Saturday, June 18, 2011

Marriage By Arrangement (4)

Rekan-rekan kerja Caro menyambut dengan terkejut ketika undangan pesta pernikahannya sampai ke tangan mereka.

“Caro, luar biasa! Dari semua pria dan kau memilih Professor Willis! Dan selama ini tak satu kata pun keluar dari bibir kalian berdua!” John Davoe, salah seorang rekan sejawatnya, menggeleng-gelengkan kepala. “Aku doakan kalian berdua akan bahagia.”

Para perawat menatapnya dengan iri. Bukan rahasia lagi kalau Professor Willis dari bagian bedah memang seperti layaknya idola yang menghiasi mimpi gadis-gadis single. Mereka merasa Caro telah mencuri idola mereka tepat di depan hidung mereka. Menanggapi semua itu Caro hanya tersenyum. Hari ini dia meminta ijin dari atasannya karena dia masih harus berurusan dengan gaun pengantin. Memang, tidak seperti gadis lain yang memimpikan gaun satin putih dan cadar, Caro membatasi pilihannya pada sesuatu yang sederhana dan elegan.

“Apakah kau tidak apa-apa tidak mengenakan gaun pengantin dengan segala pernak-perniknya, Caro?” tanya James khawatir menanggapi rencana Caro.

“Ah, tidak apa-apa. Lagipula pernikahan kita kan hanya dihadiri beberapa orang saja. Kita tidak akan ada waktu lagi untuk merencanakan yang lainnya.”

“Caro, aku ingin kau merasakan pernikahan selayaknya bagaimana pernikahan itu dirayakan. Aku bisa mengatur semuanya.”

“Tidak usah. Kita tetap pada rencana semula saja.”

“Apakah akan berbeda bila aku adalah lelaki yang kau impikan dan kau cintai, Caro?”

Caro membelalakkan mata. “Jangan beromong kosong! Kau tahu aku bukan type perempuan yang suka berkhayal. Aku selalu berfikir logis, bukankah karena hal itu kau menikahiku, James?”

James seperti hendak mengatakan sesuatu, namun akhirnya memilih bungkam.

Maka disinilah Caro sekarang. Di Harrods. Dengan pramuniaga cantik yang dengan sabar melayaninya. Caro menolak ditemani oleh James. Karena semua beban acara ditanggung oleh James, paling tidak Caro ingin membeli sendiri gaunnya. Caro bukan orang kaya, tetapi paling tidak dia sanggup hidup pantas. Sejak awal James sudah memperlihatkan bahwa dia terbiasa hidup dengan segala kenyamanan. Caro sebenarnya penasaran ingin tahu kekayaan James sebenarnya. Namun selain merasa segan, dia juga merasa tidak sopan. Yang jelas sebagai ahli bedah yang sukses dengan praktek pribadi di Harley Street yang elit, selain memiliki posisi di beberapa rumah sakit, juga berkeliling dunia untuk memberikan ceramah dan kuliah, sudah cukup mengindikasikan berapa penghasilan James. Namun sisi mandiri dalam diri Caro menolak menggantungkan semuanya pada James. Karena status pernikahannya sendiri yang Caro tahu tak akan bisa bertahan lama. Caro tak yakin berapa lama James sanggup bertahan sebelum akhirnya bosan dengan dirinya. Caro merasa hanya kegilaan sesaat yang sama sekali tak dimengertinya yang membuatnya menerima tawaran James. Tapi sudah terlanjur, dia tak mungkin mengingkari ucapannya sendiri. Paling tidak yang sekarang harus dilakukannya adalah bagaimana dia menjaga dirinya agar tidak terluka terlalu parah saat semua ini berakhir.

