Tuesday, July 12, 2011

TWELFTH : Because You Mine

Hingga jauh malam Masumi masih terus berfikir. Perkataan Maya tentang memiliki perusahaan sendiri terus terngiang di kepalanya. Kata-kata gadis itu seolah menegaskan kembali apa yang selama ini berkecamuk di hatinya. Daito. Hampir seluruh masa remaja hingga dewasa dia tak pernah lepas dari nama itu.Eisuke tak pernah lupa untuk mendengung-dengungkan di telinganya untuk apa dia membesarkan Masumi. Lelaki yang mengaku sebagai ayah angkatnya itupun tak pernah menutupi ambisinya untuk menjadikan Masumi sebagai pewaris. Pewaris? Huh! Kau begitu bodoh Masumi. Kau bukanlah pewaris, tapi kau tak lebih dari kaki tangan Eisuke. Kau telah memberikan begitu banyak kepada Daito, namun apa yang kau dapat? Gaji? Kenyamanan memakai baju mahal? Kendaraan mewah? Gaya hidup kelas atas? Puaskah kau dengan semua itu? Sementara kau sendiri seringkali merasakan kekosongan dalam hatimu.Bahkan gadis yang kau cintai pun tak dapat dengan jujur kau tunjukkan kepada dunia tentang keberadaannya. Lalu apa arti dari semua ini?

Mencintai berarti memberi tanpa mengharapkan imbalan. Masumi sangat yakin dia mencintai Maya. Tahun-tahun penuh kepahitan ketika dia hanya mencintainya dari jauh, menyimpan perasaannya dan menguburnya jauh-jauh di dasar hati serta mengulurkan tangan perlindungan dari balik bayangan. Masa itu telah berlalu. Sekarang gadis itu berada dalam pelukannya. Tinggal selangkah lagi dia akan memilikinya. Namun kenapa begitu sulit? Kenapa dari semua hal Daito malah jadi halangan? Tidak bisakah mereka hanya sebagai Masumi dan Maya, dua orang yang saling mencintai? Bukan direktur Daito dan pemegang hak pementasan Bidadari merah, bukan pula lelaki penuh kuasa dan artis ternama. Masumi serasa ingin menjerit, meluapkan gejolak di dadanya yang terasa sesak menghimpit.

Dipandangainya Maya telah tertidur nyenyak di sebelahnya. Betapa inginnya dia setiap malam melihat kekasihnya itu tertidur di sebelahnya, di kamar mereka berdua, bukan di ruang tengah apartemen kecil dan sederhana, berlapis futon tua di depan televisi yang menyala tanpa ada seorang pun yang memperhatikan. Tangan mungil itu masih menggenggam erat tangannya. Seolah dalam tidur pun Maya masih berusaha menggapainya. Sungguh sangat ironis. Mereka berada dalam satu kota, apartemen Maya hanya kurang dari satu jam dari kediaman resmi keluarga Hayami, namun untuk menemui gadis itu Masumi harus berjuang keras mengosongkan jadwal pekerjaannya yang padat juga harus menyamar agar para wartawan tidak menguntitnya. Kenapa hal yang begini sederhana harus menjadi rumit untuknya dan Maya?

Dengan lelah Masumi membaringkan diri di sebelah Maya. Dalam posisi telentang matanya nanar menatap langit-langit. Dalam keheningan malam masih didengarnya suara lirih tetangga di kanan kiri. Juga suara laju kereta api dan mesin kendaraan di kejauhan. Degenggamnya telapak Maya lebih erat dan diletakkannya di dadanya. Saat akhirnya dia membuka mata, ternyata hari telah pagi. Suara perabotan yang beradu di dapur membuatnya bingung dengan keberadaannya. Masumi menoleh dan melihat futon dan selimut yang sudah terlipat rapi. Akhirnya dia tersadar bahwa dia berada di apartemen Maya.

“Selamat pagi, Masumi,” sapa Maya riang melihat Masumi telah bangun.

“Selamat pagi,” Masumi melihat Maya tampak bergerak lincah menyingkap tirai-tirai di jendela membiarkan cahaya pagi menerangi ruangan. Meski hawa cukup dingin namun matahari tampak bersinar cerah.

“Tidurmu sepertinya nyenyak sekali, aku tak tega membangunkanmu,” Maya mendekati Masumi. “Aku sudah menyiapkan sikat gigi dan handuk bersih di kamar mandi. Setelah itu kita bisa sarapan sama-sama.”

Masumi, masih seperti bermimpi, macam orang linglung saja, memandangi Maya yang berjongkok di depannya.

“Masumi? Kamu baik-baik saja?” tanya Maya heran.

Masumi memandang Maya yang pagi itu tampak segar, dengan penampilannya yang tanpa polesan sedikit pun dan kesederhanaan penampilan maupun lingkungan sekitar, tiba-tiba seperti tersadar akan sesuatu. Matanya menyipit seolah silau.

“Masumi?” Maya bertanya semakin heran.

“Maya,” Masumi meraih wajah Maya dalam tangkupan kedua telapak tangannya. Tak puas dipandanginya wajah lugu gadis itu. “Kurasa aku tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Namun yang paling utama dari itu semua, kita harus menikah,” katanya mantap.

Maya terkejut mendengar ungkapan Masumi. Namun gadis itu tersenyum. “Sepertinya kau sedang bingung, Masumi. Lebih baik kau ke kamar mandi dulu, aku akan siapkan sarapanmu,” katanya sambil beranjak bangkit. Setengah mati Maya menahan kegugupannya. Lamaran Masumi benar-benar mengejutkan, bahkan untuk hidupnya yang penuh dengan hentakan-hentakan gelombang itu. Masumi seperti orang linglung. Apakah dia baru saja bermimpi.

