Monday, June 20, 2011

Marriage By Arrangement (5)

Caro memandang bayangannya di cermin kamar mandi. Tubuhnya terbalut gaun tidur tipis sewarna laut yang ringkih dengan tali bahu mungil. Gaun tidur itu hampir tak menyembunyikan lekuk feminin tubuhnya, bagian bawahnya menjuntai lebar menutupi perutnya hingga tepat di bawah pinggul, sementara potongan dadanya yang lebar berhenti tepat di atas lekuk payudaranya. Sederhana tanpa hiasan, tapi tetap seksi. Rambutnya yang berwarna merah dan tergerai hingga ke punggung tampak berkilau di bawah sinar lampu. Tanpa menunggu lama, yang hanya akan membuatnya semakin gugup, Caro melangkah keluar.

Tempat tidur pilihan mereka memang berukuran sangat besar, bahkan untuk standard King-Size, untuk mengakomodir proporsi tubuh James yang tinggi besar. Tempat tidur tersebut berdiri di atas karpet Aubusson tebal yang menghampar menawarkan kehangatan. Keseluruhan kamar yang luas itu didesain simple namun nyaman. Tak ada kerutan maupun rumbai yang berlebihan. Tiga jendela tinggi bercat putih kontras indah dengan dinding warna karamel dan lantai dari kayu yang dipoles mengkilat berwarna gelap. Sementara furniture lain, meja di samping tempat tidur, lampu-lampu, bercita rasa abadi yang anggun.

James, bertelanjang dada dengan selimut hanya menutupi hingga ke perutnya, sedang setengah berbaring, bersandar pada bantal, membaca diterangi lampu di samping tempat tidur. Melihat kehadiran Caro, dilepasnya kaca mata, dan bersama dengan bukunya, diletakkan di atas meja.

“Haloo... apakah kau tersesat?” godanya sambil bangkit dari posisi berbaring. “Gaun yang cantik sekali,” pujinya.

Ragu-ragu Caro mendekat. Sangat sadar dengan tatapan mata James yang menelusuri seluruh tubuhnya, membangkitkan getar-getar yang membuat jantungnya berpacu semakin cepat.

“Naiklah, manis,” James merentangkan tangannya, mengundang Caro bergabung.

Malu-malu Caro berbaring di sebelah James. Lelaki itu pun bergerak mendekatinya, menatap wajahnya dalam temaram cahaya lampu tidur. Saat itulah Caro mengetahui kalau James, di bawah selimut, tak mengenakan pakaian sehelaipun. Pipinya memanas menyadari kenyataan ini.

“Ah, sayang, betapa manisnya dirimu kalau tersipu begitu,” James mendesah, mengangkat tangannya dan ujung jarinya menelusuri wajah Caro, dari tulang pipinya, hidung, hingga ke bibir Caro yang bergetar. Kemudian diciumnya bibir itu. Caro merasakan panasnya bibir James, dibukanya bibirnya menyambut ciuman James yang bergelora, membuat lelaki itu semakin bergairah. Ciuman panjang dan lapar James membuat Caro merasa lemah dan bergetar. Dia mengalungkan lengannya ke leher James dan secara insting melengkungkan badannya mendekati James.

“Hmm... Caro,” James mendesah melepaskan bibir mereka berdua. Ditatapnya mata Caro, kemudian hampir tak terasa, diturunkannya tali gaun tidur Caro perlahan. Menyusuri kulit dimana tali itu berada dengan bibirnya dan membuat Caro seperti tersihir. Caro mendesah terkejut ketika bibir James akhirnya tiba di lekuk sintal payudaranya. Sensasinya terasa menggetarkan hingga ke pusat dirinya.

“James...”

“Betul, sayang, memang begitu seharusnya,” bisik James.

Dengan tangannya Caro menarik kepala James menghadap ke wajahnya. “James, bersikaplah lembut padaku. Ini pertama kalinya bagiku,” bisiknya parau.

Sejenak James menatap nanar ke mata hijau Caro yang seperti berkabut, hingga akhirnya dia lepas kendali dan merengkuh Caro erat-erat.

Beberapa saat kemudian, dengan nafas yang belum sepenuhnya tenang dan tubuh masih bergetar, Caro membaringkan kepalanya di relung bahu James.

