Wednesday, April 27, 2011

third: the first night together

Maya terbangun saat sinar matahari yang menembus jendela menyentuh wajahnya. Matanya terkejap membuka. Dia merasakan kehangatan melingkupi tubuhnya, sesuatu yang tidak biasa. Maya mendongakkan kepala, terpana melihat seraut wajah yang menempel dekat dengan wajahnya. Pak Masumi? Tiba-tiba lelaki itu membuka matanya.
“Selamat pagi, Mungil,” sapanya pelan.
“Pak Masumi, kenapa kita...,” Maya tak bisa meneruskan pertanyaannya.
“Semalam kau tertidur nyenyak sekali Maya, di tempat tidurku, hingga aku tak tega untuk membangunkanmu. Jadi disinilah kita sekarang, karena aku tak punya pilihan lain selain tidur di sini atau di lantai. Karena badanku sedang agak sedikit demam, sangat tidak mungkin aku tidur di lantai. Aku harus jaga kondisi untuk pertemuanku siang ini. Kuharap kamu bisa mengerti,” dusta Masumi dengan lancar.
“Demam?” refleks Maya khawatir dan menempelkan telapak tangannya di dahi Masumi. Hanya untuk mendapati dahi lelaki itu baik-baik saja, suhunya normal. “Pak Masumi??” Maya mendelik sewot, sadar Masumi membohonginya habis-habisan.
“Kamu marah Maya? Rugi sekali, kemarahanmu sama sekali tidak akan merubah keadaan. Lagipula kamu juga menikmati tidur dalam pelukanku yang hangat kan?” Masumi kembali bersikap menyebalkan.
“Pak Masumi! Anda benar-benar makhluk menjengkelkan! Bahkan sepagi ini pun Anda sudah mampu merangkai kata-kata menyebalkan. Hebat sekali!” cibir Maya yang dengan kesal memukul dada Masumi. Tapi pukulannya terhenti manakala tangannya menyentuh bulu-bulu di dada Masumi yang bidang. Tanpa sadar Maya membuka telapak tangannya. Ujung-ujung jarinya yang gemetar menyentuh dada Masumi. Tatapan matanya begitu intens mengamati tubuh indah lelaki itu.
Masumi terkesiap. “Maya...,” desahnya, “Sadarkah apa yang kau lakukan ini Mungil,” keluhnya. Semalaman Masumi telah berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak melahap Maya bulat-bulat, semalaman dia terjaga dan tersiksa menatap gadis dalam pelukannya, hanya bisa menghujani wajahnya dengan kecupan lembut sementara yang diinginkannya adalah mencium Maya dengan sepenuh perasaan yang telah berakumulasi
sekian lama. Gairah laki-laki yang mati-matian disembunyikannya agar tidak dirasakan oleh Maya, sekarang justru membuncah minta pelepasan hanya karena sentuhan jemari Maya di dadanya.
“Pak Masumi, apakah anda terbiasa tidur bertelanjang dada?” tanya Maya polos.
“Mungil...,” Masumi mengeluh dalam.
Maya menggerakkan kakinya dan mendapati tungkai panjang Masumi yang juga berbulu. “Pak Masumi, apakaha Anda hanya memakai celana dalam?” Maya terbelalak.
“Mungil, aku memakai celana dalam karena kamu,” Masumi menghela nafas pasrah.
“Apakah itu artinya selama ini Anda selalu tidur telanjang?” Maya semakin kaget. “Lalu apa gunanya piyama?”
“Itu namanya KEBIASAAN! Lagipula apakah kau tidak sadar Mungil, bahwa atasan piyamaku kau pakai?”
“Ha!” Maya terkejut dan spontan menendang selimut yang mereka pakai berdua. Baru disadarinya bahwa dia hanya memakai atasan piyama laki-laki dan...tanpa pakaian dalam!
“Pak Masumi!” jeritnya kaget.
“Aku telah melepas pakaianmu Mungil, tapi sumpah, aku tidak melakukan apapun yang tidak pantas. Aku hanya ingin membuatmu nyaman.”
“Saya mengerti Pak Masumi, dan saya percaya pada Anda. Terimakasih banyak,” ucap Maya sambil membetulkan kembali selimut untuk menutupi mereka berdua. Maya mendekat ke arah Masumi, wajahnya hampir mencium dada Masumi. Deburan di dada lelaki itu semakin menggila. “Pak Masumi...” Maya meletakkan kembali kepalanya di relung lengan Masumi.
“Mungil...”
“Seperti Anda bilang tadi bahwa pelukan Anda sangat hangat, sangat nyaman. Jadi boleh kan saya berada disini untuk beberapa saat lagi? Apakah Anda harus segera bangun dan bekerja?” tanya Maya jahil.
“Dasar jahil!” seru Masumi gemas dan tanpa sadar memencet hidung Maya dan dihadiahi cengiran lebar gadis itu.
“Pak Masumi...”
“Hm...”
“Saya bahagia terbangun dalam pelukan Pak Masumi.”
Masumi menunduk menatap wajah Maya lekat-lekat. Wajah gadis itu merona merah karena malu dengan kejujurannya.
“Aku juga senang karena bisa memelukmu. Padahal dulu kamu selalu menolak berada dalam radius lima meter dariku. Kau selalu marah dan mencaciku, tapi aku tahu kamu membenciku Maya, dan aku sadar kenapa,” ada nada pahit dalam kata-kata Masumi. “Tapi entahlah, ketika kamu pergi ke London, aku jadi sering merindukan pertengkaran-pertengkaran kita.”
“Saya juga Pak, ketika di London saya sering merindukan Pak Masumi,” wajah Maya kian memanas dan memerah.
“Benarkah Maya?”
“Pak Masumi, saya bukan lagi gadis kecil. Saya sudah dewasa sekarang. Saya tahu persis siapa yang saya rindukan. Itulah makanya saya bahagia pagi ini bangun
dalam pelukan Anda, di tempat tidur Anda. Saya ingin Anda melihat saya sebagai wanita dewasa, bukan lagi gadis kecil yang biasa Anda goda dan Anda buat jengkel.”
“Percayalah Mungil, telah lama aku tidak menganggapmu anak-anak.”
“Benarkah?” Maya menatap mata Masumi dalam-dalam, mencari kebenaran kata-katanya.
Masumi mempererat pelukannya, mendekatkan wajahnya ke wajah Maya. Dengan lembut disentuhnya bibir Maya dengan bibirnya. Bibir gadis itu bergetar dan membuka. Masumi kembali menciumnya dengan lebih dalam. “Maya...” desahnya di bibir Maya.
Gadis itu kembali membalas ciumannya. Bibirnya yang lembut terbuka menyambut bibir Masumi. Seketika Masumi kehilangan kendali dan melumat bibir ranum itu sepenuhnya. Gairah langsung berkobar membakar ke pusat dirinya. Lelaki itu mengerang di antara ciumannya. Maya pun tak berdaya menolak gairah baru yang tiba-tiba juga membakar dirinya. Dengan lugu disambutnya lumatan bibir Masumi dan refleks tubuhnya meliuk mendekat mencari sumber kehangatan dalam diri Masumi.
Tiba-tiba Masumi tersadar dan melepaskan ciumannya, nafasnya terengah-engah.
“Maya...”
“Pak Masumi, itu tadi apa?” tanya Maya polos, tak kalah kagetnya.
Masumi mendesah frustasi dan menempelkan dahinya di dahi Maya. “Mungil, tidakkah kau sadar bahwa apa yang kita lakukan ini sangat tidak seharusnya?”
“Kenapa tidak Pak Masumi? Pak Masumi, saya mencintai Anda,” jawab Maya di luar dugaan.
Masumi terpana. “Mungil, apa kau mengerti dengan kata-kata yang barusan kau katakan itu?”
“Saya sadar sepenuhnya dengan apa yang saya katakan Pak Masumi, meski saya akui, saya malu setengah mati. Apalah saya ini Pak Masumi, gadis bodoh, pendek dan tidak menarik, berani mencintai Anda yang jauh lebih dewasa, Anda yang tampan, terkenal dan berkuasa, pernah menikah dengan Nona Takamiya yang cantik dan kaya. Maafkan saya Pak Masumi, tapi tolonglah untuk saat ini saja, peluklah saya, seolah saya cukup
berharga untuk Anda, meski Anda tidak menyukai saya, demi saya, tolong berpura-puralah Pak Masumi,” Maya menyelusupkan kepalanya di relung leher Masumi yang hangat.
“Maya, seandainya kamu tahu apa yang ada dalam hatiku,” desah Masumi sambil mempererat pelukannya. Degub jantungnya yang bertalu-talu bersahutan dengan degub jantung Maya yang tak kalah kencangnya. “Mungil, aku akui, pagi ini kita berdua sedikit aneh. Semuanya serba tidak tepat, waktu kita tidak tepat, kaupun terbawa perasaan, aku ragu kamu memahami perasaanmu dengan lebih baik,” Masumi berusaha mengembalikan akal sehatnya.
“Pak Masumi, ijinkan aku menjelaskan kembali...”
“Mungil, seperti aku bilang, waktunya sangat tidak tepat,” potong Masumi cepat.
“Tapi Pak...”
“Mungil, coba dengarkan baik-baik, kita perlu waktu yang...Mungil...Mungil,” ucapan Masumi terpotong karena tiba-tiba saja Maya membalikkan tubuhnya membelakangi Masumi. Masumi berusaha meraih kembali gadis itu. Lelaki itu terkejut waktu melihat air mata Maya.
“Mungil, jangan begitu, aku jadi sedih kalau kamu menangis.”
“Sudahlah Pak Masumi, tak usah menghibur saya. Sejak dulu saya tahu saya tak layak untuk Pak Masumi. Saya terlalu bodoh untuk menduga Anda berubah,” dengan kata-kata itu serentak Maya melompat turun dari tempat tidur. Air mata membasahi pipinya.
Secepat kilat Masumi bangkit dan menjangkau Maya. Direngkuhnya Maya dalam pelukannya.
“Mungil, dengar dulu, saat ini aku benar-benar tidak punya waktu untuk menjelaskan semua kepadamu. Tolong, mengertilah sekali ini saja. Nanti malam aku berjanji akan mengajakmu makan malam dan membicarakan semua ini dengan layak. Aku janji Mungil,” Masumi memohon sambil memeluk Maya dengan erat.
Maya berputar dalam pelukan Masumi, mendongak menatap Masumi mencari kebenaran kata-kata lelaki itu dalam pancaran matanya. “Pak Masumi...”
“Aku berjanji, Mungil, tunggulah aku malam ini. Semalam apapun, tunggulah aku, aku tak tahu sampai jam berapa meeting hari ini berlangsung, tapi semalam apapun itu, aku akan menelponmu, jadi tolong tunggulah aku.”
“Benarkah itu Pak Masumi?” tanya Maya ragu-ragu.
Masumi tidak menjawabnya, namun justru mencium Maya. Ciuman yang dalam dan lama, seolah lelaki itu ingin melumatnya. “Tunggulah Mungil,” desah lelaki itu di antara ciumannya. Maya malu-malu membalas ciumannya.

Dengan mengerang Masumi melepaskan bibirnya.“Ah...Maya, aku benar-benar ingin saat ini kita sedang liburan, bukannya di tengah-tengah hari kerja yang sibuk,” keluhnya enggan.
“Saya akan menunggu Anda Pak Masumi, semalam apapun, saya akan menunggu,” Maya berjanji.
Masumi tertawa. Kemudian tatapannya beralih ke tubuh mereka yang saling berpelukan, dengan pakian yang teramat sangat minim. “Kau lihat, Mungil, hanya kau gadis yang bisa membuatku berdiri telanjang begini tanpa sadar,” katanya tertawa.
Maya otomatis melihat ke tubuhnya sendiri yang hanya berbalut atasan piyama laki-laki, itupun dua kancing atasnya terbuka tanpa dia sadari, wajahnya merona merah. Saat ditatapnya Masumi yang hanya mengenakan boxer warna hitam dengan bukti gairahnya yang terpampang tanpa malu-malu, wajahnya semakin memanas.

“Pak Masumi... saya malu...” Maya menutup wajahnya dengan kedua tangannya seraya membalikkan wajahnya.
Masumi terbahak, “Bukannya sudah terlambat untuk merasa malu Maya?” godanya.
Maya cemberut. “Dasar!” omelnya kesal.
“Tidak apa-apa, Mungil, ini toh hanya aku, orang yang telah memelukmu semalaman. Orang yang sama yang telah mengganti pakaianmu...”
“Pak Masumi!” Maya semakin kesal.
“Oke...oke bidadari bandelku, cukup sudah becandanya. Lebih baik aku bersiap ke ruang meeting sebelum Mizuki datang dan menyeretku ke sidang sebelum aku sempat berpakaian lengkap!”
“Kalau begitu saya kembali ke kamar saya saja, Pak Masumi, daripada saya mengganggu Anda.”
“Kalau mengganggu konsentrasi itu sudah pasti, tapi karena aku sudah terbiasa dengan gangguanmu, jadi kamu tidak perlu pergi, kamu bisa berada disini. Aku sudah minta kunci cadangan. Jadi kamu bisa keluar masuk ke kamar ini sesukamu, “ Masumi meraih mantel kamarnya dan berjalan menuju kamar mandi. “Oh ya, semalam bajumu aku lipat di sofa,” serunya sebelum menghilang di balik pintu.
Maya menuju sofa, mendapati celana jeans, kaos, sweater dan pakaian dalamnya terlipat rapi di atas sofa. “Pak Masumi kan bisa memindahkanku ke sofa,atau setidaknya menjadi gentleman dengan mengalah tidur di sofa, bukannya memelukku dan tidur bersama, pakai acara lepas-lepas baju lagi. Tapi aku bahagia tidur dalam pelukan Pak Masumi,” batin Maya sambil tersipu.
“Maya, kau bisa pakai kamar mandiku setelah aku selesai, jadi tak usah ganti baju dulu!” teriak Masumi yang tiba-tiba saja kepalanya menyembul dari balik pintu.
Maya akhirnya mengurungkan niatnya dan kembali ke tempat tidur. Kehangatan tempat tidur itu begitu mengundang. Segera dia meloncat naik, mengambil sisi dimana Masumi berada semalam, mencium bantalnya dengan mesra, bau lelaki itu masih tertinggal disana membuatnya mendesah senang. Suara shower dari kamar mandi terdengar merdu di telinganya. Dia membayangkan tubuh Masumi yang tegap berada di bawah pancuran. Tiba-tiba wajahnya merona. Cepat-cepat dihalaunya pikiran itu.

