Wednesday, June 29, 2011

Marriage By Arrangement (7)

Minggu-minggu berikut Caro sibuk menganalisa berbagai perasaan yang berkecamuk di dadanya. Saat berbincang dengan suaminya dia sering mendapati dirinya tanpa sadar memandang sosoknya. Mengagumi sepasang mata abu-abu tajam, dengan alis gelap, segelap warna rambutnya yang sudah mulai berubah abu-abu di pelipisnya. Mencintai garis-garis halus di wajahnya yang tampan dengan rahang kokoh dan hidung mancung aristokratnya yang sombong itu. Dan setiap memandangnya dia merasakan cintanya yang semakin dalam itu semakin sulit disembunyikan. Akankah James akan mengetahuinya?

“Caro? Sayang?” tanya James petang itu saat mereka sedang bersantai di ruang duduk sambil menunggu makan malam dihidangkan.

Cepat-cepat Caro mengalihkan pandangannya dengan wajah memerah. Lagi-lagi aku melakukannya tanpa sadar.

“Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan padaku? Kulihat kau sering memperhatikanku lebih intens, seperti seorang anak yang akan meminta sesuatu tetapi ragu-ragu untuk mengatakannya.”

“Tidak, James, tidak ada apa-apa,” katanya gugup.

“Kau yakin?”

Caro mengangguk. Dan James yang memahami bahwa istrinya tak akan membuka mulut akhirnya mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang umum. Selain seks, hubungan komunikasi di antara mereka berdua layaknya pasangan suami istri yang sudah lama menikah. Di pagi hari biasanya bila Caro sedang tidak berdinas malam, berdua dengan James mereka membawa Jason jalan-jalan. Meski hanya setengah atau satu jam ternyata mereka sangat menikmati kegiatan itu. Karena setelah sarapan pagi biasanya mereka harus disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Terkadang bila James sedang berdinas di St. Agnes, dia akan membawa Caro makan siang bersama. Saat minum teh pun selalu dia habiskan di ruangan Caro. Namun selain itu mereka baru bisa bersama saat minum teh sore. Akhir minggu biasanya mereka habiskan dengan berdua. Kadang berbelanja, menjelajah pertokoan, atau hanya sekedar menghabiskan waktu di rumah. Pernah sekali saat belum terlalu dingin James mengajak Caro nonton sepak bola dari klub yang ternyata sama-sama mereka favoritkan. Meski James tak berkomentar apa-apa tetapi Caro yakin harga tiket itu sangat mahal dan sangat sulit untuk mendapatkannya.

Undangan jamuan makan malam pun banyak berdatangan dari para kolega James. Dalam seminggu mereka bisa menghadiri tiga undangan. Kalau tidak mereka juga harus mengadakan jamuan makan balasan. Caro bukannya tak menikmati hal itu. Namun dia merasa bahwa mereka bergerak di lingkar orang-orang yang terlalu tua untuknya.

“Istri direktur St. Agnes mengundangku untuk minum teh minggu depan,” Caro mengabarkan pada James. “Mungkin aku akan menolaknya karena bertepatan dengan jadwal dinas malam.”

“Kalau kau menelpon sekarang, bisa jadi istri direktur itu akan meminta suaminya menggunakan pengaruhnya untuk membebaskanmu dari dinas malam, Caro. Kau tahu sendiri kan bagaimana para istri?”

“Dan terus terang aku tak menyukai hal itu. Hanya karena aku istrimu dan dia istri direktur, apakah berarti semua aturan bisa dibelokkan?” Caro bersungut-sungut.

“Katakan Caro, apakah rutinitas ini terlalu menjemukan bagimu?”

“Tidak juga. Hanya saja kupikir kau hanya mengenalkanku pada lingkung sosialmu secara terbatas, James. Aku yakin di masa lajangmu pergaulanmu lebih aktif dari ini.”

“Apakah kau pikir setiap malam aku berkencan dengan gadis-gadis dan berdansa dari satu klub malam ke klub malam yang lain?” James bertanya menyelidik.

“Ayolah, jangan rendahkan imajinasiku, James. Tak mungkin setiap malam kau hanya menghabiskan waktu bersama para kolega dari golongan senior. Kau tampan, kaya, dan aku yakin kau cukup populer dengan deretan gadis cantik yang antri menunggu ajakanmu.”