Dua hari menjelang pernikahan, James memintanya menemuinya di bagian bedah. Sungguh tidak biasanya bagi James. Karena kebiasaan lelaki itu adalah selalu menemui Caro langsung di bagian gawat darurat. Apalagi sejak rencana pernikahan keduanya secara resmi diketahui seluruh rekan di rumah sakit, James tak pernah lagi diam-diam untuk mendatanginya, bahkan di tengah jam kerja sekalipun. James pribadi yang sangat dominan, dia melakukan apapun yang dia suka dan bagai mengharuskan semua orang menerimanya sebagai kewajaran. Caro yang selesai bertugas sore itu pun segera bersiap untuk pulang dan melangkah menuju bagian bedah yang terletak di sayap lain gedung. Langkahnya tenang seperti biasa. Tiba di depan pintu ruang konsultasi bedah yang tertutup, Caro mengetuk pelan. Seorang perawat menyembul dari balik pintu.

“Oh, Dokter Trent, Prof sudah menunggu Anda,” sapanya ramah, membuka pintu lebih lebar dan mempersilakannya masuk.

Caro melangkah ke ruangan, tampak James sedang berdiskusi dengan timnya. Dalam rombongan juga hadir gadis yang hari-hari terakhir ini ramai dibicarakan. Gadis mungil jelita berambut dan bermata hitam dengan penampilan super trendy. Berdiri di dekatnya akan membuat Caro merasa seperti tanaman kaktus yang disandingkan dengan anggrek. Namun Caro bukan gadis rapuh. Dengan percaya diri dia melangkah mendekati kelompok itu.

James, melihat kehadiran Caro, segera mendongak dan tersenyum lebar. “Caro, kemarilah, sayang. Berkenalan dulu dengan timku disini. Maaf, aku harus membuatmu menunggu.”

Caro hanya tersenyum. Kemudiam dia berkenalan dengan semua anggota tim James, termasuk Maureen. Caro menolak untuk merasa terintimidasi. Meski gadis itu jelas-jelas menunjukkan aura persaingan.

“Dokter Trent, senang berkenalan dengan Anda. Saya pasti akan hadir dalam pesta Anda berdua. Saya harap kita akan menjadi teman baik, karena banyak sekali yang ingin saya ketahui dari Anda,” katanya riang menyambut uluran tangan Caro. Suaranya seperti gemerincing lonceng, sangat berbeda dengan Caro yang tenang.

Seolah memberi kesempatan pada Caro dan James, rombongan paramedis itupun segera membubarkan diri dan meninggalkan ruangan.

“Maaf bila aku membuat kalian menghentikan diskusi. Aku datang terlalu cepat?”

“Omong kosong. Justru aku yang senang karena kau muncul dan membebaskan aku dari diskusi yang berkepanjangan ini.”

Caro mengernyitkan dahi. “Kau memerlukan bantuanku untuk terlepas dari timmu sendiri? Sama sekali tidak cocok dengan gambaran Professor Willis selama ini.”

James tertawa. “Agaknya kau telah berhasil merubah diriku, Calon Nyonya Willis. Omong-omong, mana ciuman untukku?”

Caro mendekat, berjinjit untuk mencium James yang hanya sampai ke dagunya. Lelaki itu kembali tertawa dan menundukkan kepalanya, memagut lembut bibir Caro. “Aku merindukan ciuman ini seharian,” bisiknya.

Tepat saat pintu diketuk pelan. James melepaskan Caro dan kemudia menyuruh siapapun itu masuk. Maureen Soames muncul di depan pintu.

“Ada apa, Dokter Soames?” tanya James heran.

“Maaf mengganggu, Professor. Tapi saya memerlukan pertolongan Anda. Anda akan pulang ke arah Mayfair kan? Mobil saya sedang dalam perbaikan, jadi saya meminta tumpangan karena saya akan ke rumah bibi saya di daerah Knightbride. Tentunya bila Anda dan Dokter Trent tidak keberatan. Dokter Trent kalau tidak salah mengendarai mobil sendiri kan?” Maureen mengeluarkan senyumnya yang paling berbisa.

“Tentu saja tidak, Dokter Soames. Professor pasti akan dengan senang hati mengantar Anda,” jawab Caro cepat.

“Oke, tunggu saya di pintu depan lima belas menit lagi,” James menimpali.

Setelah mengucapkan terimakasih, Maureen meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan pelan.

Caro memandang tajam ke arah James. “Salah seorang penggemar, eh?” tanyanya penasaran.

