Monday, July 4, 2011

Marriage By Arrangement (8)

Setelah akhir pekan itu James harus ke Brussel dan Leiden untuk seminar, serta terbang ke Abu Dhabi untuk sebuah konsultasi dengan seorang pasien kaya raya yang memerlukan keahliannya. Jadi rencana ke Essex sementara tertunda. Caro sendiri sangat menikmati pekerjaan barunya di Rose Roads. Sungguh tak diduga bahwa klinik sekecil itu bisa mendatangkan keruwetan sebagaimana layaknya ruang gawat darurat di rumah sakit sedang. Klinik ini memang sangat kekurangan staf. Namun untuk merekrut staf baru ternyata tidak mudah. Departemen Kesehatan Kota memiliki jumlah perawat yang sangat terbatas yang dapat diminta untuk berdinas di Rose Roads. Selain itu rata-rata perawat perempuan akan berfikir dua kali untuk datang ke tempat itu. Satu-satunya pilihan tinggal perawat laki-laki yang itupun jumlahnya sangat terbatas dan harus berebutan dengan lokasi lain sejenis yang memiliki area pelayanan lebih luas dengan fasilitas lebih sedikit. Jadilah Caro sebagai satu-satunya paramedis perempuan di klinik akhirnya mengerjakan semua tugas yang biasanya hanya bisa dilakukan para perempuan seperti membujuk pasien yang sulit dirujuk ke rumah sakit ataupun menaklukkan anak-anak kecil yang sulit sekali untuk ditangani. Selain itu karena James sangat sibuk dan sering keluar negeri, Caro membantunya dalam mengelola keuangan klinik. Memang tugas ini tak sulit karena akuntan pribadi James, Tuan Phips, turun tangan secara langsung. Namun bukan berarti bantuan Caro tidak diperlukan. Tuan Phips hanya memeriksa laporan secara berkala setiap dua minggu. Sedangkan untuk urusan anggaran belanja dan lain-lain yang biasanya dilakukan oleh James sekarang diambil alih oleh Caro.

Sedikit banyak kesibukannya yang padat mengalihkan pikiran Caro dari hal-hal yang tidak perlu. Istri lain mungkin akan was-was bila suaminya berkeliling luar negeri sendirian tanpa pernah sekalipun menawarkan diri mengajak istrinya turut serta. Apalagi suami dengan wajah tampan dan profesi menjanjikan seperti James. Hubungan kami tidak sedalam itu, pikir Caro berusaha logis. Meski James tidak mencintainya, namun Caro yakin bahwa lelaki itu cukup menyukainya dan hormat padanya. Untuk pernikahan yang tidak dilandasi rasa cinta yang menggebu dari kedua belah pihak, hubungan mereka cukup mapan. Baik hubungan fisik yang intens maupun komunikasi di antara keduanya yang terjalin bagus berdasarkan kesamaan minat dan bidang yang digeluti. Betapa mengagumkannya bahwa ternyata mereka memiliki banyak kesamaan dalam ide dan pandangan terhadap segala sesuatu. Saat berjauhan pun James tak pernah lupa untuk menelepon sekedar berbagi tentang hari-hari yang dilaluinya. Dan sifat dasar Caro sebagai pendengar yang baik sangat membantu suaminya dalam melepas keluh kesah setelah menjalani hari yang berat di ruang operasi.

Mereka merayakan natal di rumah orang tua James di York. Saudari James tidak ada yang hadir karena masing-masing merayakan di keluarga suaminya. Namun mereka tetap bertukar kado dan saling menelepon. Caro mengalami kesulitan dalam memberi hadiah pada James karena bisa dikatakan lelaki itu telah memiliki segalanya. Namun akhirnya Caro menemukan ide yang brillian. Dia membelikan James tas kerja dari perancang terkenal yang harganya sangat mahal dan mengganti inisial perancang itu dengan inisial James dari bahan emas murni. James menerimanya dengan senang dan langsung memindahkan isi tasnya ke tas hadiah Caro. Sementara untuk istrinya lelaki itu menghadiahkan satu set perhiasan dari permata yang berpendar-pendar, sangat tipikal James.

Namun pada tahun baru barulah kesempatan untuk ke Essex datang. Meski jalanan berlapis salju yang teramat tebal namun James menyetir dengan santai seolah mereka melaju di jalanan mulus di musim panas yang cerah. Caro memang agak ragu mengundang James ke tempat masa kecilnya. Sedikit rasa tak percaya diri menghantuinya dan entah kenapa dia seperti merasa bahwa ada sesuatu yang tidak benar menunggu di sana.

