Wednesday, April 27, 2011

third: the first night together

Maya terbangun saat sinar matahari yang menembus jendela menyentuh wajahnya. Matanya terkejap membuka. Dia merasakan kehangatan melingkupi tubuhnya, sesuatu yang tidak biasa. Maya mendongakkan kepala, terpana melihat seraut wajah yang menempel dekat dengan wajahnya. Pak Masumi? Tiba-tiba lelaki itu membuka matanya.
“Selamat pagi, Mungil,” sapanya pelan.
“Pak Masumi, kenapa kita...,” Maya tak bisa meneruskan pertanyaannya.
“Semalam kau tertidur nyenyak sekali Maya, di tempat tidurku, hingga aku tak tega untuk membangunkanmu. Jadi disinilah kita sekarang, karena aku tak punya pilihan lain selain tidur di sini atau di lantai. Karena badanku sedang agak sedikit demam, sangat tidak mungkin aku tidur di lantai. Aku harus jaga kondisi untuk pertemuanku siang ini. Kuharap kamu bisa mengerti,” dusta Masumi dengan lancar.
“Demam?” refleks Maya khawatir dan menempelkan telapak tangannya di dahi Masumi. Hanya untuk mendapati dahi lelaki itu baik-baik saja, suhunya normal. “Pak Masumi??” Maya mendelik sewot, sadar Masumi membohonginya habis-habisan.
“Kamu marah Maya? Rugi sekali, kemarahanmu sama sekali tidak akan merubah keadaan. Lagipula kamu juga menikmati tidur dalam pelukanku yang hangat kan?” Masumi kembali bersikap menyebalkan.
“Pak Masumi! Anda benar-benar makhluk menjengkelkan! Bahkan sepagi ini pun Anda sudah mampu merangkai kata-kata menyebalkan. Hebat sekali!” cibir Maya yang dengan kesal memukul dada Masumi. Tapi pukulannya terhenti manakala tangannya menyentuh bulu-bulu di dada Masumi yang bidang. Tanpa sadar Maya membuka telapak tangannya. Ujung-ujung jarinya yang gemetar menyentuh dada Masumi. Tatapan matanya begitu intens mengamati tubuh indah lelaki itu.
Masumi terkesiap. “Maya...,” desahnya, “Sadarkah apa yang kau lakukan ini Mungil,” keluhnya. Semalaman Masumi telah berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak melahap Maya bulat-bulat, semalaman dia terjaga dan tersiksa menatap gadis dalam pelukannya, hanya bisa menghujani wajahnya dengan kecupan lembut sementara yang diinginkannya adalah mencium Maya dengan sepenuh perasaan yang telah berakumulasi
sekian lama. Gairah laki-laki yang mati-matian disembunyikannya agar tidak dirasakan oleh Maya, sekarang justru membuncah minta pelepasan hanya karena sentuhan jemari Maya di dadanya.
“Pak Masumi, apakah anda terbiasa tidur bertelanjang dada?” tanya Maya polos.
“Mungil...,” Masumi mengeluh dalam.
Maya menggerakkan kakinya dan mendapati tungkai panjang Masumi yang juga berbulu. “Pak Masumi, apakaha Anda hanya memakai celana dalam?” Maya terbelalak.
“Mungil, aku memakai celana dalam karena kamu,” Masumi menghela nafas pasrah.
“Apakah itu artinya selama ini Anda selalu tidur telanjang?” Maya semakin kaget. “Lalu apa gunanya piyama?”
“Itu namanya KEBIASAAN! Lagipula apakah kau tidak sadar Mungil, bahwa atasan piyamaku kau pakai?”
“Ha!” Maya terkejut dan spontan menendang selimut yang mereka pakai berdua. Baru disadarinya bahwa dia hanya memakai atasan piyama laki-laki dan...tanpa pakaian dalam!
“Pak Masumi!” jeritnya kaget.
“Aku telah melepas pakaianmu Mungil, tapi sumpah, aku tidak melakukan apapun yang tidak pantas. Aku hanya ingin membuatmu nyaman.”
“Saya mengerti Pak Masumi, dan saya percaya pada Anda. Terimakasih banyak,” ucap Maya sambil membetulkan kembali selimut untuk menutupi mereka berdua. Maya mendekat ke arah Masumi, wajahnya hampir mencium dada Masumi. Deburan di dada lelaki itu semakin menggila. “Pak Masumi...” Maya meletakkan kembali kepalanya di relung lengan Masumi.
“Mungil...”
“Seperti Anda bilang tadi bahwa pelukan Anda sangat hangat, sangat nyaman. Jadi boleh kan saya berada disini untuk beberapa saat lagi? Apakah Anda harus segera bangun dan bekerja?” tanya Maya jahil.
“Dasar jahil!” seru Masumi gemas dan tanpa sadar memencet hidung Maya dan dihadiahi cengiran lebar gadis itu.
“Pak Masumi...”
“Hm...”
“Saya bahagia terbangun dalam pelukan Pak Masumi.”
Masumi menunduk menatap wajah Maya lekat-lekat. Wajah gadis itu merona merah karena malu dengan kejujurannya.
“Aku juga senang karena bisa memelukmu. Padahal dulu kamu selalu menolak berada dalam radius lima meter dariku. Kau selalu marah dan mencaciku, tapi aku tahu kamu membenciku Maya, dan aku sadar kenapa,” ada nada pahit dalam kata-kata Masumi. “Tapi entahlah, ketika kamu pergi ke London, aku jadi sering merindukan pertengkaran-pertengkaran kita.”
“Saya juga Pak, ketika di London saya sering merindukan Pak Masumi,” wajah Maya kian memanas dan memerah.
“Benarkah Maya?”
“Pak Masumi, saya bukan lagi gadis kecil. Saya sudah dewasa sekarang. Saya tahu persis siapa yang saya rindukan. Itulah makanya saya bahagia pagi ini bangun
dalam pelukan Anda, di tempat tidur Anda. Saya ingin Anda melihat saya sebagai wanita dewasa, bukan lagi gadis kecil yang biasa Anda goda dan Anda buat jengkel.”
“Percayalah Mungil, telah lama aku tidak menganggapmu anak-anak.”
“Benarkah?” Maya menatap mata Masumi dalam-dalam, mencari kebenaran kata-katanya.
Masumi mempererat pelukannya, mendekatkan wajahnya ke wajah Maya. Dengan lembut disentuhnya bibir Maya dengan bibirnya. Bibir gadis itu bergetar dan membuka. Masumi kembali menciumnya dengan lebih dalam. “Maya...” desahnya di bibir Maya.
Gadis itu kembali membalas ciumannya. Bibirnya yang lembut terbuka menyambut bibir Masumi. Seketika Masumi kehilangan kendali dan melumat bibir ranum itu sepenuhnya. Gairah langsung berkobar membakar ke pusat dirinya. Lelaki itu mengerang di antara ciumannya. Maya pun tak berdaya menolak gairah baru yang tiba-tiba juga membakar dirinya. Dengan lugu disambutnya lumatan bibir Masumi dan refleks tubuhnya meliuk mendekat mencari sumber kehangatan dalam diri Masumi.
Tiba-tiba Masumi tersadar dan melepaskan ciumannya, nafasnya terengah-engah.
“Maya...”
“Pak Masumi, itu tadi apa?” tanya Maya polos, tak kalah kagetnya.
Masumi mendesah frustasi dan menempelkan dahinya di dahi Maya. “Mungil, tidakkah kau sadar bahwa apa yang kita lakukan ini sangat tidak seharusnya?”
“Kenapa tidak Pak Masumi? Pak Masumi, saya mencintai Anda,” jawab Maya di luar dugaan.
Masumi terpana. “Mungil, apa kau mengerti dengan kata-kata yang barusan kau katakan itu?”
“Saya sadar sepenuhnya dengan apa yang saya katakan Pak Masumi, meski saya akui, saya malu setengah mati. Apalah saya ini Pak Masumi, gadis bodoh, pendek dan tidak menarik, berani mencintai Anda yang jauh lebih dewasa, Anda yang tampan, terkenal dan berkuasa, pernah menikah dengan Nona Takamiya yang cantik dan kaya. Maafkan saya Pak Masumi, tapi tolonglah untuk saat ini saja, peluklah saya, seolah saya cukup
berharga untuk Anda, meski Anda tidak menyukai saya, demi saya, tolong berpura-puralah Pak Masumi,” Maya menyelusupkan kepalanya di relung leher Masumi yang hangat.
“Maya, seandainya kamu tahu apa yang ada dalam hatiku,” desah Masumi sambil mempererat pelukannya. Degub jantungnya yang bertalu-talu bersahutan dengan degub jantung Maya yang tak kalah kencangnya. “Mungil, aku akui, pagi ini kita berdua sedikit aneh. Semuanya serba tidak tepat, waktu kita tidak tepat, kaupun terbawa perasaan, aku ragu kamu memahami perasaanmu dengan lebih baik,” Masumi berusaha mengembalikan akal sehatnya.
“Pak Masumi, ijinkan aku menjelaskan kembali...”
“Mungil, seperti aku bilang, waktunya sangat tidak tepat,” potong Masumi cepat.
“Tapi Pak...”
“Mungil, coba dengarkan baik-baik, kita perlu waktu yang...Mungil...Mungil,” ucapan Masumi terpotong karena tiba-tiba saja Maya membalikkan tubuhnya membelakangi Masumi. Masumi berusaha meraih kembali gadis itu. Lelaki itu terkejut waktu melihat air mata Maya.
“Mungil, jangan begitu, aku jadi sedih kalau kamu menangis.”
“Sudahlah Pak Masumi, tak usah menghibur saya. Sejak dulu saya tahu saya tak layak untuk Pak Masumi. Saya terlalu bodoh untuk menduga Anda berubah,” dengan kata-kata itu serentak Maya melompat turun dari tempat tidur. Air mata membasahi pipinya.
Secepat kilat Masumi bangkit dan menjangkau Maya. Direngkuhnya Maya dalam pelukannya.
“Mungil, dengar dulu, saat ini aku benar-benar tidak punya waktu untuk menjelaskan semua kepadamu. Tolong, mengertilah sekali ini saja. Nanti malam aku berjanji akan mengajakmu makan malam dan membicarakan semua ini dengan layak. Aku janji Mungil,” Masumi memohon sambil memeluk Maya dengan erat.
Maya berputar dalam pelukan Masumi, mendongak menatap Masumi mencari kebenaran kata-kata lelaki itu dalam pancaran matanya. “Pak Masumi...”
“Aku berjanji, Mungil, tunggulah aku malam ini. Semalam apapun, tunggulah aku, aku tak tahu sampai jam berapa meeting hari ini berlangsung, tapi semalam apapun itu, aku akan menelponmu, jadi tolong tunggulah aku.”
“Benarkah itu Pak Masumi?” tanya Maya ragu-ragu.
Masumi tidak menjawabnya, namun justru mencium Maya. Ciuman yang dalam dan lama, seolah lelaki itu ingin melumatnya. “Tunggulah Mungil,” desah lelaki itu di antara ciumannya. Maya malu-malu membalas ciumannya.

