Wednesday, June 8, 2011

Eighth : Flash Back (3)

Masumi memutar gelas minumannya. Sudah lewat pukul sembilan malam. Mizuki pun telah pulang berjam-jam lalu, setelah bosan menanyakan kapan atasannya akan meninggalkan kantor.

“Besok hari pernikahannya, sekarang masih bekerja! Dasar gila kerja!” komentar salah seorang karyawan.

“Iya, dan menurut Nona Mizuki beliau masih lembur lagi. Hii... mengerikan!” sahut yang lain.

Masumi memandang ponselnya yang tergeletak di atas meja. Pesan-pesan Shiori bertumpuk dan tak satupun dibacanya. Bahkan ketika wanita itu dengan panik menelponnya tadi, Masumi hanya menjawab singkat tanpa perasaan, “Aku akan hadir seperti rencana semula, tak usah khawatir berlebihan.”

Dan sekarang, di dalam kantornya yang sunyi, Masumi menatap ke luar. Kota Tokyo tampak indah dalam selimut lampu-lampu gemerlap bagaikan sebuah hamparan bintang di langit. Bintang? Huh! Pikirnya masygul. Memandangi kemilau bintang di malam hari mungkin sekarang telah menjadi hal yang sangat mustahil baginya. Karena bintang hatinya yang sesungguhnya telah pergi jauh meninggalkannya. Akankah ada bintang di langit London? Dan akankah Maya memandanginya sambil teringat akan kenangan mereka berdua? Di planetarium, di lembah plum, atau malam terakhir kebersamaan mereka di villa Izu?

Getar ponsel di sakunya membuyarkan lamunan Masumi. Memandang layar ponselnya, panggilan masuk dari nomor yang tak terdaftar, cuman berarti satu hal, masalah.

“Hijiri,” ucapnya singkat.

“Maaf mengganggu selarut ini, Pak Masumi.”

“Tidak apa-apa. Lanjutkan.”

“Informan di London baru saja menghubungi. Seseorang tengah mengawasi Nona Kitajima. Diduga kuat orang tersebut masih di bawah komando Tokyo. Saya mencurigai ayah Anda dan Nona Takamiya. Namun dilihat dari aksinya, dugaan saya lebih condong kepada Nona Takamiya. Karena orang tersebut berusaha masuk ke apartemen Nona Kitajima namun tak ada barang hilang. Juga berusaha mencuri ponsel Nona Kitajima. Asal Anda tahu, gadis kesayangan Anda itu begitu ceroboh dan meninggalkan ponsel sembarangan sehingga inbox dan incoming callnya dengan mudah dibaca orang lain. Namun jangan khawatir Pak Masumi, karena saya sudah menugaskan beberapa orang untuk menjaga dan memastikan keselamatnnya.”

“Dari balik bayangan.”

“Betul, Pak, dari balik bayangan.”

“Usahakan tak ada sedikitpun jejak mawar jingga tertinggal.”

“Siap, Pak.”

“Hijiri, tolong jaga dia untukku.”

“Saya akan menjaganya dengan nyawa saya, Pak Masumi, belahan jiwa Anda.”

Pembicaraan selesai. Namun Masumi harus berusaha keras menekan kengerian dalam hatinya. Maya tak seutuhnya selamat meski Masumi telah bersusah payah mengirimnya ke London di balik nama Dewan Kesenian. Shiori, wanita itu sepertinya tak akan puas hanya dengan menikahi Masumi, melainkan dia harus yakin bahwa hubungan antara Masumi dan Maya sudah tidak ada sama sekali. Mungil, apalagi yang harus kulakukan untuk menjagamu? Perpisahan kita berdua sudah cukup berat, kepahitan karena tidak bisa melihatmu begitu kental, belum cukupkah itu? Apakah aku juga harus melupakanmu dan selamanya hanya berupa bayangan?

