Saturday, June 25, 2011

Marriage By Arrangement (6)

Bulan madu baru sempat mereka lakukan setelah sebulan menikah. Karena orang tua James belum kembali dari Canada, akhirnya mereka memutuskan mengunjungi pondok liburan milik James di Wester Rose, Skotlandia. Sebuah perjalanan yang cukup optimis mengingat cuaca yang semakin dingin. James sudah memberi Caro peringatan bahwa jalan ke sana tidak mudah, namun sangat layak untuk di coba.

Pagi hari setelah sarapan, diantar oleh raut sedih Jason yang ditinggalkan dalam pengawasan Knotty dan Hannah, mereka meluncur meninggalkan London yang belum sepenuhnya bangun dan beraktifitas. James memilih jalur tol melalui M5. “Membosankan tapi cepat,” katanya. James menyetir dengan mulus dan lincah.

“Aku suka gayamu menyetir. Meski kau ngebut gila-gilaan aku merasa tetap aman. Atau mungkin karena mobilnya?” Sarah mengangkat alis.

“Kalau kau ingin memuji kemampuan menyetirku, Caro, tak perlu repot-repot dengan memuji mobilku. Aku bisa mengemudi sama nyamannya dalam mobil mini mainanmu itu, meski sebagai konsekuensi kakiku akan kram.”

Mereka tertawa dan berbincang dalam keakraban. James bisa menjadi teman bicara yang menyenangkan. Sisi lain pribadinya yang tidak pernah Caro temukan selama di rumah sakit. Caro harus mengakui bahwa James memang suami yang baik.

Tepat sebelum mencapai Manchester, James keluar dari jalan tol. Mereka makan siang santai di Knutsford. Caro yang memang lapar makan dengan lahap hidangan pedesaan khas Inggris yang jarang dia temui di London. Melanjutkan perjalanan James mengisyratkan bahwa mereka akan menginap di sebuah hotel di Windermere. Mereka tiba sebelum sore jadi Caro masih sempat menikmati keindahan senja. Berdua mereka berjalan menyusuri jalanan desa di sekitar hotel yang menampilkan sisi pemandangan danau yang indah.

“Ini kesempatan terakhir kita melalui daerah ini sebelum musim dingin tiba dan jalanan menjadi sangat sulit dilalui,” James menerangkan yang hanya didengarkan setengah telinga oleh Caro karena perhatiannya sepenuhnya tertuju ke jalanan.

Setelah menginap semalam mereka melanjutkan perjalanan di pagi hari. Pemandangan di pagi hari ternyata jauh lebih indah daripada sore hari. James akhirnya melambatkan laju mobilnya menyadari betapa antusiasnya Caro dengan pemandangan sepanjang jalan.

“Ini mengingatkanku pada Essex, tempat aku dibesarkan. Natal tahun lalu aku berlibur ke sana dan aku harus memaksa diriku untuk kembali ke London.”

“Ada seseorang yang membuatmu betah di sana?”

“Selain pasangan Pelham yang menjaga rumah itu untukku, juga ada tetangga, keluarga Maxwell yang kukenal sejak kecil. Anak lelaki mereka baik kepadaku dan sudah seperti kakak laki-laki bagiku. Dia mengelola kebun dan peternakan milik orang tuanya sementara saudaranya yang lain lebih memilih pergi ke kota. Dulu aku suka menghabiskan waktu luangku mengikutinya kemanapun dia pergi. Aku suka membantunya di peternakan. Aku masih melakukannya hingga sekarang.”

James mendengarkan cerita Caro dengan tertarik. “Dia sudah menikah?”

“Belum. Dulu selepas sekolah menengah aku pulang dan memintanya menikahiku, tetapi aku ditolak,” Caro tertawa. “Kulakukan lagi saat aku lulus sekolah kedokteran, dan dia tetap menolak. Tempatku bukan di desa, katanya. Padahal aku sudah sangat siap menjadi istri peternak dan menjadi dokter di desa, di rumah yang sederhana dan membesarkan anak-anak kami. Aku benar-benar patah hati saat itu. Tetapi kami tetap berteman sampai sekarang.”