“Kuharap aku tidak terlalu menyakitimu, sayang,” bisiknya di telanga Caro, menghirup wangi rambut dan leher Caro. “Apakah aku terlalu besar untukmu?”

Caro menggeleng pelan. “Aku tak tahu. Aku tak punya perbandingan,” jawabnya yang disambut tawa tertahan James.

“Anggap ini sebagai arogansi laki-laki, tetapi aku benar-benar menyukai ide bahwa akulah yang pertama untukmu, Caro. Ada alasan khusus kenapa hingga usiamu yang keduapuluh tujuh ini kau belum tersentuh laki-laki?”

“Entahlah. Mungkin karena tak ada lelaki yang mendekatiku, atau aku terlalu kaku untuk didekati.”

“Ah, Caro, si manis Caro, yang tampak begitu dingin dan tenang di luar. Siapa sangka kalau kau menyimpan gairah seperti ini?” James membelai punggung Caro. “Untuk seorang perawan, kau luar biasa. Meski ini juga pertama kali bagiku bersama seseorang yang begini suci,” diciumnya Caro dalam-dalam penuh perasaan.

“Apakah selalu seperti ini rasanya, James?”

“Tidak, karena bagiku kau sangat istimewa,” dan untuk menandaskan kebenaran kata-katanya, James kembali merengkuh erat tubuh istrinya, menciumnya sepenuh gairah yang dimilikinya. Membuat Caro kembali terhanyut.

Saat itu mereka berbaring berdampingan di tempat tidur besar itu dengan selimut yang kusut terpilin di bawah kaki mereka. Kamar terasa hangat di bawah temaram sinar lampu kamar. Caro mulai menikmati keberadaan tubuh James di sebelahnya. Tangannya yang mungil pun sudah berani menjelajahi dada James yang berbulu gelap, menyusuri kelebatannya. Otot James terasa sangat kencang. Mungkin karena James sangat aktif dan suka berolah raga, melihat sebuah ruangan di lantai tiga yang berisi perlengkapan olah raga mutakhir, maupun kolam renang di halaman belakang rumah, yang dilengkapi dengan pemanas di musim dingin.

“Ototmu keras sekali, James,” komentar Caro sambil lalu, yang untuk memenuhi penasarannya, jari-jarinya menekan otot lengan James.

“Kalau kau ingin tahu keras yang sebenarnya, sayang, bukan di situ tempatnya,” James menggeram parau dan dengan cepat James memindahkan tangan Caro ke bagian bawah tubuhnya.

“James!” jerit Caro tertahan menyadari apa yang dilakukan oleh James.

James menahan tangannya tetap di sana. Namun lelaki itu melirik jam di meja. “Sudah larut malam dan besok hari kerja.”

“Iya, kita sebaiknya tidur,” kata Caro, sedikit kecewa.

“Siapa bilang?” James menarik Caro ke pangkuannya. “Kita akan memulai babak kedua.”

***

“Hai.”

“Hai juga.”

“Bagaimana harimu?”

“Baik, kamu?”

“Baik juga.”

Dengan canggung mereka saling berpandangan. Setelah berdinas di rumah sakit, James memang masih harus menemui beberapa pasien pribadinya. Baru menjelang makan malam dia pulang, menjumpai Caro yang tengah menunggunya di ruang keluarga sambil membaca. Caro yang pulang lebih awal menghabiskan waktunya berbincang dengan Hannah mengenai beberapa hal domestik yang secara otomatis kini menjadi tanggung jawabnya.

Mereka memanh bangun kesiangan pagi itu. Dalam upaya mengejar jam kerja, tak ada waktu lagi bagi Caro untuk merasa malu akan kejadian semalam. Mereka mandi di bawah shower dengan cepat, Caro menumpahkan botol shampoonya, sementara James mendapat sedikit kecelakaan dengan pisau cukur. Di tengah kegugupan, Caro tak bisa menemukan sirkam yang digunakannya untuk menjepit rambut, sementara James harus mengganti lagi kemejanya dengan yang berwarna biru tua karena kemeja sebelumnya yang berwarna hijau tak menemukan padanan dasi dengan motif dan warna yang sesuai. Bagai kesetanan mereka berlari menuruni tangga. Bahkan kopi dan sarapan yang telah disiapkan oleh Hannah pun tak sempat mereka nikmati. Jason yang menyalak meminta jatah jalan paginya hanya menerima tepukan ringan di kepalanya. Knotty yang telah menyiapkan kedua mobil mereka pun hanya mendapat anggukan sekenanya. Hanya dengan ciuman singkat di pipi, baik James maupun Caro bergegas meloncat ke kursi kemudi masing-masing dan melaju ke tempat kerja. Caro berdinas pagi di St. Agnes sementara James harus ke tempat praktek pribadinya di Harley Street.