Rumah masa kecil Caro masih tetap seperti dulu, tak banyak berubah seolah kemajuan teknologi tidak pernah menjangkau tempat itu. Rumah berukuran sedang dengan gaya kuno itu terletak agak jauh di luar Essex. Pasangan Pelham yang merawat rumah tersebut tinggal di pondok yang berada di seberang halaman belakang. Selain itu pagar terluar rumah Caro berbatasan langsung dengan milik keluarga Maxwell yang sekarang dikelola oleh Stephen, lelaki yang cukup mewarnai kehidupan asmara Caro.

Mereka tiba di sana tepat saat makan siang. Karena alasan belum terlalu mengenal medan, James memutuskan meninggalkan Jason dalam pengawasan Knotty. Padahal Caro sudah mengatakan bahwa Jason pasti suka tinggal di sana karena selain areanya cukup luas, juga ada hutan kecil tempat Jason bisa bertualang. Namun James tetap menolak meski berjanji lain kali akan membawanya ke sana. Pasangan Pelham yang sebelumnya telah ditelepon oleh Caro menyambut mereka. Caro memeluk kedua orang yang sekarang sudah tampak renta itu sekaligus mengenalkan James kepada mereka.

“Aku menyukai orang-orang ini. Mereka begitu menyayangimu,” puji James saat mereka menikmati makan siang, hidangan daging domba ala Nyonya Pelham dengan saus buah prem yang sangat digemari oleh Caro sejak kecil.

“Iya, aku mengenal mereka sejak kecil. Setelah kedua orang tuaku meninggal aku pindah kesini dan mereka yang mengawasiku. Apalagi setelah nenek juga meninggal dan kakek terlalu tua untuk mengurusku, mereka menempatkan diri sebagai orang tua yang tidak kumiliki lagi.”

“Pasti berat bagimu kehilangan orang-orang yang kau sayangi.”

“Pasti. Tetapi aku akhirnya terbiasa. Lagi pula aku tak bisa berlama-lama menangisi kematian orang tua dan nenekku. Kakekku mengirimku ke sekolah berasrama sehingga aku selalu punya teman. Saat akhirnya kakek meninggal aku sudah cukup dewasa dan bisa mengurus diri sendiri. Lagi pula tetangga di sini semua begitu perhatian kepadaku. Tunggu saja sampai kukenalkan kau pada mereka.”

Saat yang ditunggu itu ternyata tak sampai lima menit. Karena pintu samping tiba-tiba saja terbuka dan sosok lelaki tinggi besar dengan rambut sama merahnya dengan Caro dan bermata biru telah muncul di hadapan mereka yang baru saja menyelesaikan menyantap puding.

Melihat kehadiran lelaki itu, mata hijau Caro terbelalak dan tiba-tiba wajahnya menjadi secerah matahari musim semi. “Stephen!” teriaknya buru-buru bangkit dan menghambur memeluk lelaki itu.

Yang dipanggil Stephen menyambutnya dengan tawa lebar. “Caro, gadis mungilku! Sungguh kejutan yang menyenangkan,” Stephen menjauhkan wajah Caro untuk memandangnya, kemudian kembali tertawa dan mencium pipinya.

Deheman James menyadarkan reuni kecil mereka.

“Oh, maaf, Stephen, kenalkan ini James Willis, suamiku. James, ini Stephen Maxwell, tetangga dan sahabatku sejak lama,” dengan tersipu Caro memperkenalkan kedua lelaki itu.

Tinggi Stephen hanya berbeda dua centi lebih pendek dari James. Namun kekekaran tubuhnya karena bekerja keras di pertanian membuat James nampak sangat langsing. Keduanya bersalaman. Stephen nampak kikuk menghadapi penampilan perlente James. Stephen berpenampilan layaknya orang yang hidup dan bekerja di pertanian, sederhana dengan boot, jeans dan sweater tebal yang Caro yakin adalah rajutan ibunya untuk hadiah natal. Keduanya begitu kontras. James yang berambut gelap dengan tampang aristokrat dan Stephen yang pirang acak-acakan namun menawan.

“Tak kusangka Caro akhirnya memutuskan menikah denganmu, James. Boleh kan aku panggil James? Kau boleh memanggilku Stephen.”

James tersenyum. “Tentu.”

“Baiklah, aku tak mau mengganggu kalian lebih lama lagi. Aku tadi hanya sangat penarasan dengan Caro. Tapi sepertinya dia baik-baik saja,” Stephen tersenyum lembut memandang Caro. “Datanglah makan malam nanti ke rumah. Ibu sudah tidak sabar untuk memanjakanmu.”

“Pasti,” Caro meyakinkan. Mengenang dengan penuh sayang wanita yang lembut dan baik itu. “Sampaikan sayangku pada ibu ya.”