Hari pernikahan megah itupun tiba. Bertempat di hotel ternama Tokyo, dihadiri tamu-tamu penting seluruh Jepang, mulai dari politisi, kalangan bisnis, hingga dunia artis, serta diliput puluhan stasiun televisi untuk disiarkan ke seluruh Jepang, Masumi menggandeng Shiori memasuki ruang resepsi yang telah ditata dengan sangat mewah. Wajahnya yang tampan dengan penampilan sempurna dari setelan resmi rancangan desainer ternama yang dibuat khusus untuknya sangat menawan. Senyumnya tertebar ramah menghampiri para undangan yang datang untuk mendo’akan kebahagiaannya. Sama sekali tak nampak sisa dari tidur larut menjelang pagi, setelah menuangkan kekecewaan dan mengubur kesedihan dalam bergelas-gelas minuman keras. Masumi yang muncul sekarang adalah kembali menjadi Tuan Muda Hayami, calon pewaris kerajaan bisnis besar Daito, yang diduga asetnya akan semakin besar dengan adanya pernikahan dengan keluarga Takamiya, pangeran tampan berwajah dingin yang menawan.

Di sisinya, Shiori yang cantik, anggun mempesona dan berkelas dengan gaun bernilai milyaran bertebaran batu permata dan riasan yang sempurna, tampak sangat bahagia menggandeng pujaannya menemui semua kolega. Otak licik wanita itu akan memastikan bahwa liputan tentang pernikahannya akan sampai ke tangan Maya Kitajima dalam hitungan jam. Kau lihat Maya bagaimana aku telah memenangkan pangeran impian ini? Bahkan dalam wawancara resmi beberapa hari menjelang pernikahan, menanggapi pertanyaan wartawan tentang tempat bulan madu mereka, Shiori dengan sengaja menjawab bahwa mereka akan berbulan madu ke Inggris. “Negara itu pasti sangat indah, mengingat sang bidadari merah sendiri telah memilihnya sebagai tempat tinggal sekarang. Kami ingin mengikuti jejak bidadari merah untuk mengunjunginya, sambil siapa tahu, di antara kesibukan bulan madu kami akan menyempatkan diri menemui sang bidadari. Pasti akan sangat menyenangkan,” dustanya lancar, meninggalkan Masumi membeku penuh kemarahan di sebelahnya.

Namun akhirnya seuasai acara, keduanya dengan menggunakan pesawat pribadi Daito, justru terbang ke Okinawa, tempat yang dengan sangat cerdik berhasil dipaksakan Masumi untuk tempat bulan madu mereka. Dan bukannya menyewa sebuah villa yang tenang untuk menikmati kebersamaan mereka, Masumi malah menyewa kamar hotel terbesar di kota tersebut. Dan alangkah terkejutnya Shiori kala menyadari bahwa mereka akan tinggal di kamar terpisah, bahkan bukan hanya sekedar terpisah, Masumi memutuskan menempati kamar yang terletak lima lantai di bawah kamar Shiori.

“Apa-apaan ini, Masumi?!” sembur Shiori dengan murka, menerjang masuk ke kamar Masumi.

“Kenapa kau menanyakan sesuatu yang telah sangat jelas?” Masumi balik bertanya dengan dingin.

“Tapi Masumi, kita sedang berbulan madu?”

“Shiori, tentunya kau tidak terlalu naif untuk menyadari bahwa bulan madu hanya untuk pasangan yang menikah karena cinta. Bukan untuk kau dan aku. Kau setuju menikah denganku meski kau tahu aku tak mencintaimu. Aku setuju menikahimu, memberikan namaku padamu, tapi bukan memberikan diriku padamu. Bukankah dari awal semuanya sudah jelas?”

“Masumi, aku tak menyangka kau tega melakukan ini kepadaku.”

“Inilah saatnya kau mengenal diriku lebih jelas, Shiori. Suamimu ini orang yang sangat dingin dan tak berperasaan, karena tanpa itu tak mungkin aku menjadi orang yang seperti sekarang ini. Aku sanggup dan tega menghalalkan segala cara demi tujuanku. Julukan yang diberikan oleh orang-orang kepadaku bukanlah sekedar omong kosong. Sudah saatnya kau menyadarinya.”

“Kuharap kau berubah demi aku, Masumi.”

Masumi tersenyum licik. “Percayalah, segalanya tak akan berubah, kecuali namamu telah menjadi Hayami. Sekarang, kembalilah ke kamarmu, biarkan aku kembali bekerja. Asal kau tahu, untuk menghasilkan uang yang bisa membiayai kehidupan mewahmu, seseorang harus bekerja sangat keras untuk memutar roda perusahaan. Kekayaan dan kemewahan tidak datang begitu saja, tentunya kau sangat faham akan hal itu.”

“Masumi, kumohon...”