Dengan mengerang Masumi melepaskan bibirnya.“Ah...Maya, aku benar-benar ingin saat ini kita sedang liburan, bukannya di tengah-tengah hari kerja yang sibuk,” keluhnya enggan.
“Saya akan menunggu Anda Pak Masumi, semalam apapun, saya akan menunggu,” Maya berjanji.
Masumi tertawa. Kemudian tatapannya beralih ke tubuh mereka yang saling berpelukan, dengan pakian yang teramat sangat minim. “Kau lihat, Mungil, hanya kau gadis yang bisa membuatku berdiri telanjang begini tanpa sadar,” katanya tertawa.
Maya otomatis melihat ke tubuhnya sendiri yang hanya berbalut atasan piyama laki-laki, itupun dua kancing atasnya terbuka tanpa dia sadari, wajahnya merona merah. Saat ditatapnya Masumi yang hanya mengenakan boxer warna hitam dengan bukti gairahnya yang terpampang tanpa malu-malu, wajahnya semakin memanas.

“Pak Masumi... saya malu...” Maya menutup wajahnya dengan kedua tangannya seraya membalikkan wajahnya.
Masumi terbahak, “Bukannya sudah terlambat untuk merasa malu Maya?” godanya.
Maya cemberut. “Dasar!” omelnya kesal.
“Tidak apa-apa, Mungil, ini toh hanya aku, orang yang telah memelukmu semalaman. Orang yang sama yang telah mengganti pakaianmu...”
“Pak Masumi!” Maya semakin kesal.
“Oke...oke bidadari bandelku, cukup sudah becandanya. Lebih baik aku bersiap ke ruang meeting sebelum Mizuki datang dan menyeretku ke sidang sebelum aku sempat berpakaian lengkap!”
“Kalau begitu saya kembali ke kamar saya saja, Pak Masumi, daripada saya mengganggu Anda.”
“Kalau mengganggu konsentrasi itu sudah pasti, tapi karena aku sudah terbiasa dengan gangguanmu, jadi kamu tidak perlu pergi, kamu bisa berada disini. Aku sudah minta kunci cadangan. Jadi kamu bisa keluar masuk ke kamar ini sesukamu, “ Masumi meraih mantel kamarnya dan berjalan menuju kamar mandi. “Oh ya, semalam bajumu aku lipat di sofa,” serunya sebelum menghilang di balik pintu.
Maya menuju sofa, mendapati celana jeans, kaos, sweater dan pakaian dalamnya terlipat rapi di atas sofa. “Pak Masumi kan bisa memindahkanku ke sofa,atau setidaknya menjadi gentleman dengan mengalah tidur di sofa, bukannya memelukku dan tidur bersama, pakai acara lepas-lepas baju lagi. Tapi aku bahagia tidur dalam pelukan Pak Masumi,” batin Maya sambil tersipu.
“Maya, kau bisa pakai kamar mandiku setelah aku selesai, jadi tak usah ganti baju dulu!” teriak Masumi yang tiba-tiba saja kepalanya menyembul dari balik pintu.
Maya akhirnya mengurungkan niatnya dan kembali ke tempat tidur. Kehangatan tempat tidur itu begitu mengundang. Segera dia meloncat naik, mengambil sisi dimana Masumi berada semalam, mencium bantalnya dengan mesra, bau lelaki itu masih tertinggal disana membuatnya mendesah senang. Suara shower dari kamar mandi terdengar merdu di telinganya. Dia membayangkan tubuh Masumi yang tegap berada di bawah pancuran. Tiba-tiba wajahnya merona. Cepat-cepat dihalaunya pikiran itu.

Masumi melangkah keluar dari kamar mandi, sudah bersih dan rapi bercukur, kecuali rambutnya yang masih basah dan masih mengenakan mantel mandi handuk tebal berwarna biru tua. Saat dilihatnya Maya meringkuk di atas tempat tidur, perasaan bahagia menyerbu hatinya. Beginilah harusnya, batinnya. Mendapati gadis yang dicintainya meringkuk di atas tempat tidurnya, dengan wajah merona merah dan bibir ranum yang tak jemu diciumnya, benar-benar impian yang menjadi kenyataan.
“Daripada kau malas-malasan tak jelas begitu, Maya, lebih baik kau bantu aku,” Masumi beranjak menuju ke tempat tidur dan duduk di pinggirnya.
Serta merta Maya bangun, “Bantu apa, Pak Masumi?” tanyanya tak mengerti.
“Keringkan rambutku, mau kan?”
“Oke,” Maya menjawab riang, melompat turun dan mengambil hair dryer yang tergeletak di atas meja.
Setelah mencolokkan kabel ke stop kontak, Maya memanjat lagi ke tempat tidur dan berlutut di belakng Masumi. Tangan-tangan mungil gadis itu bekerja cekatan menyibak rambut basah Masumi.
“Aku heran kamu membantuku tanpa protes,” Masumi terheran-heran.
“Soalnya dengan begini aku berkesempatan memegang kepala Pak Masumi, hihihi... jarang-jarang lho, “
Maya terkikik geli.
“Sudah kuduga,” Masumi tersenyum, menikmati jemari lembut gadis pujaannya. Suasana terasa sangat intim. Orang yang tidak tahu pasti mengira kami ini pasangan muda yang sedang berbulan madu, batin Masumi. “Mungil, kalau setiap pagi seperti ini, aku pasti bahagia sekali.”
“Benarkah, Pak Masumi?” tanya Maya sambil mematikan hair dryer karena rambut Masumi sudah kering.
“Hmm...” Masumi mendesah mengiakan sambil meraih tangan Maya dan mencium telapaknya.
Maya tersenyum bahagia, “Saya juga akan sangat bahagia, Pak Masumi, tapi Anda harus segera ganti baju kalau tidak ingin terlambat,” Maya mengingatkan dengan lembut.
Dengan enggan Masumi berdiri, meraih gadis itu sekali lagi dalam pelukannya, "Mandilah, Mungil, aku mau ganti baju, karena belum waktunya bagimu untuk melihatku berganti pakaian,” Masumi melepaskan pelukannya dari Maya.
Dengan wajah merona Maya cuma mencibir sambil meloncat turun dari tempat tidur, menyambar pakaiannya dari atas sofa dan masuk kamar mandi.
Saat Maya keluar dari kamar mandi dan telah berpakaian lengkap, Masumi telah rapi dan duduk menghadap meja sarapan. Telah pula terhidang sepoci kopi, serta hidangan sarapan pagi lengkap.
“Aku telah meminta sarapan diantar ke kamar. Makanlah, Mungil,” undang Masumi sambil meraih cangkir kopinya.
Segera Maya bergabung bersamanya.
Pagi itu berlalu dengan indah. Sarapan berdua sambil bercanda dan saling menggoda. Hingga akhirnya Masumi harus bangkit dan menuju ke ruang pertemuan.
“Aku harus berngkat, Mungil, aku bahagia sekali pagi ini,” katanya sambil meraih dokumen dan tas laptopnya, berjalan menuju pintu.
Maya ikut bangkit dan mengantarkan lelaki yang dicintainya.
Di depan pintu Masumi berbalik, “Beri aku ciuman keberuntungan, Mungil,” dia membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Maya.
Malu-malu Maya melingkarkan tangannya di leher Masumi dan mencium bibir Masumi lembut.
“Ini adalah malam dan pagi terindah di sepanjang hidupku yang suram, Mungil,” Masumi membalas ciuman bibir Maya dengan cepat dan dalam, sebelum akhirnya memaksa dirinya berlalu keluar dari pintu kamar.
Maya terpaku di depan pintu menatap punggung lelaki itu. Ini juga malam dan pagi terindah sepanjang hidupku, Pak Masumi, bisiknya bahagia, dan kuharap ini bukanlah mimpi.