“Apakah dia layak kujadikan saingan?”

“Tidak lebih dari teman-teman perempuanmu.”

Mereka menikmati makan siang di Crianlarich dengan pemandangan Ben More dan Ben Lui membentang di seberang mereka. Perjalanan hingga ke Inverness membuat Caro tak bisa berkata-kata karena indahnya. Jalanan memang tidak terlalu mudah, namun James membuat Caro tak merasakan sama sekali. Mobil berjalan mulus sepanjang Loch Ness. Namun sampai di Invermoriston James berbelok dan melambatkan laju mobilnya memasuki jalan desa.

“Kita sudah hampir sampai,” katanya ringan. Sama sekali tak nampak gurat kelelahan di wajahnya, seolah perjalanan menyetir mobil selama dua hari melalui jalan yang tidak selalu mulus adalah hal biasa baginya.

“Ini begitu cantik dan sepi, membuat segalanya hampir tidak nyata. Kau tidak lelah?”

“Tidak terlalu. Aku menikmati perjalanannya. Lagipula aku sudah hafal dengan jalannya, yang membuat semuanya lebih mudah.”

“Perjalanan yang jauh. Dan hanya situasi yang mengerikan yang akan membuatku sanggup menempuh perjalanan ini sendiri,” komentar Caro. “Aku pasti cukup ketakutan bila sendirian, belum lagi resiko ban mobil bocor atau kehabisan bahan bakar.”

James tertawa.

Loch Dutch tampak begitu menawan dalam sinar redup mentari sore dengan latar belakang pemandangan pegunungan Kintail yang kokoh. James membelokkan mobilnya pada jalanan tanah kecil dan sepi, menuju satu-satunya bangunan yang tampak di ujung, di lereng bukit. Bangunan itu tak begitu besar, namun cukup mewah untuk ukuran pondok liburan. James memarkir mobilnya di garasi samping kiri pondok, sementara di sebelah kanan terdapat sebuah bangunan lumbung, yang menurut James sebagai tempat penyimpanan kayu bakar maupun untuk rumah mesin generator.

“Pasangan MacCoy yang menjaga tempat ini untukku,” James menerangkan, sesaat kemudian pintu depan terbuka dan seorang wanita pertengahan limapuluhan muncul dan menyambut mereka dengan logat Scotland yang lembut.

Sekali pandang Caro merasa nyaman dengan wanita itu. Dia menerangkan betapa senangnya dia dan suami karena Prof sudah menikah dan mereka tak sabar bertemu dengan nyonya baru. Setelah menunjukkan dimana bahan makanan disimpan serta isi seluruh dapur, wanita ramah itu pamit.

“Biasanya aku menaruh kunci di bawah keset, begitu juga Nyonya MacCoy. Tetapi untuk saat ini wanita itu menyempatkan diri untuk datang. Pasti dia sudah tak sabar ingin bertemu denganmu, Caro,” James tertawa.

“Kuharap aku tidak mengecewakan harapannya. Mudah-mudahan baginya aku cukup layak untukmu,” ujar Caro.

“Hei, satu-satunya orang yang berhak menentukan layak tidaknya kau sebagai istriku, itu adalah aku, Caro. Jangan pernah ada keraguan lagi.”

“Baiklah, maaf aku sudah bertingkah konyol.”

Bersama-sama mereka menjelajahi isi pondok. Pondok itu cukup luas, namun hanya punya satu kamar tidur di bagian atas dengan kamar mandi yang dilengkapi shower dan bak bermodel kuno yang cukup besar, bahkan untuk James yang punya ukuran tubuh di atas rata-rata. “Aku tak sabar untuk mengajakmu bergabung di bak mandi itu,” bisiknya yang membuat wajah Caro merah padam. Tempat tidurnya juga bermodel kuno dan dan berukuran besar.

“Bagaimana? Kau menyukai kamar ini?” tanya James menggoda.

“Oh, James, ini indah sekali.”

“Kalau begitu, tunjukkan kalau kau benar-benar menyukai kamar ini,” pinta James dengan suara menggoda dan mata membara.

