Thursday, June 16, 2011

Ninth : You Make My World SO Colourful

Masumi masih berkutat dengan kesibukan yang menumpuk di kantornya. Seharian ini dia telah melakukan berbagai pertemuan dengan klien, rapat dengan staf, dan sekarang sedang memeriksa berbagai dokumen yang menumpuk di mejanya. Padahal waktu sudah menunjukkan lewat pukul sepuluh malam. Minggu kemaren, mungkin Masumi akan sangat menikmati jam-jam kerjanya yang super panjang dan sibuk ini, untuk mengisi hari-harinya yang sepi tanpa warna. Tapi sejak kepulangannya dari Yokohama semalam, dunianya seperti terbalik. Pelangi di hatinya telah kembali menghiasi pagi dan siang harinya, dan malamnya pun penuh dengan kilau bintang. Maya, pujaan hatinya, kini telah berada di pulau yang sama, menginjak tanah yang sama, dan berada hanya dalam beberapa menit dari jangkauannya. Namun kungkungan pekerjaan yang tak terhingga ini tak mungkin begitu saja dilepasnya. Pekerjaan telah menjadi nafasnya selama ini, yang memberinya alasan untuk bangun dari tidurnya setiap hari.

Maya telah beberapa kali menjawab pesan pendeknya hari ini. Sekedar menyapa atau berbagi berita. Seandinya pesan singkat Maya tidak terjadi di tengah pembicaraan dengan klien atau di ruang rapat, Masumi akan dengan senang hati segera menelponnya. Sayang, mereka sedang berada di saat yang kurang tepat. Saat makan siang Masumi menelpon Maya, gadis itu sedang bersama teman-temannya di sebuah kedai yang ramai, sehingga sulit untuk menjawab telepon. Padahal Masumi sedang sangat ingin bermesraan dengan Maya via telepon. Yah, kami memang pasangan yang cocok, sama-sama sibuk dan punya obsesi besar terhadap profesi masing-masing, batinnya maklum.

Sedangkan Maya, sepertinya gadis itu tak ingin berlama-lama beristirahat. Hari ini pun dia telah mulai berlatih bersama teman-temannya dari Teater Mayuko dan Ikkakuju di gedung bawah tanah. Secara resmi ikatan bisnis Maya dan Divisi Hiburan Daito memang baru berlangsung minggu depan. Masumi, meski telah dua tahun melepas divisi itu untuk berada langsung di puncak pimpinan Daito sebagai representatif resmi yang mewakili Eisuke, namun masih sering mengikuti perkembangan dunia seni. Baginya, bisnis hiburan adalah seperti selingan dan hiburan yang menyenangkan.

Saat semua pekerjaan hari ini telah selesai, waktu pada jam tangan Rolex tipis bersepuh emas dengan titik-titik berlian di pergelangan tangannya telah menunjukkan lewat tengah malam. Masumi berusaha melawan godaan untuk menelepon Maya. Akal sehatnya mengatakan bahwa sangat tidak etis menelpon Maya selarut ini, tetapi desakan hatinya sudah tak tertahan lagi ingin mendengar suara kekasihnya itu. Maka, melawan segala akal sehatnya, Masumi menelepon Maya.

Maya sedang melamun di kamarnya ketika ponselnya berdenring. Masumi, lelaki dalam angannya itu akhirnya menelepon. Dengan gembira segera diraihnya benda yang sesorean tadi terus dipelototinya itu.

“Halo, Masumi,” suaranya yang bergetar hampir seperti bisikan.

Maya...kau belum tidur?

“Ehm...belum. Aku tidak bisa tidur karena menunggu telepon darimu. Masih sibuk?”

Tidak. Baru saja selesai. Hari ini berat ya?

“Tidak juga. Aku latihan ringan, sekedar melemaskan badan karena beberapa hari tidak latihan. Kupikir pekerjaanmu yang sangat banyak, jadi aku tidak menelepon, takut mengganggu.”

Pekerjaanku memang setiap hari begini, Maya. Aku sengaja menyibukkan diri biar tidak selalu memikirkanmu. Tapi sekarang kau sudah disini, jadi aku berpikir untuk mengatur ulang jadwalku. Apa kau merindukanku, Maya?