second : welcome home

Bandara Narita
Maya memakai kembali kaca mata hitamnya saat memasuki area pengambilan bagasi. Sementara menunggu, matanya tak lepas mengamati sekitar. Tak lepas dipandanginya semua tulisan kanji di sekitarnya. Betapa rindunya dia pada tulisan itu. Setalah menghabiskan tiga tahun di Inggris, dengan orang-orang yang berbicara dalam bahasa asing dan tulisan yang tak kalah asing pula, mendengarkan kembali bahasa ibunya membuatnya ingin menangis terharu. Jepang, tanah airku, bisiknya. Dan Maya yakin matanya pasti telah memerah.
Ketika akhirnya kopernya tiba, dengan gontai Maya meraihnya dan melangkah ke luar. Tubuhnya yang mungil terbalut jeans ketat warna abu-abu, dia memakai sweater tebal dan sepatu boot semata kaki. Dengan rambut terurai dan kaca mata hitam bertengger di hidungnya, Maya tampak tidak berbeda dengan gadis-gadis lain.
Meski dia artis ternama, namun kedatangannya kembali ke Jepang hampir tidak ada yang mengetahui karena memang tidak dipublikasikan. Hanya teman-teman teaternya yang tahu, dan tentu saja Masumi Hayami-mawar jingga pujaan hatinya. Tetapi Maya yakin bahwa lelaki itu tak akan peduli dengan kedatangannya, kalaupun dia peduli, paling dia hanya akan mengirim Hijiri saja untuk menjemputnya. Shiori-Nyonya Hayami Muda- pasti tak akan mengijinkan suaminya berada dalam radius seratus meter saja dari Maya.
Maya keluar pelataran bandara dan ketika melihat tak seorang pun menjemputnya ataupun dikenalnya, dia bersiap untuk memanggil taksi.
“Maya!” seseorang memanggilnya, sebuah suara yang teramat sangat dikenalnya, meresapi relung-relung hatinya, suara yang selama tiga tahun terakhir berusaha dilupakannya namun tak pernah berhasil.
Maya menoleh perlahan. Di belakangnya, berdiri menjulang Masumi Hayami. Masih tampan seperti yang dulu, kecuali wajahnya tampak kurus dan lelah. Namun lelaki itu tersenyum memandangnya.
“Pak Masumi,” Maya seolah ingin menangis melihat kembali lelaki yang dicintainya dan lelaki yang selalu mengisi mimpi-mimpinya setiap malam.
“Lama tak berjumpa, bagaimana kabarmu, Mungil?” Masumi melangkah mendekat. Matanya menatap wajah gadis itu lekat-lekat, berusaha mencari jejak-jejak wajah yang selama tiga tahun terakhir ini selalu mengisi hari-harinya. Maya tidak banyak berubah, kecuali kematangan yang tampak terpancar di matanya. Juga penampilannya, meski sederhana, namun lebih fashionable. Dan semakin cantik.
“Saya sehat-sehat saja, Pak Masumi. Mawar Jingga, pengagum setia yang saya puja, memastikan saya tidak kekurangan apapun,” jawab Maya penuh perasaan.
“Hmm...pengagummu eh? Orang yang telah mengirimmu ke London bukan?”
Orang yang sama yang sekarang berdiri di depanku, batin Maya.
“Pak Masumi dari mana?” tanya Maya, melihat Masumi tidak memegang apapun.
“Aku datang karena aku mendngar dari Nona Aoki bahwa kamu datang hari ini, dan teman-temanmu tidak bisa menjemput. Siapa tahu kamu mau kuantar, Maya.”
Kau selalu baik padaku, Pak Masumi, dan kaupun selalu menyembunyikan kebaikanmu di depanku.
“Saya merasa sangat tersanjung, Pak, Direktur Daito, orang penting yang tidak punya banyak waktu, bersedia menjemput saya. Rupanya Anda masih saja menjaga artis-artis Anda bagai telur emas yang akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan.”
Masumi tertawa, “Kamu sama sekali tidak berubah, Mungil, masih saja suka menyindir.”
“Lho, tapi benar kan, Pak?”
“Oke, oke! Baiklah Nona, kalau tidak keberatan, mobil sudah menunggumu.”
Berdua mereka melangkah menuju mobil yang telah menunggu. Sebuah BMW 320dcoupe warna hitam.
“Pak Masumi tidak membawa sopir?” tanya Maya.
Masumi hanya tertawa, memasukkan koper Maya dalam bagasi, membuka pintu buat Maya dan mendorong gadis itu untuk duduk, sebelum akhirnya berjalan memutar menuju kursi kemudi. Semua dia lakukan dengan gerakan luwes dan anggun namun cekatan. Maya menatapnya terpana. Wajar bila Pak Masumi menjadi pujaan banyak gadis, dia begitu menawan, batin Maya. Apa yang kamu pikir Maya, berani-beraninya mencintai lelaki segagah Masumi Hayami? Maya tenggelam dalam rasa tidak percaya diri.
“Kenapa diam, Maya, tidak senang berada bersamaku?” tanya Masumi saat mobil mulai meluncur.
“Tidak, Pak, saya hanya lelah,” jawab Maya berdusta.
“Wajar, kamu telah mengalami perjalanan jauh. Apa kamu sempat tidur di pesawat tadi?” tanya Masumi.
“Tidak sempat, terlalu nerveous karena akan pulang ke Jepang.”
“Perjalanan masih lumayan jauh, Maya, tidurlah kalau mau, nanti kalau sudah sampai di apartemenmu aku bangunkan.”
Maya hanya mendesah karena tiba-tiba menyadari betapa lelah dirinya. Dicobanya bersandar dan memejamkan mata, ketika tiba-tiba sebuah pikiran menyelinap merasuki otaknya. “Pak Masumi, bagaimana dengan Nyonya Hayami Muda? Beliau tidak marah Pak Masumi menjemput saya?”
Masumi menoleh sejenak ke arah Maya, kemudian memusatkan kembali pandangannya ke jalan raya, membiarkan Maya menatapnya dengan bingung. “Nyonya Hayami Muda yang kamu maksud itu sekarang telah menjadi Nyonya Takano, dan telah pindah ke Amerika,” Masumi berkata dengan santai.
“Apa itu artinya Anda dan Nona Takamiya bercerai?”
“Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, Maya, pernikahan kami lebih bisa disebut pernikahan antar perusahaan. Keluarga Takamiya dan Keluarga Hayami, Takamiya Corp. dan Daito Ent., apalagi yang lebih buruk dari itu?” Masumi tersenyum getir, “Setelah satu tahun menikah akhirnya Shiori menyerah bersuamikan budak perusahaan yang setiap hari harus bekerja keras agar perusahaan tetap berjalan. Dia yang mengajukan permohonan pembatalan pernikahan kami. Dan beginilah akhirnya, aku kembali di tempat semula, sama seperti tiga tahun lalu, lelaki yang kau kenal tiga tahun lalu, Maya.”
“Pak Masumi, saya turut menyesal...”
“Tak ada yang perlu disesalkan, Maya, pernikahan itu toh sudah berakhir jauh sebelum dimulai.”
Pembicaraan mereka terhenti ketika HP Masumi berbunyi.
“Ya, Mizuki, aku sedang dalam perjalanan dari Narita ke Tokyo,” sahutnya cepat. Masumi mendengarkan beberapa saat. “Oke, kalau begitu pindahkan tempat pertemuan untuk besok. Ya, Yokohama, sewa tempat meeting yang cukup besar. Ya, sempurna. Oke, sebarkan pemberitahuan kepada semua kepala cabang dan divisi, serta perwakilan dari semua perfektur. Ya, agendaku tetap sama, kecuali ada perubahan mendadak. Oke, saat ini juga aku akan langsung ke Yokohama. Pesankan hotel untukku. Oke.” Masumi menutup teleponnya.
“Pak Masumi, maaf bila saya telah mengganggu di hari sibuk Anda,” Maya merasa segan.
“Tidak apa-apa, Mungil, lagipula bertemu kembali denganmu membuatku merasa segar kembali. Aku rindu dengan mulut pedasmu, akhir-akhir ini terlalu banyak orang yang menurut saja pada kemauanku, membuatku bosan setengah mati,” Masumi tertawa.
“Baguslah kalau kekonyolanku membuat Anda tertawa!” Maya cemberut sebal, membuat Masumi gemas ingin menyentuh pipinya.
“Apakah kau tidak rindu dengan Yokohama, Maya? Bukankah itu tempat kamu dibesarkan?”
“Rindu sekali, Pak Masumi. Aku ingin ke Yokohama juga, untuk mengunjungi makam ibu. Juga untuk mengenang kembali masa lalu.”
“Kenapa tidak sekarang saja? Toh aku juga akan kesana? Kau tidak usah kembali ke apartemenmu, kasihan teman-temanmu, karena begitu wartawan mendengar tentang kedatanganmu, mereka akan langsung mendatangi apartemenmu dan membuat semua penghuninya gila.”
Maya berpikir sebentar. “Baiklah, Pak Masumi, kalau itu tidak merepotkan Anda.”
Masumi tertawa, tetapi meraih HP di sakunya dan dengan cepat mengetik sesuatu. “Aku meminta Mizuki memesan kamar hotel untukmu, Maya,” katanya setelah selesai mengirim sms.
“Terimakasih, Pak Masumi.”
“Sama-sama, Mungil, anggap ini sebagai imbalan kamu mau menemaniku ke Yokohama melewati jalan tol yang membosankan. Enak juga sekali-kali ditemani.”
Maya menguap lebar, kantuk yang menyerangnya sudah tak dapat ditahan lagi.
Masumi tertawa “Tidurlah, Mungil.”
***
Maya merasa tertidur cukup lama ketika akhirnya terbangun. Terkejut mendapati dirinya bersandar di lengan Masumi yang sedang menyetir, “Maaf, Pak, saya tak sengaja.” Buru-buru dia bangkit dan menjauh.
Lagi-lagi Masumi tertawa. Dia tak sadar entah sudah berapa kali dia tertawa. “Tidak apa-apa, Mungil. Kita sudah dekat. Setengah jam lagi kita akan tiba di tempat tujuan.”
“Hah?” Maya terkejut. “Berapa lama saya tertidur, Pak?”
“Tenang, paling juga cuma dua jam.”
Maya merasa wajahnya memanas. “Saya memang teman perjalanan yang buruk.”
Masumi terbahak. “Syukurlah kalau kamu menyadarinya.” Dia tidak akan mimpi untuk mengakui didepan gadis itu bahwa aroma rambut Maya yang bersandar di lengannya membuatnya hampir gila.
Tak berapa lama meraka memasuki sebuah kompleks gedung megah.
“Di hotel ini?” Maya menggeleng tak percaya.
“Kita menginap disini, Maya.”
“Kita? Saya juga?”
“Tentu saja, lebih praktis bila kita menginap dalam satu hotel, jadi Mizuki tidak susah-susah untuk reservasinya.”