Setelah melambai pada James, mengacak rambut Caro dan mencium dahinya sekali lagi, Stephen meninggalkan rumah. Semua itu tak luput dari perhatian James. Segala ekspresi dan bahasa tubuh Caro dan Stephen. James pengamat yang sangat cermat dengan daya ingat tajam dan analisis yang tajam. Namun Caro yang merasakan kebahagiaan karena kembali ke tempat masa kecilnya sama sekali tak memperhatikan. Dengan gembira diseretnya James menginspeksi isi rumah. “Jangan harap sesuatu yang mewah disini, oke?” katanya memperingatkan. Rumah itu sendiri tidak terlalu besar, di lantai bawah mengakomodir segala kebutuhan rumah tangga normal. Ruang tamu, ruang duduk, kamar studi dan dapur yang menyatu dengan ruang makan. Di lantai atas ada empat kamar tidur, satu kamar tidur utama yang berukuran sedang dan saat ini telah siap untuk mereka berdua, dan tiga kamar lain yang berukuran lebih kecil.

“Kami keluarga kecil. Ayahku adalah anak satu-satunya dari kakek, sementara ibuku yang telah yatim piatu sejak remaja juga anak tunggal yang dibesarkan oleh bibi jauhnya yang sekarang juga sudah tiada. Jadi bisa dikatakan kakeklah keluarga terakhir yang kumiliki,” Caro bercerita.

Ketika memasuki kamar Caro semasa gadis dulu, James hanya mendapati kesederhanaan di sana. Tidak seperti layaknya kamar gadis-gadis lain seperti kamar saudarinya, kamar Caro sangat simple. Hanya dilengkapi furniture dasar seperti tempat tidur, lemari, rak pendek berlaci dan meja kursi. Namun dari rak itu James menemukan setumpuk album foto dan ingin melihatnya.

“Aduh, aku malu kalau kau melihatnya. Aku dulu sangat konyol!” tolak Caro.

Namun James dengan sedikit rayuan akhirnya berhasil membuka album-album foto itu. Berdua mereka duduk di tempat tidur Caro yang berukuran sangat kecil bagi James. Album pertama berisi foto masa kanak-kanak Caro bersama kedua orang tuanya. James mengetahui mata hijau dan rambut merah Caro berasal karena ibunya memiliki keduanya, juga perawakan yang mungil dan lembut. Ayah Caro bertubuh tegap dan tampan dengan bibir seksi mendominasi wajahnya, bibir yang sekarang menjadi milik Caro dan James sangat memujanya. Kadang hanya dengan memikirkan bagaimana bibir Caro telah menjelajah tubuhnya cukup untuk memancing gairahnya.

Masa remaja Caro, sebagaimana gadis-gadis lain, sepertinya cukup ceria untuk gadis piatu yang tinggal di bawah asuhan pasangan manula. Caro tampak memiliki cukup banyak teman dan kebanyakan dari foto-foto itu menunjukkan Caro gadis yang aktif dalam kegiatan luar rumah. Ada foto Caro saat berkuda, berenang, maupun mendaki gunung. James memincingkan mata ke arah Caro. “Betapa luar biasa kamu menutup dirimu selama ini, Caro? Aku tak pernah menyadari bahwa kau gadis yang suka petualangan.”

“Hm... memang sebetulnya aku suka kegiatan luar rumah. Namun saat akhir sekolah menengah aku menghentikan semuanya.”

James mengerutkan alisnya. “Ada alasan khusus?”

Caro agak tersipu. “Konyolnya aku. Aku berfikir aku harus mempersiapkan diri untuk menjadi istri yang baik bagi Stephen. Aku belajar memasak dan segala hal yang berhubungan dengan rumah tangga. Bahkan aku juga sudah merencanakan punya anak dan mempersiapkan beberapa nama untuk mereka. Namun tentu saja aku gagal karena Stephen menolakku,” Caro tertawa. “Dulu aku menangis selama berhari-hari dan tidak mau keluar rumah sampai Stephen datang dan membujukku bahwa menikah bukanlah perkara mudah. Dia tak mau membuatku yang sudah dianggapnya sebagai adik kecilnya menyesal kemudian. Saat itulah aku memutuskan ke uiversitas dan mengambil kedokteran. Ah, sudahlah, itu hanya masa lalu. Setiap orang pasti pernah berbuat bodoh dan konyol di masa muda.”

Namun James menemukan dalam album berikutnya banyak terdapat foto-foto Caro dan Stephen. Mereka tampan manis dan serasi bersama. Pandangan Caro penuh pemujaan pada lelaki itu sementara Stephen jelas tak bisa menutupi rasa sayangnya kepada Caro. Kenapa semua tidak berjalan lancar begi mereka berdua?