“Pergilah Shiori, jangan membuat malu keluargamu dengan bertingkah tidak pantas untuk seorang menantu keluarga Hayami. Sudah saatnya kau mengikuti jejak ibu atau nenekmu, untuk menjadi istri yang baik, dan mendukung semua yang dilakukan para suami, tanpa bertanya.”

“Apakah kau sama sekali tak menginginkan diriku, Masumi?”

“Sayangnya tidak. Aku tak akan menyentuhmu. Harusnya kau berterima-kasih kepadaku karena aku masih menganggapmu perempuan baik-baik. Karena bila aku menyentuh perempuan yang tidak aku cintai, maka sama saja bagiku dengan menyentuh seorang pelacur.”

Malam itu Shiori mengungkapkan kepedihan hatinya dengan menangis. Bahkan dalam kemarahan yang teramat sangat dihancurkannya semua baju tidur sexy berharga mahal yang sudah dia siapkan untuk bulan madunya bersama Masumi.

Kehidupan pernikahan mereka tak ada tanda-tanda akan menjadi normal. Shiori telah tinggal di kediaman resmi keluarga Hayami, namun Masumi yang masih menempati kamarnya yang jauh terpisah dengan kamar Shiori di sayap bangunan yang bersebrangan, tak pernah sekalipun menghampiri istrinya. Sementara mertuanya, Eisuke, memilih menghabiskan waktu di villa keluarga yang terletak di lereng gunung Fuji untuk memulihkan kesehatannya. Jadilah mereka dua orang asing yang kebetulan berada dalam satu atap. Beberapa kali Shiori berusaha mendekati suaminya, namun Masumi tak pernah merespon. Malah Masumi lebih sering menghabiskan malam-malamnya di kantor dan pulang dini hari, untuk kemudian berangkat lagi bekerja. Perjalanan bisnisnya pun semakin sering. Bahkan untuk acara-acar pesta resmi yang menuntut kehadiran mereka berdua, selalu dibuat pengaturan agar Shiori baru bisa menemui Masumi di tempat pesta. Mereka selalu berangkat dengan mobil terpisah. Pulangnya juga. Shiori tidak bisa menuntut karena Masumi dengan cerdiknya selalu mengatakan bahwa sebagai seseorang yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga bisnis, harusnya Shiori sudah sangat biasa dengan semua ini.

Namun hal yang paling membuat Shiori sangat frustrasi adalah karena dia sama sekali tak bisa menemukan kejanggalan sikap Masumi. Hatinya yang penuh dengki, dendam, dan prasangka, menyalahkan semuanya akibat kehadiran Maya Kitajima. Namun gadis itu sekarang sudah jauh di luar negeri. Bahkan dari mata-mata yang dikirimnya didapatnya info bahwa tak sekalipun Maya Kitajima berhubungan dengan Masumi, bahkan tidak melalui Mawar Jingga sekalipun. Semua aktifitas Masumi selalu berhubungan dengan pekerjaan. Bukan yang lain. Bahkan villa di Izu pun tak pernah dikunjunginya, bahkan jauh sebelum pernikahan mereka.

Di bulan ketiga pernikahan mereka yang dingin dan sepi, Masumi mulai terlibat dengan bisnis perusahaan Keluarga Takamiya, Takatsu. Sebuah usaha multi-nasional yang bergerak di segala bidang, mulai dari periklanan, televisi, surat kabar, transportasi, hingga perhotelan. Kakek Shiori yang menjadi direktur utama, dan di usia senjanya belum juga mundur dri jabatannya tersebut, sepertinya berniat melibatkan Masumi lebih banyak ke Takatsu. Masumi pun mulai bergabung dengan grup usaha milik keluarga tersebut dan banyak berhubungan dengan keluarga Shiori, ayah dan paman-paman Shiori, putra Tenno Takamiya. Tidak seperti Eisuke Hayami, yang jauh-jauh dari awal sudah menunjukkan niat untuk mengangkat Masumi sebagai calon pewaris, sekaligus mendidik Masumi dengan keras untuk mempersiapkannya menduduki posisi tersebut, kakek Shiori sama sekali belum menunjukkan niat ke arah sana. Di antara para putra masih terjadi persaingan ketat untuk menunjukkan kepada orang tua itu siapa yang paling layak menduduki kursi direktur utama. Dalam suasana konflik yang begitu panas itulah Masumi masuk.