Maya hanya mengangguk.
Maya menunggu ketika Masumi memberikan kunci mobilnya kepada portir yang akan mengurusi tas dan masalah parkir. Masumi menggandeng lengan Maya menuju meja resepsionis. Setelah menunjukkan identitasnya, Resepsionis melayani dengan cekatan memberikan dua kunci kamar dan menunjuk seorang concierge yang akan melayani Masumi dan Maya. Pelayanan semacam itu tentunya hanya diberikan kepada tamu-tamu kelas atas, batin Maya.
“Kamar saya dimana, Pak Masumi?” tanya Maya ragu-ragu.
Masumi menunjukkan kedua kartu kamar itu pada Maya, “Mungil, kamar kita akan bersebelahan. Agaknya Mizuki hanya memikirkan kepraktisannya saja ketika memesan kamar,” sahut Masumi santai. Seandainya Maya mengecek outbox ponsel Masumi, gadis itu pasti terkejut oleh perintah Masumi yang sangat detail pada Mizuki.
Mereka melangkah berdampingan menuju lift. Masumi menggandeng lengan Maya dengan lembut, dan baru melepasnya saat sudah berada di dalam lift.
“Kamu sudah makan siang, Mungil?” tanyanya setelah menekan angka 65.
“Belum, Pak, sepertinya jadwal makan saya kacau karena perbedaan waktu Tokyo dan London.”
“Baguslah kalau begitu, berarti setelah ini kita bisa langsung makan. Aku juga lapar."
“Tapi saya ingin menyegarkan diri sejenak, Pak.”
“Bisa diatur. Mana ponselmu?”
Maya masih agak linglung ketika menyerahkan ponselnya kepada Masumi. Apalagi ketika Masumi mengetikkan sesuatu di sana. “Nah, ponselmu sudah aku isi dengan nomor dan alamat emailku. Kabari aku kapanpun kau siap,” ujarnya enteng.
Tepat saat itu pintu lift terbuka. Lagi-lagi Masumi membimbing Maya menyusuri lorong. Lelaki itu sepertinya sangat mengenal hotel mewah ini.
“Pak Masumi nampak familier sekali dengan hotel ini.”
Masumi tertawa, “Resiko pekerjaan, Maya. Aku sering terpaksa harus menginap disini bila ada urusan ke Yokohama.”
Akhirnya mereka sampai di depan pintu kamar yang nomornya sesuai dengan nomor yang tercantum pada kartu. “Nah, Mungil, aku rasa ini kamarmu. Masuklah, concierge telah mengurusi semua bagasimu. Ambil waktu yang kau butuhkan, lalu hubungi aku setelah kau siap untuk makan siang,” dengan luwes Masumi memasukkan kartu, membuka pintu dan menarik Maya memasuki kamar.
Maya terpana melihat kemewahan kamar ini. Memang ukurannya tidak terlalu luas, tetapi ditata dengan mewah namun tetap elegan. “Indah sekali kamarnya, Pak Masumi!” serunya kagum.
“Syukurlah kalau kau menyukainya, Maya.”
Maya berbalik menatap Masumi. Terpana melihat tatapan mata lelaki itu ke arahnya. Tatapan mata yang sama saat di Astoria, kenangan tak terlupakan lebih dari tiga tahun lalu.
“Pak Masumi...”
“Eh..., eh... maaf Maya, aku harus segera ke kamarku,” kata Masumi gugup. Lalu buru-buru dia berbalik.
***
Masumi memasuki kamarnya dengan gusar. Apa yang telah merasuki kepalanya? Dia heran dengan cara berpikir otaknya. Benarkah dia seorang direktur muda yang terkenal dingin dan gila kerja? Ha! Dia tertawa getir. Sepertinya orang-orang akan merevisi pandangan mereka tentang dirinya bila mereka bisa mendengar apa yang berkecamuk di kepalanya.
Masumi sadar bahwa perasaannya pada Maya tidak akan mati. Parasaan itu seperti bahaya laten dalam jiwanya, tidak akan pernah bisa padam meski sekeras apapun dia berusaha. Namun dia sama sekali tak menyangka kalau perasaannya telah berkembang sedemikian jauh. Saat disadarinya dirinya hanya berdua dengan Maya di kamar hotel, aneka pikiran aneh memenuhi otaknya, imajinasinya berkembang pesat membayangkan dirinya memeluk Maya dan berbaring di atas tempat tidur. Ya ampun, Masumi! Maya kan masih anak-anak? Salah! Gadis itu sudah menjelma menjadi seorang wanita. Usianya sudah 23 tahun. Gadis-gadis lain seumurannya rata-rata sudah punya kekasih dan sudah pula berpengalaman dengan laki-laki. Tetapi apakah Maya-nya termasuk jenis gadis kebanyakan? Tidak! Masumi membantah tak rela. Laporan detail Hijiri tak pernah menyebutkan Maya dekat dengan lelaki manapun saat di London. Memang pernah sekali Sakurakoji mengunjungi Maya, tetapi laporan tersebut menyebutkan Maya dan Sakurakoji hanya mengunjungi restoran, jalan-jalan di mall atau taman, tanpa pernah sekalipun ada indikasi Sakurakoji menginap di apartemen Maya.
Tapi Maya memang benar-benar menjelma menjadi wanita. Tatapan matanya, meski lebih dewasa, namun tetap menunjukkan kepolosan asli. Namun tubuhnya semakin indah. Masumi harus memusatkan konsentrasi penuh ke jalanan saat Maya tertidur di lengannya, kalau tidak matanya tak akan bisa lepas memandangi tubuh sintal itu yang terbungkus sweater ketat yang menonjolkan lekuk pinggangnya yang langsing serta tonjolan indah di dadanya. Belum lagi leher mulus Maya yang terpampang saat rambutnya tersibak, membuatnya gila ingin mengecupnya. Saat berdiri di belakang Maya, Masumi juga tak henti-hentinya mengagumi kaki Maya yang langsing dan berisi, terbalut jeans ketat itu. Semua pada diri Maya membuatnya terpesona. Ya Tuhan, setelah tiga tahun, perasaan ini kenapa jusru sangat menggelora menjadi bentuk perasaan cinta orang dewasa tanpa dia sadari?
Dulu perasaannya pada Maya adalah perasaan cinta yang tulus dan lembut, mengaliri pembuluh darahnya, membuatnya ingin selalu melindungi gadis itu. Perasaan yang tumbuh akibat kekagumannya pada energi dan semangat yang terpancar dari gadis mungil sederhana namun luar biasa itu. Rasa cinta macam itu rela membuatnya berpisah dengan gadis itu demi kebaikannya. Tapi sekarang rasa cinta itu telah berubah menjadi posesif, ingin memeiliki Maya dalam dekapannya, dan Masumi tak yakin bahwa dia akan rela berbagi pesona Maya dengan orang lain. Laki-laki lain pasti akan menatap Maya dengan hasrat yang sama dengan yang dia miliki, pikiran semacam itu pasti akan sangat menyiksanya. Ya Tuhan, Mungil, sampai kapan perasaanku kau buat naik turun bak roller coaster seperti ini? Masumi segera memasuki kamar mandi. Saat ini yang dia perlukan adalah mandi dengan air dingin, sedingin yang bisa ditahannya demi mengembalikan akal sehatnya.
Saat Masumi keluar dari kamar mandi, dia melihat lampu handphonenya berkedip tanda ada pesan masuk. Dari Maya, batinnya dan cepat-cepat membuka pesannya.
Pak Masumi, saya akan siap jam 11.30. Saya menunggu Anda. (^_-) Maya
Masumi membaca pesan itu berulang-ulang. Tak percaya bila akhirnya Maya mengirim pesan kepadanya. Nomor handphone Maya memang telah lama disimpannya, tapi tak pernah sekalipun dia menghubuni gadis tersebut secara pribadi. Mizuki yang selalu melakukannya bila berhubungan dengan pekerjaan, sedangkan Hijiri wakilnya saat dia harus berperan sebagai Mawar Jingga-Si Pengagum Misterius. Pernah terlintas rasa cemburu dibenaknya terhadap Hijiri, karena lelaki itu lebih dekat ke Maya daripada Maya kepada dirinya. Tapi ditepisnya jauh-jauh perasaan tak berguna itu. Dia, Masumi Hayami, pantang menyia-nyiakan waktunya demi hal-hal yang sama sekali tak penting. Meski kadang, bila berhubungan dengan Maya, akal sehatnya terbang entah ke mana, pikir Masumi masam.
Masumi segera mengganti pakaiannya. Untuk sekali ini dia tak mau terkungkung dalam setelannya yang mahal dan kaku. Dia ingin tampak cool dan oke di depan Maya. Maya sendiri sudah banyak berubah dalam cara berpakaian. Agaknya tiga tahun di Eropa telah mengasah sense of fashion gadis itu. Simple tapi elegan, itulah gaya Maya saat ini. Sisi bisnis dalam otak Masumi segera bekerja untuk menjual style gadis itu agar menjadi trendsetter di kalangan generasi muda Jepang. Agaknya Daito hanya perlu merangkul sebuah branded ternama asal Eropa dan menjadikan Maya sebagai icon promosinya.
Tak diragukan lagi, Maya akan semakin terbang tinggi. Karirnya sebagai artis akan semakin menjulang. Kepulangannya ke tanah air telah dinantikan banyak orang. Saat ini saja dua produksi film dan satu serial televisi berdurasi 12 episode telah menantinya. Kontrak telah ditandatangani Daito dengan produser dari film dan televisi yang menayangkan serial itu pada musim dingin mendatang. Belum lagi tawaran dari beberapa perusahaan yang ingin menjadikan Maya sebagai bintang iklan. Manajer Maya sekaligus teman dekatnya, Rei Aoki, telah memastikan pihak Daito bahwa Maya telah mengetahui semua tentang pekerjaan yang menunggunya dan akan mulai seminggu setelah kedatangannya kembali di Jepang.
Saat di London, selain belajar akting, gadis itu juga belajar manajemen untuk menunjang karir artisnya, termasuk memanfaatkan peluang dan menyikapi sebuah kontrak kerja. Masumi sendiri yang mengatur semua materi yang akan dipelajari oleh Maya. Masumi ingin Maya menjadi artis berkelas yang mandiri, hal-hal yang belum didapatnya dari Bu Mayuko. Mengingat betapa lugunya Maya, sehingga pernah jatuh begitu dalam, membuat Masumi was-was dengan perkembangan karir Maya berikutnya. Tawaran tiga tahun belajar di London bukanlah tanpa maksud apa-apa, meski Masumi bersembunyi di belakan nama Mawar Jingga. Gadis polos itu tak pernah berburuk sangka terhadap orang, menganggap semua orang baik seperti halnya dirinya sendiri. Tak pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa untuk bertahan di dunia keartisan yang kejam perlu kecerdasan tersendiri. Modal semangat dan kemauan mungkin cukup untuk beberapa saat, tapi tidak akan cukup untuk bertahan di dunia yang keras dan penuh persaingan itu.