“Kau curiga, Caro?”

Caro hanya mendengus. Tapi James melangkah mendekati mejanya dan mengangkat intercom. Sebentar kemudian Caro mendengar James meminta salah seorang porter memesan taksi untuk Dokter Soames.

“Baiklah, sayang, waktunya kita pergi. Mana kunci mobilmu?”

Caro tak mengerti maksud James, tetapi dia tetap memberikan kunci mobilnya kepada lelaki itu.

“Aku akan meminta seseorang untuk mengantar mobilmu ke apartemenmu. Kau pulang bersamaku. Hannah sudah menyiapkan makan malam kita.”

Perjalanan menuju ke rumah James mereka lalui dalam kenyamana Bentley James. Sehingga macetnya jalanan sore menjelang malam hari itu tak terasa. Diiringi alunan musik lembut mereka berbincang tentang banyak hal.

“Apakah semua urusanmu sudah selesai?” tanya James sambil lalu di antara lautan mobil yang menunggu lampu lalu lintas berganti hijau.

“Sudah. Aku sudah menemukan gaun seperti yang kuinginkan. Aku mengunjungi Harrods.”

“Kau masih punya cukup uang?”

“Cukup, terima kasih. James, aku memang tidak kaya, namun aku juga tidak miskin. Aku tahu kemampuanku.”

“Maaf, bukan bermaksud menyinggungmu. Namun kalau kau membutuhkan sesuatu kau hanya perlu mengatakannya padaku.”

“Sekaya apakah kau, James?” tanya Caro tiba-tiba setelah terdiam beberapa saat.

“Cukup kaya. Aku memiliki penghasilan yang lumayan dengan profesiku. Selain itu aku juga memiliki sumber penghasilan lain dari beberapa saham dan obligasi yang aku dapat dari warisan keluargaku. Selain beberapa aset berupa tanah dan rumah. Percayalah Caro, aku masih sanggup memenuhi keinginanmu untuk hidup senyaman yang kau inginkan.”

“Sebetulnya aku tak begitu peduli dengan uangmu, James, karena tak akan membuat perbedaan yang berarti untukku. Ceritakan tentang keluargamu.”

“Orang tuaku masih hidup. Ayahku sudah lama pensiun, mereka berdua tinggal di York, tetapi sekarang mereka sedang ke Canada mengunjungi saudara perempuanku yang baru saja melahirkan putri keduanya. Aku memiliki tiga saudara perempuan, semuanya lebih muda dariku dan semuanya sudah menikah dan tinggal di luar negri. Dari mereka semua aku memiliki lima keponakan dengan variasi usia dari sebelas tahun hingga sebulan. Joanna yang paling tua tinggal di Belanda, Mary, yang kedua yang berada di Canada, sedang si bungsu Kathy sekarang menjadi warga negara Amerika karena menikah dengan seorang dokter dari Amerika. Pada saat natal nanti kau akan menemui mereka semua. Aku sudah mengabarkan kepada mereka tentang pernikahan kita, dan mereka semua tak sabar ingin menemuimu secepatnya.”

“Kuharap mereka menyukaiku.”

“Aku yang sangat berharap kau menyukai mereka, Caro. Kami keluarga besar yang dekat dan agak berisik. Sangat berbeda denganmu yang terbiasa sendiri.”

“Apakah kau lahir dan besar di London?”

“Sayangnya, iya. Rumah kelahiranku di Richmond. Setelah ayahku pensiun rumah itu telah menjadi milikku. Namun aku memutuskan untuk sementara tinggal di rumah bujanganku di Mayfair karena lebih praktis dari segi ukuran dan jarak ke tempat kerja. Nanti setelah kita menikah kau yang akan memutuskan dimana kita akan tinggal. Rumah di Richmond cukup besar dan kuno, dengan taman yang cukup luas, karena memang diperuntukkan untuk keluarga besar. Kami berempat lahir dan besar disana.”

“Nanti aku pasti dengan senang hati ke sana dan melihatnya. Aku juga akan dengan senang hati mengundangmu ke rumah kakekku di Essex. Rumah itu diwariskan kepadaku. Sekarang sepasang suami istri yang telah lama menjadi teman keluarga menjaganya untukku.”