“Kau cemburu, Caro?”

“Jangan konyol!” bantah Caro. Tak urung wajahnya memerah. “Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Termasuk masa lalumu dan lingkungan tempat pergaulanmu. Tidak salah kan? Aku janji aku tidak akan usil.”

“Pelan-pelan saja, Caro, atau kau tak akan bisa menerimanya. Terus terang aku tak sesuci dirimu. Aku tiga belas tahun lebih tua darimu, dan selama waktu itu banyak hal sudah terjadi. Aku tak memungkiri bahwa seperti lelaki lain aku beberapa kali terlibat serius dengan wanita. Namun saat aku menikahimu aku sudah berkomitmen untukmu. Dan aku juga sudah melupakan semuanya. Bila kau khawatir aku mempunyai perempuan simpanan atau anak gelap, aku yakinkan kau bahwa itu tidak ada. Aku memuji diriku tidak sebodoh itu.”

“Kau banyak menyembunyikan hal dariku.”

“Aku tidak menyembunyikannya, aku hanya menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya padamu.”

“Termasuk kenapa kau setiap Selasa dan Kamis selalu pulang terlambat?” Caro mengangkat alisnya.

James terdiam sejenak. “Iya, termasuk yang itu.”

“Apakah ada alasan tertentu kenapa kau tak mengatakannya?”

“Kau ingin tahu?”

“Bila kau tak keberatan. Aku tahu pernikahan kita tidak seperti pernikahan normal lainnya. Bila itu kau anggap melanggar privasimu, aku tak akan mengungkitnya lagi. Asal itu tak melanggar kesepakatan kita semula, aku tak mau ada affair atau pernikahan kita bubar.”

James menatapnya tajam. Wajahnya tampak mengeras. “Kembali Caro yang bertopeng dingin. Kau tak perlu mengingatkanku akan kesepakatan pernikahan kita, Caro. Aku ingat dengan baik sekali.”

Suasana menjadi dingin. Sepanjang makan malam mereka tak banyak berbincang. Dan setelahnya dengan dalih banyak pekerjaan keduanya masuk ke ruang studi masing-masing.

Di depan meja kerjanya Caro membolak-balik bukunya dengan bosan. Dia mengutuki kebodohannya. Mereka telah bertengkar beberapa kali. Dan Caro biasanya selalu menghadapinya dengan gagah berani. Omongan-omongan James yang pedas dan sinis selalu bisa dibalasnya dengan tak kalah tajam, membuat James gemas setengah mati dan menghentikan perdebatan mereka dengan ciuman yang menggebu. Biasanya mereka akan segera berakhir di tempat tidur. Tetapi James yang keras dan dingin baru dihadapinya malam ini. Tatapan matanya yang tajam seolah mampu membungkam Caro hingga ke dasar hatinya. Caro tahu bahwa dia telah melewati batas. Dan dia sangat menyesal.

Sudah lewat tengah malam ketika akhirnya James keluar dari ruang studinya. Dia menuju ke kamar tidur dan mendapati istrinya belum kembali. Setelah berganti piama dan mengenakan jas kamar, dia memasuki ruang kerja Caro yang ternyata tidak terkunci. Dia tersenyum lembut melihat gadis itu tidur meringkuk di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Bukunya terjatuh ke lantai. Rambutnya terurai seperti awan yang kusut di bahunya. Malam ini Caro mengenakan pakaian tidur yang sama sekali tidak seksi, celana olah raga tua dan kaus katun yang sudah pudar warnanya. Namun bagi James istrinya tampak begitu menggemaskan saat sedang tidur. Kulitnya yang bersih dan halus seolah transparan. Dan bibrnya yang menjadi nilai plus tertinggi itu terbuka dan mengundang. James mendekat dan membelai wajah Caro dengan sayang, sebelum akhirnya menggendongnya ke kamar.

Pagi hari Caro terbangun saat merasakan kehangatan melingkupinya. Dengan mengantuk dipaksanya matanya terbuka dan dia langsung berhadapan dengan James yang menatapnya dengan mata membara.

“Selamat pagi, tukang tidur,” kata lelaki itu parau sambil menggerakkan bibirnya di daun telinga Caro.