“Sangat. Aku ingin mendengar suaramu. Tetapi setelah mendengar suaramu, aku jadi ingin melihat wajahmu.”

Maya... kau membuatku tergoda untuk ke apartemenmu.

“Datanglah, Masumi. Aku menunggu.”

Tetapi teman-temanmu?

“Ah... iya, maaf, aku lupa. Kalau begitu aku akan menemuimu di luar. Kalau sudah sampai, kau missed call aku ya? Nanti aku akan mendatangimu.”

Masumi tak perlu menunggu undangan dua kali. Segera dia menyambar tas dan mantelnya dan menghambur keluar. Beberapa saat kemudian dia telah memacu mobilnya melintasi jalanan Tokyo yang mulai sepi. Rasanya tak sabar ingin segera menemui Maya. Maya pun agaknya mempunyai perasaan serupa. Karena gadis itu telah menunggu di depan pintu saat mobil Masumi memasuki halaman. Dan sebelum Masumi sempat keluar dari mobil, dia telah menghambur menghampirinya.

Masumi segera meloncat keluar dan meraih Maya dalam pelukannya.

“Gadis bodoh, kenapa tidak menungguku di dalam saja? Lihat, kamu kedinginan begini,” tegurnya lembut.

“Aku sudah tidak sabar ingin menemuimu,” Maya membenamkan wajahnya yang merona malu di dada Masumi.

“Masuklah ke mobil, lebih hangat.”

“Kita akan kemana?” tanya Maya bingung saat Masumi bersiap menjalankan mobilnya. “Aku cuma pakai piyama dan mantel hangat.”

Masumi tertawa. “Kenapa ya akhir-akhir ini aku selalu melihatmu dalam piyama? Apa piyama yang sama dengan yang kemarin kau pakai di Yokohama? Dengan motif bintang-bintang yang lucu itu?” Lelaki itu tergelak-gelak.

“Kalau kau tidak tahan melihatku dalam piyamaku, lebih baik turunkan aku di sini!” kata Maya galak.

“Waduh, sensitif sekali kau ini. Maaf, maafkan aku bidadariku, hanya saja piyamamu itu lucu sekali. Maaf bila aku tertawa, aku tidak tahan.”

Maya semakin sebal dan memukul bahu Masumi.

“Sudah, sudah, sayangku, tolong biarkan aku menyetir dengan aman sebentar, ya, nanti kau bisa memarahiku, ampun, ampun!”

Dengan merengut Maya kembali duduk tenang di tempatnya. “Memangnya kita mau kemana?”

Masumi membelokkan mobilnya ke taman, tempat persembunyian Maya di masa lalu. “Ke tempat kenangan kita,” sahut Masumi pendek.

Taman itu tak banyak berubah. Ayunan tempat Maya sering merenung, saat dia mencari inspirasi untuk menemukan karakter Beth pada pertunjukan pertamanya, saat Masumi menemukannya ketika Maya tidak bisa berakting karena kematian ibunya, Maya seperti mendapat kilas balik kehidupannya selama ini. Masumi memeluknya dari belakang.

“Apakah kau ingat semuanya?” bisiknya.

“Iya.”

“Saat kau di London, bila aku merindukanmu, aku selalu mengunjungi tempat ini.”

Maya mendongak, kemudian membalikkan tubuhnya menghadap Masumi. “Aku disini sekarang. Kau bisa menemuiku kapanpun kau merindukanku, Masumi.”

Masumi menatap gadis dalam dekapannya itu. Milikku, gadis mungil ini milikku. Dengan bibirnya ditelusurinya wajah Maya. Dahi, Mata, pipi, hidung, hingga akhirnya dipagutnya lembut bibir mungil indah yang sekarang telah begitu familier dengan bibirnya, mereguk semua kemanisannya.

“Maya, kau harus serius mencari tempat tinggal baru. Aku tak bisa terus begini,” bisik Masumi sambil menempelkan dahinya di dahi Maya.