“Pasti menarik. Kita juga akan mengunjungi Scotland. Aku punya pondok disana. Sebelum musim dingin kuharap kita punya kesempatan kesana karena pemandangannya luar biasa. Cukup terpencil membuatmu tak akan khawatir akan gangguan apapun.”

Mereka berbincang seperti teman lama. Sungguh luar biasa, mereka seolah sudah saling berhubungan bertahun-tahun, bukannya dua minggu yang singkat.

Setelah makan malam lezat yang dihidangkan Hannah, mereka menginspeksi kembali seluruh rumah. Sambil bergandengan sama-sama mengagumi hasil pilihan mereka dalam berburu barang-barang.

“Terus terang aku menyukai seleramu, Caro. Rumah ini terasa lebih hidup dan berjiwa. Knotty bilang rumah ini sekarang terasa hangat dan ceria. Nanti setelah kita menikah kita bisa keliling Eropa mencari barang-barang yang kita sukai, selain tentu saja mengunjungi saudaraku di Canada, Belanda dan Amerika. Kau pasti akan menyukainya.”

“Kuharap. Aku tak pernah ke luar negeri sebelumnya, kecuali wisata ke Itali saat aku di sekolah menengah dulu.”

James tertawa. Diurainya rambut Caro dan dia menghirup wanginya dalam-dalam.

“Hmm... setiap kali aku melihat sanggulmua, aku selalu gatal ingin mengurainya. Aku suka baumu.”

“Syukurlah. Bila tidak, aku tak akan cukup punya percaya diri untuk menerima lamaranmu.”

Sudah lewat pukul sebelas malam ketika James mengantar Caro ke apartemennya. Tiba di depan gedung, James mematikan mesin mobilnya. Diletakannya lengannya di belakang sandaran kursi mobil dan memutar wajahnya menghadap ke Caro. “Haruskah aku memberimu ciuman selamat malam di depan pintu?”

“Bagaimana kalau di bibir?”

James menggeram rendah, “Akankah menciummu akan memberiku keleluasaan melakukan selebihnya?”

“Coba saja.”

Geraman James semakin keras. Diraihnya Caro, “Kemarilah.”

Mulutnya sepanas bara ketika menghujam ke bibir Caro. Caro menyambutnya secara otomatis, tubuhnya merintih dan memohon dengan getaran yang tak lagi terasa asing, namun juga tak pernah terpuaskan. James menyelusupkan tangannya di balik mantel Caro, meraba dan meremas semua tonjolan dan lekukan yang ditemuinya, membuat gadis itu mengerang nikmat. Ketika jemari James menyelusup ke balik bajunya, membelai kulit telanjangnya, Caro mendesah, tangan Caro meraih kepala James, jemarinya menelusuri sela rambut tebal James. Kemudian dengan berani ujung jarinya membelai kulit kepalanya, daun telinganya, dan bergerak ke tulang pipinya yang keras, rahangnya yang keras kepala, hingga akhirnya menyelinap ke balik mantel tebal berbahan kashmir itu. Jemarinya bergerak ke kulit lehernya, melepas dasi dan menjangkau kancing teratas kemeja sutra James. Saat tiga kancing terbuka jemarinya menyentuh kelebatan bulu-bulu halus dada James...

“James,” Caro menjerit pelan dan melepaskan tubuhnya dari rengkuhan James.

“Caro, maafkan aku sayang, selalu begini yang terjadi. Padahal kita tinggal menunggu dua hari lagi,” James menenangkan nafasnya yang memburu, menyandarkan dahinya ke dahi Caro. “Lebih baik ku antar kau ke atas.”

Setelah merapikan pakaian, keduanya melangkah bergandengan ke apartemen Caro. James membukakan pintu, menyalakan lampu, mengecek semua jendela, sebelum beranjak meninggalkan Caro. Ciumannya lembut dan sama sekali tidak memuaskan. Caro menatap kepergiannya dengan nanar, menatap punggung lebar itu.