Dan sekarang, saling berhadapan, keduanya mulai memikirkan dengan ragu tentang pendapat masing-masing setelah pengalaman selama sehari menyandang gelar sebagai Tuan dan Nyonya Willis.

“Kupikir waktu makan malam sebentar lagi.”

“Aku telah meminta Hannah menyajikannya setengah jam lagi.”

“Bagus, berarti aku punya waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Semula aku berencana mengajakmu makan di luar.”

“Tidak perlu. Ini untuk mengganti waktu sarapan kita yang terlewat. Kau sempat sarapan di klinik?”

“Tidak. Kau?”

“Tidak juga. Unit gawat darurat sibuk sekali tadi pagi. Ada kecelakaan. Bahkan kami tak sempat menikmati kopi dengan layak.”

“Wah, itu benar-benar sebuah kejahatan.”

Obrolan terhenti lagi. Caro tak tahu harus bicara apa lagi.

“Baiklah, lebih baik aku ke atas dan mandi.”

“Tak usah tergesa-gesa. Makan malam bisa menunggu hingga kau siap, James.”

“Baiklah,” James meraih tasnya dan melangkah. Namun sampai di anak tangga terbawah dia berhenti, punggungnya masih menghadap Caro, namun dengan pelan dia berbalik. “Caro?”

Caro mendongakkan kepalanya. “Ya?”

Tas itu terlempar ke lantai. Tak butuh waktu lama James telah mendekat kembali ke tempat Caro berdiri. Sedetik kemudian diraihnya Caro dalam pelukannya. Mereka berciuman dengan membabi buta. Caro melingkarkan lengannya di leher James, sementara James menarik erat tubuh Caro, membuatnya merasakan sesuatu yang keras di perutnya, kepala ikat pinggang James, dan juga sesuatu yang lain. Hingga akhirnya keduanya melepaskan mulut dan menghirup nafas dalam-dalam sambil tertawa.

“Jadi kau tak menyesal karena menikahiku? Kau punya waktu seharian untuk berfikir,” ujar Caro.

“Kau bercanda? Itu pertanyaan bodoh, Caro,” James masih memeluk erat tubuh Caro, tak rela melepaskannya. “Mari kita ulangi lagi. Bagaimana harimu?”

“Aku pulang awal tadi. Kemudian aku berbincang dengan Hannah tentang urusan dapur, menu, belanja, dan tetek bengek yang kau pasti tak akan mau tahu. Aku berniat ke apartemenku untuk mengambil beberapa barang, tetapi waktunya kurang tepat. Kau sendiri, bagaimana harimu?”

“Dalam satu kata, seperti neraka.”

“Itu dua kata, James.”

“Maaf, aku lupa bahwa di rumah Caro adalah seorang istri yang berlidah tajam,” James menjilat dan menggigit lembut leher Caro, membuat istrinya mendesah.

“Aku harus seharian di ruang operasi, menghadapi jantung yang sudah tidak jelas lagi kondisinya, berdetak dengan ritme yang kacau dan tak mungkin diselamatkan lagi kecuali Tuhan sendiri yang turun tangan. Kasus kedua, aku harus memasang katup pada jantung yang sudah berusia renta dan sangat sensitif hingga aku harus mengatur sayatanku seteliti mungkin dengan ketepatan seper sekian mili meter. Dan yang terburuk dari semua itu aku tak bisa menghilangkan kenangan akan suara lenguhan istriku semalam dari kepalaku.”

“James!”

“Ya, itu benar. Kita sangat membutuhkan bulan madu, Caro, atau aku akan gila dan menyeretmu dari unit gawat darurat ke kamar terdekat, serta mencumbumu di sana.”

Seakan menjelaskan kata-katanya James menggesek tubuh bagian depannya hingga Caro benar-benar faham apa maksudnya. Satu ciuman disusul ciuman yang lain hingga keduanya berpagutan lagi dengan panas. Namun akhirnya Caro melepaskan diri. “Mandilah. Aku akan menyiapkan minum untukmu.”