Masumi melangkah keluar dari kamar mandi, sudah bersih dan rapi bercukur, kecuali rambutnya yang masih basah dan masih mengenakan mantel mandi handuk tebal berwarna biru tua. Saat dilihatnya Maya meringkuk di atas tempat tidur, perasaan bahagia menyerbu hatinya. Beginilah harusnya, batinnya. Mendapati gadis yang dicintainya meringkuk di atas tempat tidurnya, dengan wajah merona merah dan bibir ranum yang tak jemu diciumnya, benar-benar impian yang menjadi kenyataan.
“Daripada kau malas-malasan tak jelas begitu, Maya, lebih baik kau bantu aku,” Masumi beranjak menuju ke tempat tidur dan duduk di pinggirnya.
Serta merta Maya bangun, “Bantu apa, Pak Masumi?” tanyanya tak mengerti.
“Keringkan rambutku, mau kan?”
“Oke,” Maya menjawab riang, melompat turun dan mengambil hair dryer yang tergeletak di atas meja.
Setelah mencolokkan kabel ke stop kontak, Maya memanjat lagi ke tempat tidur dan berlutut di belakng Masumi. Tangan-tangan mungil gadis itu bekerja cekatan menyibak rambut basah Masumi.
“Aku heran kamu membantuku tanpa protes,” Masumi terheran-heran.
“Soalnya dengan begini aku berkesempatan memegang kepala Pak Masumi, hihihi... jarang-jarang lho, “
Maya terkikik geli.
“Sudah kuduga,” Masumi tersenyum, menikmati jemari lembut gadis pujaannya. Suasana terasa sangat intim. Orang yang tidak tahu pasti mengira kami ini pasangan muda yang sedang berbulan madu, batin Masumi. “Mungil, kalau setiap pagi seperti ini, aku pasti bahagia sekali.”
“Benarkah, Pak Masumi?” tanya Maya sambil mematikan hair dryer karena rambut Masumi sudah kering.
“Hmm...” Masumi mendesah mengiakan sambil meraih tangan Maya dan mencium telapaknya.
Maya tersenyum bahagia, “Saya juga akan sangat bahagia, Pak Masumi, tapi Anda harus segera ganti baju kalau tidak ingin terlambat,” Maya mengingatkan dengan lembut.
Dengan enggan Masumi berdiri, meraih gadis itu sekali lagi dalam pelukannya, "Mandilah, Mungil, aku mau ganti baju, karena belum waktunya bagimu untuk melihatku berganti pakaian,” Masumi melepaskan pelukannya dari Maya.
Dengan wajah merona Maya cuma mencibir sambil meloncat turun dari tempat tidur, menyambar pakaiannya dari atas sofa dan masuk kamar mandi.
Saat Maya keluar dari kamar mandi dan telah berpakaian lengkap, Masumi telah rapi dan duduk menghadap meja sarapan. Telah pula terhidang sepoci kopi, serta hidangan sarapan pagi lengkap.
“Aku telah meminta sarapan diantar ke kamar. Makanlah, Mungil,” undang Masumi sambil meraih cangkir kopinya.
Segera Maya bergabung bersamanya.
Pagi itu berlalu dengan indah. Sarapan berdua sambil bercanda dan saling menggoda. Hingga akhirnya Masumi harus bangkit dan menuju ke ruang pertemuan.
“Aku harus berngkat, Mungil, aku bahagia sekali pagi ini,” katanya sambil meraih dokumen dan tas laptopnya, berjalan menuju pintu.
Maya ikut bangkit dan mengantarkan lelaki yang dicintainya.
Di depan pintu Masumi berbalik, “Beri aku ciuman keberuntungan, Mungil,” dia membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Maya.
Malu-malu Maya melingkarkan tangannya di leher Masumi dan mencium bibir Masumi lembut.
“Ini adalah malam dan pagi terindah di sepanjang hidupku yang suram, Mungil,” Masumi membalas ciuman bibir Maya dengan cepat dan dalam, sebelum akhirnya memaksa dirinya berlalu keluar dari pintu kamar.
Maya terpaku di depan pintu menatap punggung lelaki itu. Ini juga malam dan pagi terindah sepanjang hidupku, Pak Masumi, bisiknya bahagia, dan kuharap ini bukanlah mimpi.

6 comments:

  1. kapan lanjutannya sistaaaa? add pin saia ya 26297F20 biar kl ad update an saia bs tauuuu

    ReplyDelete
  2. udah update sist, selamat menikmati

    ReplyDelete
  3. tambah lagiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

    ReplyDelete
  4. masumi pnya bulu dada ya..??
    np ya dlm byangan ku masumi ga pnya bulu dada en bulu kaki.. *khayalan liar* hihihi..

    ReplyDelete
  5. iya nih, soalnya lagi suka yang berbulu-bulu, hehehe.... piss!

    ReplyDelete