“Iya, besok aku akan berbicara dengan Rei. Urusan ini agak sensitif. Aku khawatir melukai perasaan teman-temanku bila aku memisahkan diri dari mereka. Kami memulai bersama-sama dari bawah. Dalam duka mereka selalu ada untukku. Aku tak mau saat aku sukses aku dianggap melupakan mereka.”

“Bukankah sebentar lagi kau akan bergabung dengan manajemen Daito? Kau pasti berhak untuk mendapatkan tempat tinggal. Kurasa itu alasan yang tepat untuk meninggalkan apartemenmu. Sayang aku sudah tidak mengurusi Divisi Hiburan lagi. Kalau tidak, aku bisa mengurusnya untukmu karena embantumu mencari apartemen pasti sangat menyenangkan bagiku. Namun dengan segala kesibukanku ini, paling-paling aku hanya bisa menugaskan Mizuki untuk menemanimu.”

“Tak perlu. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Kau sudah melakukan banyak hal untukku. Itu sudah cukup. Kalau tidak, aku takkan sanggup membalas semua kebaikanmu.”

“Aku tak mau kau membalasnya. Aku melakukannya demi alasan yang sangat egois, demi diriku sendiri.”

“Apapun itu, kau melakukannya untukku, dan aku sangat berterima kasih, Masumi.”

Mereka masih berpelukan, tenggelam dalam kenyamanan dalam kedekatan itu. Hingga Masumi tersadar bahwa waktu semakin larut. “Sudah malam, kita sebaiknya pergi.”

Saat Maya memasuki apartemennya, Rei berada di ruang tengah.

“Apakah kau bersama Pak Masumi, Maya?”

Maya mengangguk. “Kupikir kau sudah tidur. Maaf, aku membuatmu terbangun, Rei.”

“Pernahkah terpikir olehmu untuk tinggal sendiri? Menyewa apartemen sendiri? Kupikir saat ini, dengan penghasilanmu, kau mampu Maya.”

“Aneh, Pak Masumi juga berpendapat aku lebih baik tinggal sendiri.”

Rei mendelik ke arah Maya. “Itu bukan hal yang aneh, tahu? Kamu saja yang terlalu bodoh untuk memahami, bahwa orang yang sudah tidak single lagi itu perlu privacy! Bukan hanya Pak Masumi yang akan segan untuk datang ke sini, kami pun di sini akan merasa tidak enak bila melihat kalian berdua. “

Maya hanya terpekur, “Kupikir kalian akan marah bila tiba-tiba aku memutuskan untuk tinggal sendiri. Kita sudah begitu lama bersama.”

“Tentu saja tidak, Maya. Orang hidup itu berproses. Asal kau tahu saja, Mina juga berencana untuk keluar dari sini karena akan menikah dengan pacarnya. Kamu saja yang terlalu blo’on untuk menyadari bahwa suatu saat kita harus berpisah, tidak bisa hidup begini terus. Satu persatu dari kita pasti akan menjalani kehidupan masing-masing. Contohnya Mina yang akan menikah, kemudian kamu, meski kamu belum mau menikah dengan Pak Masumi, tapi pasti kalian suatu saat nanti memikirkan hal itu juga.”

“Ha? Aku menikah dengan Pak Masumi?” Maya terbelalak.

“Maya! Jangan bilang kalau kau belum membicarakannya dengan Pak Masumi. Usia Pak Masumi kan sudah tidak lagi muda. Tidak mungkin dia mendekatimu hanya untuk pacaran main-main seperti remaja.”

“Ah, entahlah, Rei, kami belum berpikir ke arah sana.”

“Memangnya apa saja yang kalian lakukan kalau ketemu?”

Maya tersipu dengan wajah merah padam. Dia memang bodoh, tetapi dia tentunya tak sebodoh itu untuk mengatakan bahwa berdua dengan Masumi lebih banyak dihabiskan dengan berpelukan dan berciuman.

“Tanpa kau katakan pun, melihat dari raut wajahmu, aku sepertinya sudah bisa menduga kalian melakukan apa saja,” Rei bersungut-sungut. “Masalah apartemen ini bukan masalah sederhana, Maya. Kau harus mulai memikirkannya dengan serius.”