***

Pernikahan mereka berlangsung di sore hari. Hari sebelumnya Caro telah pindah ke hotel dekat gereja tempat mereka akan melangsungkan pernikahan. Beberapa kopornya telah diangkut ke rumah James. Untuk sementara Caro belum sempat membereskan seluruh apartemennya. Dia hanya membawa barang-barang yang cukup penting. Buku dan lain-lainnya masih tertinggal di sana, kecuali mobilnya yang kini telah bersarang dengan nyaman di garasi rumah James, bersanding dengan Bentley dan Mercedes miliknya. Nantinya Caro berencana menjual apartemennya. Untuk sementara karena dia tinggal di rumah James, dia tak perlu tempat tinggal. Lagipula dia masih memiliki rumah di Essex bila sesuatu terjadi. Sejauh ini Caro merasa cukup aman.

Professor Harris, kepala Bagian Gawat Darurat yang akan menyerahkannya di altar. Caro tak tahu bagaimana James meminta professor tua yang terkenal angker itu. Yang jelas, dengan di antar Knotty menggunakan mercedes, lelaki itu muncul di hadapan Caro yang telah berdandan manis untuk pernikahannya. Setelannya berbahan wool tipis berwarna biru lembut dengan potongan manis yang klasik. Dia juga menambahkan topi yang serasi bertengger di rambut kemerahannya yang berkilau indah. Sepatu, sarung tangan kulit dan tas tangan yang serasi melengkapi penampilannya. Perhiasannya hanya sebatas bros berbentuk mawar berbahan emas bertabur permata yang merupakan satu dari beberapa perhiasan warisan ibunya. Professor Harris membawakan buket bunga yang telah sengaja disiapkan James untuk mempelainya. Sebuah karangan bunga yang tidak terlalu besar, tampak serasi untuk Caro yang mungil.

Gereja nampak sunyi. Memang hanya beberapa orang yang akan hadir. Ketika Caro melangkah menuju altar dengan digandeng Professor Harris, jantungnya berdebar keras. Dia sadar bahwa dia melangkah menuju ke kehidupan yang lain. Sanggupkah dia bertahan? Akankah James bangga beristrikan dia? Tidakkah James kecewa dengan kesederhanaannya?

Menyadari kegugupannya, Prof tua itu menggenggam punggung tangannya lembut. “Jangan khawatir, kau memilih sesuatu yang benar. James lelaki yang baik dan akan memperlakukanmu dengan baik,” bisiknya pelan menenangkan.

Caro mengangguk. Menarik nafas panjang untuk menenangkan diri.

Di depan pendeta tampak James tengah menantinya, didampingi oleh Arthur. Lelaki itu tampak gagah dalam setelan hitam yang tak tercela dan dijahit khusus mengikuti lekuk tubuhnya. Saat Caro mendekat, dia berbalik menyambutnya. Wajahnya tampak sangat tampan dan senyumnya hangat. Apakah dia memang benar-benar bahagia di hari pernikahannya? Apakah sedikitpun dia tidak menyesal?

“Kau cantik sekali, Caro. Aku senang kau datang,” bisiknya lembut di telinga Caro saat tangan Caro telah diserahkan kepadanya oleh Professor Harris.

Dalam genggaman tangan James, menjalani prosesi pernikahan yang sunyi dan tenang, entah kenapa, tiba-tiba Caro merasa tenang. Ini terasa benar. Pernikahan ini dan lelaki di sampingnya. Semuanya terasa tepat. Dan dia bahagia. Ya, Caro, untuk pertama kalinya merasa benar-benar bahagia.

James menciumnya lembut saat mereka telah dinyatakan sebagai suami dan istri.

“Selamat, Nyonya Willis,” ujarnya, dengan senyum yang membuat mata Caro berbinar.

Mereka meninggalkan gereja dan menuju ke rumah James di Mayfair. Hannah menyambut kedatangan mereka dan mengucapkan selamat dengan sepenuh hati. Caro mengganti gaun pengantinnya dengan gaun untuk pesta makan malam di hotel. Memasuki kamar yang furniture dan dekorasinya mereka lakukan berdua, Caro masih merasa agak asing. Tetapi Lengan James di pinggangnya menenangkannya.