Setelah makan malam, mereka minum di ruang kerja James. Sementara James masih harus mempelajari beberapa catatan medis pasiennya, Caro bermalas-malasan di sofa panjang yang terletak berseberangan denga meja kerja James, berkonsentrasi membaca buku kedokteran yang memenuhi rak buku James. Mereka berada dalam kesunyian yang tenang, hanya gemerisik kertas yang terdengar. Mereka tampak seperti pasangan yang sudah lama menikah, dan bukannya baru sehari.

Hingga tiba-tiba Caro menyadari bukunya telah diambil dan James berdiri menjulang di atasnya. “Terkutuklah aku bila membiarkan wanita cantik ini menghabiskan malam dengan membaca hingga tertidur di sofa.”

Sedetik kemudian mereka sudah saling melebur.

Karena ingin secepatnya meluangkan waktu untuk berlibur dan berbulan madu, James memampatkan jadwal operasinya. Jam-jam kerja yang panjang di rumah sakit membuat mereka tak banyak memiliki waktu berdua. Bahkan ketika keduanya berada dalam satu gedung. Caro pun masih harus berdinas malam selama tiga hari, selain disibukkan dengan kegiatan membereskan sisa barangnya di apartemen lama dengan bantuan Hannah dan Knotty. Di rumah Caro menggunakan satu kamar khusus yang dulunya adalah salah satu dari kamar tamu, dan merubah fungsinya menjadi ruang kerja. Karena ruang kerja menyatu dengan James adalah tidak mungkin. Mereka pernah mencobanya sekali berada dalam satu ruang kerja, dan hanya bertahan dua menit sebelum akhirnya mereka tak bisa menolak daya tarik fisik yang sangat kuat di antara mereka. Meskipun James tak pernah mengungkapkan kata-kata cinta kepadanya, hal yang memang dari awal tak pernah berani dia impikan, namun Caro cukup percaya diri bahwa dirinya lah satu-satunya wanita dalam hidup James saat ini.

Selain itu James juga sudah menyisipkan waktu di antara kesibukannya yang padat untuk mengajak Caro menemui pengacara dan akunting finansial pribadinya untuk mengatur tunjangan yang akan diterima oleh Caro. Saat itulah Caro menyadari betapa kaya suaminya itu. Dia memang sudah cukup memahami bahwa James memang kaya, tetapi tidak sekaya itu. Bahkan sebetulnya tanpa bekerja pun sebenarnya James sanggup hidup layak. Hanya kecintaan pada profesinya yang membuat James bekerja sekeras itu dan membuatnya diakui dan disegani dalam jajaran papan atas profesinya. Jumlah yang diterima Caro setiap bulannya dari James membuat gajinya sebagai dokter kelihatan sangat tak berarti. Selain itu Caro juga diberi wewenang mengatur anggaran belanja perawatan dari semua properti rumah yang dimiliki James, yang jumlahnya juga membuatnya sangat terkejut. Namun sebagaimana layaknya istri yang baik dia tak berkomentar sedikitpun.

“Kau tenang sekali, Caro,” kata James saat mereka berdua sudah dalam mobil, meluncur menuju rumah. Waktu minum teh sudah lewat, namun makan malam masih lama.

Caro menoleh memandang suaminya yang tengah berkonsentrasi memegang setir di antara lalu lintas London yang padat. Namun tak berkomentar apa pun. Rasa marah terasa menggelegak memenuhi dadanya.

“Oh ya sayang, aku sudah berbicara dengan beberapa kolega di tempat praktek pribadiku. Mereka dengan senang hati menerimamu sebagai rekanan kapan pun kau siap. Kau ingat kan pembicaraan pertama kita saat aku melamarmu? Kalau kau mau, aku bisa menemui direktur rumah sakit untuk membicarakan kontrak kerjamu sesuai keinginanmu.”

“Hm...,” Caro memandang lurus ke jalanan.

James menoleh, baru tersadar melihat bahasa tubuh istrinya yang kaku. Mereka pun melanjutkan perjalanan dalam diam.

Tiba di rumah, James berbicara sejenak dengan Knotty, memintanya mengambil mobil Caro di rumah sakit, kemudian bergegas menyusul istrinya yang telah lebih dulu ke atas dan masuk ke ruang kerja pribadinya. Saat James membuka pintu, tanpak istrinya sedang berdiri tegak memandang ke luar jendela.