“Tapi kau mau bantu aku kan, Rei, untuk mencari apartemen. Masumi memang menawarkan Mizuki untuk membantuku. Tetapi aku khawatir terlalu merepotkan. Lagipula kalau dengan Mizuki pasti yang dicarinya apartemen-apartemen mewah yang nanti biayanya akan dibebankan ke Masumi. Aku ingin mencari yang sesuai dengan kemampuanku sendiri.”

“Baiklah, kita mulai besok saja. Sekarang lebih baik kita tidur.”

Tanpa banyak buang waktu, berbekal informasi di surat kabar, Rei menyeret Maya berkeliling Tokyo berburu apartemen. Bukan hal yang mudah untuk dilakukan tentu saja. Menjelang sore mereka belum menemukan lokasi yang sesuai keinginan. Mereka memutuskan kembali karena Rei harus berlatih malam nanti. Dengan tubuh kelelahan mereka membaringkan diri di lantai ruang tengah ketika pintu depan diketuk orang. Maya, yang seharian belum menghubungi Masumi segera meloncat, mengira lelaki itulah yang datang untuk memberinya kejutan. Namun betapa terkejutnya Maya karena lelaki yang ada didepannya itu bukan Masumi Hayami, melainkan Sakurakoji.

“Koji...”

“Halo, Maya. Lama tak berjumpa. Aku terkejut kau datang tanpa menghubungiku.”

Maya mundur untuk mempersilakan Koji masuk. Kecanggungan melingkupi keduanya. Maya tak tahu apa yang harus dikatakannya. Bisa dikatakan pertemuan terakhir mereka di London beberapa waktu lalu bukanlah pertemuan yang manis.

“Kau semakin cantik, Maya. Sepertinya London cocok buatmu. Bagaimana selanjutnya? Apakah kau siap untuk menggoyang dunia pertunjukan di Jepang?”

“Aku sudah menanda-tangani sejumlah kontrak dan akan bergabung dengan Daito minggu depan.”

“Daito, huh? Padahal dulu ketika kuajak bergabung, kau menolak mati-matian. Aku heran apa yang telah membuatmu berubah pikiran.”

Maya diam saja. Semenjak Maya menolak perasaan Sakurakoji, pemuda itu menjadi pemarah. Apalagi Maya pulang ke Jepang tanpa memberitahunya sama sekali. Rei yang hanya mencuri dengar dari dapur akhirnya memutuskan bergabung. Dia sedikit berempati pada Sakurakoji. Bagaimanapun pemuda itu adalah pasangan yang paling cocok dengan Maya. Mereka telah mengenal bertahun-tahun, terlibat dalam produksi drama yang sama, bahkan karakter mereka berdua saling cocok. Namun cinta memang aneh. Sang Dewi Cupid agaknya menembakkan anak panah pada sasaran yang lainnya.

Dengan kehadiran Rei pembicaraan menjadi netral. Mereka berbincang banyak hal layaknya teman lama. Hingga akhirnya pembicaraan mengarah ke pentas Bidadari Merah. Sakurakoji menyarankan Maya untuk kembali menemui Pak Kuronuma yang saat ini tengah menangani sebuah drama produksi untuk musim gugur ini. Selain itu Maya juga perlu kembali mengunjungi Genzo untuk meminta bimbingan untuk pementasan Bidadari Merah selanjutnya. Memang semenjak memenangkan hak pementasannya, Bidadari Merah belum dipentaskan secara resmi karena berbagai peristiwa yang terjadi. Terutama kematian Bu Mayuko dan perginya Maya ke Inggris. Sekarang Maya punya kewajiban moral untuk mementaskannya. Maya berencana menghubungi Persatuan Drama Nasional untuk penunjukan perusahaan mana yang akan mementaskannya.

Mungkin inilah yang akan dihindari Masumi. Pasti akan sangat tidak etis bila di masa yang kritis begini mereka terlihat memiliki hubungan khusus di muka publik. Gossip-gossip tak sedap akan bermunculan baik di surat kabar maupun televisi. Hidup mereka tak akan sama lagi.