“Barang-barangmu telah ditata oleh Hannah di sini. Kau perlu waktu sendiri sejenak kan? Aku akan menunggu di bawah dan menuangkan minuman untukkmu. Kita minum sejenak sebelum berangkat ke hotel. Ini rumahmu sekarang, ini pesta pernikahanmu, nikmatilah,” ujar James sebelum meninggalkannya sendiri.

Setengah jam kemudia Caro muncul di tangga. Tampak anggun dalam gaun pesta panjang berbahan sutra yang memeluk tubuhnya, menonjolkan semua lekukan dan tonjolan. Caro menyadari bahwa bentuk tubuhnya memang tidak spektakuler. Namun indah dengan lekuk kewanitaan yang pas. Meski tidak terlalu tinggi namun proporsinya tepat. Gaun dengan warna merah burgundy itu tampak serasi dengan rambut merahnya. Potongan bahunya terbuka dan tali yang sangat kecil dan ringkih, namun dengan pas menutup dadanya yang sintal. Secara keseluruhan Caro menyukai penampilannya. Dengan mantel bulu mink di tangan, tas tangan keemasan mungil dan sandal terbuka dengan tali rumit berwarna keperakan dan hak tinggi, Caro siap berpesta.

Tatapan penuh pujian diberikan oleh James yang tengah menunggunya di bawah.

“Kau luar biasa, Caro,” pujinya, melangkah menyambut Caro dan menggandengnya mendekati meja pendek yang terletak di dekat dinding. Di atas meja terletak sebuah kotak berwarna hitam. James mengambilnya dan memberikannya kepada Caro. “Hadiah pernikahan untuk istriku yang cantik.”

Caro membukanya di bawah tatapan tajam James. Mata Caro terbelalak melihat satu set perhiasan yang terdiri dari anting dan kalung dari bahan permata yang bependar indah.

“Kau menyukainya?”

“Tentu, ini indah sekali.”

“Berputarlah, aku akan memakaikannya.”

Jemari James terasa sejuk saat memasangkan kalung dan antingnya. Kemudian James menggandengnya ke cermin besar di ruang duduk, mengamati bayangan mereka berdua. “Kuharap kau bahagia, Caro, karena aku bahagia sekali kita telah menikah.”

“Iya, James, aku bahagia sekali,” Caro menyentuh ringan tangan James yang berada di bahunya, dihadiahi ciuman lembut lelaki itu.

Mereka minum sebentar sebelum James membawa Caro ke tempat pesta.

Tamu pertama mereka datang sepuluh menit setelah mereka tiba di ruang pesta. Tak berapa lama ruangan pun penuh dengan para undangan. Hampir semua staf di ruang bedah dan gawat darurat hadir. Dan karena James cukup punya posisi di direksi rumah sakit, tak heran kalau hampir semua pejabat rumah sakit juga hadir. Caro, dengan James menggamit lengannya, berputar menemui para undangan dan mengucapkan terima kasih atas ucapan selamat mereka. Teman-temannya dari bagian gawat darurat memberinya tidak sekedar ucapan selamat, namun juga memeluk dan menciumnya.

Namun kehebohan sebenarnya terjadi justru ketika Maureen Soames hadir. Gadis itu terlambat beberapa menit, seolah disengaja untuk memberikan efek spektakuler karena malam itu dia berdandan habis-habisan. Bila niatnya adalah untuk tampil lebih berkilau dari pengantin wanitanya, maka dia berhasil. Dengan gaun ketat berwarna keperakan yang mengeksploitasi keseksiannya, Maureen berhasil membuat semua mata tertuju padanya. Potongan dadanya begitu rendah hingga Caro khawatir bila di tengah acara dua buah menggantung itu akan meloncat dari bungkusnya. Hanya genggaman erat jemari James di lengannya yang berhasil membuat Caro tetap percaya diri. Lelaki itu pun dengan tenang menggandeng Caro, menyalami anggota terbaru timnya, berbasa-basi sejenak dengan ekspresi datar di wajahnya, sebelum akhirnya berputar menemui undangan lain.