“Ada apa, Caro? Sesuatu membuatmu tidak nyaman?” James mendekat, meraih Caro dari belakang dan membalikkan tubuhnya hingga mereka saling berhadapan.

“Aku tak suka kau ikut campur urusan karirku, James,” sahutnya tajam. “Ketika aku menerima lamaranmu, aku sama sekali tak menjanjikan akan bergabung dengan klinikmu ataupun keluar dari rumah sakit. Aku bisa memutuskan sendiri di mana aku ingin bekerja.”

“Tapi aku tak suka kau harus bekerja sekeras itu di rumah sakit. Aku benci ketika kau harus jaga malam.”

“Lalu bagaimana denganmu? Apakah aku pernah protes dengan jam kerjamu yang panjang? Apakah aku pernah marah ketika di malam hari kau meninggalkanku untuk melakukan operasi darurat? Dari semula aku sudah mengatakan dengan gamblang kepadamu James, bahwa kau bukanlah istri yang akan puas hanya dengan berdiam diri di rumah. Sama sepertimu, aku punya mimpi dengan pekerjaanku, aku bangga dengan profesiku. Kupikir kau memahami itu, James,” mata Caro yang hijau berapi-api penuh kemarahan.

James terdiam sesaat. Dipandanginya Caro lekat-lekat. Sudah sejak keputusannya menikahi Caro dia menerima kenyataan bahwa wanita itu telah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Sekarang dia tak bisa berdiam diri saja tanpa memikirkannya karena Caro begitu sering mengisi kepalanya. Yang paling buruk saat dia terbaring sendiri di kamar mereka, menatap nyalang langit-langit karena tak bisa tidur sementara Caro sedang berdinas malam di rumah sakit. Hal itu tak pernah terjadi sebelumnya. Dia telah sekian lama hidup membujang. Dia pikir akan perlu waktu lama membiasakan diri dengan kehadiran istri di rumahnya. Menyadari Caro ternyata menyita lebih banyak perhatiannya dengan kecepatan di luar dugaannya, James memutuskan untuk membebaskan Caro dari pekerjaan di bawah sistem rumah sakit yang tidak manusiawi. Namun melihat sinar berapi-api digmata Caro, hatinya luluh. Karena dia sendiri mengalami hal serupa di tahun-tahun awal profesinya dan sangat menikmatinya. Sekilas perasaan tak tega membuatnya ingin melindungi dari kerja keras. Namun Caro tidak bisa dihadapi dengan cara begitu. Setelah sekian lama hidup sendiri tentunya dia butuh waktu untuk membiasakan diri menerima perhatian dari seorang suami yang akan melakukan apa saja demi kenyamanan istrinya.

“Baiklah, sayang, maafkan aku telah tidak begitu peka, meski sisi chauvinist dalam diriku ingin kau banyak ngmeluangkan waktu untuk menikmati hidup dan kenyamanan untukmu sendiri,” James memeluk Caro.

“Aku bukan wanita lemah, James. Aku telah memulainya sekian lama, berjuang dari bawah, aku tak mau melepasnya begitu saja,” Caro melepaskan dirinya dari pelukan James. Tangannya memegang dada James dan mendongak menatap matanya tajam. “Selain itu aku tak perlu uang begitu banyak untukku sendiri. Aku tak butuh uangmu, James.”

“Jangan absurd, Caro, itu hakmu. Kau tahu aku mau kau menerima jumlah itu, aku pun dengan senang hati akan menambahnya bila itu kau rasa masih kurang.”

“Tapi untuk apa uang sebanyak itu? Aku hidup denganmu dan tak butuh biaya banyak.”

“Entahlah, kau bisa menggunakannya sesuka hatimu. Pakaian, aksesori, make up, parfum, apa saja yang biasanya wanita butuhkan.”

“James, aku tak mau hubungan kita timpang. Kau memberi begitu banyak sementara aku tak memberimu apa-apa. Aku tak mau berhutang apapun padamu.”

“Tapi kehadiranmu sudah cukup untuk mengimbangi semuanya, Caro.”

“Hanya untuk seks? Kau tidak menganggapku wanita murahan kan?” mata Caro kembali berapi-api.