Bu Mayuko adalah gambaran nyata dari korban persaingan, tipu daya dan kelicikan di dunia panggung. Untung saja pada akhirnya Dewan Kesenian mengulurkan tangan, menolong Bu Mayuko untuk bertahan hingga Bidadari Merah penggantinya –yaitu Maya- lahir. Di balik Dewan Kesenian, tanpa orang tahu kecuali Ketua Dewan itu sendiri, Masumi lah yang banyak mengatur strategi dan mengamankan Hak Pementasan Bidadari Merah hingga jatuh dengan selamat di tangan Maya.
***
Tepat pukul 11.30 Masumi yang telah rapi melangkah keluar dari kamarnya. Bersamaan dengan Maya yang juga keluar dari kamar yang pintunya saling bersebelahan itu.
“Selamat Siang, Mungil, sudah segar kembali?” sapa Masumi lembut. Matanya menatap Maya dengan seksama. Gadis itu, seperti diduganya, tampil simple namun elegan. Jeansnya berwarna hitam ketat membungkus tungkai indahnya. Sweaternya berbahan cashmere dengan corak trendy yang lembut menonjolkan bentuk badannya yang langsing berisi. Di lengannya, Maya menyampirkan mantel berwarna ungu muda berbahan lembut, serta sepasang kaca mata hitam. Sepatu bootnya juga terlihat sangat trendy.
“Pak Masumi, Anda tampan sekali,” komentar Maya tanpa bisa dicegah. Wajah gadis itu memerah tiba-tiba, “Maaf, Pak, saya ...”
Masumi langsung tertawa terbahak. Bersama Maya memang tidak pernah membosankan, selalu menyenangkan. Reaksi spontannya tak pernah berubah. “Heran ya dengan dandananku?” Masumi mengedipkan mata jahil.
“Habisnya saya tak pernah lihat Pak Masumi selain dalam setelan dan sepatu resmi,” sungut Maya.
“Tapi aku tersinggung, Mungil, karena baru sekarang kamu menyadari kalau aku ini tampan,” Masumi semakin ingin menjahilinya.
“Lho, dari dulu kan Pak Masumi memang tampan? Tidak perlu saya yang mengatakan, Pak, orang buta juga tahu kalau Anda tampan,” sungut Maya. “Hanya kalau dalam setelan dan sepatu resmi, Anda kesannya serem.”
“Serem? Kamu takut, Mungil?”
“Takut sama Pak Masumi? Rugi amat!” Maya mencibir.
Masumi tertawa, dengan gemas dicoleknya pipi Maya. “Kamu ini ternyata tak berubah sama sekali. Padahal kuharap kamu akan menjadi Maya yang lain setelah belajar jauh-jauh ke London.”
“Sebetulnya saya sudah banyak berubah, Pak, Cuma di depan Pak Masumi saja otomatis diri saya yang dulu muncul lagi. Sepertinya Anda membawa pengaruh yang buruk buat saya.”
Masumi tergelak kembali. “Oke deh, musuh kamu aku menyerah saja, lebih selamat. Nah, omong-omong, Mungil, bagaimana penampilanku hari ini? Kira-kira layak tidak aku mendampingi Bidadari Bandel untuk kencan makan siang?” tanyanya iseng.
Wajah Maya kembali memerah. “Kan, sudah saya bilang kalau anda tampan sekali. Apalagi pakaian tidak formal begini, harusnya Anda tidak usah jadi direktur, jadi model Armani juga Anda layak.”
“Wah...wah...wah, ternyata pengetahuan fashion mu berkembang pesat Maya, sampai kau bisa mengenali merek bajuku,” Masumi berdecak kagum. Memang tak salah lagi dia sedang mengenakan salah satu dari set pakian koleksi musim gugur Armani. Hanya saja dia mengenakan sepatu Docmart. Karena semua sepatu kerjanya rata-rata handmade dari branded terkenal Italia, untuk kali ini dia ingin tampil lebih muda, demi Maya.
“Sudahlah, Pak Masumi, Anda terus-terusan menertawakanku, membuat perutku tambah lapar,” sungut Maya kesal.
Masumi hendak tertawa lagi, tetapi melihat wajah cemberut Maya, cepat-cepat ditutupnya mulutnya, dan segera menggamit lengan Maya menuju lift.
“Kira-kira kita mau makan dimana, Maya? Di restoran hotel, atau kita keluar saja? Apakah seleramu akan makanan juga meningkat seiring dengan selera fashionmu?”
“Sebetulnya yang paling saya rindukan adalah makan mie di restoran yang ada di daerah Pecinan tempat tinggal saya dulu, Pak Masumi. Tetapi melihat penampilan Anda yang mahal pasti akan tampak aneh. Lagipula mobil Anda yang mahal itu, kalau sampai tergores di gang yang ramai dan sempit, wah, dengan apa saya harus menggantinya? Bisa-bisa saya harus bekerja sepanjang tahun hanya untuk membayar hutang,” cibir Maya.
“Kamu ini, Mungil, masih saja usil,” Masumi gemas memencet hidung Maya.
“Pak Masumi, saya ingatkan sekali lagi ya, kalau saya ini bukan lagi anak kecil! Jadi jangan seenaknya saja memencet hidung orang!” Maya kesal sekali.
Masumi tertawa melihat kekesalan Maya. Baru beberapa jam dia bersama Maya, hidupnya sudah kembali berwarna. Bila menengok selama tiga tahun ke belakang, ke hidupnya yang suram, Masumi ingin hari ini tidak berakhir.
“Kita langsung ke tempat parkir saja ya, Mungil, nanti sambil jalan kita tentukan akan makan dimana. Sepertinya dengan begitu akan lebih asyik.”
“Memang Pak Masumi tidak harus bekerja hari ini?”
“Sebulan terakhir ini aku sama sekali tak pernah libur. Di hari Minggu sekalipun. Jadi wajar kan kalau hari ini aku ambil libur sehari? Mumpung ada kamu Maya, yang menemani.”
“Pak Masumi senang aku temani?” tanya Maya heran.
“Tentu saja, Mungil, karena aku dapat hiburan gratis dari artis papan atas Jepang, hahaha... “
“Pak Masumi!” Maya berteriak kesal sambil memukul lengan Masumi.
Dengan cepat Masumi menangkap tangan Maya, lalu menggenggamnya erat. “Begini tidak apa-apa kan, Maya?”
Maya mengangguk dengan wajah merona. Tangan Masumi terasa hangat sekali meski tidak memakai sarung tangan.
Suasana terasa canggung. Masing-masing tidak ada yang meneruskan pembicaraan hingga lift berhenti di lapangan parkir khusus tamu hotel. Masumi membimbing Maya menuju mobilnya. Saat keduanya sudah berada dalam mobil dan kendaraan tersebut melaju mulus keluar arean hotel, segera keduanya segera mengenakan kaca mata hitam. Angin musim gugur yang bertiup membawa daun-daun yang sudah menguning tampak indah sekali.
“Pak Masumi, bagaimana kalau kita ke restoran Italia? Tidak usah ke restoran besar, cukup restoran kecil yang tenang saja,” kata Maya malu-malu.
“Hm... boleh juga. Di udara sedingin ini tentunya makan sup Napolitan dan risotto akan terasa lezat,” Masumi menyetujui.
“Saya ingin chicken parmesan dengan salad aragula dan saus bit yang manis, Pak.”
“Wow! Aku tidak salah kalau menduga selera makanmu pun mengalami peningkatan, Mungil.”
“Tentu saja, karena tinggal di Eropa mau tak mau saya harus beradaptasi dengan makanan Eropa. Makanan Jepang mahal sekali. Jadi hanya sekali-kali saja saya pergi ke restoran Jepang. Pilihannya tinggal makanan yang dijual di kedai pinggir jalan atau masak sendiri.”
“Apakah kamu masak sendiri selama di London, Mungil?”
“Mau tidak mau. Meski masakan saya seringkali terasa aneh dan hangus, hehehe...” Maya nyengir.
“Kamu ini tetap saja tak berubah, Mungil.”
“Bagi saya Pak Masumi, rasa itu nomor dua, yang penting masuk ke perut dulu.”
Masumi terbahak, “Sebuah prinsip hidup yang luar biasa!”
“Habis, daripada saya sakit. Sakit di negeri orang sangat tidak enak. Apalagi jauh dari siapa-siapa.”
“Apakah selama di London kamu kesepian, Mungil?”
“Sangat. Sangat kesepian. Di negara yang teramat asing, orang-orangnya berbicara dengan bahasa yang asing, lingkungan yang asing, bahkan rasa makanannya pun asing. Waktu Rei pulang setelah mengantar saya, dua hari saya hanya bisa menangis ketakutan. Tapi akhirnya saya sadar bahwa jauh-jauh saya ke London untuk belajar, bukan untuk menjadi cengeng. Saya tidak ingin mengecewakan penggemar saya, Pak Masumi, yang telah begitu baik hati memikirkan kemajuan karir saya. Maka saya harus berusaha keras agar memenuhi harapannya. Demi Si Mawar Jingga”
“Aku yakin Mawar Jingga akan bahagia mendengarnya, Mungil?”
“Betulkah, Pak?”
“Pasti. Aku yakin 100%.”
Pembicaraan berakhir ketika Masumi membelokkan mobilnya ke sebuah kawasan sentra bisnis bergaya Eropa. Karena Yokohama adalah kota pelabuhan tempat pertama kali para pendatang dari Eropa dan Amerika singgah dan menetap, maka cita rasa Eropa sangat mudah ditemukan di kota ini. Warisan gedung-gedung bergaya Eropa masih banyak dijumpai di kota yang merupakan salah satu kota besar yang sibuk di Jepang.
Sebelum turun dari mobil, keduanya memasang sarung tangan karena cuaca yang terasa dingin menggigit. Trotoar di pertokoan itu begitu ramai dipenuhi pejalan kaki yang sepertinya juga berburu makan siang. Masumi mengaitkan lengan Maya di relung lengannya. Maya menuruti tanpa protes, meski jantungnya berdebar sangat keras. Pak Masumi tak pernah berubah sedikitpun, selalu saja baik hati dan menyembunyikan kebaikannya itu dibalik kata-kata pedas yang dia lontarkan. Tetapi Maya sering mendapati lelaki itu, saat mereka hanya berdua, menunjukkan sisi lain kepribadiannya. Di balik gayanya yang dingin, Masumi adalah seorang lelaki hangat dan penyayang. Maya merasakan kasih sayangnya hingga jauh ke relung hatinya. Seumur hidup Maya akan berbuat apapun demi membuat lelaki pujaan hatinya itu bahagia.