“James, aku tak ingat kau mengangkatku ke tempat tidur,” bisiknya.

“Dan aku telah semalaman tidak bisa tidur, menunggumu terbangun,” James menggeram sebelum akhirnya merengkuhnya dan menciumnya dengan keras.

Secara refleks Caro membalas ciuman James, merapatkan tubuhnya yang hangat ke tubuh keras James. Pagi itu adalah salah satu hari dimana Jason kehilangan sesi jalan-jalan paginya.

Hari Kamis James mengantar Caro ke rumah sakit dan berjanji akan menjemputnya tepat waktu. Caro yang sudah sangat memahami ritme kerja praktisi kesehatan tak berharap banyak. Baik dirinya maupun James sangat sulit meninggalkan pekerjaan tepat waktu. Selalu saja ada halangan tak terduga di detik-detik terakhir jam dinas mereka. Namun hari itu keberuntungan sepertinya berpihak kepada mereka berdua. Satu menit sebelum jam kerjanya berakhir James telah muncul di depan ruangannya. Caro yang sedang mengecek kembali isi tasnya, mendongakkan wajah dan mendapati James sedang tersenyum lembut ke arahnya.

James mengemudikan mobilnya tanpa banyak bicara. Caro yang duduk di sebelahnya menahan semua rasa penasarannya dan hanya memandangi jalanan yang mereka lalui. Mereka tidak pergi terlalu jauh. James mengambil arah jalan sempit antara Bethnal Green dan Whitechapel Road, kemudia berputar ke jalanan kumuh bernama Rose Road, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat dua yang sederhana dengan jendela-jendela rendah bercat putih. Sebuah plakat papan sederhana bertuliskan “Tempat Praktek Dr. John Bright” terpasang di atas pintu. Caro menghela nafas rendah dan menoleh menatap James meminta penjelasan.

“Tidak sekarang, Caro, masuklah.”

Caro tak membantah dan dengan patuh mengikuti James memasuki pintu yang mengarah langsung ke ruang tunggu yang telah penuh dan ribut dengan pasien. Mereka berhenti bicara begitu melihat kehadiran James, mengucapkan “Selamat sore, Dokter,” dan memandang heran ke arah Caro.

“Istri saya,” dia memperkenalkan, “Dan seorang dokter juga. Dia akan membantu sore ini.”

Terdengar gumaman dari para pasien. Caro membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum ramah.

“Dok, anda benar-benar tahu cara memilih istri,” komentar salah seorang pasien yang disambut tawa oleh yang lain.

James mengangguk singkat dan menggandeng Caro memasuki ruangan, tempat seorang lelaki setengah baya bersama seorang perawat laki-laki.

“Halo, John, aku membawa istriku kemari. Caro, kenalkan John Bright, yang memiliki tempat praktek ini dan berbaik hati membiarkanku membantu dua kali seminggu.”

Caro bersalaman dengan dokter tua berwajah teduh itu.

“Dan ini perawat, Adam, yang membantu sehari-hari. Di ruang sebelah ada Sandra, resepsionis, kau bisa menemuinya nanti.”

Sandra muncul tanpa diundang. Seorang perempuan di awal limapuluhan yang meski ramah namun tampak tegas. Sambutan ramah mereka membuat Caro merasa bersalah dan sangat konyol. Apa yang telah merasuki pikirannya? Dengan penuh penyesalan Caro memandang James, namun Dr. Bright sedang berbicara.

“Saya senang sekali anda mampir, Nyonya. James telah banyak menceritakan anda, dan ternyata dia sama sekali tak melebih-lebihkan,” dia berhenti sejenak, “Anda bisa duduk di ruangan Sandra kalau tidak keberatan.”

“Saya akan membantu,” sahut Caro cepat.

James mengangkat alis dengan jenaka, “Kau dengar sendiri kan John? Kau tak akan percaya kalau istriku ini seorang malaikat?”

Baik John, Adam, maupun James tertawa berderai membuat wajah Caro memerah.