Perjalanan menginspeksi seluruh isi pondok harus terhenti untuk sementara. Setelah beberapa lama, barulah mereka keluar kamar dengan nafas masih memburu, yang mana sama sekali tak ada hubungannya dengan deretan anak tangga yang curam.

“Berapa lama kau memiliki pondok ini?” tanya Caro ketika mereka menikmati teh yang telah ditinggalkan oleh Nyonya MacCoy.

“Sekitar enam atau tujuh tahun. Aku mengunjunginya dua kali setahun, kadang malah lebih bila aku ingin liburan.”

“Apakah kau sering membawa teman ke sini?”

James meraih bahu Caro, memutarnya agar berhadapan dengannya. “Kalau yang kau maksud teman perempuan,” mata abu-abunya menatap tajam ke arah Caro, “Tidak pernah. Aku selalu sendiri. Ini tempat privasiku. Kau satu-satunya yang pernah kuajak kemari. Jadi kalau kau punya keraguan tentang gaya hidupku di masa lalu, lebih baik hilangkanlah.”

Caro membalas tatapan tajam James, “Baiklah, aku mempercayaimu.”

Sebelum terlalu gelap, James mengajak Caro berjalan-jalan sekitar pondok. Ketika lelaki itu mengajaknya makan malam di hotel di desa, Caro sedikit kecewa. Selain seorang dokter yang cakap, Caro mengklaim dirinya sebagai tukang masak yang bagus pula, dan dia cukup lama menunggu kesempatan untuk menunjukkannya kepada James. Tapi mereka berencana tinggal selama dua minggu. Masih banyak kesempatan, pikir Caro.

Hari berganti dengan pelan. Setiap hari mereka selalu menyempatkan diri berjalan-jalan berdua mengitari pondok dan menjelajah hutan kecil di lereng bukit. Atau berkendara ke Inverness untuk membeli bahan makanan. Ini adalah James yang baru yang Caro berusaha mengenali. James yang bangun setiap pukul enam pagi, membuat dan mengantar teh untuk Caro yang masih bergelung di tempat tidur, sebelum kemudian bergabung dan mencumbunya kembali di bawah selimut, berpelukan dalam cuaca dingin pagi hari. James juga selalu ikut dalam pekerjaan domestik. Dia menata meja dan mencuci piring sementara Caro memasak, seolah hal itu dikerjakannya setiap hari dan bukannya dilayani sepenuhnya oleh Knotty dan Hannah. Dalam balutan celana dan sweater tua James memotong batang-batang kayu sementara Caro membuat selai dari buah-buahan dibantu oleh Nyonya MacCoy yang datang sekali-sekali untuk melakukan pekerjaan bersih-bersih. James menjelma menjadi orang yang benar-benar berbeda. Penuh energi, banyak tertawa, dan untuk sesaat Caro berfantasi, penuh cinta. James memperlakukannya dengan lembut dan bersahabat. Dalam dunia kecil mereka Caro benar-benar seperti berjalan di atas awan.

“Kau berbeda sekali. Aku tak pernah membayangkan dirimu sebagai seseorang yang bisa begitu praktis, memotong kayu, mencuci piring, berkebun, dan menyiapkan teh di pagi hari.”

James mengedipkan matanya dengan jenaka, “Inilah hak istimewa yang dimiliki seorang istri, melihat kepribadian suami dalam perspektif yang lain. Kau terlalu lama melihatku di rumah sakit, Caro, sudah saatnya kau melihatku sebagai suamimu.” Dipeluknya Caro dari belakang, saat itu mereka tengah menikmati matahari senja di depan pondok dalam cuaca yang dingin. “Kau pun tukang masak yang hebat. Aku sudah menduganya ketika aku ke apartemenmu untuk pertama kali dulu. Tapi aku baru berkesempatan menikmati keahlianmu itu sekarang,” James membelai telinga Caro dengan bibirnya.