Mereka berhenti di sebuah restoran kecil namun sangat elegan. Seorang pramusaji berwajah ramah kebapakan menyambut keduanya dan mengarahkan mereka ke tempat duduk yang ada di dekat jendela. Suasana restoran tersebut hangat meski tidak ramai. Hanya separuh meja yang terisi. Alunan musik Italia mengalun lembut mengiringi denting sendok garpu yang beradu dengan piring.
Setelah yakin kedua tamunya telah duduk dengan nyaman, pramusaji menawarkan berbagai pilihan anggur. Masumi memilih chamapagne paling tua dari persediaan yang ada, namun Maya membatasi pilihannya pada white wine saja. Sistem metabolisme tubuhnya belum bisa mentolerir anggur kelas tinggi.
“Apakah selama di Eropa kau juga belajar tentang anggur, Mungil?” tanya Masumi setelah menyesap gelasnya.
“Sedikit. Saya punya teman, Pierre, berasal dari Perancis. Keluarganya adalah petani anggur di daerah Bourdeux. Pernah saat liburan dia mengundang saya ke tanah airnya.”
Mendengar Maya menyebut nama laki-laki lain, Masumi tercekat. “Pierre? Prancis? Pasti sangat tampan. Orang Prancis terkenal dengan ketampanan klasik mereka. Apalagi dengan bahasa mereka yang bisa digunakan untuk merayu semua wanita di seluruh dunia. Jangan katakan kamu mempan rayuan lelaki Prancis, Maya.”
Maya tertawa. “Tentu saja saya mempan rayuan Pierre, soalnya dia itu gay,” jawab Maya sambil tergelak, membayangkan Piere yang tampan dengan kulit sewarna buah zaitun dan rambut pirang keemasannya. Pierre tinggal bersama kekasihnya, Josh, seorang pelukis asal Jerman.
Masumi menghela nafas dengan lega. Sisi posesif dirinya tak mengijinkan Maya mengenal lelaki lain selain dirinya. Masih tergambar jelas di pikirannya bagaimana dia dulu cemburu setengah mati pada Sakurakoji, lawan main Maya. Bahkan saat inipun rasa was-was itu masih kuat. Karena hubungan Maya dan Koji dimulai sejak pertama kali dia mengenal Maya Kitajima, saat gadis itu berusia 13 tahun, sepuluh tahun yang lalu. Seandainya saja Masumi tahu bahwa lelaki yang ada dalam hati Maya, yang selalu menghiasi mimpi-mimpi gadis itu adalah dirinya, pastilah dia akan tidur dengan nyenyak dan bahagia.
“Ceritakan padaku hasil kunjunganmu ke Prancis, Mungil.”
“Wah, pengalaman perjalan ke Prancis paling seru. Saya pikir bahasa Inggris sudah begitu sulitnya, apalagi bagi kita orang Jepang yang memiliki artikulasi pengucapan dan susunan kalimat yang sama sekali berbeda. Ternyata bahasa Prancis lebih susah lagi. Saat pertama belajar kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari, Pierre sampai harus menjepit hidung saya dengan jepitan jemuran agar saya bisa memproduksi suara seperti yang diinginkan.”
Masumi terbahak-bahak mendengar cerita Maya.
“Daerah perkebunan anggur di Prancis sangat indah. Masing-masing daerah menghasilkan jenis anggur yang berbeda dengan daerah lain. Nama daerah itulah yang dijadikan nama anggur hasil peragian. Ada Bourdeux, Champagne, dan banyak lagi. Saat itu musim panas yang bertepatan dengan musim panen. Keluarga Pierre mengadakan pesta panen dan dilanjutkan dengan pesta pemerasan anggur. Ada banyak aturan yang harus diikuti untuk menghasilkan jenis anggur tertentu. Misalnya anggur kelas grande, hanya didapat dari beberapa ton anggur yang pada perasan pertama dibatasi hanya boleh menghasilkan sekian liter saja. Sangat menarik.”
“Apakah kamu ingin kembali kesana, Maya?” tanya Masumi, yang terkesima melihat kilau di mata Maya saat menceritakan pengalamannya.
“Saya ingin kembali ke Prancis dengan orang yang sangat berarti bagi saya, dengan Mawar Jingga. Saya sangat ingin membagi kebahagiaan saya dengannya.”
“Benarkah, Maya?”
Maya mengangguk sungguh-sungguh. “Saya tahu hingga saat ini Mawar Jingga belum mau menunjukkan identitasnya pada saya. Tapi saya yakin saya akan membuatnya mengakui siapa dirinya. Saat itu tiba, pastilah saya akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Anda tahu kan Pak Masumi bahwa saya jatuh cinta pada Mawar Jingga? Hingga saat ini lelaki itulah yang selalu ada dalam hati saya. Bukan Satomi, bukan pula Sakurakoji, tetapi Mawar Jingga.”
Masumi terpana mendengar pengakuan Maya. Tak pernah diduganya kalau gadis itu mempercayakan perasaannya yang terdalam pada orang yang tidak dikenalnya. “Apakah kamu akan sanggup menerima kenyataan bila ternyata Mawar Jingga adalah orang jahat, Mungil.”
“Mawar Jingga pasti orang yang sangat baik, Pak Masumi, meski dia menyembunyikan kebaikannya. Saya yakin itu. Kalaupun dia adalah orang jahat, itu pasti hanya tampak luarnya, didalam jiwanya pasti tertanam kebaikan tiada tara. Kalau tidak, saya tidak akan mencintainya sedalam ini, Pak Masumi. Saat saya sedang jatuh, saat saya sedang sendiri, saat saya dalam kondisi sangat mendererita, Mawar Jinggalah yang membuat saya mampu bertahan melawan rasa sakit, rasa putus asa, dan rasa kesepian yang teramat sangat. Saya berjanji, siapapun dia, apapun kondisinya, saya akan menerimanya sepenuh hati. Dengan kedua tangan ini, Pak Masumi, saya akan memeluknya dan membuatnya bahagia.”
Masumi semakin terkesima. Dia merasa menjadi salah satu penonton yang disihir oleh kekuatan magis akting Maya Kitajima. Tapi sayangnya saat ini Maya sedang berbicara sungguh-sungguh, tidak sedang berakting. Maya...rintih hati Masumi pilu, andai saja kau tahu.
Pesanan mereka akhirnya datang. Masih terbawa suasana sebelumnya mereka makan dalam diam.
“Bagaimana rasanyakan, Mungil, untuk ukuran lidahmu yang terbiasa makanan Eropa?” tanya Masumi memecah suasana.
“Enak, Pak Masumi, tetapi seperti biasa lidah saya tak bisa dipercaya. Apalagi kalau sedang lapar, lumpur pun bisa terasa seenak keju,” Maya tertawa.
“Seperti Toki?” Masumi mengingatkan Maya atas peristiwa bertahun-tahun lalu, saat Maya berperan menjadi Toki dan memakan kue dari lumpur di atas panggung.
“Iya, seperti Toki,” cengiran Maya semakin lebar. Saat itu Masumi juga mendampingi Maya di kamar mandi untuk memastikan Maya telah mengeluarkan semua lumpur dari dalam perutnya.
“Kalau itu sih keterlaluan, Mungil,” keluh Masumi. “Tak terasa ya, sudah begitu lama berlalu. Kita sudah saling mengenal sekian lama.”
Suasana pun kembali riang. Mereka asyik berbincang hingga makanan penutup tiba, soufle yang ringan dan lezat dan meleleh di mulut. Selesai makan mereka melangkah keluar. Masumi, seperti sudah terpogram secara otomatis, langsung menggandeng lengan Maya. Dari jauh mereka menggambarkan sepasang kekasih yang serasi. Yang laki-laki tinggi, elegan, penampilannya berkelas. Sementara yang perempuan mungil, centil, dengan dandanan elegan dan berkelas. Cocok sekali. Perbedaan usia yang jauh seolah membuat pasangan ini terlihat semakin mantap dan matang. Siapa yang sangka bahwa di antara keduanya sama sekali tidak saling mengetahui isi hati masing-masing. Sesekali Masumi akan meledek Maya, membuat gadis itu merajuk dan cemberut, namun tak jarang Maya melontarkan sindiran pedas yang disambut tatapan gemas Masumi yang tak sanggup menahan tangannya untuk tidak mengacak-acak rambut Maya, yang dibalas gadis itu dengan leletan lidahnya. Sungguh pasangan yang luar biasa.
“Setelah ini kamu mau kemana, Mungil? Jalan-jalan, atau kembali ke hotel? Aku sangat mengerti bila kau memilih untuk kembali ke kamar hotel. Kamu pasti lelah sekali.”
Maya menggibit bibirnya, sedih. Apa Pak Masumi keberatan aku temani? “Pak Masumi ingin kembali ke hotel? Soalnya saya belum ingin kembali, Pak.”
Masumi mengamati perubahan nada suara Maya. Kenapa gadis ini merasa sedih? Apakah aku salah bicara? “Apakah ada tempat yang ingin kamu kunjungi, Maya?”
“Saya ingin ke makam ibu saya, Pak Masumi.”
Masumi yang terkejut otomatis menghentikan langkahnya. “Maya...”
“Maaf, Pak Masumi, saya tidak bermaksud menyinggung perasaan Anda, tetapi saya memang berniat mengunjungi makam ibu.”
Wajah Masumi memucat. Perasaannya seperti diremas-remas. Sebuah kisah masa lalu yang selalu menghantuinya, yang membuat jurang pemisah antara dirinya dan Maya kembali menganga lebar. Seberapapun dia menyesali keputusannya, tak akan pernah bisa mengembalikan luka yang terparut begitu dalam. Hatinya sakit menyadari kesedihan gadis itu, karena dia tahu bahwa dialah penyebab gadis itu menjadi sebatang kara di dunia ini. Sekian lama berlalu luka itu tak pernah sembuh, masih memerah dan berdarah, dan teramat sakit bila disentuh.
“Pak Masumi...”
“Mungil, ijinkan aku mengantarmu ke makam ibumu, bila kau tidak keberatan orang sepertiku mendampingimu kesana,” kata Masumi, meski pahit, dia berusaha menegarkan diri.
“Saya akan sangat senang sekali, Pak Masumi. Tolong, janganlah begitu sedih. Saya akan sangat sedih bila Pak Masumi juga sedih. Semua itu sudah menjadi kenangan dan pelajaran buat kita. Memang masih menyakitkan, tapi bukan berarti kita akan terus berputar-putar di peristiwa itu kan? Toh, semua juga sudah terjadi dan tak mungkin kembali.”