Dan sore itu hanya dengan mereka berempat Caro telah mampu mengatasi beberapa pasien dari kalangan tuna wisma, kaum jalanan, dan orang-orang dengan tingkat ekonomi rendah. Di antara kesibukannya melayani pasien yang membanjir, Caro harus menggendong seorang bayi yang memuntahkan susu di bajunya ketika ibunya menerima pengobatan dari Dr. Bright karena si bayi menolak digendong Adam. Dia juga harus membersihkan luka yang sudah hampir membusuk dari seorang remaja berpenampilan super jorok yang sepertinya tidak sadar bahwa lukanya hampir menjadi gangren.

Pasien terakhir pergi setelah waktu menunjukkan hampir jam sembilan malam. Sandra segera pergi karena dia memiliki anak-anak remaja di rumah. Karena Dr. Bright tinggal di lantai dua gedung itu, dia mengundang semuanya untuk minum teh. Pada akhirnya Caro memasuki dapur sederhana Dr. Bright, dan dengan bahan yang ditemuinya dia berkreasi menciptakan makan malam yang meski terlambat namun layak bagi mereka.

“Kubilang juga apa, John? Caro jago masak,” kata James bangga dan mencium Caro dengan lembut.

“Aku tak akan membantah. Hanya saja dia terlalu bagus untukmu,” canda Dr. Bright.

Setelah makan para lelaki bertugas membersihkan tempat bekas makan dan mencuci piring. Mereka berbincang-bincang lagi di antara minum kopi.

“Dr. Bright, apakah anda membuka lowongan untuk rekanan dalam mengurus praktek ini?” tanya Caro yang disambut tatapan terkejut lelaki tua itu. “Karena saya tak akan keberatan bekerja di klinik ini setiap hari, pada jam normal tentu saja.”

James yang duduk di sebelah Caro meremas jemari istrinya. Bibirnya menyunggingkan senyum seolah dia telah bisa menebak jalan pikiran Caro.

“Tentu saja, Dr. Willis. Asalkan James mau bermurah hati membagimu untuk kami,” Dr. Bright tertawa. “Terus terang kami memerlukan satu rekanan lagi. Namun jarang yang berminat karena kami melayani pasien yang kurang mampu. James telah berbaik hati mengurus pendanaannya sehingga kami tidak pernah kekurangan suplai obat dan peralatan.”

Akhirnya mau tidak mau mereka membicarakan tentang finansial klinik. Dr. Bright bekerja secara sukarela. Dana yang diperoleh dari Departemen Kesehatan Kota London tidak terlalu besar untuk melayani pasien yang ada. Adam dan Sandra di gaji oleh pemerintah. Dr.Bright memiliki sumber penghasilan lain dari aset yang dimilikinya, karena merasa sudah tua dan hidup sendiri dia menikmati kerja sosial itu. Dana tambahan untuk operasional klinik diperoleh dari yayasan yang dikelola James dengan menghimpun dana baik dari koceknya sendiri maupun memanfaatkan para kolega yang kaya.

Di atas tempat tidur malam itu, James menanyakan lagi tentang niat Caro. “Kau sungguh-sungguh sayang?”

“Aku serius, James. Ini tepat seperti yang kuinginkan. Lagipula aku akan sedikit mengurangi bebanmu karena aku tak mau dibayar.”

James mengangkat alisnya, “Hm?”

“Ayolah, James, kau telah memberiku uang bulanan yang jumlahnya bahkan jauh lebih besar dari gajiku selama ini. Selain itu aku juga punya dana warisan. Jadi aku bisa bebas membantu di sana. Aku harus keluar dari rumah sakit dan mengurus ijin praktek pribadiku secepatnya,” Caro membayangkan meninggalkan lembaga rumah sakit yang telah sekian tahun mempekerjakannya. “Yang aku tak habis mengerti, kenapa kau menutupi semuanya dariku selama ini?”

James terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku ingin kau menyukaiku karena diriku, bukan karena apa yang kulakukan.”

Caro terdiam, dia sangat memahami apa maksud James. Di mata orang lain hal ini bisa merupakan sesuatu yang romantis dan sedikit dramatis, bahwa seorang spesialis dengan praktek elit yang sukses di Harley Street, sering melayanai pasien-pasien internasional, dengan pasien tersebar di beberapa rumah sakit ternama kota London, memilih membantu pada praktek dokter umum biasa di kawasan kumuh dekat Whitechapel Road. Ini pasti akan sangat mengesankan gadis-gadis bahkan yang lebih bodoh darinya. Caro memutar cincin kawin di jarinya. Terus terang, bodoh atau tidak, Caro juga sangat terkesan. Caro mendongak menatap James yang memandangnya dengan tajam.