Meski pondok itu dilengkapi dengan pemanas elektrik dari listrik yang dibangkitkan dari pondok kecil di samping pondok utama, namun ruang tengah memiliki tungku kayu kuno dari besi tempa yang indah. Di saat senja setelah makan malam, Caro suka sekali bergelung di karpet tebal di depan perapian, telungkup sambil bernyanyi tak tentu arah menikmati bayangan lidah api yang membuat pipinya merona merah menggairahkan. James selalu mengalami kesulitan membujuknya beranjak. Jadi pilihannya hanyalah membopongnya ke kamar tidur atau mencumbunya saat itu juga di depan perapian.

Mereka meninggalkan pondok dan piknik di sekitar danau. James telah membawa serta pancingnya. Mereka duduk berdua dalam ketenangan, James berkonsentrai dengan pancingnya sementara Caro telah membeli peralatan untuk merajut, mempraktekannya dengan merajut sebuah sweater untuk James dari benang wool warna merah tua. Tak jarang dalam kesempatan piknik, mereka menghabiskan waktu dengan berdiam diri, tanpa perbincangan. James akan membaringkan kepalanya sambil membaca buku di pangkuan Caro, sementara Caro meneruskan rajutannya. Terkadang lelaki itu tertidur. Memandangi matanya yang terpejam, Caro menggerakkan ujung jarinya dengan lembut menelusuri wajah tampan James. Seperti saat ini. DI bawah pohon birch tua yang daunnya telah gugur, Caro bersandar, menatap lelaki di pangkuannya. Tangan mereka saling bertautan. Sambil mendesah pelan James membawa telapak tangannya ke pipinya, dan kemudian menciumnya. Mata mereka saling bertatapan. Saat itulah untuk pertama kali Caro menyadari bahwa dia telah jatuh cinta kepada suaminya. Kesadaran yang membuatnya tertegun dengan jantung berdetak keras.

“Caro...” suara James terdengar parau. Matanya tak lepas dari mata Caro.

Caro tak bisa berkata apapun. Tapi dia membungkuk dan mencium bibir James dengan mesra, satu isyarat yang langsung disambut James dengan membabi buta.

Malam hari James berada di kamar mandi sementara Caro menunggunya di atas tempat tidur, melamun memikirkan perasaan yang baru disadarinya. Sepanjang sore dia masih sibuk menenangkan debar-debar jantungnya yang liar. James sempat menanyakan beberapa kali apakah Caro baik-baik saja.

“Mungkin aku terlalu lelah,” Caro beralasan. Tak pernah dia berfikir untuk mengatakan perasaannya kepada James.

Pintu kamar mandi terbuka, James muncul dengan handuk membungkus pinggulnya yang kokoh. “Tolong gosok punggungnku,” pintanya sambil melepas handuk dan melemparkannya ke Caro.

Caro bangkit dan menghadap James yang duduk memunggunginya di tepi tempat tidur. Punggung lebar lelaki itu begitu kokoh saat Caro menggosokkan handuk di sana. Setelah selesai Caro mengecup sejenak punggung suaminya, membuat lelaki itu tertawa lebar dan segera menindihnya di tempat tidur. Entah hanya perasaannya saja, Caro merasa percintaan mereka malam itu begitu berbeda. Pertama James memuaskan gairahnya dengan begitu menggebu, namun yang kedua dia begitu lembut, memandang mata Caro lekat-lekat saat dia mencapai puncak kepuasannya sendiri. Mata Caro bercahaya dalam pantulan temaram lampu kamar. Tanpa dapat dicegah air mata menetes di pipinya.

“Ada apa, sayang?” bisik James, mencium lembut air mata Caro.

Caro menggeleng, “Tidak, tidak ada apa-apa,” jantungnya berdebar semakin keras.

“Jantungmu berdebar seperti pemadam kebakaran,” James membelai punggungnya lembut.

“Aku terlalu bersemangat.”

James seperti ingin mengungkapkan sesuatu namun akhirnya dia diam saja, hanya memeluk Caro erat dan membaringkannya di relung kokoh bahunya.

