Thursday, July 7, 2011

Marriage By Arrangement (9)

“Dokter Soames, senang sekali bertemu Anda,” Caro mengulurkan tangan menjabat tangan Maureen, yang dimanikur dengan sempurna, kontras dengan tangannya yang meski halus tak bercela namun tampak sederhana dengan cat kukunya yang berwarna natural.”Kalian baru bertemu ataukah kalian pergi bersama-sama ke Amerika? Saya samak sekali tak ingat James pernah menyinggung nama Anda. Lagipula selama di Amerika James terlalu sibuk mendengar celoteh saya dan kurang menceritakan kegiatannya di sana,” Caro bersikap ramah, berusaha setengah mati agar tidak terdengar berlebihan meski dia yakin suaranya telah meninggi seperempat oktaf.

“Saya bertemu Professor di Amerika. Saya sedang cuti karena mengunjungi paman saya. Beruntung sekali kami bertemu sehingga kami bisa saling menemani. Anda tahu kan betapa membosankan segala kuliah dan seminar itu dan Professor memerlukan teman dan hiburan.” Maureen tertawa melengking. “Dan tanpa sengaja juga ternyata kami memakai penerbangan yang sama saat kembali ke Inggris. Professor berbaik hati memberi saya tumpangan. Sebetulnya saya enggan merepotkan, namun tawaran untuk minum teh di rumah Anda sangat menggoda karena sejak Anda tidak bekerja di rumah sakit lagi saya kehilangan kontak dengan Anda,” cerocos Maureen dengan suaranya yang dibuat-buat. “Saya serius ketika mengatakan ingin mengenal Anda dengan lebih dekat.”

“Oh ya?” Caro menanggapi dengan heran. “Manis sekali,” Caro menoleh memandang suaminya yang sepertinya diam-diam mengamati. “James, bagaimana kalau kita undang Dokter Soames makan malam sekalian? Hannah mempersiapkan sesuatu yang istimewa.”

James mengangkat alisnya sebelah. “Baiklah kalau itu maumu,” jawabnya pendek setelah berfikir sejenak.

James menggiring Maureen ke ruang duduk sementara Caro segera melangkah ke dapur untuk menemui Hannah dan mengabarkan adanya tambahan orang pada makan malam. Sebetulnya Caro tak perlu susah payah ke dapur, dia bisa menggunakan interkom kapanpun. Tetapi dia perlu waktu sejenak untuk menenangkan diri dari keinginan mencakar Maureen sekaligus melempar James dengan vas bunga. Saat menemui keduanya di ruang duduk, James segera menuangkan segelas sherry untuk istrinya, yang diterima Caro dengan kedua tangannya karena tak menurut kepada logika, kedua tangannya bergetar luar biasa.

“Saya ingin mengikuti jejak Professor Willis di bedah jantung,” kata Maureen. “Saya merasa cocok bekerja di bawah tim Anda, Professor.”

Caro berlama-lama menyesap sherrynya. Mungkin whiskey atau brandy akan lebih memperbaiki moodnya, meski sherry pun cukup lumayan. Caro merasa mati rasa. Sebersit harapan yang sejak berminggu-minggu terakhir ini mulai bersemi, kini seperti tercerabut hingga ke akar-akarnya. Sebentuk kekhawatiran menyelinap di benaknya. Haruskah pernikahannya kandas hanya karena gadis seperti Maureen Soames?

Caro meletakkan gelas minumannya dengan hati-hati dan memandang ke arah James yang sedang bersandar pada meja yang menempel di dinding. “Apakah perjalananmu sukses, James?” Caro berusaha membuat suaranya terdengar hangat meski gagal.

James bahkan tidak berusaha membuatnya lebih baik dengan menyambut ramah pertanyaannya. Dia hanya berkata dingin, “ Kuharap cukup sukses, meski aku tak mengatakan aku menikmatinya. Bagaimana denganmu, Caro? Semua baik-baik saja?”

Caro menjawab, iya, dia baik-baik saja dan kemudian sama sekali tak berusaha masuk dalam obrolan antara James dan Maureen. Gadis itu dengan sangat lihai memusatkan pembicaraan hanya pada dirinya dan James membuat Caro yang tak bisa mengikutinya hanya mengamati.

Hampir pukul sebelas malam ketika akhirnya Maureen beranjak dan berpamitan. James pun bersiap mengantar dan meminta Knotty mengeluarkan mobilnya. Caro berusaha tabah dan dengan keramahan palsu melapisi wajahnya, mengantar mereka di pintu depan. Secara luar biasa dia berhasil mengucapkan selamat malam dengan cukup bersahabat pada Maureen dan tersenyum hambar kepada suaminya. Dia beranjak ke kamar dan bersiap melupakan kegagalan malam ini dengan tidur. Tapi dia yakin bahwa dia tak akan bisa memejamkan mata. Caro menunggu kedatangan James. Satu jam dua jam berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran lelaki itu. Dan ketika akhirnya James memasuki kamar, itu sudah jam tiga pagi. Tak ada yang lebih baik lagi dilakukan oleh Caro selain pura-pura tidur.

Caro bangun pagi seperti biasa dan melihat James masih tertidur. Tampak gurat-gurat kelelahan di wajahnya yang tampan. Dengan sedih ditatapnya wajah yang telah membuatnya jatuh cinta itu. Ujung jarinya menelusuri garis-garis halus di dahi James. Apakah aku akan kehilanganmu, James? Batinnya masygul. Dan tentu saja James tidak menjawab. Segera Caro bangkit dan dengan tak bersuara dia memakai celana woolnya yang tebal, sweater, dan topi rajutnya sebelum akhirnya mengenakan sepatu yang biasa dia pakai setiap pagi. Caro berjingkat keluar kamar karena tak ingin membangunkan James. Di ruang bawah barulah dia bersiul memanggil Jason dan membawanya jalan-jalan.

Saat Caro kembali James sudah mandi, bercukur, dan berdandan rapi, duduk di meja sarapan sambil membaca beberapa suratnya. Sepoci kopi dan hidangan sarapan sudah tersedia di meja. Sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa dia baru saja menempuh perjalanan jauh Washington London serta pulang pagi dari entah apa yang dikerjakannya.

“Oh, kupikir kau ingin beristirahat dulu,” sambut Caro, sangat menyadari penampilannya yang tanpa make up dan masih acak-acakan.

James hanya mengangkat wajahnya sebentar dari dokumen yang sedang dibacanya. “Aku ada pasien yang harus aku kontrol pagi ini. Dan sepanjang hari jadwalku sangat padat.”

“Baiklah. Aku ke ats dulu,” Caro pun melangkah berlalu dengan hati teriris-iris sakit. Bahkan James tidak memberinya ciuman sekalipun mereka sudah hampir satu bulan tidak bertemu.

Caro sengaja berlama-lama berdandan. Bila dia turun nanti mungkin James sudah berangkat. Caro masih bingung harus bersikap bagaimana. Maka dia pun memperlama keberadaannya di kamar dengan membereskan beberapa pakaian yang akan dikirim ke laundry. Termasuk membongkar koper James dan mengambil pakaian- kotornya, sesuatu yang selalu dia lakukan bilamana James pulang bepergian. Tanpa prasangka apapun dia meneliti kantong-kantong baju dan celana James, khawatir ada beberapa barang yang masih tertinggal. Pada salah satu saku setelan Caro mendapati sebuah kotak kecil, kotak perhiasan dari beludru warna merah. Caro menatap kotak itu untuk beberapa lama tak yakin akan apa yang akan dilakukannya, lalu dengan hati-hati membuka tutupnya. Sebentuk cincin berada di dalamnya, cincin emas yang dihiasi dengan batu-batu berharga, tujuh setelah Caro menghitungnya. Alis Caro mengerut heran karena angka tujuh tak nampak mewakili apapun dalam hubungan mereka. Dia mengeluarkannya dan meneliti lebih lanjut. Intan, zamrud, amethyst, rubi, intan lagi, safir, dan topaz, kombinasi warna unik yang mengejutkan. Dia mengembalikan cincin kembali ke tempatnya saat teringat sebuah iklan di televisi yang menayangkan cincin serupa, tentang seorang pria yang mempersembahkan cincin itu untuk gadis yang dicintainya. Masih di kantong yang sama Caro menemukan sebentuk kartu kecil yang terbungkus sebuah amplop dari kertas mahal berwarna hijau. Dengan tangan gemetar ditariknya kartu tersebut dari amplopnya. Tulisan tangan James yang berantakan muncul di bagian atas:

To My Dearest Love

Caro cepat-cepat memasukkan kartu itu ke dalam amplop dan dengan hati-hati mengembalikan baik kotak perhiasan dan kartunya ke dalam kantong. Tubuhnya bergetar hebat. Dia tak tahu, kemarahan ataukah kesedihan yang melandanya, yang jelas dia merasa sangat tidak bahagia. Siapapun wanita yang dimaksud James dan yang akan menerima cincin itu Caro yakin sangat dicintai oleh James. Caro pun melangkah keluar kamar dengan pikiran kosong. Memasuki kamar kerjanya untuk mengambil tas dan cepat-cepat turun. Seperti dugaannya semula, James sudah pergi. Segera dia menemui Hannah di dapur.

“Anda baik-baik saja, Nyonya? Anda sepucat hantu,” komentar Hannah begitu melihat Caro.

“Ah, tidak apa-apa, Hannah, hanya sedikit lelah. Aku akan cepat sarapan. Oh ya, hari ini aku tidak sempat membereskan baju-baju yang akan dibawa ke laundry. Tolong kamu bereskan ya? Dan kalau ada barang-barang di kantong milikku atau milik Prof, kamu letakkan saja ke ruang kerja kami masing-masing. Bawa ke laundry hari ini juga. Aku sibuk sekali.”

Caro pun buru-buru ke ruang sarapan. Setelah itu dia langsung memanggil Knotty untuk mengantarnya ke klinik. Hari Kamis biasanya dia memang masuk siang di klinik karena akan pulang malam bersama James, tetapi sejak James ke Amerika dia selalu masuk pagi. Jadi kenapa hari ini harus berbeda? Dia toh juga tidak yakin kalau sore nanti James akan muncul di klinik.

Untung suasana klinik cukup sibuk sehingga Caro tak sempat memikirkan kegundahan hatinya sama sekali. Tepat sore hari James datang. Sebetulnya Caro ingin segera bersiap-siap pergi, namun pasien membanjir tak mungkin baginya membiarkan Dr. Bright menanganinya sendiri bersama Adam. Bahkan dengan kedatangan James pun pasien masih banyak yang belum tertangani. Ketika Sandra pun akhirnya pulang, terpaksa Caro yang menghandle pekerjaan resepsionis itu.

Ruang tunggu masih ramai. Caro melihat serombongan remaja baru datang dan bermaksud menyalip antrian. Mereka bergerombol menuju tempat praktek James. Selain itu Caro juga melihat mereka menghisap rokok.

“Dilarang merokok di sini dan antrilah sesuai urutanmu,” katanya mengingatkan. “Nama?”

Salah seorang pemuda yang sepertinya pemimpin mereka menatapnya acuh. “Kami tak harus menunggu. Kami akan masuk sekarang.”

“Dilarang merokok! Dan semua harus antri tanpa pengecualian!” peringatnya tegas.

Pemuda itu tertawa mengejek dan meniupkan asap rokok di wajah Caro. Saat Caro mengacuhkannya pemuda itu semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Caro.

“Siapa yang menjadi pasien di antara kalian? Dan siapa dokter yang biasa menangani kalian?” tanya Caro tetap dingin.

Pemuda itu malah menangkap pergelangan tangan Caro, berusaha mengintimidasi.

Caro membelalakkan mata hijaunya dengan tajam. “Lepaskan!” perintahnya galak.

“Wow...wow... ternyata kucing betina ini bisa galak juga!” mereka tertawa terbahak-bahak.

Beberapa pasien lain mulai berdiri mendekat. Namun James telah datang, tampak tinggi besar di antara kerumunan itu. Dan hanya dalam sekali gerakan dia berhasil mencengkeram leher pemuda itu. “Berani kau sentuh istriku, aku akan habiskan kalian!” gertaknya dingin sambil mendorong pemuda itu mundur hingga membentur dinding.

“Hey, Dok, sorry, kami tak tahu cewek itu istrimu, sumpah, kami tak tahu,” teman-temannya yang lain segera bergabung dan membenarkan. Tak hanya itu mereka juga telah membuang rokok mereka ke tempat sampah. “Ini hanya gurauan, oke? Kami tak serius! Dan kami tak menyakitinya.”

“Betul,” sahut Caro tegas. “Mereka hanya mengganggu karena bosan,” Caro memandang sekilas ke arah James yang tampak memandangnya dengan marah. “Aku akan menerima permintaan maaf mereka kalau mereka mau.”

Insiden kecil itu berakhir segera keteika James berhasil menghalau gerombolan pengacau itu keluar. Akhirnya Adam yang mengambil alih posisi di ruang resepsionis dan mengatur antrian sementara para dokter bekerja tanpa bantuan perawat. James mengikuti Caro memasuki ruangannya. “Maafkan aku, Caro, apakah mereka membuatmu takut?”

Caro memandang tajam suaminya. “Tidak,” katanya datar. “Aku tak apa-apa. Kau tak perlu bersikap berlebihan. Aku bisa mengatasinya.”

“Benarkah?” James mengernyitkan dahinya, tampak kemarahan tersimpan di matanya.

Namun Dr. Bright buru-buru muncul. “Caro, kau harus pulang sekarang,” katanya sambil menggoyang-goyangkan telunjuk dengan gaya kebapakan di wajah Caro. “James, istrimu ini telah bekerja sejak pagi. Kita berutang jam istirahat padanya.”

James semakin tajam menatap Caro. “Oh ya?”

“Iya, tadinya aku akan cepat-cepat pulang begitu kau muncul, James. Namun pasien begitu banyak,” jawabnya tenang. “Sekarang kupikir aku lebih baik pulang. Kalian para laki-laki agaknya cukup mampu menangani sisa pasien yang ada.”

“Aku akan menelepon Knotty...”

“Tak usah James, aku menelepon taksi saja. Aku perlu singgah di beberapa tempat. Berbelanja untuk Hannah.”

“Begitukah?” James tak bisa menyembunyikan kilatan tajam di matanya.

Caro hanya tersenyum. “Jangan kuatir. Aku sudah melakukannya beberapa kali. Kau tak harus selalu mengkhawatirkan keselamatanku. Tanpa itu pun tugasmu cukup banyak. Aku bisa jaga diri sendiri,” katanya berusaha keras mempertahankan wajah santai dan mulai bersiap-siap. Lima menit kemudian Caro telah berada dalam taksi yang membawanya ke toko yang terletak dekat dengan blok apartemennya dulu. Dia sangat ingin menemui ibu John di sana. Entah mengapa, melihat wajah tenang wanita tua itu terasa menentramkan hatinya.

Seperti biasa John menyambutnya begitu Crao menampakkan wajahnya di pintu toko. “Ma ada di atas!” teriaknya yang dibalas Caro dengan senyuman dan segera melangkah menaiki tangga. Wanita itu menyambutnya dengan senyumannya yang hangat.

“Nah, kemarilah, sayang. Tanpa kau bilang pun kabut di wajahmu sudah menunjukkan suasana hatimu. Kemarilah, duduk di sebelahku. Secangkir teh hangat akan mencerahkan semuanya,” katanya ramah.

Caro mengambil tempat di sebelah wanita tua itu dan menggenggam lembut tangan keriput itu, berusaha menentramkan hatinya yang galau. Wanita itu tak pernah berusaha mengorek ataupun mencecarnya dengan pertanyaan. Caro pun tak pernah menceritakan perasaannya. Mereka hanya berbincang ringan tentang segala sesuatu yang tidak penting. Namun dengan caranya sendiri wanita tua itu menghibur Caro dan meyakinkannya bahwa sedikit rasa sakit hati akan baik untuk membuatnya kuat. Akhirnya Caro tinggal hingga saat makan malam. Hari Kamis dia dan James memang tak pernah makan malam di rumah dan Hannah pun terbiasa dengan jadwal itu. Jadi tak ada alasan baginya untuk mengganggu rutinitas wanita yang begitu penuh perhatian dengan rumah tangganya. Bila saatnya tiba nanti akankah Maureen Soames atau siapapun wanita yang akan dipersunting James menggantikan dirinya nanti, bisa bersikap baik pada Hannah? Batinnya sedih.

Mereka sedang menikmati kopi bersama John dan ibunya ketika pelayan John memberitahu akan kedatangan seseorang. “Seorang lelaki yang mengaku sebagai suami nyonya dokter datang menjemput,” kata pelayan itu dengan logat Cockney yang kental.

Caro membelalakkan matanya dengan heran. Dia tak menyangka James akan datang ke tempat ini. Tapi pelayan itu tentu saja tidak bohong, karena begitu ibu John menyuruhnya mempersilakan James masuk, lelaki itu sudah berdiri menjulang di ruangan sempit itu. Dengan John dan James yang berukuran di atas rata-rata ruangan terasa sesak.

“Ah, ini dia sang suami. Terimakasih telah berbagi Caro dengan kami,” sambut ibu John dengan ramah. James tersenyum kepada wanita tua itu dan mencium lembut pipi keriputnya. “Nah, sayang, karena suamimu sudah di sini ada baiknya kau segera pulang. Kau telah menghiburku, aku senang sekali. Kami akan sangat bahagia kalau kalian berdua melewatkan banyak waktu di sini, itu kalau tidak mengganggu kesibukan kalian.”

James memang sangat luar biasa dalam berbasa-basi. Kata-katanya pada wanita tua itu begitu sopan dan lembut, sama sekali tak ada sisa dari kemarahan terpendam yang tadi sore dilihat Caro. Caro hanya mengamati sambil berdiri kaku di sebelahnya. Ketika akhirnya mereka berpamitan karena James menolak tawaran minum kopi bersama mereka, wanita tua itu melepasnya dengan senyum hangat. Setelah mencium kedua pipi wanita itu dan mendapat ciuman ringan dari John, Caro mengikuti James ke mobilnya. Dalam perjalanan pulang James tak berniat mengajaknya bicara membuat Caro merasa semakin tersiksa.

“Kuharap kau tidak keberatan aku sering mengunjungi John dan ibunya,” kata Caro lirih memecah kesunyian. “Aku tak menduga kau tahu kemana aku pergi.”

“Hanya intuisi, Caro. Marah? Kenapa aku harus marah? Aku bukan penjagamu, kau bebas berteman dengan siapa saja,” James berbicara datar. Bagai tersiram seember air dingin Caro merasakan kebekuan dalam hatinya. Mereka dengan cepat tiba di rumah. Kepada Knotty dia mengatakan agar meminta Hannah menyiapkan sandwich karena dia belum makan malam.

“Oh, ternyata kau belum makan malam. Aku pikir kau akan makan bersama Dr. Bright,” Caro merasa sangat bersalah.

“Tidak. Aku menelepon Hannah tadi. Bukan hal penting. Sandwich pun jadi.”

Caro mengikuti suaminya ke ruang duduk dan Hannah segera datang menyajikan sepoci kopi yang masih mengepul. James menatapnya saat Caro menuang minuman ke cangkir mereka berdua.

“Apaka hari ini kau telah mengirim baju-baju kotor ke laundry?” tanya James sambil lalu.

Tepat saat itu Hannah datang dengan sepiring sandwich. “Saya mengirim pakaian kotor ke laundry tadi siang,” kata wanita itu.

“Apakah ada barang yang tertinggal, Hannah?”

“Iya, tadi sudah saya letakkan di atas laci di ruang kerja Anda, Professor.”

“Baiklah, Hannah, terima kasih.”

Caro semakin merasa tertekan. Tangannya yang memegang cangkir mungil ringkih itu bergetar. Semoga James tak melihatnya, pintanya dalam hati. “Hari ini aku berangkat pagi dan Hannah yang melakukannya. Apakah kau keberatan? Apakah ada sesuatu yang penting?”

“Iya, tetapi hanya penting buatku. Aku tak keberatan Hannah melakukan hal itu. Kenapa juga harus keberatan? Dia yang selalu melakukannya sebelum aku menikah.”

Caro benci sekali melihat James yang bersikap dingin begitu.

“Kau sama sekali tak mau tahu barang apa itu, Caro?” tanya James mengejek.

Caro mengalihkan wajahnya ke atas, seolah lampu-lampu hias yang tergantung di plafon tersebut memerlukan perhatian lebih. “Tidak, James, aku tak akan usil dengan mencampuri kehidupan pribadimu. Aku cukup tahu diri dan menghormati pengaturan pernikahan kita.”

“Begitu? Kau tampaknya selalu mengingatkanku dengan pengaturan awal pernikahan kita. Jangan kuatir, Caro, aku tak melupakannya dan aku memahami betul resikonya.”

Tepat saat ponsel James berbunyi. Lelaki itu menjawabnya seketika. Sepertinya dari rumah sakit. “Oke, aku akan sampai dalam waktu kurang dari lima belas menit,” kata James kepada siapapun di ujung sana. Dan kepada Caro dia hanya berkata pendek, ”Aku harus pergi.”

Caro menatap kepergian suaminya dengan sedih. Apa yang harus kulakukan?

Ternyata James kembali tidak pulang hingga dini hari. Caro hanya membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur yang terasa dingin tanpa James di sampingnya. Sekuat tenaga dia menahan diri agar tidak menangis. Dia tak ingin James tahu bahwa betapa dia merindukannya, betapa dia tersiksa selama James pergi, dan betapa bencinya dia dengan situasi dingin di antara mereka. Tepat pukul empat pagi, melawan segala gengsi dan akal sehat akhirnya Caro menelepon ponsel James.

“Halo...” terdengar suara mengantuk seorang wanita. Maureen.

Caro memejamkan mata sejenak. Kenapa Maureen yang menjawab ponsel James? “Dimana James?”

Terdengar tawa serak Maureen yang sepertinya masih mengantuk. “Oh, nyonya yang malang sekali. Anda sama sekali tak menduga bukan bahwa Professor, atau Jimmy, sedang tertidur nyenyak sekarang? Aku tak tega membangunkannya. Dia terlalu bersemangat, Anda tahu kan?”

“Apa yang kau lakukan dengan suamiku?” suara Caro bergetar penuh kemarahan.

Kembali terdengar tawa di seberang. “Malang sekali nasibmu, Caroline. Apakah kau tahu bahwa kau terlalu naif, menyangka James akan setia padamu? Harusnya tanpa dikatakan pun kau tahu apa yang terjadi. Kami bahkan ke Amerika bersama-sama. Bodoh sekali dirimu ini, Caroline. Tahukah kau kenapa James menikahimu? Karena kau tipe istri idaman setiap pria, namun kau sama sekali bukan kekasih yang menggairahkan di tempat tidur. Lelaki perlu dua hal tersebut, kau tahu kan?”

Caro tak tahan lagi mendengar semuanya. Pikirannya terasa buntu. Satu hal yang pasti adalah dia tahu bahwa pernikahannya telah berakhir dan dia harus pergi. Secepat otaknya bisa berfikir, Caro segera bangkit dari tempat tidur. Dia mengganti baju tidurnya dengan celana wool tebal, memakai t-shirt dan sweater. Seperti robot dia mengepak beberapa pakaian ke dalam tas jinjingnya. Semua perhiasan yang dikenakannya termasuk cincin kawin dia masukkan ke kotak dan menyimpannya ke laci meja rias. Dia tak kekurangan uang, tetapi dia mengembalikan semua buku bank dan kartu atm maupun kartu kredit yang diterimanya dari James dan menyimpannya jadi satu di kotak perhiasan. Beruntung Knotty selalu menjaga agar bahan bakar mobilnya selalu penuh jadi dia tak akan kuatir untuk bepergian di pagi buta. Setelah yakin segala kebutuhan dasarnya telah masuk dalam tas dan dia telah siap, dia menuruni tangga rumah dengan mengendap-endap.

Tinggal satu hal yang harus dilakukan. Menulis surat untuk James. Perlahan dalam kegelapan Caro memasuki ruang kerja James, menutup pintunya dan menyalakan lampu baca di meja James. Air mata menggenang di pelupuk matanya saat dia duduk dan menulis. Beberapa kali dia merobek suratnya. Sampai akhirnya dia berhasil merangkai kata-kata yang cukup lumayan.

James,

Aku akan pergi sehingga kau akan bisa memproses perceraian kita. Aku tak punya nyali untuk mengatakannya terus terang kepadamu, namun aku cukup memahami dirimu. Aku pergi agar kau bebas dari ikatan ini dan bisa kembali bersenang-senang sebagaimana hidupmu dulu. Dini hari ini saat aku menelepon ponselmu dan Maureen yang menjawabnya, membuatku tersadar bahwa pernikahan kita sudah berakhir. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu dengan siapapun wanita yang kau pilih nanti. Oh ya, aku telah melihat cincin itu. Siapapun wanita yang akan kau beri cincin itu, dia pasti sangat berarti bagimu. Aku meninggalkan semua pemberianmu di laci meja rias. Aku punya cukup uang dan aku akan mencari pekerjaan secepatnya, jadi aku akan baik-baik saja. Tetapi untuk beberapa saat aku ingin menenangkan diri. Aku akan menghubungi pengacaramu secepatnya agar dia tahu dimana bisa menghubungi aku kelak. Terima kasih atas semuanya. Maaf bila surat ini sedikit kacau.

Caro

Caro melipat suratnya, meletakkannya hati-hati di tempat yang mudah dilihat. Menulis catatan untuk Knotty bahwa dia pergi untuk urusan mendadak dan memintanya membawa Jason jalan-jalan. Caro tak tahan untuk tidak membuka laci teratas meja James, dan melihat kotak dan amplop itu berada di sana, tempat Hannah meletakkannya. Kemuadian segera bangkit. Setelah melihat sekali lagi isi ruangan itu dan merekam semuanya ke dalam memorynya, Caro keluar. Rumah masih sangat sepi. Knotty dan Hannah yang tinggal di apartemen belakang belum bangun. Setelah dia meletakkan catatan untuk Knotty di dekat telepon, dengan mudah Caro keluar menuju garasi. Dan dalam kegelapan dini hari itu Caro pun meluncur pergi.

Barulah pukul sembilan James tiba di rumah. Wajahnya kusut belum bercukur daan terlihat sangat lelah. Knotty menyambutnya dengan raut muka khawatir.

“Saya tak suka membaca catatan Nyonya Willis, Professor. Dia mengatakan harus pergi untuk suatu urusan mendadak. Saya tak tahu jam berapa itu karena saat saya bangun pagi tadi nyonya sudah tidak ada.”

“Dia membawa mobil?”

“Iya. Untunglah tanki mobilnya telah saya isi penuh kemarin. Menurut Hannah sejak kemarin pagi nyonya memang sudah terlihat tidak seperti biasanya, bahkan lebih kacau dan muram dari ketika Professor ke Amerika dulu.”

“Baiklah. Pasti dia meninggalkan pesan untukku. Aku akan meneleponnya dari rumah. Ponselku tertinggal entah dimana.”

James melemparkan mantelnya ke kursi terdekat. Melangkah panjang dan cepat ke ruang studinya dan segera dia melihat lipatan kertas yang ditinggalkan Caro. Dia berdiri kaku tanpa berbuat apapun untuk beberapa lama. Wajahnya tanpa ekspresi, kemudia membuka lipatan kertas itu perlahan. Dan dengan perlahan pula dia membaca tulisan Caro, kemudian mengulangi membacanya lagi sebelum melipatnya dan menyelipkannya ke saku baju. Dia melangkah ke atas, melompati tangga dua sekaligus dan menuju ke kamar tidur. Semua tepat seperti yang dikatakan Caro. Membuka lemari baju Caro, dia melihat tak ada perubahan sama sekali. Semua gaun Caro masih tergantung di sana. Kopornya juga. Meski tahu bahwa Caro tak akan menjawab ponselnya toh James mencoba meneleponnya dengan telepon di samping ranjang mereka. James terduduk di ranjang dan mengusap wajahnya dengan lelah.

Suara ketukan di pintu kamar disusul oleh Hannah yang datang membawa nampan berisi sarapan pagi. “Anda lebih baik sarapan dulu, Professor, jadi nanti kalau nyonya pulang Anda akan merasa lebih baik,” kata wanita keibuan itu.

James menatap kosong ke kejauhan. Tentu saja Caro tak pulang.

6 comments:

  1. heeuuuuuuuuuu.....gampar Maureen....>0<....

    ReplyDelete
  2. kalau semua orang pintar dan cerdas punya pengendalian diri berlebih seperti Caro dan James, sumpah mending jadi orang biasa-biasa aja dech........(garuk-garuk kepala yang g gatal).....
    Thank U Olly..... huhuhuhu,,,makin g sabar menanti penyelesaian kasus salah pahamnya.....

    ReplyDelete
  3. olly.....lanjutin cepat makin bagus n bikin penasaran....memang perlu digampar n dilempar tuh simaureen

    ReplyDelete
  4. DASSSAAAAARRRRR MAAAUUUUREEEEEEEEEENNNNNN!!!!!!!!!
    BIKIIINN ESSSMOOOOSSSIIIIIIIIIIIIIII..........

    setuju banget sama Kak Nalani....perlu wajib gampar tuh si maureen....reessseeeyyy deehhh...heeeuuuwwwwhhh...!!! >0<

    ditunggu lanjutannya ya kak Olly...jangan lama2 ya salah pahamnyaa...huhuhuhu......

    ReplyDelete
  5. Iya gak suka banget sama si maureeen gak sopan, cewek gak tau malu, gak tau diri.......yooook kita iket n buang ke laut sama2 biar jadi makanan ikan hiu.......

    Sista......ayo lgsg update lagi makin gak sabar,..........Ayo James cari Caro, susulin dong.......

    ReplyDelete
  6. hedeeeh di TK ada shiomay di MBA ada maureen- g pelesetin jadi maling aja dahhhh ;p
    seruuuu banget olly heheheh\
    dada g jd ikutan sakiitt hiksss
    anita f4evermania

    ReplyDelete