Setelah acara makan malam, Caro duduk bersebalahan dengan Suster MacFergus, wanita keibuan dari unit gawat darurat.

“Kau lihat wanita itu, Dokter Trent, Maureen Soames? Agaknya dia tak rela melihat hasil buruannya terlepas begitu saja,” bisiknya penuh konspirasi di telinga Caro.

“Mungkin. Tapi dia memang cantik sekali,” Caro berusaha bijak.

“Cantik? Harusnya kau tahu bahwa semua di tubuhnya itu bukan asli melainkan hasil operasi!”

Caro membelalak menatap lawan bicaranya yang berapi-api. “Oh ya? Kau bercanda?”

“Agaknya mulai sekarang kau harus lebih waspada, Dokter Trent, suamimu itu, baik dalam status bujangan maupun beristri, tetap lelaki impian.”

“James orangnya baik sekali.”

Obrolan mereka terhenti saat tiba-tiba Maureen Soames muncul di depan mereka.

“Oh, di sini rupanya mempelai wanitanya,” sapanya dengan senyum yang dibuat-buat, senyum sebatas bibir yang tidak menjangkau matanya. “Saya serius lho, mengharapkan persahabatan di antara kita. Kapan-kapan bila madu Anda sudah usai kita bisa makan malam bersama.”

“Ah, untuk sementara kami tak akan berbulan madu. Waktunya kurang tepat. James sedang sibuk sekali, sedangkan saya juga belum sempat mengajukan cuti panjang.”

“Wow, pekerjaan tetap yang paling utama? Saya kira cinta yang menggelora akan mengalahkan segalanya, bahkan pekerjaan terpenting sekalipun,” sindir Maureen dengan manis.

“Kami bukannya tidak berbulan madu, karena kami tetap akan berbulan madu, hanya tidak sekarang,” suara James tahu-tahu memotong dari belakang Caro.

Caro yang terkejut mendongak menatap suaminya. “Oh, aku tak menyadari kedatanganmu, James.”

“Bagaimana? Kau menyukai pestanya, sayang?”

“Pestanya indah, terima kasih James.”

James mencium ujung hidungnya. “Nah, Ibu-Ibu sekalian, maafkan, saya harus membawa pengantin saya menemui undangan yang lain,” dan dengan luwes James menggandeng Caro menjauh.

“Terimakasih, James, karena menyelamatkanku,” ujarnya tulus.

“Bukankah itu memang tugas seorang suami?”

Sudah lewat pukul sebelas malam ketika akhirnya James dan Caro pulang ke rumah. Knotty dan Hannah sudah berada di kamar mereka. Namun untuk keduanya, mereka telah menyiapkan sepoci kopi panas dan sandwich di dapur. Setelah beristirahat sejenak di ruang duduk, James menggandeng Caro ke kamar.

“Akhirnya, ini malam pengantin kita, sayang,” bisiknya sambil memeluk Caro. Mereka berdiri di tengah ruang kamar yang luas dengan cahaya lampu meja yang berpendar lembut memberi penerangan samar dan menampilkan aura magis. “Gugup?”

Caro mengangguk. Jantungnya berdetak keras. Matanya menatap James seperti bermimpi. James pun mencium bibirnya yang malam itu tampak merekah indah. “Kau milikku, sekarang.”

4 comments:

  1. huaaaaaaaaaa kok dipotong disitu xixixixixixix lanjut lagi donggggggggg

    ReplyDelete
  2. hyyyyaaaaaaa...... tega banget dah olly motong ceritanya.......ngentang niy.....lagi deg2an eh bersambung.....
    tapi thanks dah upload lanjutannya.....makin seneng nagih lanjutannya eh maksudnya makin seneng ma ceritanya......hehehehehe......
    tetep semangat ya sayyyyyy.....

    ReplyDelete
  3. seperti biasa............tetap ditunggu kelanjutannya!!!!!!!!!!!!!!!!!

    HUA...........ceritanya bagus banget.

    ReplyDelete