Mereka kembali ke London setelah dua minggu. James dan Caro pun segera disibukkan dengan pekerjaan mereka. Pagi itu begitu tiba di rumah sakit Caro menerima operan tugas dari John Davoe, kolega yang menggantikannya selama dia libur.

“Ada kejadian menarik selama kepergianku?”

“Seperti biasa, tidak ada yang istimewa.”

Seperti biasa itu artinya adalah kecalakaan mobil beruntun, seorang anak balita yang terjatuh dalam mesin cuci, seorang ibu rumah tangga yang terjatuh dari kursi saat memasang gorden, hingga pasangan remaja yang sekarat karena over dosis. Hari-hari berjalan normal bagi mereka berdua. Namun James sempat mengungkapkan akan mengajak Caro berkeliling mengunjungi saudari-saudarinya yang sudah tidak sabar ingin bertemu Caro. Di antara kesibukan kerja mereka masih sempat menikmati malam-malam berdua. Sekali-sekali James mengajak Caro nonton opera atau film. Bahkan tak jarang James menemani Caro berbelanja. Lelaki itu senang melihat istrinya tampil modis dan elegan, bahkan tak jarang dia ikut cerewet memilih pakaian, sepatu, maupun perhiasan buat Caro. Caro masih sering terkaget-kaget dengan harga-harga barang yang dibelinya, tetapi James hanya mengedipkan mata dan dengan santai menggesek kartunya.

Lingkaran pergaulan James rata-rata adalah pasangan paro baya, para professor senior yang telah menjadi koleganya selama bertahun-tahun, maupun orang yang James kenal karena orang tuanya. Sebetulnya mereka bukanlah usia yang ideal untuk teman sosialisasi Caro, namun Caro yang pada dasarnya perempuan dengan lingkup pergaulan yang terbatas, tidak keberatan sama sekali. Mereka menghadiri pesta-pesta jamuan makan malam atau membalas dengan mengundang beberapa orang menikmati keahlian Hannah memasak di ruang makan mereka yang indah dan mewah. Dari situ Caro sekilas mendengar bisik-bisik gossip para istri kolega suaminya itu mengenai masa lalu. Juga beberapa nama perempuan yang dikait-kaitkan dengan James. Caro berusaha menerima itu dengan bersikap dewasa. Masa lalu James bukan urusannya. Pada siapa dia jatuh cinta dulu juga tidak seharusnya membuatnya resah.

Namun satu hal yang mengganjal bagi Caro adalah James sekalipun belum pernah mengundangnya ke tempat praktek pribadinya di Harley Street. Caro memang berusaha sebisa mungkin untuk tidak mencampuri urusan pribadi James, namun kadang rasa penasaran mengalahkan akal sehatnya. Seperti sore itu. Saat mengendarai mobilnya menuju rumah, tiba-tiba refleks dia membelokkan mobilnya mengambil jalan ke arah Harley Street. Caro tahu James pasti masih berada di sana karena biasanya dia pulang lebih lambat . Sebersit perasaan bersalah menghantuinya, namun kepalang tanggung, Caro mengemudikan mobilnya menuju ke alamat yang tertera di kartu nama James.

Tempat praktek ekslusif itu berada di kawasan terbaik di Harley Street dengan nama James terukir elegan pada batu granit berwarna gelap. Caro memarkir mobilnya dan menuju pintu masuk. Seorang resepsionis berwajah keibuan yang ramah menyambutnya.

“Nyonya Willis, senang sekali menjumpai anda di sini. Saya Anna Dunne, resepsionis Professor Willis selama lima tahun, kita bertemu di pesta pernikahan anda dulu,” sapanya dengan senyum yang menentramkan hati.

Tak lama seorang perawat senior keluar. Juga dengan ramah menyalami Caro. Membuat Caro salah tingkah. Apa yang kau cari di sini, Caro? Apakah kau mencurigai suamimu bermain gila di luar?

“Professor masih harus menemui beberapa pasien lagi. Namun saya akan kabarkan kepada beliau kalau anda datang, Nyonya.”