Bahwa Masumi laki-laki yang sangat cerdas dan tangguh, sangat disadari oleh Tenno Takamiya. Orang tua itu memiliki kepekaan dan daya analisa yang luar biasa tajam untuk orang seusianya. Dia sangat mengenali potensi luar biasa dalam diri Masumi yang membuat Eisuke Hayami menjadikannya calon pewaris. Dan dia ingin membuktikannya sendiri. Dan dalam waktu singkat dia telah dibuat sangat tercengang dengan kemampuan Masumi. Jadi semua berita yang selama ini beredar tentang Masumi bukanlah isapan jempol belaka. Jiwa tuanya yang telah lama tertidur karena kebosanan seperti bangun dan menggeliat kembali menemukan lawan yang imbang. Dia merasa perjudiannya dengan mengumpankan cucu perempuannya demi mengenal dekat Masumi mendapat hasil yang sepadan.

Hanya perlu waktu kurang dari enam bulan bagi Masumi untuk menyusuri gurita bisnis keluarga Takamiya dan menemukan betapa bisnis besar keluarga itu berada dalam masalah yang sangat serius. Bisnis besar yang sudah mengalami kesuksesan bukanlah berarti pekerjaan berhenti sampai di situ saja. Perlu kerja keras tak putus-putus untuk melakukan ekspansi dan menggali segala potensi yang ada, selain juga regenerasi dari dalam untuk melahirkan bibit-bibit pemimpin baru yang akan memperkuat struktur manajemen perusahaan. Di samping perlunya manajemen yang terbuka dalam menyiasati peluang dan mengikuti selera pasar, sekaligus berhasil menciptakan arah dan kebutuhan dari konsumen yang dituju. Hal yang ternyata telah lama tidak lagi dilakukan oleh Takatsu. Tenno Takamiya yang memimpin dengan otoriter dan tangan besi masih mengandalkan pola lamanya yang kaku dan kuno, menolak segala perubahan, dan menganggap semua belum berubah sejak dua puluh tahun lalu, di jaman keemasannya. Sementara para putra yang dianggap akan mampu menjadi penerus tak semuanya adalah pimpinan yang kuat dan layak. Membuat perusahaan itu hanya tinggal besar di nama saja. Multi usaha yang telah ada mengalami stagnasi, tidak berkembang dan sama sekali tidak menawarkan inovasi baru yang dibutuhkan publik. Untuk menutupi biaya operasional yang terlanjur besar terpaksa harus dilakukan utang ke bank nasional dengan bunga besar karena hasil dari penjualan saham dari tahun ke tahun semakin menurun. Aset yang begitu besar sepertinya tinggal menunggu hitungan bulan saja untuk diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan baru yang lebih progresif.

Malam telah menjelang. Eisuke berhadapan dengan Masumi di ruang santai sebuah villa yang terletak di lereng Gunung Fuji. Keduanya sangat serius. Dokumen bertebaran di atas meja yang terletak di antar keduanya. Di latar belakang, Asa, seperti biasa dengan setia hanya mengamati dari posisinya yang tak terlalu terlihat pembicaraan antara kedua lelaki tersebut yang telah berlangsung lebih dari satu jam. Masumi lebih banyak berbicara. Wajahnya yang tampan tampak semakin matang dan tegas. Suaranya tenang, sama sekali tak tampak gurat kelelahan sisa dari berhari-hari kerja lembur tanpa istirahat yang cukup dan menempuh perjalanan darat menuju tempat ayahnya berada.

“Semua laporan ada dalam dokumen itu, ayah, siap untuk ayah gunakan sesuka hati ayah.”

Eisuke tertawa. “Kalau tidak mengenalmu dengan baik, aku pasti akan langsung menerima informasi ini dan menelannya mentah-mentah, Masumi. Kau seolah telah menyajikan kekuasaan untuk merebut Takatsu dalam piring emas. Tetapi aku tahu siapa kamu, Masumi. Aku yang telah mendidikmu sejak kecil, ingat? Aku harus yakin apa maumu sampai harus menyerahkan ini kepadaku sementara sebetulnya kau bisa merebutnya sendiri untuk kepentinganmu.”

“Aku tak pernah tertarik dengan Takatsu. Bagiku membereskan Takatsu adalah perkara yang teramat mudah dan bisa kuselesaikan dalam waktu singkat. Tetapi perusahaan itu sama sekali tak membuatku berhasrat menginginkannya. Terlalu mudah, kurang menantang, dan dengan cepat akan membuatku bosan. Aku perlu tantangan lebih. Tetapi ayah lain. Ayah punya hutang budi masa lalu pada keluarga itu. Hutang budi yang bila tidak diselesaikan secara benar akan membebaniku juga. Makanya akan lebih tepat bila hal ini ditangani oleh ayah.”