“Aku tahu aku melakukan kesalahan, tapi aku tak sanggup untuk meminta maaf, Mungil, karena tak mungkin kesalahan semacam itu untuk dimaafkan,” kata Masumi sedih.
“Tetapi saya telah memaafkan Anda, Pak,” Maya berkata lirih. Saat itu mereka berada di trotoar pertokoan yang sibuk, berdiri berhadapan.
“Mungil...”
“Saya tak menyadari sejak kapan persisnya rasa dendam, amarah, dan sakit hati itu menghilang. Saya tak menyangka bahwa perasaan sekuat itu akan hilang. Tapi itulah kenyataannya, Pak Masumi. Saya bisa menerima semua yang terjadi pada saya, saya menganggapnya takdir yang harus saya jalani, takdir yang telah membentuk saya menjadi seperti sekarang ini dan menjadi bagian dari kehidupan saya. Mungkin juga Ibu saya di surga yang akhirnya telah memaafkan kita berdua Pak Masumi, saya tidak tahu. Tapi yang saya yakin, Ibu pasti bahagia melihat saya menjadi seperti ini. Seorang anak yang bodoh, yang tak pernah bisa apa-apa, tak berguna dan tak pernah membuat bangga ibunya, sekarang telah berhasil. Saya yakin ibu saya pasti bangga pada saya, Pak Masumi.”
Masumi tak sanggup lagi menahan perasaannya yang meluap. Dipeluknya Maya dengan erat. “Terimakasih, Mungil.”
Maya memejamkan mata, berada dalam pelukan Masumi yang hangat, sungguh membuat rasa cintanya semakin membuncah. Maya tak ingin saat ini segera berlalu. Seandainya saja lelaki tahu betapa dalam cintanya pada lelaki yang kini memeluknya.
***
Sebuah suara menyadarkan mereka berdua. Ternyata mereka telah menjadi tontonan para pejalan kaki. Cepat-cepat Maya melepaskan diri dengan wajah merah padam. Masumi pun tampak salah tingkah.
“Waduh, pengantin baru ya? Masih siang nih, Bung!” celetuk seseorang.
Tanpa berkata apa-apa Masumi menggamit lengan Maya menuju tempat parkir. Masih dalam diam keduanya memasuki mobil. Masumi mengendarai mobilnya keluar dari daerah pertokoan dan menuju jalan raya. Wajahnya datar, tak terbaca sedikitpun emosi di pancaran matanya. Sementara Maya tertunduk malu dan segera mengenakan kaca matanya.
“Maafkan saya, Pak Masumi...” suaranya nyaris hanya sekedar bisikan.
“Tidak apa-apa, Maya, kita sama-sama terbawa perasaan,” sahut Masumi, berusaha tampak santai meski degup liar di jantungnya sama sekali tak bisa dibilang santai. “Aku yang memelukmu duluan tadi.”
“Dan saya membalas pelukan Anda, Pak Masumi. Pelukan Anda hangat sekali,” suara Maya masih lirih. Wajahnya tertunduk memandangi tangannya yang terbungkus sarung tangan kulit warna hitam.
Masumi tertawa mendengar komentar Maya, “Aku senang kalau kau anggap pelukanku hangat sekali,” Masumi masih terheran-heran dengan suasana yang terbangun antara mereka berdua. Maya hanya pergi tiga tahun, tetapi perubahan pada diri gadis itu sungguh luar biasa. Kedewasaannya, kearifannya, bahkan kata-katanya, begitu dalam dan sungguh-sungguh. Dulu tak pernah terbayangkan dia akan bisa bercakap-cakap secara serius untuk jangka waktu yang lama dengan gadis itu. Setiap pertemuan selalu diakhiri dengan pertengkaran. Kebencian gadis itu sungguh tak terhankan. Masumi sering kali harus menelan kepahitannya sendiri dalam hati dan melarikannya pada bergelas-gelas alkohol serta berbatang-batang rokok. Sementara saat ini, Masumi ingat bahwa dia belum merokok sama sekali sejak bertemu Maya. Bahkan alkohol pun hanya diminumnya saat makan siang tadi saja.
***
Areal pemakaman tempat abu jenazah ibu Maya berada terletak agak ke luar kota. Mereka melewati jalan-jalan ramai dalam diam. Tapi Masumi tak keberatan. Cukuplah keberadaan Maya disisinya untuk menentramkan hatinya. Maya pun sudah tak terlihat malu lagi, asyik memandangi jalan-jalan yang di masa lalunya dulu sering dilaluinya. Sebersit kenangan masa SMP, saat pertama kali dia bertemu Bu Mayuko atau saat pentas pertamanya di sekolah. Yokohama memang kota yang sangat berkesan baginya.
Masumi menghentikan mobil di depan area pekuburan, kemudian mengantar Maya menuju deretan toko-toko yang menjual aneka dupa dan bunga yang digunakan para peziarah. Lengan lelaki itu tak pernah lepas membimbing Maya. Maya menikmati saja perhatian lelaki itu, berpura-pura mereka sepasang kekasih. Seandainya saja ini nyata. Maya juga tak berkomentar ketika Masumi membimbingnya menaiki tangga menuju bukit tempat makam ibunya. Masumi tampak sangat mengenal daerah ini. Maya memaklumi dalam diam. Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah menunggu lelaki itu membuka identitasnya, mengakui bahwa dialah Mawar Jingga.
Sudah tiga tahun berlalu sejak Maya terakhir mendatangi makam ini. Namun makam ibunya terlihat sangat bersih dan terawat seakan telah diziarahi secara rutin. Bahkan yang lebih mengherankan adalah adanya sisa dupa yang belum habis terbakar pertanda bahwa belum terlalu lama telah ada orang yang datang ke sini. Namun ketika mata Maya memandangi rangkaian bunga mawar jingga yang sudah hampir mengering, Maya langsung membalikkan tubuhnya dan mencengkeram kerah mantel Masumi. “Pak Masumi, kapan terakhir kali Anda kemari? Minggu lalu?” tanyanya tanpa bisa dikontrol.
Masumi terbelalak terkejut bukan kepalang. “Maya...”
“Pak Masumi, saya sudah tahu itu Anda, tolonglah Pak Masumi, katakan bahwa Anda adalah Mawar Jingga!”
Masumi masih terpana di tempatnya berdiri. “Apakah kau telah mengetahui bahwa akulah Mawar Jingga, pengagummu yang paling setia?” tanyanya ragu.
Brug! Maya langsung memeluk Masumi erat. “Pak Masumi, sejak lama aku telah mengetahuinya,” desahnya di dada Masumi. Air mata kebahagiaan menetes di pipinya. “Pak Masumi...”
Masumi yang masih terpana hanya bisa membalas pelukan Maya dengan pelukan yang lebih erat lagi. “Maya...” desahnya.
Sekian lama mereka berpelukan erat untuk kedua kalinya hari ini. Maya sama sekali tak mau beranjak meninggalkan kehangatan itu. Begitu juga Masumi. Seolah mimpi, gadis dalam pelukannya telah mengetahui identitas rahasianya. Penantian panjang selama satu dasawarsa justru terbayar dalam satu momen rahasia yang sama sekali di luar dugaannya. Tanpa kata-kata, masing-masing hanya ingin merasakan kedekatan yang telah lama sama-sama mereka rindukan. Tak peduli tatapan heran beberapa peziarah lain. Bahkan hembusan angin musim gugur yang dingin tak mereka acuhkan.
Masumi yang pertama-tama menyadari situasi sekitar. Dengan lembut dia mengurai pelukan mereka berdua.
“Maya, lebih baik kita berdo’a dulu di makam ibumu,” katanya pelan di telinga Maya.
Seperti tersadar, Maya pun melepaskan pelukannya. “Maaf, Pak Masumi...”
Masumi tersenyum lembut, “Tidak apa-apa, aku bahagia kau sudah mengetahuinya.”
Dalam hening keduanya pun melakukan rutinitas ziarah makam. Tiba saatnya Maya belutut di depan makam ibunya, menangkupkan kedua tangannya dan berdo’a. “Ibu, maafkan aku karena baru sekarang bisa mengunjungimu lagi. Aku telah pergi jauh ke Eropa, Ibu, aku bukan lagi anakmu yang bodoh dan tak berguna. Aku sudah jadi artis terkenal di Jepang, Bu. Aku tahu Ibu pasti melihatku dari surga. Ibu tahu kan orang yang telah melindungiku selama Ibu tidak ada. Tolong maafkanlah orang itu, Bu. Orang itulah yang selama ini telah menjagaku, menggantikan Ibu. Tolong ya, Bu, maafkanlah orang itu,” pinta Maya lirih dalam doanya.
Masumi yang berlutut di belakang Maya, tertunduk kelu. Entah sudah berapa puluh kali dia berlutut di tempat ini memohon pengampunan, namun selama ini tak pernah dia merasakan beban hatinya seringan ini. Ya Tuhan, sekian lama dia menunggu saat ini, menunggu bebas dari beban berat kesalahan masa lalu yang selama ini menghimpitnya. Bu Haru, tolong maafkanlah aku, aku tahu kesalahanku sungguh teramat berat, tapi tolonglah, ampuni aku. Aku akan menjaga putrimu ini dengan nyawaku, aku akan melindunginya hingga akhir nafasku, itu sumpahku.
Maya dan Masumi melangkah bergandengan tangan keluar dari wilayah pemakaman. Tak seorang pun ingin membicarakan apa yang baru saja terjadi. Peristiwa ini terlalu mengguncangkan bagi keduanya. Tetap dalam diam, Masumi membimbing Maya memasuki mobil.
Saat selesai memasang seat belt, barulah Maya menoleh pada Masumi. “Pak Masumi, Mawar Jingga, terima kasih untuk semuanya,” katanya lirih. Jemarinya terulur menyentuh tangan Masumi.
Masumi balas menatap Maya. Tangannya menyambut jemari gadis itu, menggenggamnya lembut, “Aku yang harusnya berterimakasih kepadamu, Mungil, kahadiranmu di dunia ini sangat berarti bagi hidupku,” dengan lembut Masumi membawa tangan Maya ke bibirnya dan mengecupnya lembut sebelum kemudian melepasnya.