Dibimbing oleh Anna, Caro menuju ruang duduk yang nyaman, di sebelah ruang tunggu pasien. Dari balik kisi-kisi tipis Caro mendengar suara suaminya yang berat dan berwibawa. Dia membayangkan dengan penuh cinta bagaimana suaminya menghadapi para pasiennya yang rata-rata dari golongan atas itu. Untuk membunuh waktu Caro membaca beberapa dokumen yang tadi sempat dibawanya dalam tas untuk dipelajari di rumah. Tak terasa setengah jam lewat berlalu dan tahu-tahu James telah memasuki ruangan tempatnya berada.

“Caro, benar-benar kejutan yang teramat menyenangkan,” sambutnya seraya membungkuk dan mencium lembut bibir Caro. “Ingin melihat ruang kerjaku?” undangnya seraya menggamit lengan Caro.

Seperti orang bodoh Caro berjalan mengikuti James. Ruang kerja James luas dengan perabotan yang sangat maskulin baik dalam bentuk maupun warna. Dindingnya dicat warna terang dihiasi beberapa lukisan beraliran naturalis yang mahal. Ruang periksa berada di sisi lain ruangan itu. Namun perhatian Caro tertuju pada mejanyanya yang besar dan tampak berantakan, penuh kertas dan buku. Sebuah bingkai foto bertengger di atas meja. Di belakang kursi sebuah kabinet berdiri kokoh tempat beberapa ornamen antik dari berbagai negara tempat James memberikan kuliah atau seminar berada. Lagi-lagi beberapa bingkai foto mengganggu matanya.

Suara ketukan pelan di pintu diikuti kepala perawat yang menyembul menginterupsi penjelajahannya. Sementara James berbincang pelan dengan bawahannya Caro mencuri lihat bingkai foto di meja. Dan betapa terkejutnya dia melihat foto wanita dalam foto tersebut. Caro tak pernah merasa bahwa wajahnya bisa tampak begitu cantik di foto. Wajahnya yang sedang tertawa berbinar kemerahan dengan rambutnya yang sedang berantakan, tampak bahagia dengan latar belakang pohon-pohon yang gundul. Foto yang diambil James saat mereka berbulan madu.

“Terkejut, Caro?” tanya James yang tahu-tahu ada di belakangnya.

Caro berputar menghadap James. “Maaf, aku tak menyangka kau akan memasang fotoku disini,” akunya dengan wajah memerah.

“Kau berharap melihat foto siapa, Caro? Kau bisa memeriksa semua isi laciku kalau mau. Aku tak keberatan.”

Wajah Caro semakin memanas. Apalagi ketika di bingkai yang ada di atas kabinet James juga memajang foto pernikahan mereka, baik saat di gereja maupun pesta.

“Aku selalu ingin memiliki foto pernikahan kita. Tetapi sayang saat itu kita tidak mengundang fotografer. Tetapi Arthur berbaik hati mengambilnya, ingat? Saat kita di depan gereja? Dan memberikannya padaku.”

Caro sama sekali tak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam hati dia mengutuk kebodohannya. Melihat istrinya berdiri mematung, James dengan lembut memeluknya. “Jangan khawatir, kita punya banyak waktu untuk saling memahami dan menerima, sayang. Juga untuk saling mengenal dan percaya,” bisiknya sebelum menciumnya dalam-dalam.

5 comments:

  1. wiiiiii romantisssss lanjuuut MBA 7.... :)

    ReplyDelete
  2. keren sis olly semakin penasaran sama james, pria dewasa yang menjadi idaman deh pokoknya...lanjut ya....

    ReplyDelete
  3. romantis abis......aku jadi cemburu sama Caro hehehe

    ReplyDelete
  4. wuuuaaaaaaaaaaahhhh.........manuissss bangetttt...maauuuu.....

    ReplyDelete
  5. saiyah kok jadi penasaran sama masa lalunya james ya..... jangan2 mantan playboy no 1 di London hehehehehehe..... tapi hubungan mereka berdua makin bikin gemes, akhirnya Caro mulai teracuni panah si Cupit.....
    Thank U Olly, updete-an nya makin bagus dan makin di tunggu.... Love U....

    ReplyDelete