keren.. ayo Masumi fight for Maya ya

    -halimah-

    ReplyDelete
  5. hia................Maya kok ngomongnya terus terang banget sech???????

    udah mulai seru nech ceritanya.......makasih udah di update ya Olly. ditunggu kelanjutannya hehehe...........^^

    ReplyDelete
  6. olly....aku suka maya yg gini....thanks dah apdate....tetap ditunggu lanjutannya...

    ReplyDelete
  7. aduuuhhhh.....wartawannn ittuuuu.....bukan mulutnya yg usil tapi tangannyaaa!!! geumeuuussss daahhhh.....

    ReplyDelete