Eisuke memandangi putranya. Semakin diamati Eisuke seperti menemukan jejak dirinya dalam diri Masumi. Sungguh ajaib ikatan antara keduanya, dan meskipun mereka sama sekali tak punya ikatan darah, namun Eisuke pasti dengan bangga mengakui bahwa inilah putra impian tumpuan harapannya.

“Omong-omong bagaimana kabar istri cantikmu, Masumi?”

“Terakhir minggu kemarin dia masih di New York bersama teman-teman jet setnya.”

“Apakah kau sama sekali tak peduli padanya?”

“Maaf, tidak ayah.”

“Bagaimana kau memperlakukannya, Masumi?”

“Jauh lebih baik dari ayah memperlakukan ibuku dulu.”

Eisuke mengerang, memandang jauh ke luar jendela di kegelapan malam. Di usianya yang semakin tua, dalam kondisi kesehatan yang kian memburuk entah kenapa masa lalu kerap menghantuinya. Kematian Mayuko beberapa bulan yang lalu seolah telah membawa pergi semua pudar kehidupan dari dirinya. “Masumi, apakah kau percaya kalau kukatakan bahwa terkadang aku merasa mencintaimu dan sangat berterima-kasih pada ibumu karena telah melahirkan dirimu ini untukku?”

Masumi terdiam sesaat. “Tidak, ayah, maaf.”

Eisuke tersenyum getir. “Kuharap kau tidak menolak bila aku memintamu menginap di sini dan menemaniku memancing besok. Sudah lama aku tak menikmati memancing bersamamu. Dan kebetulan danau yang berada tak jauh dari sini banyak sekali ikannya. Sebagai direktur utama Daito, aku memerintahkanmu untuk berlibur sejenak.”

“Baiklah, ayah.”

Sepeninggal Masumi, Eisuke meminta Asa untuk menghubungi sebuah nomor melalui telepon satelit di vila itu. Tenno Takamiya sepertinya tak akan bisa tidur nyenyak malam ini.

Keesokan harinya, sesuai janjinya Masumi menemui ayahnya yang telah lebih dulu berangkat ke danau tempat mereka memancing. Namun Masumi menyembunyikan kekagetannya saat melihat ternyata bukan hanya ayahnya yang sepagi itu telah duduk menghadapi joran, Tenno Takamiya pun telah berada di sana. Setelah mengucapkan selamat pagi kepada keduanya, Masumi menempati posisinya dan menemani kedua orang tua itu bercengkrama di antara umpan-umpan pancing mereka. Pertemuan bisnis antar orang tua memang sesuatu yang sangat dinikmati oelh Masumi. Berbeda dengan para eksekutif muda yang lebih memilih hotel atau ruang pertemuan resmi sebagai sarana melancarkan bisnis, yang tak jarang disertai perdebatan seru dan aksi saling jegal, pertemuan di antara generasi tua jauh lebih beradab. Dengan gaya bicara sopan santun dan menjunjung etika tingkat tinggi, seringkali perundingan diselesaikan dengan cara yang lebih sederhana dan bermartabat. Seperti saat ini.

“Saya harap Masumi tidak memalukan Keluarga Hayami dengan bersikap pantas dalam Keluarga Takamiya,” Eisuke memulai basa-basi.

“Hohoho... sama sekali tidak. Justru kami, Keluarga Takamiya sangat merasa terhormat diberi kesempatan mengambil Masumi Hayami sebagai menantu. Terus terang Tuan Hayami, kami iri sekali dengan putra kesayangan Anda ini,” Tuan Takamiya merendah dengan anggun.

“Tentunya acara pagi ini akan lebih menyenangkan bila Tuan Takamiya juga mengajak serta putra pewarisnya bersama kita. Mungkin Masumi, dalam kesibukannya, kurang menjalin hubungan akrab dengan ayah mertuanya,” lanjut Eisuke.

“Memang terkadang orang tua maunya membawa serta anak mereka, namun sering kali anak dan ayah sulit menemukan waktu yang pas,” Tenno mengelak.