Malam itu mereka makan malam di rumah keluarga Maxwell. Caro selalu diterima baik oleh kedua orang tua Stephen. Kalaupun kedua orang yang telah beranjak tua itu menyesali kegagalan Caro menjadi menantu mereka, mereka sama sekali tak menampakkannya. Mereka menerima James dengan penuh keramahan dan kehangatan. Setelah makan mereka berpindah ke ruang duduk. Caro tampak nyaman berada di antara Stephen dan saudara-saudaranya. Mereka memang hampir seumur dan banyak bercanda tentang masa kecil mereka. James yang menemani kedua orang tuan Stephen mengamati dari tempat duduknya dan merasa dia berusia seabad dan sama sekali tak bisa menggapai kemudaan istrinya. Namun bukan James namanya kalua tidak bisa merobohkan batas itu. Dengan sangat lihai dia menyertakan Caro dalam perbincangan mereka sehingga pada akhirnya Caro berada bersamanya, berbincang dengan kedua orang tua tersebut dan meninggalkan Stephen.

“Kau tak banyak bicara. Kau menyesal datang kemari?” tanya Caro kepada suaminya malam itu, saat mereka sedang berbaring berpelukan di kamar tidur yang dulu milik kakek dan nenek Caro.

“Tidak. Aku suka rumahmu, Caro. Aku juga suka tetanggamu. Aku merasa berterima kasih kepada mereka karena mereka memberimu rasa kekeluargaan. Pasti berat bagimu untuk hidup sendiri hanya dengan kakekmu yang sudah tua.”

“Iya. Pertama aku datamg kesini, aku agak takut dan ragu untuk berteman. Kakekku sudah sangat tua dan tidak suka beramah tamah dengan tetangga. Tetapi Stephen dan adiknya, Matt, mengundangku untuk bermain bersama kuda poni mereka. Sejak saat itulah aku seperti anak perempuan bagi keluarga mereka. Mereka sangat baik. Sayang, kuda poni itu sudah ditembak mati karena jatuh terpeleset dalam hutan dan mengalami luka parah. Kami berduka untuknya selama seminggu.”

“Kelak kita akan membangun istal dan membeli beberapa kuda disini,” James berencana. “Sehingga saat kita tua nanti kita bisa melihat anak dan cucu kita bahagia menghabiskan liburan di sini dengan berkuda.”

Caro berputar menghadap suaminya. Pikiran bahwa James merencanakan masa tua bersamanya cukup membuat hantinya terasa bahagia dan matanya berpijar, satu hal yang sangat disukai oleh suaminya.

“Aku tak tahu mana dari kata-kataku yang membuatmu tampak begitu bersemangat, Caro. Tapi aku tak menolak memanfaatkannya,” kata James parau.

Dan sesaat kemudia mereka sudah mendemonstrasikan bagaimana mereka saling mengagumi satu sama lain.

Pagi hari Caro membantu ibu Stephen untuk menyiapkan bunga untuk gereja. James pun ditinggalkan di rumah keluarga Maxwell dan asyik berbincang dengan Stephen di samping rumah. Sebuah bangunan berukuran sedang tampak berdiri di halaman samping rumah. Sepertinya bangunan tersebut masih baru dan belum ditempati. Sambil lalu James mengungkapkan rasa ingin tahunya.

“Buat apakah ruangan itu? Sepertinya dibuat cukup bagus dan permanen.”

Stephen menatap James dan tak menjawab seketika. Tampak keraguan terpancar dari mata birunya.

“Maaf bila aku terdengar kasar. Aku sama sekali tak bermaksud usil. Dan aku tak apa-apa bila kau keberatan menjawabnya.”

Stepehen masih diam. Lalu dengan berat hati akhirnya menjawab, “Ruangan itu untuk tempat praktek Caro.”

“Maaf?”

“Kau tidak salah dengar, James, ruangan itu kubuat untuk Caro bila nanti dia akan membuka praktek di sini.”

“Kapan kau membuatnya?”

“Akhir tahun kemarin. Aku telah merencanakan bila dia pulang natal ruangan itu telah siap dan aku akan melamarnya. Tetapi tentu saja aku salah. Karena musim gugur kemarin dia telah menikahimu dan natal tahun ini dia habiskan bersamamu.”

“Tapi kau telah menolaknya dua kali.”

Stephen memandang James dengan terkejut.

“Caro menceritakannya kepadaku. Kau telah menolaknya.”

“Aku tidak menolaknya. Aku hanya memberinya waktu untuk berfikir kembali apakah kami pasangan yang tepat karena aku merasa dia terlalu bagus untukku. Dan sepertinya aku benar. Dia memilihmu,” Stephen tertawa getir. “Meski dia hanya dua tahun lebih muda dariku, tetapi dia masih begitu muda dan lugu. Aku sendiri tak yakin apakah dia memahami sepenuhnya ketika dia memintaku menikah dengannya tepat setelah dia lulus universitas. Aku merasa tak adil bila tidak memberinya kesempatan untuk menikmati dunia luar, mengenal banyak orang, dan mungkin dia akan jatuh cinta dengan pemuda lain satu atau dua kali. Kalau pada akhirnya dia kembali padaku barulah aku cukup percaya diri untuk menyuntingnya. Pertemuan terakhir kami aku hampir yakin bahwa dia memang akhirnya akan datang untukku. Namun ternyata dia datang denganmu.”