Sejuta kupu-kupu berterbangan di perut Maya, wajahnya memerah tersipu saat bibir hangat Masumi menyentuh punggung tangannya. Perasaan yang sulit terlukiskan membanjiri hatinya. Maya tak tahu bahwa cinta bisa menghadirkan rasa bahagia yang begini hebatnya. Selama ini dia hanya berpengalaman dengan rasa cinta yang terpendam, rasa cinta menggelora yang tak terungkapkan dengan kata-kata dan mengakibatkan kerinduan yang teramat menyesakkan. Tetapi Maya belum pernah merasakan rasa cinta yang bersambut seperti ini. Memang Maya belum yakin bahwa Masumi mencintainya. Masumi mengaguminya sebagai seorang artis, mengagumi semangat perjuangannya yang tanpa menyerah, tapi Masumi mungkin tidak memujanya sebagai seorang perempuan, seorang Maya Kitajima, perempuan sederhana di balik topeng artis dan gemerlapnya panggung dan kamera. Tapi Maya tidak akan menuntut. Selama Masumi selalu ada untuknya, baginya sudah cukup. Berapapun perasaan yang disisakan Masumi untuknya, Maya akan dengan senang hati menerima dan menjaganya sebagai harta yang teramat berharga.
“Sudah mulai sore, Mungil. Tidak keberatan kan kalau kita ke pelabuhan?” tanya Masumi saat mobil meluncur meninggalkan tempat parkir.
“Selama bersama Anda, kemanapun saya tidak akan keberatan, Pak Masumi,” jawab Maya malu-malu.
Masumi tersenyum, “Kamu ini, Mungil, tega sekali menggoda perasaan orang yang lebih cocok menjadi pamanmu.”
“Saya serius, Pak Masumi.”
Masumi meraih kepala Maya dengan sebelah tangannya, mengacak rambutnya lembut, dan menarik Maya bersandar di lengannya, “Mendekatlah, Mungil, tunjukkan bahwa kau benar-benar senang berada bersamaku.”
Maya pun menyandarkan kepalanya ke lengan Masumi.
Suasana magis itu tetap berlangsung hingga mereka tiba di pelabuhan. Matahari musim gugur yang mulai meredup membuat panorama indah dengan latar belakang lautan yang menghampar. Bunyi kapal-kapal yang bersauh bagaikan irama musik pelengkap suasana yang romantis dalam semburat warna jingga mentari senja di Yokohama. Banyak pasangan muda mudi yang menikmati suasana tersebut. Maya dan Masumi melangkah bersama menyusuri pelabuhan, lengan Masumi melingkar dengan mesra di pinggang Maya. Tiba di pagar pelabuahan, Masumi memeluk Maya dari belakang, bersama mereka memandangi cakrawala indah itu dalam diam. Maya menyandarkan punggungnya di dada Masumi yang bidang, sementara Masumi melingkarkan kedua lengannya di pinggang Maya. Tak perlu percakapan untuk membangun keintiman di antara mereka. Tanpa kata-kata verbal, suara batin mereka telah terwakili oleh bahasa tubuh keduanya yang seolah enggan berpisah.
Saat malam mulai turun, keduanya masih berpelukan menatap cakrawala yang telah meredup. Masumi mengetatkan pelukannya saat dirasakannya gadis itu sedikit menggigil.
“Sepertinya sudah waktunya kita kembali ke hotel, Maya,” bisiknya lembut.
“Hmm...” Maya mendongakkan wajahnya ke arah Masumi. Dia enggan beranjak dari tempatnya berada. Tatapan matanya lembut dan dalam, mencari sorotan mata Masumi.
Kepekaan Masumi menajam menyadari kedekatan wajahnya dengan wajah gadis dalam pelukannya itu. Ditatapnya mata Maya dalam-dalam. Kemudian seolah tersihir, wajahnya mendekat ke wajah Maya. Saat dilihatnya kelopak mata Maya bergerak menutup, disentuhnya bibir Maya dengan bibirnya. Bibir itu terasa lembut. Saat bibir Maya merekah terbuka, Masumi tak bisa menahan diri lagi, dipagutnya bibir itu dengan rakus, mereguk segala kemanisannya, mewujudkan rasa yang selama ini hanya mampu didambanya dalam mimpi. Apalagi saat Maya melingkarkan lengannya di leher Masumi. Masumi sudah tidak bisa berpikir lagi. Ciumannya tak lagi lembut, gelora membara yang selama dipendamnya dalam hati seolah menggelegak terbuka menuntut pemuasannya. Hingga keduanya kehabisan nafas.
“Pak Masumi...” Maya yang pertama-tama menemukan suaranya meski terengah-engah.
“Maya...maafkan aku, aku lepas kontrol,” Masumi menempelkan dahinya di dahi Maya.
“Hmm...,” Maya hanya tersenyum, jemarinya membelai lembut kerah mantel Masumi.
“Sepertinya kita harus kembali ke hotel, Mungil, hawa sudah bertambah dingin.”
Maya tidak membantah. Dia menurut saja saat Masumi menggandengnya menuju mobil.
“Untuk makan malam, kau ingin pergi makan di mana, Maya? Ada keinginan khusus?” tanya Masumi saat mobil sudah melaju membelah jalan.
Maya menggeleng, “Tidak, Pak, saya ingin makan di hotel saja, di kamar,” lalu menambahkan dengan malu-malu, “Kalau Pak Masumi mau menemani, saya pasti senang sekali.”
Masumi tersenyum lembut. “Tentu saja, Mungil. Kita bisa memesan room service mengantarkannya ke kamarku, kamarku lebih luas. Apakah kamu sudah capek sekali?”
“Tidak, saya biasa saja, agak mengantuk mungkin, tapi saya merasa segar. Hanya saja saya tak ingin membagi saat bahagia ini dengan orang lain, dengan waitress, ataupun pengunjung restoran lain. Saya ingin menikmati saat ini hanya bersama Pak Masumi.”
Masumi mendesah bahagia, kemudia diraihnya jemari Maya dengan tangan kirinya, digenggamnya lembut, sebelum akhirnya membawa jemari itu ke bibirnya.
Tiba di hotel Masumi baru mengeluarkan ponselnya. Dia memasang mode silent karena tidak mau diganggu saat dia bersama Maya. Namun agaknya tumpukan email sudah menantinya di mailbox. Masumi membaca satu persatu. Maya menunggunya dengan tenang tanpa bertanya.
“Maya, agaknya Mizuki telah mengirim kurir untuk membawa semua dokumen yang aku perlukan besok. Sekarang aku ke loby dulu. Kamu lebih baik pergi dulu ke kamarku. Tunggu aku, ya, aku janji tak akan lama.”
Maya mengangguk mengerti. “Baik, Pak,” dan tanpa komentar lebih jauh menerima kartu kamar Masumi.
Saat Maya berbalik dan melangkah menuju lift, Masumi memanggilnya. Maya menoleh menatap lelaki itu dengan heran. Apalagi ketika Masumi bergegas mendekatinya.
“Kau melupakan ini,” kata Masumi sambil menunduk dan mencium bibir Maya lembut.
***
Masih setengah linglung, Maya memasuki kamar Masumi. Kamar ini luas sekali, bahkan jauh lebih luas dari apartemen yang ditinggali Maya bersama Rei dan teman-teman teaternya. Tapi keindahan interior suite itu tak mampu menghalau perasaan Maya yang berbunga-bunga. Mawar Jingga akhirnya dia temukan juga, dan jauh di luar dugaannya, Masumi memperlakukan Maya bukan dengan penolakan maupun rasa kasihan, lelaki itu memperlakukan Maya seperti lelaki yang sedang jatuh cinta. Wajah Maya langsung memerah memikirkan kemungkinan Masumi jatuh cinta kepadanya. Berharap pun dia sebetulnya tidak berani. Tetapi Masumi telah memeluknya erat, telah pula menciumnya. Maya memang tak punya banyak pengalaman soal ciuman. Tetapi dia yakin ciuman Masumi bukanlah ciuman biasa persaudaraan atau pergaulan biasa. Masih dia ingat betapa saat bibir Masumi melumat bibirnya, Maya merasa panas dingin, dan gairah yang selama ini tak pernah dirasakannya seperti menggeliat keluar menuntut lebih banyak. Ya Tuhan, apa yang telah terjadi padaku?
Ternyata urusan Masumi di lobby memakan waktu lebih banyak dari yang diperkirakannya. Setelah mengecek sekilas semua dokumen yang dibawakan kurir, kemudian dia melakukan telepon dengan beberapa orang, termasuk Mizuki, yang mengomelinya panjang lebar karena seharian menolak semua panggilannya, barulah Masumi melangkah ke lift dan menuju kamarnya. Dia sungguh tidak sabar untuk bertemu kembali dengan Maya.
Kejadian hari ini serasa mimpi baginya. Dia tahu bahwa masih banyak penjelasan yang harus dia berikan kepada Maya terkait perpisahan keduanya lebih tiga tahun lalu. Perpisahan saat itu bukanlah perpisahan yang mulus. Dia ingat saat terakhir yang dihabiskannya bersama Maya di villanya di Izu, sebelum pementasan Bidadari Merah. Juga saat dia dengan sembunyi-sembunyi mengantar kepergian Maya ke London, kepedihan hatinya saat dilihatnya gadis itu memasuki pintu ruang tunggu Bandara. Sepanjang perjalanan dari bandara ke Tokyo, untuk pertama kali di masa dewasanya Masumi meneteskan air mata. Kemudian pernikahannya dengan Shiori yang bagaikan mimpi buruk. Semuanya ingin diceritakan pada Maya. Namun itu semua bisa menunggu.
Namun gadis itu ternyata telah tertidur di tempat tidur Masumi. Gurat kelelahan setelah perjalanan jauh antar benua tampak tergurat di wajahnya. Masumi mengutuki dirinya karena tidak peka dengan situasi itu. Perlahan dibelainya wajah Maya. Lalu dengan mesra dikecupnya bibir gadis itu kemudia pipi dan kelopak matanya. Maya...,desahnya, selamat datang sayangku....

Thursday, April 14, 2011

First: Halo....

Halo...salam kenal semua!!!

Buat semua penggemar Maya dan Masumi, tentu tau dong

ya perasaan kita kalau cerita ternyata tidak berjalan

sebagaimana mestinya. Maka dari itu cerita-cerita

berikut murni berdasar khayalan-khayalan yang

terangkai dalam hati, impian tentang bagaimana Maya

dan Masumi seharusnya.
Sama sekali tidak ada niat untuk menyalahi apa yang

Sensei Suzue Miuchi telah buat selama ini. Sama

sekali juga tak ada niat melecehkan karya agung

Topeng Kaca.
Juga karena settingnya Maya sudah dewasa, mohon maaf

bila ceritanya juga dewasa.
Kalaupun cerita ini berkenan, terima kasih.
Tapi kalau tidak, mohon maaf sebesar-besarnya, karena

saya memang bukanlah seorang penulis.
Terimakasih....
Kritik dan sarannya selalu ditunggu.