“Kulihat kau mengerti maksudku.”

Caro menjawab seketika. “Oh ya, pasti. Tapi asal kau tahu, kau sebenarnya tak perlu menyembunyikannya dariku karena aku sudah menyukaimu. Jadi apapun yang kau lakukan maupun tidak kau lakukan tak banyak berarti untuk mengubahnya.”

James mencium Caro dengan mesra dan dalam. “Kenapa ya aku sama sekali tak terkejut dengan semua reaksimu?” tanyanya dan kembali menciumnya. “Tetapi aku khawatir dan tidak yakin, Caro. Pekerjaan di Rose Road pekerjaan yang keras dan berat di lingkungan yang sangat kotor dan berbahaya. Bahkan jauh lebih buruk daripada di ruang gawat darurat. Aku tak mau kau celaka.”

“Percayalah, James, aku bisa menjaga diri. Aku tak serapuh kupu-kupu, tahu?” Caro memegang wajah suaminya meyakinkan. “Lagipula meski ini tak seindah impianku untuk menjadi dokter di pedasaan, paling tidak ini mendekati,” Caro tersenyum kecil.

“Apakah kau masih terobsesi dengan impianmu itu, Caro?” tanya James.

“Tentu saja. Orang boleh punya mimpi kan?” Caro yang dalam suka cita rencananya itu sama sekali tak memperhatikan tatapan James yang tajam.

***

Hanya perlu waktu dua minggu bagi Caro untuk melepaskan diri dari pekerjaan lamanya dan memulai aktifitas barunya sebagai dokter umum di klinik Dr. Bright. Namun demi ketenangan James, Caro tak pernah menyetir sendiri ke sana. James selalu mengantar dan menjemputnya. Kalau sedang sibuk tugas itu dibebankan kepada Knotty. Karena James selalu datang hari Selasa dan Kamis, maka khusus dua hari itu Caro bekerja dari siang setelah makan hingga malam menemani James. Secara umum Caro menikmati pekerjaan barunya. Caro juga harus melakukan kunjungan ke pasien. Biasanya dia selalu ditemani oleh Adam. Baik Dr. Bright maupun James kompak melarang Caro untuk merambah zona yang berbahaya karena di daerah-daerah dimana pasien klinik tinggal terkenal sangat rawan.

Natal menjelang dengan kabar gembira dari kedua orang tua James yang akhirnya memutuskan kembali ke Inggris. Mereka akan singgah di Richmond sebelum pulang ke York. Itu artinya Caro berkesempatan menghabiskan akhir pekan bersama mertua yang baru dikenalnya lewat chatting internet dan telepon. Sekaligus pertama kalinya dia akan mendatangi Richmond. Meski rumah di sana telah menjadi milik James, namun baik James maupun Caro sepakat untuk sementara mereka belum mau meninggalkan rumah di Mayfair ini.

Sabtu pagi yang dingin, dengan membawa Jason di jok belakang, mereka menyusuri jalanan yang mulai ditutupi salju tebal. Setiba di depan rumah di Richmond, Caro ternganga melihat keindahan bangunan kuno itu. Selain besar rumah itu juga tampak indah. Dan sekarang dengan ditutupi salju membuatnya benar-benar seperti dalam dongeng.

“Kau menyukainya?” tanya James menggoda melihat istrinya yang ternganga.

“Kau serius? Ini indah sekali.”

Sambil tertawa James menggandeng Caro menuju pintu sementara Jason menyalak gembira di antara mereka. Pintu depan dibuka oleh lelaki tua yang berwajah ramah.

“Selamat datang, Tuan James. Sudah lama sekali anda tidak ke sini,” sambutnya.

“Greg, senang melihatmu lagi. Ini kenalkan, istriku, Caro. Caro, ini Greg yang bersama istrinya menjaga rumah ini untukku.”