“Apakah kau mencintainya?”

“Sangat. Aku sangat mencintainya.”

“Apakah Caro tahu?”

“Tidak. Dia menganggapku mencintainya sebagai seorang adik.”

“Dia patah hati ketika kau menolaknya.”

“Aku ragu dia memahami apa patah hati yang sebenarnya. Bahkan aku yakin dia sendiri tak memahami perasaannya. Dua kali dia memintaku menikahinya, dua kali aku tidak menuruti keinginannya, dan semua masih baik-baik saja. Dia menangis, tetapi hanya sebentar dan kemudian kembali tertawa sebagaimana Caro yang biasa,” Stephen tersenyum, “ Dia gadis yang luar biasa.”

“Dia memang luar biasa. Pertama kau tak akan menyadari keberadaannya karena dia tidak pernah menonjolkan diri. Tetapi begitu mengenalnya kau takkan pernah bisa melepaskan diri dari pesonanya. Setiap hari dia akan mengejutkanmu dengan hal-hal baru yang tak pernah terpikir akan dimiliki oleh gadis sepertinya. Dan tanpa sadar akhirnya kau harus mengakui bahwa duniamu berputar pada dirinya. Karena dialah Caro, yang tercinta Caro.”

“Rupanya kita berada di jalur yang sama, Professor. Dan asal kau ingat, bahwa sekali saja kau melukai dia maka kau tahu dengan siapa kau berhadapan.”

James yang tak suka daerah teritorinya dilanggar, memendam kemarahan yang berkobar di dadanya. Hanya kendali diri yang kuat yang membuatnya mampu menahan tangannya untuk meninju Stephen. Wajahnya seperti biasa datar tanpa emosi. “Aku tahu apa yang kumiliki dan bagaimana aku mempertahankannya,” hanya itu yang dikatakannya.

Mereka kembali ke London sore hari. Cuaca belum juga membaik. Namun dalam kehangatan mobil James Caro merasa nyaman.

“Kapan terakhir kali kau pulang ke Essex?” tanya James sambil lalu.

“Natal tahun kemarin.”

“Sendiri?”

“Iya. Biasanya aku naik kereta dan Stephen menjemputku di stasiun. Untuk membawa mobil sendiri salju terlalu tebal. Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Hanya aku heran bagaimana perasaanmu terhadap Stephen?”

Caro mengerutkan kening sedikit. Merasa heran. Ditatapnya suaminya, namun wajah tampannya tetap datar seperti biasa. Sedikit harapan bahwa James menyimpan rasa cemburu langsung pudar. Dengan menyeringai Caro menjawab, “Entahlah. Dulu aku pernah jatuh cinta padanya, atau kupikir begitu. Namun sekarang aku menganggapnya sebagai saudara laki-laki yang tidak pernah kumiliki. Dan kupikir Stephen pun menganggapku sebagai adiknya. Karena kalau tidak saat ini pun kami sudah menikah,” Caro tertawa. “Namun melihatnya kembali aku jadi menyadari bahwa hubungan kami tak lebih dari hubungan saudara. Dengan statusku yang sekarang ternyata sangat membantuku untuk melihat sesuatu dengan perspektif yang berbeda.”

“Kau yakin? Pernahkah terpikir olehmu untuk menanyakannya kepada Stephen? Atau pernahkah kau menanyakan alasan dia menolakmu?”

“Tanya alasannya? Kau gila! Ditolak saja sudah cukup memalukan. Aku takkan punya nyali untuk menanyakan kenapa atau mengapa. Untungnya yang menolakku hanya Stephen. Dia menolakku dengan halus, kemudian menghiburku, memberiku semangat untuk melupakan semuanya dan melihat ke depan. Siapa tahu ada seorang lelaki yang jauh lebih baik darinya telah menungguku. Atau menganjurkanku untuk bersenang-senang dulu, toh aku masih muda, masih perlu melihat beberapa hal yang layak dinikmati oleh gadis seusiaku. Itulah Stephen. Namun seperti kau tahu, ternyata dimanapun aku berada, aku tetap gadis desa yang tidak terlalu menyukai pesta-pesta glamour dan pergaulan bebas. Aku menyukai hidupku yang tidak rumit dan sangat menikmati pekerjaanku. Bila pengalamanmu dengan perempuan begitu banyak, maka pengalamanku dengan laki-laki hanya sebatas Stephen, kalau itu bisa dibilang pengalaman,” Caro kembali tertawa. Tak menyadari wajah James yang semakin dingin. “Aku sama sekali tak terkejut bila dalam kesempatan bersosialisasi dengan kolegamu aku mendengar selentingan di sana-sini tentang para wanita yang pernah terlibat denganmu.”