Hari ini baik Maya maupun Masumi sangat sibuk hingga keduanya tak sempat bertemu. Padahal baru semalam Masumi memeluk Maya di taman, namun Masumi sudah merasa merindukannya. Keduanya hanya sempat saling berkirim pesan singkat tanpa ada kesempatan bertemu sekalipun. Meskipun Maya juga merindukan Masumi, namun dia menyadari kekasihnya itu sangat sibuk. Maka diungkapkannya kerinduan itu hanya dalam kata-kata sederhana yang dikirimnya melalui pesan ke ponsel Masumi. Menerima kata-kata itu Masumi merasa seolah jam-jam sibuknya menjadi lebih berwarna. Ah, inilah cinta, batinnya bahagia. Dan dia semakin tak sabar menunggu malam karena dia berencana membawa Maya ke Izu. Di sana dia bisa memiliki Maya untuk dirinya sendiri. Paling tidak untuk akhir pekan ini.

Jumat malam. Angin musim gugur yang dingin bertiup kencang. Maya merapatkan mantel tebalnya. Langkahnya ringan menyusuri jalanan sunyi menuju ke stasiun kereta api mengejar kereta terakhir pukul sepuluh malam. Teman-temannya masih sibuk berlatih di teater bawah tanah. Maya memutuskan pulang dulu karena dia tahu mereka tidak akan kembali sebelum dini hari. Dia dan Rei memang baru tiba di tempat latihan setelah makan malam, setelah Sakurakoji meninggalkan apartemen mereka. Sambil berjalan, Maya mengenang kejadian hari-hari terakhir yang menjungkir balikkan seluruh kehidupannya ini. Rasanya baru hari Senin kemarin dia menginjakkan kakinya di Jepang setelah tiga tahun lebih hidup di negeri orang. Dua malam dihabiskannya di Yokohama dalam pelukan Masumi. Dan kemarin malam pun lelaki itu menyempatkan diri menemuinya. Maya tak tahu apa yang akan dilakukan Masumi hari Sabtu besok. Seperti apakah hubungan kami nantinya? Tanyanya dalam hati. Maya hanya berharap mereka masih bisa bertemu meski kesibukan keduanya di minggu-minggu mendatang akan sangat padat. Serangkaian promosi drama televisi yang dibintanginya serta jadwal syuting dan pemotretan iklan sudah menunggu. Tadi siang jadwalnya sudah diterima Rei, untuk disesuaikan dengan jadwal pertemuan Maya dengan Persatun Drama Nasional untuk membahas persiapan pementasa Bidadari Merah secara komersial. Maya tak bisa membayangkan akan seperti apa hidupnya nanti. Dia, gadis yang tidak menarik, sering dianggap bodoh, namun sekarang telah menjadi artis berbakat yang masuk jajaran papan atas artis Jepang. Sungguh tak terbayangkan.

Suara halus mobil berhenti di jalan di sebelahnya membuat Maya menoleh. Mobil Masumi.

“Maya! Masuklah!” teriak lelaki itu sambil membuka pintu penumpang di sampingnya.

Bergegas Maya meloncat menuruni trotoar dan masuk ke dalam mobil.

“Mengapa kamu jalan sendiri malam-malam begini? Aku mencarimu di teater bawah tanah tadi. Tapi Rei bilang kamu sudah pulang. Kenapa tak membalas teleponku?” Masumi menghujaninya dengan pertanyaan.

Maya buru-buru mengambil ponsel dari sakunya. Baru disadarinya dia memasang mode silent pada ponselnya. Bahkan getarnya pun di non-aktifkan. Masumi telah lima kali melakukan panggilan. “Wah, maaf, aku lupa telah memasang mode silent,” Maya nyengir ke arah Masumi yang nampak sebal dan marah.

“Bahaya sekali bagimu keluyuran malam-malam begini. Kalau butuh diantar, kamu cukup hubungi aku, dan aku akan mengirim sopir untuk mengantarmu kemana-mana. Kalau ada apa-apa bagaimana?” Masumi nampak masih sangat khawatir.

“Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Aku akan bisa menjaga diri. Lagipula aku telah terbiasa melakukan semuanya sendiri. Jadi kau harus membiasakan diri denganku yang tidak suka meminta tolong.”