“Sekarang kau mulai tidak masuk akal, Caro!” dan dalam sekali gerakan dipagutnya bibir Caro kuat-kuat. “Kau istriku, kau berhak dengan semua itu, aku tak mau dibantah lagi. Dan tahukah kau sayang, bahwa kau seksi sekali ketika sedang marah. Matamu yang berapi-api membuatku ingin segera mencumbumu!”

James pun membopong tubuh Caro dan dengan langkahnya yang panjang berderap keluar ruangan.

“James! Kau keterlaluan! Kau tak berhak memperlakukanku seenaknya.”

“Kau istriku, harusnya kau mendukung sedikit gengsiku, bukan malah menjatuhkannya!”

“Tapi akan kau bawa kemana aku?”

“Tempat tidur, tempat kau seharusnya berada.”

“Makan malam sebentar lagi,” tolak Caro berusaha meronta.

“Persetan dengan makan malam! Malam ini menuku adalah kamu, istriku yang keras kepala.”

Usaha terakhir Caro untuk melepaskan diri berakhir di atas tempat tidur saat tubuh berat James menindihnya. James seperti kesetanan mencium Caro, menyusuri bibir, leher, dan dadanya tanpa repot-repot melepas bajunya. Panas tubuhnya yang membara mengirimkan sinyal kuat yang membuat gairah Caro langsung terlecut ke puncak. Mereka bercinta dengan kasar dan cepat. Gairah membuncah di antara mereka seolah tak terbendung lagi dan membuat keduanya lupa diri.

Sesudahnya James memeluk erat tubuh Caro. Nafas keduanya masih saling memburu. Namun letupan itu sudah berlalu. Yang tinggal hanyalah kelembutan. James membelai tubuh istrinya dengan sayang. “Maafkan kekasaranku,” bisiknya, mencium lembut leher Caro dan membenamkan wajahnya di antara helai-helai kusut kemerahan itu.

Caro membelai punggung James yang terluka oleh kukunya, “Aku juga telah melukai punggungmu.”

Keduanya tergelak ketika perut Caro berbunyi. “Ternyata aku lapar sekali.”

James mengangkat sebelah alisnya melihat kondisi pakaian mereka yang berantakan. “Kupikir, sayang, kita harus berganti pakaian dulu. Sepertinya aku telah merobek blusmu dan merusak tali pakaian dalammu.”

“Dan bajumu, coba lihat, kancingnya hilang semua,” Caro terkikik geli.

“Sebaiknya kita cepat turun. Aku tidak akan bisa memuaskanmu dengan perut kelaparan. Lagipula aku ingin membuka sebotol sampanye, merayakan pertengkaran kita yang pertama,” James bangkit dan membawa Caro berdiri bersamanya.

“Kalau setiap kali pertengkaran aku mendapat hadiah seperti ini, rasanya aku tak akan keberatan untuk membuat gara-gara,” kata Caro jail.

James menggeram pelan,” Kau lakukan itu dan jangan salahkan aku kalau kau berakhir dengan tidak bisa berjalan!” ancamnya.

7 comments:

  1. Lagi semangat banget nerusin MBA ini.
    Namun entah kenapa rasanya kok belum maksimal.
    Adegan-adegan di atas diusahakan sesopan mungkin, tetapi kalau ada yang tidak berkenan, tolong dimaafkan.

    ReplyDelete
  2. kyaaa blushing........lanjuuuuuttttt MBA 6...XDDD

    ReplyDelete
  3. bagus kok hihihihihi mantabssss lanjut lagi ya olly, ciayooooo

    ReplyDelete
  4. setelah baca rasanya kaya abis makan rujak pedes di siang hari *loh kok rujak?????*.... hehehehehe maksudnya nano-nano rasanya dan bikin nagih.....
    Menurutku adegannya sangat wajar kok..... kan new wedding.... (blushing)
    Wah kayaknya olly sukses niy menjadikan James-Caro sebagai pasangan terfavoritku yang ke-2 setelah MM.....
    Semangat ya Olly.... slalu dinanti karya-karyanya.... Love U....

    ReplyDelete
  5. wahahahaha....malu aku maluuuu...aku kan masih anak2....xixixiixxi......
    MBA 6!!!!! segeraaaaaaa....!!!!

    ReplyDelete
  6. OLLY.....ceritanya bagus banget

    blushing-blushing sendiri nech jadinya hehehe

    ReplyDelete
  7. xixixi......dada kok jadi berdesir ya kalo baca? (muka kepiting rebus....)

    ReplyDelete