James menoleh ke arah istrinya. DI bibirnya tersungging senyum mengejek dan matanya berkilat tajam. “Caro, sayang, kau tidak berimajinasi bahwa aku mengkhianatimu dengan deretan wanita-wanita itu kan?”

“Aku tak punya dasar alasan, tuduhan, maupun bukti. Aku berfikir logis, James. Dan semua akan kembali ke perjanjian awal kita. Salah satu dari kita ada affair, dan terbukti, maka pernikahan kita bubar,” Caro menjawab santai.

Raut muka James tampak datar dan tak menunjukkan emosi apapun, namun mereka akhirnya meneruskan perjalanan dalam diam. Caro hanya menduga-duga perubahan tingkah laku James namun memilih untuk mendiamkannya saja. Dia memiliki cukup kesabaran dalam menunggu saat yang tepat untuk mengetahui penyebabnya. Malam itu di tempat tidur James memeluknya dalam diam setelah cukup lama hingga akhirnya Caro terlelap dalam buaiannya. Sama sekali dia tidak tahu bahwa sepanjang malam James tak melepaskannya sama sekali, matanya terpincing menatap raut lembut istrinya yang tertidur dengan damai. Barulah menjelang pagi James bisa memejamkan mata.

Hari-hari berjalan seperti biasa dengan tingkat kesibukan masing-masing yang teramat padat. Pesta tahun baru sudah usai menyisakan rentetan panjang kecelakaan yang menjaga para dokter tetap sibuk. Dan Caro yang sudah cukup berpengalaman di unit gawat darurat bekerja dengan sigap dengan para pasien yang datang membanjir ke klinik untuk berbagai macam luka, baik dari luka kecelakaan di jalan raya maupun luka karena aktifitas rumah tangga seperti terkena pecahan botol bir atau tawuran antar tetangga. Namun suatu sore Caro pulang dari klinik dengan dijemput Knotty dan melihat mobil James sudah terparkir di garasi. Hal yang sangat jarang terjadi karena bagaimanapun jam kerja James lebih panjang dan tidak teratur. Saat memasuki kamar tidur mereka dia melihat kopor James sudah terbuka dan lelaki itu sedang memilih baju dari tumpukan di lemari.

“Kau mau bepergian lagi?” tanya Caro sambil duduk di tempat tidur, mengamati aktifitas suaminya.

“Iya,” jawab James singkat.

“Kemana kali ini? Kau membawa barang lumayan banyak.”

“Amerika.”

“Asyik sekali. Utara atau selatan?”

“Utara. Philadelphia, Boston, Baltimore, Washington, tidak berurutan tentu saja, dan juga beberapa kota yang lebih kecil.”

Dan James mengatakannya dengan ringan seolah dia hanya akan pergi sehari ke Birmingham. “Kau akan pergi lama?”

“Sebulan, atau lebih. Aku cukup menantikan perjalanan ini.”

“Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?”

James menoleh, menghentikan sejenak kegiatannya memilih beberapa dasi dari koleksi miliknya. “Tidak perlu kan? Toh kau juga tidak akan ikut.”

“Kenapa tidak?”

“Caro...kita baru saja berlibur. Dan sekarang aku harus mengajar. Betul kan?”

Caro tak menjawab, namun kemarahan yang tersimpan dalam hatinya menyeruak ingin dimuntahkan. Caro berusaha mendinginkan emosinya, menata kembali tumpukan pakaian James yang terserak di atas tempat tidur, menyusunnya dengan rapi sesuai kategori, dan mengembalikan sisa yang tak jadi dibawa. “Jam berapa pesawatmu berangkat?”

“Malam ini pukul sembilan.”

“Aku akan memberitahu Hannah bahwa kita akan makan malam kebih cepat bila kau tak keberatan. Bagaimanapun makan malam di rumah pasti lebih nyaman dari pada di bandara. Atau kau lebih memilih makan dalam perjalanan nanti?”

James memandang wajah istrinya seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun akhirnya dia menjawab ringan, “Aku makan di perjalanan saja.”

“Baiklah,” Caro menjawab sambil beranjak keluar. Dia tak ingin kekecewaannya diketahui oleh James.

Tidak sampai lima belas menit kemudian James telah tiba di ruang duduk tempat Caro berada sambil membaca koran. Setelah mengucapkan selamat tinggal dan memanggil Knotty yang akan mengantarnya ke bandara, dia pergi. Begitu saja tanpa ciuman. Caro menatap kepergiannya dengan wajah membeku. Namun hanya sesaat, karena dia segera beranjak ke dapur, memberi tahu Hannah untuk membatalkan apapun yang sedang dimasaknya. Karena makan sendiri dia hanya menginginkan sandwich.