Caro tersenyum menjabat tangan Greg. James seolah diberkati dengan dikelilingi orang-orang yang loyal padanya. Caro teringat Knotty dan Hannah di Mayfair. Terdengar suara seorang perempuan memanggil dari arah dalam. James langsung menarik Caro memasuki rumah yang begitu luas dan ditata dengan interior mewah yang antik. Ibu James sudah menunggu di ruang duduk bersama ayahnya. Wanita itu masih tampak menarik dan lembut meski usianya sudah lewat enam puluh. Sementara ayah James adalah versi tua dari putranya, tetap tampan dan tegap di usia senja. Caro menerima pelukan dan ciuman dari keduanya sebelum akhirnya duduk di sebelah ibu mertuanya.

“Sayang, akhirnya aku bertemu denganmu,” katanya dengan bahagia menggengam tangan Caro. “Aku bahagia untuk kalian berdua. Kau gadis yang begitu tepat untuk James. Tidak rugi dia menunggu selama ini untuk mendapatkan gadis sepertimu.”

Caro menerima pujian mertuanya dengan wajah tersipu. Mereka berbincang dengan akrab, menceritakan masa lalu James yang membuat lelaki itu protes keras.

“Ibu, aku bukan lagi anak kecil, janganlah aku dipermalukan di depan istriku.”

“Ah, omong kosong, bagiku kau tak lebih bayi yang kemarin aku timang dan memakai popok,” canda ibunya.

Selesai makan siang kedua orang tua James harus beristirahat. Kesempatan itu digunakan James untuk menggiring istrinya mengelilingi rumah. Rumah ini sangat besar dengan banyak kamar berukuran luas. Mereka akan menempati kamar utama yang ada di bagian depan rumah yang luas ruangannya hampir seluas apartemen lama Caro. Perabotnya terbuat dari kayu kuno yang indah dan antik. Tempat tidur yang besar dan tinggi, lemari yang besar, hingga meja rias kuno yang tak kalah antiknya. Seprai, gorden, taplak, tutup lampu semua berbahan sutra kuno yang dijaga dengan baik. Karpetnya yang tebal menutupi lantai menawarkan kenyamana.

“Kamar ini ditempati turun temurun oleh keluargaku sejak hampir lima generasi lalu, dan tak satupun dari tiap generasi merubah tradisi ini,” James menerangkan. “Kini giliran kita, karena aku anak lelaki tertua. Namun kita tak harus mengikuti tradisi itu. Semua terserah padamu. Kalau kau ingin merombak seluruh perabotan dalam rumah ini aku akan dengan senang hati menurutinya dan tak ada seorang pun yang akan menyalahkanmu.”

“Merombak tempat ini? Kau gila James bila menganggapku akan merubahnya. Rumah ini cantik dan aku sangat menyukainya, apa adanya.”

Di lantai bawah ada ruang anak-anak yang sangat luas. Meski tidak ditempati untuk sekian lama, namun ruangan itu tetap terjaga bersih dan rapi. Deretan tempat tidur mungil mengisi sepanjang sisi dindingnya selain rak-rak tempat menyimpan mainan.

“Kami berempat rata-rata tinggal di sini hingga lulus taman kanak-kanak, saat kami sudah mendapat kamar masing-masing. Meski kami punya pengasuh, namun ibu setiap hari yang mengasuh dan menjaga kami.”

Selanjutnya James menunjukkan pada Caro kamarnya saat remaja. Caro tertawa melihat foto-foto James jaman masih kanak-kanak hingga remaja. James tampak sebagai remaja tampan yang populer dan sedikit nakal. Dari buku kenangan masa sekolah menengah, James menunjukkan pada Caro pacar pertamanya. “Namanya Cynthia. Dia cantik, pirang, dan aku memacarinya semata-mata karena akan tampak keren kalau berpacaran dengan gadis yang menjadi incaran setiap anak laki-laki. Sayang pada tahun terakhir sekolah, setelah kami putus dia berpacaran dengan bintang sepak bola dan keluar sebelum tamat karena hamil. Kudengar sekarang dia di London bekerja di sebuah klub malam dan sudah bercerai tiga kali.”

Foto-foto James di universitas menunjukkan perubahan yang sangat banyak. Selain tubuhnya lebih kekar, raut muka bandel pun tak lagi muncul di kedua matanya. Saat itu James sudah menjelma menjadi lelaki muda yang serius. “Kau pasti tahu seperti apa kulian kedokteran itu kan? Kau mengalaminya sendiri,” katanya sambil tertawa.

“Kamar ini sepertinya tak berubah, James. Waktu seperti berhenti di tempat ini.”

“Aku yang meminta untuk tidak merubah kamar ini. Telah lama aku menantikan kesempatan untuk mencumbu istriku di kamar ini,” James menatap Caro dengan tatapan berapi-api. “Dan sekarang, Caro, aku tak mau menunggu lagi.”

Akhir pekan itu menjadi akhir pekan yang tak terlupakan oleh Caro. Kedua mertuanya adalah orang-orang yang memiliki pernikahan kokoh dan bahagia sehingga kebahagiaan mereka seperti menular kepada orang-orang di sekitarnya.

“James begitu mirip ayahnya. Dulu pun ayahnya menikah denganku setelah usianya empat puluh. Kami bertemu di rumah sakit juga, dia menjadi dokter di sana dan aku seorang perawat. Ayah James sangat populer dan sangat tampan sehingga seperti mimpi rasanya ketika dia melamarku. Dan sejak itu aku selalu merasa bersyukur karena telah dicintai begitu dalam olehnya,” cerita ibu James.

Sayang James tak mencintainya. James menyayangi dan menyukainya, tapi tidak mencintainya.

Malam hari di kamar mereka, James dan Caro sedang bersiap untuk tidur.

“Bagaimana sayang, pendapatmu untuk tinggal di sini?”

“Aku akan suka sekali, James. Namun rumah ini begitu besar sedangkan kita hanya berdua saja.”

“Rumah ini memang dibangun jaman dulu saat masing-masing keluarga terbiasa memiliki banyak anak. Ruang anak-anak di lantai bawah sudah begitu lama kosong sejak kami berempat menempatinya.”

Caro menatap suaminya dengan jantung berdebar.

“Apa pendapatmu tentang anak, Caro?”

“Aku suka anak-anak.”

“Berapa anak yang kau inginkan?”

“Dua, empat, berapapun tak akan masalah.”

“Kau masih meminum obat pencegegah kehamilan?”

Malam itu diawasi oleh mata tajam suaminya, Caro mengeluarkan botol berisi pil pencegah kehamilan yang dia bawa dalam tas. Caro membuka tutupnya dan menuang isinya ke dalam kloset sementara botol kosong itu berakhir di tempat sampah. Seperti kesetanan James langsung mengangkat istrinya, membawa ke tempat tidur yang besar itu, dan menindihnya. “Sayang, aku tak sabar untuk segera menjadi ayah,” bisiknya parau penuh gairah.

Beberapa saat kemudia, dengan berpelukan keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah kenapa percintaan mereka malam itu terasa lain. James yang pertama begitu menggebu, kemudian mencumbunya dengan lembut dan penuh pemujaan membuat Caro ingin menangis dan meneriakkan perasaannya kepada suaminya. Namun bibirnya tetap bungkam.

“Caro, kau sama sekali belum pernah mengundangku ke rumahmu di Essex,” bisik James dalam keremangan cahaya lampu tidur antik di samping ranjang mereka.

“Rumahku sangat sederhana dan tidak ada apa-apanya dibanding milikmu, James.”

“Kau sudah melihat semua kehidupan masa laluku. Rasanya tidak adil bila aku tidak mendapatkan kesempatan yang sama.”

“Ah, James, masa laluku tidak semenarik masa lalumu,” Caro mengelak.

“Caro, kau sangat tidak berperasaan. Undang aku ke Essex, oke?”

“Hm...”

“Caro...” melihat istrinya sedang bermaksud menggodanya lebih lama, cepat-cepat James begerak, mendominasi Caro dengan tubuhnya yang besar, “Bila aku mencumbumu dengan sangat lembut dan memuaskanmu berkali-kali, apakah kau akan mengundangku ke Essex?”

Sebuah godaan yang tidak mungkin ditolak oleh Caro.

3 comments:

  1. kyaaaa makin adicted nih lanjoooot MBA 8....

    ReplyDelete
  2. makin penasaran aja setiap chapternya............
    Olly emang keren hehehe

    ReplyDelete
  3. Jamessssss.........
    Saranghae Oppa........(James ngerti g ya ???????) hehehehehe......... <(^o^)>
    Ceritanya makin greget, 4 Jempol buat Olly......

    ReplyDelete