“Tapi sekarang kondisinya berubah, Maya. Kau kekasihku, aku tak mau kau celaka. Apalagi sekarang bintangmu akan segera bersinar. Kau harus lebih hati-hati. Tolong, demi aku, turutilah permintaanku untuk tidak kemana-mana sendiri. Ok?”

“Ok, kalau itu membuatmu lebih tenang. Aku akan merundingkannya dengan Rei nanti. Dia manajerku, jadi dia yang akan mengurus semuanya.”

“Kenapa ya aku jadi tidak menyukai ide kau menjadi artis,” keluh Masumi.

Maya membelalakkan mata. “Jangan ngawur!”

“Ah, hanya pikiran bodoh sesaat. Mungkin karena kau terlalu merindukanmu, Maya.”

“Baru kemarin malam kita bertemu, Masumi.”

“Betul, tetapi perasaanku tidak akan tenang kalau kau tidak muncul di hadapanku, memastikan kau sehat dan baik-baik saja. Ah, kau yang masih berusia muda mana tahu perasaan orang paruh baya sepertiku.”

“Bicaramu mulai tak karuan, Masumi. Mungkin kau terlalu lelah bekerja. Kau perlu liburan sejenak.”

“Mau menemaniku? Ke Izu?”

“Kapan?”

“Sekarang, kita dalam perjalanan ke sana.”

“Masumi Hayami! Kau keterlaluan! Kau menculikku!” teriak Maya geram.

Masumi tertawa terbahak. “Sayang, apapun boleh dilakukan dalam cinta dan perang!”

“Tapi aku tidak membawa baju ganti.”

“Kau bisa pakai bajuku.”

“Aku belum bilang pada Rei.”

“Kau bisa menelepon atau mengirim pesan sekarang.”

“Tahu tidak kalau kau itu menyebalkan?”

“Tahu. Tetapi orang menyebalkan inilah yang mencintaimu setengah mati.”

Maya menoleh, memandang Masumi yang sedang menyetir. Disadarinya betapa dia juga sangat mencintai lelaki itu. Dengan pelan disentuhnya lutut Masumi dengan tangan mungilnya dan mengangkat tubuhnya mendekati Masumi. “Aku juga sangat mencintaimu, kau tahu kan?” bisiknya mesra di telinga Masumi

Masumi terkejut. Dengan cepat dipinggirkannya mobil dan berhenti. “Kau lakukan itu lagi, dan kita tak akan pernah sampai di Izu,” dan diciumnya Maya dengan segenap perasaannya.

Keduanya sama sekali tak menyadari kehadiran mobil lain yang sejak tadi membuntuti mereka dalam jarak aman. Bahkan ketika lampu kamera merekam adegan keduanya yang tengah berciuman, baik Maya maupun Masumi sama sekali tak mengetahuinya.

8 comments:

  1. huaaaaaaaa makin seruuuu makasih apdetnya Kak Olly...:)

    -fagustina-

    ReplyDelete
  2. Omigot makin keren aja. Ayo semangat! Kamu berbakat mengembangkan fanfic Maya Masumi ini hahaha

    ReplyDelete
  3. waw.....dah seru aja nech???? pasti wartawan yang ngikutin mereka tuh.....ih paparazi menyebalkan, mau tau aja hehehe

    ReplyDelete
  4. waaahhhh ayo cepetin lanjutannya...
    bisa2 gambarnya tiba2 jadi headline surat kabar Maicho...
    -Katara Hayami-

    ReplyDelete
  5. aduh seru .... bagus.... lagi dunk olly....

    ReplyDelete
  6. lanjutkaan !! penasaran nih
    coba kalo dibikin versi komiknya ...

    ReplyDelete
  7. ditunggu lanjutanny y...seru seru..g sabar ni :)
    thanks y

    ReplyDelete
  8. Casino Slot Machines by Pragmatic Play
    The slot 해외 토토 배당 machine was developed 슬롯나라 by Pragmatic Play in 메이저사이트 추천 partnership with a Maltese game studio. In addition, a new 바카라 필승법 player bonus 강원 랜드 칩 걸썰 is introduced,

    ReplyDelete