Hari terasa panjang. Namun dengan tegar Caro melaluinya. Dia tak tahu apa permasalahan mereka dan kenapa James begitu dingin. Atau barangkali pernikahan mereka akan segera berakhir? Adakah yang salah? Namun Caro, sebagai gadis yang logis, menganggap bahwa bila pernikahan mereka hanya akan bertahan beberapa bulan pasti dia akan sanggup menghadapi apapun yang terjadi. Termasuk rasa sakit hati karena cinta yang tidak terbalas. Aku sudah terbiasa sendiri, maka menjadi sendiri lagi pasti tidak akan terlalu berat lagi, pikirnya berusaha tabah.

Caro menjalani hari senormal yang bisa dilakukannya. Setiap pagi karena malam dia sulit untuk tidur, dia bangun sangat awal dan membawa Jason jalan-jalan, sebelum akhirnya bersiap kerja dan sarapan. Dan sekarang segala urusan belanja rumah tangga selalu dilakukan oleh Caro, membebaskan Hannah dari membuat laporan keuangan, dan juga Caro terlibat semakin dalam dalam segala urusan domestik. Semua dilakukannya semata-mata untuk mengalihkan rasa sepinya karena James pergi cukup lama. Bahkan Caro mulai mendatangi lagi toko tempat dia berbelanja di dekat apartemen lamanya, dan sering kali menghabiskan waktu berbincang dengan John dan ibunya. Tak jarang mereka menwarkan Caro makan malam di lantai dua toko mereka, yang diterima Caro dengan suka cita karena bagaimanapun tanpa James dia kurang bersemangat untuk makan malam di rumah. Sebagai obat untuk mengatasi kekecewaan Hannah karena majikannya jarang makan di rumah, Caro meminta Hannah menyiapkan makan siang untuk dikirim ke klinik, dan makan bersama Dr. Bright, Adam, dan Sandra.

Setelah satu minggu tak pernah ada kabar, di pagi hari akhirnya James menelepon. Saat itu Caro ditemani Jason sedang membaca surat-surat sambil menikmati kopi pagi ketika telepon berdering. Caro segera bangkit dan melangkah menyeberangi ruangan, berteriak kepada Hannah agar tidak repot-repot mengangkat telepon. Caro berfikir mungkin itu Dr. Bright karena kalau koleganya yang lain lebih memilih meneleponnya di ponsel.

Caro mengangkat gagang telepon dan suara James, sangat jernih dan dekat di telinganya, “Hallo, Caro.”

Caro terdiam beberapa lama.

“Caro?”

Caro menghela nafas panjang. “Hallo James. Aku...aku sedikit terkejut. Aku tidak mengharapkan...apakah semuanya baik-baik saja?”

“Ya, membosankan seperti biasa. Apa yang sedang kau lakukan?”

“Sarapan. Aku baru saja membawa jason jalan-jalan,” Caro menghentikan kata-katanya, merasa sangat bodoh karena suaranya bergetar dan tanpa dia sadari tiba-tiba saja air mata meleleh di pipinya tanpa bisa ditahan lagi. “James...”

“Caro, kenapa kau menangis?”

Caro menghela nafas berat seperti anak kecil, “James, aku merindukanmu dan kau begitu jauh.”

Meski Caro mengatakannya namun sisi lain dati otaknya mengingatkan bahwa dia akan sangat menyesali ucapannya. Dia mendengar James menyeriangai penuh kelegaan, ataukah kebahagiaan? “Seperti harapanku, Caro. Tahukah kau kenapa aku pergi? Kenapa aku meninggalkanmu? Aku akan mengatakannya saat aku pulang nanti.”

“Tak bisakah kau mengatakannya sekarang, James?”

“Tidak. Aku ingin menatapmu saat mengatakannya nanti. Aku harus pergi sekarang, sayang. Selamat tinggal.”

James menelepon Caro setiap hari. Mereka berbicara cukup lama sampai Caro teringat, “James, kau tahu aku senang sekali berbicara denganmu. Tetapi kau sangat sibuk kan? Dan lagipula telepon ini pasti akan memakan biaya sangat mahal. Aku baik-baik saja sekarang meski kesepian.”

James tertawa di seberang sana. “Aku juga kesepian di sini. Lagipula kau tak tahu cara yang lebih baik lagi untuk menghabiskan uangku. Bagaimana klinik?”