Masumi hanya mendengarkan saja perbincangan itu, karena tahu sekali putra pewaris yang dimaksud, yaitu ayah Shiori, selain lemah, tidak punya kemampuan bisnis yang baik, juga cenderung pemalas dan suka berfoya-foya.

Setelah berbasa-basi cukup lama dengar membicarakan hal-hal yang umum, akhirnya obrolan memasuki ke akar permasalahan.

“Masumi, Tuan Takamiya telah berbaik hati menganggapmu sebagai bagian inti keluarga, sehingga beliau memberimu kepercayaan penuh untuk menyelesaikan kemelut dalam perusahaan. Kami sangat berharap kau bisa menerima wewenang ini dan menjalankannya dengan semestinya dan penuh martabat,” Eisuke memandangi putranya yang pagi ini tampak tampan dalam busana santainya yang elegan dan berkelas.

“Tentunya kami Keluarga Takamiya akan sangat berterima-kasih dan berhutang budi kepada Keluarga Hayami bila rencana ini berhasil. Kami tak akan segan-segan menawarkan kesepakatan yang tentunya akan sangat menguntungkan kedua belah pihak. Saya harap dengan segala kerendahan hati tawaran ini diterima.”

Masumi diam sejenak. Ini memang saat yang telah lama dinantinya, saatnya dia memainkan kartu asnya. “Bila memang sudah diputuskan demikian, tentunya saya sangat merasa terhormat dengan wewenang ini. Mungkin kemampuan saya yang terbatas hanya sanggup memberikan janji tiga bulan untuk menyelesaikan permasalahan, tentunya dengan akses penuh yang diatur dan ditentukan oleh direktur utama Takatsu. Sedangkan untuk kesepakatan antara Daito dan Takatsu, saya sepenuhnya menyerahkan kepada ayah sebagai direktur utama Daito untuk membahasnya. Sedangkan dari pihak saya pribadi, saya hanya mengharapkan dua hal.”

Ada jeda sejenak setelah Masumi mengutarakan jawabannya.

“Bila harapan itu bisa dipenuhi Keluarga Takamiya, maka kami tak akan segan-segan mengabulkannya,” kata Tenno Takamiya.

“Sebetulnya tidaklah sulit. Bila saya berhasil mengatasi kemelut di Takatsu, saya ingin hutang budi Keluarga Hayami dan daito terhadap Keluarga Takamiya dan Takatsu dianggap impas. Selain itu saya ingin pernikahan saya juga diakhiri demi kebaikan semuanya.”

Dalam hati Eisuke memuji kelihaian Masumi dalam berdiplomasi untuk mencapai tujuan pribadinya. Tawaran tersebut sungguh sangat berat bagi Tenno Takamiya. Terlepas dari perasaannya terhadap cucu kesayangannya, Lelaki itu telah bekerja keras sekian lama membangun dan membesarkan Takatsu. Tentunya dia tak akan rela hasil jerih payahnya hancur berantakan di tangan pewarisnya yang lemah.

“Terus terang, berat sekali bagi saya mengorbankan kebahagiaan cucu kesayangan saya, meski perusahaan juga tak kalah penting buat saya,” jawab Tenno Takamiya setelah sekian lama.

“Percayalah Tuan Takamiya apa yang saya katakan itu semua demi kebaikan dan kebahagiaan Shiori sendiri. Hanya saja dia belum memahaminya saat ini. Saya bukanlah suami yang tepat untuknya. Saya tak bsa membahagiakannya.”

“Baiklah Masumi, kalau memang itu jalan yang harus ditempuh. Tapi mohon diingat bahwa Shiori itu sangatlah sensitif dan harga dirinya begitu tinggi. Jadi untuk urusan mengakhiri pernikahan, mohon ditempuh cara yang tidak melukai hatinya.”

Tepat seperti jangka waktu yang dijanjikan, Masumi dengan bekerja sekeras tubuhnya mampu akhirnya berhasil mengatasi kemelut dalam Takatsu dan menambahkan beberapa miliar Yen dalam aset Daito. Dan tepat setelah satu tahun pernikahannya dengan Shiori pun diakhiri. Sebagaimana layaknya lelaki sejati Masumi membiarkan dirinya untuk menerima seluruh aib dan membiarkan Shiori yang menuntutnya untuk pembatalan pernikahan mereka. Hidupnya memang masih sangat sepi, namun tidak lagi terasa gelap dan pahit.

-end of flash back-

1 comment: