Saturday, July 9, 2011

Marriage By Arrangement (10)

Salju turun dengan deras ketika Caro mengambil kunci dari tempat persembunyiannya di bawah keset dan memasukkannya di lubang kunci pintu pondok liburan milik James. Dalam ruangan terasa sangat dingin namun tidak lembab. Caro menyalakan lampu dan pemanas ruangan, menuju dapur dan membuka lemari pendingin, menemukannya telah penuh dengan bahan makanan. Ny. MacCoy menyambut baik teleponnya dua hari yang lalu, berjanji akan menyediakan semua keperluan Caro. Namun dia menyesal karena dia tak dapat menemui Caro karena dia harus ke Yeovil, menjaga bibinya yang sedang sakit untuk kira-kira satu bulan lamanya. Merasa puas, Caro mengambil tasnya dari mobil yang telah dia masukkan dengan aman di garasi. Saat dia keluar pondok, dia gemetar karena kedinginan dan kelelahan, serta dampak dari perjalanan ratusan kilometer, yang dipacu oleh rasa kesedihan teramat sangat karena mengetahui hubungannya dengan James telah berakhir.

Perjalanan itu sendiri bagaikan mimpi buruk bagi Caro, melalui jalanan yang licin membeku, kabut, belokan-belokan yang salah, serta jalan tol yang monoton. Beberapa kali Caro hampir menyerah karena kehilangan keberanian setelah mengemudi dengan kecepatan setinggi yang mampu dicapai mobil mininya. Dia bermalam di Kendal dan melanjutkan perjalanan kembali di pagi hari yang dingin dan kelabu, yang tidak juga berubah menjadi lebih cerah hingga dia tiba di pondok. Tentu dia singgah di beberapa tempat untuk makan atau minum kopi namun sama sekali tak bisa mengingat tempatnya dengan tepat. Yang dia tahu bahwa dia tidak lapar. Kembali ke pondok Caro segera membuat secangkir coklat panas, membongkar tas, dan segera tidur tanpa repot-repot makan terlebih dahulu.

Caro tertidur nyenyak karena kelehan dan terbangun kesiangan esok paginya untuk mendapati salju masih turun dengan deras. Pedesaan dan hutan di sekitar pondok tampak berselimut salju tebal berwarna putih menimbun semua yang ada. Caro berpakaian dengan cepat, mengenakan celana dan sweater, memastikan dirinya cukup hangat sebelum beranjak ke dapur dan memasak sarapan sederhana. Setelah kenyang dia mengambil sepatu boot yang terletak di belakang dapur, memakai mantel tebal, topi wool, menjinjing sekop yang dia temukan di gudang dan mulai bekerja membersihkan salju yang menumpuk di lantai teras sepanjang depan pintu hingga ke garasi. Kegiatan fisik yang cukup efektif untuk membuat otak dan tubuhnya bekerja tanpa kesempatan berfikir yang tidak-tidak.

Ternyata membersihkan salju menghabiskan waktu lebih panjang dari yang semula diduganya. Masih ada bagian lain yang perlu dia bersihkan di beranda belakang. Bukan pekerjaan yang mudah karena salju terus menerus turun dan membuat hasil kerja kerasnya kembali nihil. Namun itu tak masalah, Caro meyakinkan diri sendiri dengan keceriaan palsu, dia bisa melakukannya lagi besok dan besoknya lagi bila perlu, hanya untuk memberinya sesuatu untuk dilakukan. Saat akhirnya dia selesai senja telah turun dan langit menggelap meski baru jam tiga sore. Caro menyibukkan diri di dapur. Karena memasak untuk diri sendiri tak membutuhkan waktu lama, maka dia pun mulai membongkar dan merapikan dapur, menata ulang seluruh perabot dan bahan makanan, melabeli yang masih bisa dikonsumsi, serta membuang yang sudah kedaluwarsa. Saat malam menjelang, dengan memakai gaun tidur berbahan flanel yang hangat, Caro meringkuk di sofa dengan secangkir besar coklat panas, tak bisa lagi melupakan segala kesedihannya. Air mata mengalir tanpa terbendung. Kesedihan dan kesepian yang mendera membawa kembali semua kenangannya di pondok bersama James. Betapa bahagia mereka berdua saat itu. Dengan pedih Caro beranjak ke kamar tidur dan membaringkan diri. Meski matanya nyalang hingga larut, namun menjelang dini hari akhirnya dia tertidur.

Cuaca buruk masih berlangsung. Setiap hari Caro bekerja membersihkan tumpukan salju yang memenuhi jalur di depan garasi hingga ke halaman, kembali ke pondok untuk menyiapkan makanan sederhana, dan menghabiskan waktu dengan bergelung di depan perapian sambil membaca buku. Di gudang kecil belakang pondok tersedia cukup kayu bakar sehingga Caro tak khawatir kenyamanannya terganggu meski kondisi tak memungkinkan dirinya untuk berjalan-jalan ke desa terdekat. Sekali Caro mencoba perjalanan singkat ke danau tempat dia dan James dulu memancing. Namun salju tebal membuatnya hampir tersesat. Sejak saat itu Caro tak berani lagi mencoba. Caro juga tidak tahu sampai kapan cuaca buruk ini berlangsung. Ponselnya telah dia matikan sesaat setelah meninggalkan London, hanya dia nyalakan ketika dia teringat untuk mengirim pesan kepada Dr. Bright, mengabarkan bahwa dia tidak bisa hadir di klinik untuk waktu yang tak dapat ditentukan. Saat itu dia mendapati banyak panggilan tak terjawab dari telepon rumah, namun Caro mengabaikannya, mungkin Knotty atau Hannah, dan mematikan kembali ponselnya hingga sekarang. Di pondok hanya ada televisi portable dan radio, namun mungkin karena cuaca buruk semua mati sejak kedatangannya, termasuk jaringan telepon. Di tempat persembunyiannya Caro benar-benar terisolir. Caro yakin tak seorang pun tahu keberadaannya saat ini. Bukannya hal itu penting baginya. Dia memiliki semua yang dibutuhkannya dan dia cukup nyaman. Dan semakin lama dia pergi semakin baik bagi James untuk menyadari bahwa Caro serius dengan semua yang dikatakan dalam suratnya.

Telah satu minggu Caro berada di pondok ketika dia menyadari sesuatu, datang bulannya telah terlambat selama dua minggu. Caro menghitung-hitung dan kembali kepada kesimpulan semula. Mungkin ini terjadi sebelum James berangkat ke Amerika lebih sebulan yang lalu, atau saat mereka berada di rumah Caro di Essex. Caro tahu bahwa masih terlalu dini untuk memprediksi semuanya. Namun jauh di lubuk hatinya dia yakin bahwa buah cintanya dengan James telah tertanam dalam rahimnya. Secepat cuaca membaik Caro berencana ke Inverness untuk membeli alat tes kehamilan di apotik setempat. Dan sepertinya nasib baik sedang mendukung Caro ketika terbangun pagi hari dari balik jendela kamar nampak cuaca membaik. Salju tak lagi turun dan matahari bersinar meski masih dingin menggigit. Dan dari kejauhan Caro mendengar suara kendaraan pembersih salju sedang menjalankan tugasnya.

Penuh semangat Caro membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah meneguk segelas susu dan memakan roti bakar dan keju, Caro pun bernyanyi riang menuju garasi. Memeriksa bahan bakar mobilnya sekaligus memastikan rantai salju pada roda mobilnya yang dipasang Knotty sejak di London dulu untuk membantunya berkendara di jalan yang licin membeku masih terpasang rapi. Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, untuk pertama kali sejak kedatangannya ke pondok Caro merasa ceria. Perjalanan ke Inverness terasa ringan. Caro menghabiskan waktu dengan berkeliling dan menjelajah dari toko ke toko, menikmati hari yang cerah. Dia bahkan tinggal hingga makan siang sebelum akhirnya berkendara lagi ke pondok. Dengan tak sabar dia menunggu pagi hari untuk mengetes air seninya. Dan hasilnya tepat seperti yang diduganya. Janin itu telah tumbuh dan berkembang dalam rahimnya.

Tiba-tiba masa depan tampak membentang indah di depan Caro. Caro yakin James akan bisa menerima kehadiran anak mereka. Tentu saja perceraian itu akan tetap terjadi. Tetapi James lelaki yang baik dan pasti mau bertanggung jawab terhadap bayinya. Mereka mungkin akan perlu membicarakan pola asuh yang akan mereka jalankan sebagai orang tua yang tak lagi bersama dan di jaman sekarang hal tersebut bukan lagi menjadi hal yang asing. Caro tetap harus bekerja. Kemungkinan besar dia akan mempertimbangkan kembali ambisinya untuk berpraktek di tempat yang terpencil karena membayangkan anaknya harus tumbuh di kota besar dan dirinya bekerja kembali di rumah sakit yang sibuk sungguh tak tertahankan. Mungkin anaknya nanti tak akan bisa menikmati kamar anak mewah di rumah James di Richmond. Namun hal itu tidaklah penting.

Caro merayakan kebahagiannya itu dengan memasak makanan yang cukup rumit dan istimewa untuk dirinya sendiri. Dan di Inverness dia telah membeli pula bahan-bahan untuk merajut. Meski masih sangat awal apa salahnya bila dia mulai merajut kaos kaki dan topi untuk bayinya. Malam hari saat angin kembali bertiup membawa kembali butir-butir salju, Caro menikmati merajut di depan perapian dengan hati berbunga-bunga.

Seminggu berikutnya akhirnya angin berhenti bertiup dan salju berhenti turun. Setelah sarapan Caro keluar lagi untuk memberbersihkan tumpukan salju. Dia juga memanaskan kembali mobilnya. Kemungkinan bila salju benar-benar berhenti hingga esok harinya Caro berniat memulai rencananya. Mau tidak mau dia harus menghadapi semua. Dia akan mengadakan pertemuan dengan Tuan Phips, pengacara sekaligus akuntan pribadi James sebelum akhirnya menghadapi lelaki itu sendiri. Karena apartemen lamanya telah dijual maka Caro berencana pulang dulu ke Essex sambil mencari peluang untuk bekerja kembali dan mencari tempat tinggal baru yang cocok baik buat dirinya maupun si bayi. Caro asyik bekerja sambil memikirkan semua yang akan dilakukannya di masa depan.

Caro tak tahu apa yang membuatnya menoleh, mungkin suara yang tanpa sadar tertangkap oleh gendang telinganya. Yang jelas ketika dia menolehkan kepalanya James telah berada cukup dekat dengannya. James menggerakkan tangannya dengan perlahan membuka kaca mata hitam mahal yang sering dia kenakan ketika mengemudi jarak jauh. Caro bisa melihat betapa lelahnya James. Tampak garis-garis menghiasi pipi dan keningnya dan kerutan di sekitar matanya semakin dalam. Sesuatu yang dulu tak ditemuinya. Caro menghembuskan nafas perlahan, meletakkan penggaruk salju yang tengah dipegangnya hati-hati bersandar ke dinding dan melangkah mendekati James. Dia begitu terkejut hingga tak bisa berkata-kata. James pun tampaknya demikian. Caro pun menyuarakan apa yang pertama melintas di kepalanya.

“Untung sekali aku telah membersihkan jalan depan garasi dari salju. Bagaimana kau berhasil membawa mobil kemari?”

Mulut James yang tampak lelah menyeringai. “Aku tidak bawa mobil. Aku meninggalkannya di Glenmoriston dan menumpang kendaraan pembersih salju hingga ke Shielbridge.”

Caro berseru terkejut. “Kau berjalan kaki? Itu hampir tujuh kilo... dan salju pasti masih sangat tebal. Berapa lama kau berjalan?”

James melihat jarum di jam tangannya. “Sekitar empat jam. Salju memang tebal sekali dan sulit untuk mengenali arah dengan jelas.”

Mereka berdiri berhadapan dan saling memandang sampai akhirnya Caro berkata “Kau pasti sangat lelah. Masuklah ke pondok. Kupastikan kau bisa segera mandi, makan, dan tidur.”

Caro tahu bahwa dia terdengar seperti wanita tua yang sok pengatur, namun itu lebih baik daripada hanya berdiri saja di sana. Dan itu akan membuatnya sibuk memikirkan sesuatu hingga dia siap untuk menghadapi James. Caro melepas sepatu bootnya dan meletakannya di rak sebelum ke dapur untuk menyalakan kompor. James melakukan hal serupa, melepas jacket kulit dombanya yang tebal dan menggantunya di balik pintu, kemudian menyusul Caro ke dapur.

James menarik kursi dan duduk di depan meja makan yang ada di dapur itu, mengamati Caro yang sibuk dengan penggorengan dan teko kopi. Caro memecahkan dua butir telur, kemudian menambah satu lagi. James bertubuh besar dan dia pasti lapar setengah mati, pikirnya sambil menambahkan daging asap ke dalam masakannya.

Caro tak bisa mengontrol lidahnya dan berucap, “Kenapa kamu datang, James? Aku tahu ada beberapa surat yang harus aku tanda tangani tetapi kau cukup tahu bahwa aku tak menyertakan syarat apapun dan aku akan setuju dengan semua keputusanmu. Kau tak perlu jauh-jauh kemari,” Caro menghela nafas dengan cepat. “Bagaimana kau tahu aku berada di sini?” Lucu sekali karena hal itu baru terpikir oleh Caro.

“Aku harus menemuimu, Caro.”

Caro menata telur dadardan daging asap di piring, menyajikannya di depan James bersama sepoci kopi yang masih panas mengepul. “Tak seorang pun tahu aku berada di sini,” Caro menuang kopi untuk James, “Itu dibolehkan, kupikir,” dia melanjutkan dengan ringan. “Paling tidak sampai aku menanda tangani sesuatu.”

“Ada yang harus kukatakan padamu, Caro.”

Caro menatap James sambil menuang kopi untuk dirinya sendiri. James terlihat sangat mengantuk dan bisa tertidur saat itu juga.

“Ya, aku tahu,” dia berbicara lembut tapi tak terbantahkan, nada bicara yang biasa dia gunakan dalam menghadapi pasien sulit di ruang gawat darurat. “Tetapi kau harus makan sekarang dan kemudian tidur. Kau bisa mengatakan apapun itu kepadaku setelahnya, tetapi tidak sebelumnya.” Caro memikirkan sesuatu kemudian menambahkan, “Sayang sekali telepon dan semua alat komunikasi tidak bisa berfungsi karena cuaca,” dan sebelum dia bisa menahan diri, dia bertanya, “Apakah Maureen tahu kau berada disini? Kuharap kau sempat mengabarinya saat kau masih di Inverness. Bila cuaca membaik kau bisa mendapat tumpangan ke kota. Kupikir kau sudah tak sabar ingin segera kembali.” Caro menghentikan rentetan kata-katanya karena sesuatu dalam mata James memperingatkannya. Kalau dia tidak sedang kelelahan Caro bersumpah dia melihat cahaya kemarahan di sana. “Perjalananmu cukup berat? Dimana kau menginap?”

“Aku langsung kemari tak menginap dimanapun.”

Caro membelalakkan mata. “Ha? Langsung kemari? Tetapi itu berarti kau harus menempuh ratusan kilometer dan dalam cuaca yang begitu buruk,” Caro mengalihkan pandangannya ke kejauhan, berusaha keras menahan air mata yang akan turun. Pasti James menganggap perjalanan ini cukup layak dan berharga, bahkan demi mendapatkan persetujuan cerai darinya. Sekuat itukah keinginannya untuk berpisah? Kepedihan kembali menghantamnya. “Cobalah roti ini,” Caro menawarkan seiris besar roti ke depan James. “Aku membuatnya sendiri.”

James tak memperhatikan tawaran Caro. “Kita harus bicara, Caro.”

Caro meletakkan cangkir kopinya dengan keras ke meja membuat isinya sedikit tertumpah. Tetapi suaranya cukup lembut waktu berkata, “Aku tahu. Tetapi tidak sekarang.” Bagaimanapun Caro tak bisa mengatakan bahwa dia mengulur waktu karena ingin menikmati waktu terakhirnya bersama James sedikit lebih lama dan bersiap mendengarkan apapun keputusan yang James buat untuknya. “Kau terlalu lelah sekarang dan aku harus menyiapkan tempat tidurmu. Masih tersedia cukup air panas dan kau akan menemukan semua kebutuhanmu di kamar mandi,” Caro telah bangkit dan berjalan ke kamar atas, kamar tidur satu-satunya di pondok itu.

Caro selesai menata tempat tidur waktu James masuk sehingga dia harus menghindar dengan memasuki ke kamar mandi dan membuka keran air, kemudian keluar lagi. “Aku tak akan mengganggumu. Aku akan berada di luar, kau bisa mengunci pintunya kalau mau,” katanya dan beranjak pergi.

Caro kembali ke dapur, memeriksa isi lemari dan memutuskan untuk membuat kaldu daging untuk sup. Saat bangun James pasti membutuhkan makanan, dan sup daging tak akan rusak meski selama apapun James tidur. Setelah memasak Caro mengambil mantel dan bersiap keluar lagi. Dia menjaga pikirannya tetap sibuk dengan berjalan melintasi halaman menikmati sinar matahari yang mulai muncul dengan tanda akan berakhirnya musim dingin yang buruk ini. Caro melupakan makan siang, namun menjelang sore dia kembali ke pondok untuk menyalakan perapian. Menikmati teh panas, Caro mengambil kembali rajutannya dan meneruskan pekerjaan itu di depan api yang berkobar indah. Dia membutuhkan segala ketenangan dan ketegaran yang dimilikinya bila James bangun nanti. Dia memainkan jarum rajutnya dengan lincah, menunggu pikirannya jernih dan mempersiapkan jawaban yang akan diutarakan kepada James. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa dia masih sangat mencintai James meski hal tersebut sama sekali tak berguna untuk saat ini.

Caro begitu tenggelam dalam pikiran dan pekerjaan hingga tak menyadari James telah berada di dekatnya. Lelaki itu tanpa diduga mengenakan sweater merah tua yang dulu dirajut Caro dalam bulan madu mereka, memakai celana tua berbahan corduroy, serta sandal kamar norak yang dulu dibeli Caro di Inverness. Tenggorokannya tercekat melihat semua itu, namun dia mengingat untuk tetap tersenyum.

“Tehnya masih panas kalau kau mau,” dia menawarkan. “Kuharap kau tertidur nyenyak.”

Dan sepertinya James memang tertidur nyenyak. Wajahnya kembali segar, garis-garis kelelahannya telah hilang, dan dia juga sudah bercukur rapi. Tampak kembali menjadi James yang kompeten dan siap melakukan apapun. Caro tak sempat meneliti penampilannya sendiri, namun dia yakin bahwa dia benar-benar berantakan.

James duduk di seberang Caro dan Caro menuangkan secangkir teh untuknya. James menerima cangkir dari Caro namun kemudian meletakkannya di meja, menatapnya tajam dalam diam sehingga Caro merasa bahwa James mendengar detak jantungnya yang kencang. Untuk menekan kegugupannya Caro menanyakan apakah James telah tidur nyenyak, sama sekali lupa bahwa dia telah menanyakan hal serupa tadi. Saat James menjawab iya, Caro menambahkan bahwa tempat tidur di kamar memang benar-benar nyaman dan pondok terasa indah. Komentar yang tak mendapat tanggapan sedikitpun dari James. Caro meminum tehnya lalu kembali menenggelamkan diri dalam kegiatan merajut, berusaha menjaga tangannya tetap di pola yang benar, menunggu dengan sabar sampai James mengatakan apapun alasan dia bermobil lebih dari tujuh ratus kilo meter di musim dingin yang buruk. Bahwa James akan mengungkapkan sehalus mungkin kepadanya Caro sama sekali tak ragu. Mereka telah dan akan tetap berteman baik. Caro bersyukur dalam hati bahwa dia tak pernah mengijinkan James untuk mengetahui perasaan cintanya.

“Aku membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk menemukanmu, Caro,” kata James akhirnya. “Kau tahu ini adalah tempat terakhir yang terpikir olehku. Kau pernah mengatakan, kalau kau ingat, bahwa hanya situasi yang mengerikan yang akan membuatmu sanggup menempuh perjalanan sejauh ini sendiri. Aku tak mengingatnya sama sekali saat itu dan membuang begitu banyak waktu yang berharga mencarimu ke Essex, ke rumah sakit, ke klinik di Rose Roads, ke Richmond, ke rumah orang tuaku di York hingga ke toko John dan ibunya. Aku bahkan mencarimu ke tempat Tuan Phips...”

Caro menghela nafas. “Maafkan aku telah merepotkanmu. Aku tak memberitahu siapapun kemana aku pergi karena kupikir kau tak ingin tahu.”

“Caro...”

“Kau pergi, James. Kau meninggalkanku ke Amerika, dan kau mengacuhkanku. Bukan hanya itu kau sama sekali tak mengatakan bahwa kau ke Amerika dengan Maureen. Kau membawanya pulang ke rumah. Kau pulang pagi ketika mengantarnya. Kau membelikan cincin untuknya. Bahkan kau menghabiskan malam itu dengannya.”

“Dan kau mempercayai semua itu?” James memandangnya dengan tatapan mengejek.

“Aku menelepon ponselmu dini hari itu, James. Dan Maureen yang menjawabnya. Kau berharap aku berfikir bagaimana lagi?” Caro melempar rajutannya dan berdiri. Matanya berkilat-kilat sementara air mata membanjiri kedua pipinya. “Sebetulnya kau tak perlu berbuat sekeji itu. Kau cukup mengatakan padaku bahwa semua sudah berakhir dan aku akan pergi dengan baik-baik!” teriaknya tanpa sadar.

James tetap tenang di tempat duduknya dan menyipitkan mata. “Lalu kenapa kau diam saja selama ini, Caro? Kenapa kau tidak meneriakiku sebelumnya? Kenapa kau tak pernah marah meski aku sering pergi?”

“Bagaimana mungkin bisa? Kita sudah membuat peraturan pernikahan sebelumnya...”

“Persetan dengan segala pengaturan itu! Aku benci bila kau bersikap logis. Aku benci melihatmu menjadi dingin. Aku ingin kau berteriak kepadaku, aku ingin kau menggerutu saat kutinggalkan! Kau tahu kenapa aku memintamu mengajakku ke Essex? Karena aku ingin bertemu dengan Stephen, hantu masa lalumu itu. Dau kau tahu kenyataan yang paling memalukan bahwa aku cemburu sekali pada Stephen. Laki-laki itu bahkan telah menyiapkan tempat untuk kau membuka praktek nanti. Aku marah pada diriku sendiri karena membiarkan gadis sepertimu memporak porandakan perasaanku. Aku marah kepadamu karena kau tak pernah mau bersusah payah untuk merebut hatiku, seolah aku tak cukup berharga untuk kau perjuangkan. Aku cemburu kepada semuanya. Aku cemburu kepada John dan ibunya. Aku bahkan cemburu kepada Jason. Itulah kenapa aku pergi ke Amerika dan aku membenci setiap menit keberadaanku di sana tanpa dirimu. Namun aku sangat berharap saat kita berpisah kau akan merindukanku. Tadinya aku yakin kau merindukanku namun kita malah terjebak dengan kekonyolan bersama Maureen ini.”

“Kau di Amerika bersamanya,” Caro berbisik lemah.

“Dan kau percaya itu? Demi Tuhan Caro, apakah kau pikir aku cukup bodoh meninggalkan kau yang begitu berharga demi gadis konyol penuh kepalsuan seperti Maureen? Kupikir kau telah mengenalku dengan cukup baik,” James menghela nafas panjang.

Caro berdiri mematung tak tahu apa yang harus dipercayainya. Semua terjadi begitu cepat membuatnya bingung. “Maureen... kenapa kau membawanya ke rumah setelah kau begitu manis di telepon itu James? Kenapa kau kembali pergi meninggalkanku bersamanya hingga pagi hari? Kau pulang pukul tiga dini hari.”

“Aku memarkir mobilku di luar dan sibuk berfikir bagaimana membuatmu jatuh cinta kepadaku. Aku semula sangat berharap kau akhirnya mencintaiku sebagaimana aku mencintaimu. Oh ya, aku tahu saat kita berbulan madu bahwa kau telah menyadari perasaanmu. Namun kau tak pernah mau berusaha mengungkapkannya kepadaku. Sisi jahat dalam diriku ingin sedikit memanfaatkan Maureen yang hadir tak terduga dan membuatmu cemburu. Namun ternyata semua malah kacau balau. Padahal tak pernah sekalipun baik di Amerika maupun di Inggris aku menghabiskan waktu berdua dengannya. Satu-satunya kesempatan aku makan malam dengannya adalah atas undangan pamannya di sana dan aku bersedia lebih sebagai sopan santun karena bagaimanapun Maureen adalah bawahanku.”

“Dan kau menghabiskan malam berikutnya bersama Maureen,” Caro berbisik sedih.

“Tidak. Malam itu Arthur yang meneleponku karena ada kondisi gawat pasien yang membutuhkan penanganan cepat. Aku ke rumah sakit dan menghabiskan tujuh jam di OPD. Saat selesai hari telah pagi. Aku lupa meminta perawat untuk mengabarimu. Namun ketika aku ke kantor untuk mengambil tas ternyata ponselku tak berhasil kutemukan. Aku tak pernah menduga kalau Maureen akan senekad itu dengan mencuri ponsel. Dia memang hadir malam itu tetapi pulang lebih dulu karena tidak ikut tim bedah. Waktu aku pulang dan membaca suratmu barulah aku faham apa yang terjadi. Saat ini pihak rumah sakit telah memastikan bahwa nama Maureen tak lagi terdaftar sebagai dokter di St. Agnes.”

Keduanya membisu beberapa saat, sibuk dengan pikirannya sampai akhirnya Caro menemukan suaranya kembali. “James... maafkan kebodohanku,” Caro menatap James dengan mata berlinang-linang. Membuat pria itu tak tahan dan segera menyeberangi jarak yang memisahkan mereka dan merengkuh Caro dalam pelukannya.

“Caro...” desahnya dan mencium bibir gadis itu dalam-dalam.

“Aku mencintaimu James, dan aku menderita sekali,” Caro berbisik di bibir James.

“Aku tahu. Dan andai kau tahu betapa kalutnya aku saat kau pergi dan aku tak bisa menemukan dirimu dimana-mana. Aku tak bisa berfikir, aku tak bisa bekerja, karena kau mengisi seluruh pikiranku. Berjanjilah kau tak pernah menempatkanku pada situasi ini lagi,” James menghirup rambut istrinya, menelusupka hidungnya di batang leher Caro.

“James, aku melihat cincin yang kau beli dan aku membaca sekilas kartu itu. Maafkan aku telah berbohong,” Caro mengaku.

“Dan apakah kau membaca isi seluruh kartu itu?”

“Tidak karena saat itu terasa tidak benar bila aku membacanya.”

“Gadis bodoh. Aku sengaja meninggalkannya di kantong setelanku agar kau menemukannya. Aku membelinya untukmu di Amerika, aku menuliskan kata-kata dalam kartu itu dan merasa seperti pemuda belasan tahun yang sedang puber,” James menertawakan dirinya sendiri, “Jatuh cinta memang penuh omong kosong dan tidak logis. Tetapi kita hanya perlu mengesampingkan kekonyolannya dan membuatnya berhasil.”

“James...”

“Oh ya, aku mencintaimu, Caro, telah cukup lama. Saat melihatmu menghampiriku di altar itulah aku yakin bahwa kau gadis yang kucintai dan aku sadar bahwa seumur hidup aku akan sibuk membuatmu bahagia dan akan menikmati setiap menit dan detiknya,” James menyeringai jenaka. “Kau percaya?”

Caro mengangguk merasa sangat bahagia. Matanya yang hijau berpendar indah membuat suaminya lupa diri dan segera mengangkat dan menindihnya di atas sofa.

“James...kita belum makan...” Caro tak siap menghadapi serangan James.

“Kita bisa makan nanti,” sahut James tak peduli dan sesaat kemudian yang keluar dari bibir keduanya hanyalah desahan dua orang yang saling merindukan.

Tengah malam perut mereka sudah tidak bisa berkompromi lagi. Hanya dengan mengenakan mantel kamar keduanya makan berdua di dapur, menghabiskan sup dan roti yang tadi dimasak Caro sebelum akhirnya James membopong istrinya ke atas, ke tempat tidur mereka dan mencumbunya di sana. Berbeda dengan sebelumnya, James sangat lembut, dengan sabar menggoda dan memuaskan istrinya berkali-kali sebelum akhirnya mengijinkan dirinya melepaskan seluruh gairahnya.

Saat mereka saling berpelukan dengan lelah, Caro membimbing telapak tangan James mengelus lembut perutnya. James yang tak memahami maksud gadis itu menatap Caro dengan heran, hanya mendapati istrinya itu mengangguk dan tersenyum lembut. Sesaat James tak bisa berkata-kata. Namun akhirnya direngkuhnya Caro dan diciumnya dalam-dalam, seolah tak sanggup menahan kebahagiaan yang begitu meluap.

Putra pertama mereka lahir delapan bulan kemudian. Seorang bayi laki-laki tampan berambut gelap namun bermata hijau yang menangis begitu keras membuat para perawat kewalahan. James dengan bangga menggendong putra kecilnya dan membawanya ke tempat Caro yang tengah berbaring. Tampak lelah namun bahagia, Caro menerima ciuman suaminya. “Terima kasih atas hadiah terindah yang kau berikan padaku, Caro,” bisiknya mesra.

the end....

16 comments:

  1. aaaawwwwwww.........maaannniiiissssss..........suka deh suka deh sukaaaaaa deeehhhh......
    kak Olly....aku fans muuuuu...heuheuheuheuuu........
    akhirnya HE......hohohohohoho......

    ReplyDelete
  2. happy ending...seneng akhirnya mereka berdamai kembali, bikin lagi yang baru olly wk...wk...

    ReplyDelete
  3. kyaaaaaaaaaaaaa sweeeeeeeeeet senangnyaaaaa, tp dah the end...btw ada sekuelnya ga ya ???...*ngarep* thanks sis Olly

    ReplyDelete
  4. ayoooo selesaikan juga maya masuminyaaaah. kami menunggumuuu. Good job on this one. You don't write like an amateur!!

    ReplyDelete
  5. makasih....
    seneng deh kalo semua pada suka. Cuman kalo buat sequel kayaknya ga deh, gw ga suka pattern sinetron yang ber-season-season gitu.
    mending bikin stori baru aja deh ya

    ReplyDelete
  6. iyah iyah...ditunggu cerita yg lainnya kak Olly...
    aku fansmu daahhhh....heuheuheuuu..... ^^

    ReplyDelete
  7. yah the end..... padahal penasaran gimana romantisnya james saat caro hamil.....huhuhuhuhu.....
    thank U Olly.....ditunggu buah hasil kreatifitas menulismu lain dan pastinya gak kalah fantastis dari MBA....... Love it so much.....

    ReplyDelete
  8. hoooooo ditunggu karya2 berikutnyaaaaa....

    ReplyDelete
  9. wahhhh baru bacaa,,,,, kerennn abisss ollyy,,,
    makaci udah kasi liad story nya....
    di tunggu story berikutnya

    --chhuby--

    ReplyDelete
  10. Waaaaawwwww!!!! What a lovely story. Salam kenal sis.. aku suka sekali ceritamu ini and topeng kaca storiesnya juga.

    ReplyDelete
  11. Bagusss skaliii dehhh :)

    ReplyDelete
  12. love it!!!!!
    ayo..ditunggu karya2nya lho kak..

    stevanie

    ReplyDelete
  13. like it......
    di tunggu stori2 Selanjutnya...(*_*)

    ReplyDelete
  14. Sis.... dibuat Epiloque nya dunkz ^^
    -Lina Maria-

    ReplyDelete
  15. Bagus sis, suka bgt critanya.... Ditunggu next story. Oh ya, MM nya gmn? Koq gak ada lanjutannya lg.

    ReplyDelete
  16. Bagus sis, suka bgt critanya.... Ditunggu next story. Oh ya, MM nya gmn? Koq gak ada lanjutannya lg.

    ReplyDelete