Setelah itu Caro memiliki kebiasaan untuk membicarakan semuanya kepada James. Lelaki itu menelepon setiap hari, bahkan kadang lebih dari sekali. Dengan sabar dia akan mendengarkan cerita Caro tentang pasien-pasiennya yang aneh, makanan yang dimasak Hannah yang dibawanya ke klinik, perjuangannya mencari ikan segar hingga ke pelabuhan, hingga waktu yang dihabiskannya di pasar ingga tradisional di Nottinghill yang ternyata lebih mengasyikkan daripada berbelanja di swalayan. Apa saja, namun James sangat sedikit menceritakan dirinya. Memang satu dua kali dia masih bercerita tentang seminar yang sangat membosankan, kasus-kasus menarik yang dihadapinya, tournya yang melelahkan yang membuat Caro cepat-cepat memotong, “James, hati-hati, jaga kesehatanmu!” yang segera dibalas tawa lelaki itu. “Kenapa, Caro? Kau khawatir aku menghadiri terlalu banyak pesta dan bertemu gadis-gadis cantik?”

“Semuanya,” jawab Caro tanpa pikir dan buru-buru menambahkan, “ Apakah banyak gadis cantik di sana?”

“Bisa dikatakan... aku tak banyak memperhatikan. Apakah kau pikir aku akan tertarik?”

Caro berbicara dengan hati-hati. “Jika aku menjadi dirimu, aku akan sangat tertarik karena selain mataku tidak cacat juga karena kau lelaki yang cukup pantas mendapat perhatian lebih dari para wanita.”

James meledak dalam tawa, “Caro, sayangku Caro, sepertinya aku harus cepat-cepat pulang untuk membereskan kekacauan dalam otakmu itu.”

Telepon-telepon dari James menjadi saat yang sangat ditunggu oleh Caro. Tak jarang dia cepat-cepat pulang khawatir James menghubunginya saat dia tidak ada di rumah. Beberapa hari sebelum sebulan sejak kepergiannya James menelepon kembali, “Aku akan pulang dan besok sore saat minum teh aku akan sudah sampai di rumah. Kau tidak bekerja sampai malam di klinik kan?”

Hari terasa pendek keesokan harinya. Kepada Dr. Bright Caro meminta ijin untuk pulang lebih cepat. Dia juga sudah merencanakan menu makan malam yang istimewa dengan Hannah untuk menyambut kedatangan James. Setelah itu dia mengganti pakaiannya dengan yang baru dibelinya, berwarna hijau zamrud yang kontras indah dengan rambutnya yang berwarna merah dan mempertajam warna matanya. Dia ingin tampak cantik di depan James meski dia ragu apakah lelaki itu akan menyadarinya. Dan untuk meredam kegugupannya, Caro menuju ruang tengah dan menenangkan diri dengan memainkan piano. Namun saat tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti dan Jason terbangun dari kantuknya serta melesat ke pintu depan, Caro pun buru-buru beranjak meninggalkan tempatnya. Jantungnya yang berdebar sejak tadi kini semakin menggila mana kala pintu depan terbuka dan James berdiri gagah di sana. Setelah mengelus kepala Jason, lelaki itu tersenyum ke arahnya. “Hallo, Caro.”

Wajah Caro berpendar penuh kebahagiaan. Dan saaat itu dia sama sekali tak peduli bahwa seluruh perasaanya akan terlihat. Dia melangkah mendekat ketika James menambahkan, “Aku membawa seseorang bersamaku. Kau pasti tak menduganya kan?”

Caro menghentikan langkahnya. Tiba-tiba menyadari sesuatu dan kebahagiaan dalam wajahnya segera berubah menjadi penerimaan yang sopan seorang tuan rumah manakala seorang gadis dengan penampilan sangat trendy dan menyilaukan mata muncul dari belakang James dan tersenyum lebar penuh kemenangan. Maureen Soames.

7 comments:

  1. Kenapa ya ide itu selalu datang pada saat yang sangat tidak tepat?

    ReplyDelete
  2. kenapa kak olly??

    teruuusss si maureen ituuu ngapaaiiiinnnn???
    MBA 9!!!!! segera ya kak olly!!!

    ReplyDelete
  3. Mau apa si Maureeen oh no......eng ing eng.....ayo dong olly lanjut lagi ASAP ya.....hadoooooh bakalan kebawa mimpi deh gaswattttt :P

    ReplyDelete
  4. heuuuu ada penganggu dweh orang lagi kangen jg.....

    ReplyDelete
  5. lanjut sis...penasaran nih, apakah james sengaja tuh ngajak sipenganggu untuk membuat caro cemburu ho...ho....

    ReplyDelete
  6. senangnya..... akhirnya racun cinta mulai menyebar..... manis getirnya mulai terasa di hati masing-masing mengalahkan logika......
    tambah gak sabar nunggu lanjutannya..... Olly semangat.......

    ReplyDelete