“Kau tidak percaya kan, Maya? Baiklah, aku akan menuruti saranmu. Aku akan ke kamar mandi, lalu kita sarapan. Setelah itu barulah kita akan bicara serius,” Masumi bangkit. Melihat futon dan selimutnya, dia pun melipat dan merapikannya. Bersama dengan futon yang telah dipakai Maya, Masumi menyimpannya di lemari yang menempel di dinding sebelum beranjak ke kamar mandi kecil yang ada di apartemen itu. Tentu saja Masumi tidak membawa peralatan cukur. Terpaksa dipakainya pisau cukur Maya yang berwarna merah muda dan agak sedikit tumpul. Setelah berusaha bercukur tanpa melukai kulit rahangnya, Masumi menatap pantulan wajahnya di cermin dan merasa puas dengan hasilnya.Kembali segar Masumi keluar.

Maya telah menyiapkan sarapan di meja makan dapur. Bau sup dan susu tercium menggoda selera. Selain itu juga ada irisan roti lengkap dengan mentega dan selai di meja. Melihat kemunculan Masumi, Maya tersenyum dan mempersilakannya duduk.

“Sarapan sudah siap. Maaf, aku hanya ada sup kaleng dan roti yang aku beli di toko. Aku tak mau meracuni perutmu dengan masakanku,” katanya menyeringai.

“Begini juga sudah cukup, kok,” sahut Masumi riang dan duduk berhadapan dengan Maya.

Mereka sarapan dengan akrab. Maya diam-diam menatap wajah lelaki di depannya itu dan merasa bahagia melihat Masumi tampak rileks dan bahagia. Biasanya, bahkan di depan Maya, Masumi selalu menahan diri, terlihat tegang dan penuh kendali. Namun pagi ini dia terlihat lepas dan wajar. Masumi seolah menjelma menjadi lelaki biasa, dengan penampilannya yang tidak serapi dan seelegan biasanya, dia nampak manusiawi.

“Kenapa, Maya? Kau menatap wajahku begitu rupa? Apakah ada sesuatu yang aneh?” tanyanya.

“Ah, tidak. Hanya saja pagi ini kau terlihat lain.”

“Oh ya? Lain bagaimana?”

“Entahlah, kau terlihat seperti...” Maya ragu-ragu sejenak sebelum menambahkan, “Kau terlihat seperti seorang suami,” katanya malu-malu.

Masumi menatap lembut gadis di depannya. “Benarkah, Maya? Apakah aku sudah pantas untuk menjadi suamimu?”

“Masumi...”

“Maya, terus terang ini bukan hal yang mudah. Ini juga bukan obrolan yang bisa kita lakukan sambil sarapan di pagi hari. Ini jauh lebih rumit dari itu. Namun aku sudah memutuskan menikahimu lebih dahulu, baru aku akan menjalankan semua rencanaku. Dan asal kau ingat semua itu takkan mudah, baik bagimu dan bagiku. Aku mempertaruhkan semuanya demi masa depan kita dengan resiko kehilangan semuanya.”

Maya tertawa, “Masumi, aku mungkin tidak mengerti apa yang kau omongkan itu. Namun aku mempercayaimu. Dan aku akan bahagia menjadi istrimu.”

“Meski untuk sementara kita harus merahasiakan pernikahan kita?”

Maya mengangguk mantap. “Iya.”

Di sabtu pagi yang dingin itu Maya dan Masumi menikmati dimensi baru hubungan mereka. Saat hari telah agak siang, berdua mereka berjalan-jalan ke pusat pertokoan. Mereka melihat-lihat toko yang menjual perabot rumah tangga. Karena Maya baru saja pindah maka kebanyakan barang yang dimilikinya hanya berupa kebutuhan dasar. Dia masih perlu menambahkan beberapa barang lagi. Masumi dengan senang hati menemaninya memilih-milih. Tak ada seorang pun akan menyangka bahwa keduanya adalah pasangan direktur perusahaan multi nasional dan artis ternama. Maya dan Masumi tampak wajar bersama, bergandengan tangan sambil bercanda, keluar masuk toko-toko obral sambil berdebat tentang segala sesuatu.

“Ini pasti di luar kebiasaanmu ya, Masumi?” tanya Maya. Saat itu keduanya sedang berjalan di trotoar sambil menikmati taiyaki yang panas mengepul dari seorang pedagang kaki lima.

“Iya. Pengalamanku dengan furniture dan perabot rumah tangga adalah melihat sample-sample yang disodorkan oleh designer interior sewaktu menata ruang kantor dan kamar pribadiku di rumah Hayami. Ternyata berburu begini asyik juga. Tapi kau terlalu pelit menawar. Beda seratus dua ratus yen kan harusnya tidak jadi masalah.”

“Enak saja!” Maya meleletkan lidahnya, yang disambut gemas oleh Masumi yang memencet ujung hidungnya.

Perdebatan berlanjut saat Maya memilih ember hias dari kayu tempat menyimpan payung-payung basah. Maya memilih yang berukuran besar sementara Masumi memilih yang berukuran lebih kecil. “Memang rencananya berapa payung yang akan kau simpan, Maya?”

“Tapi aku suka modelnya yang besar,” Maya ngotot.

“Itu terlalu besar untuk apartemen mungilmu. Kalau kau mau beli tempat payung yang berukuran besar, pertama kau harus pindah ke apartemen yang lebih besar dulu. Jangan sampai kau yang ceroboh itu sering terjatuh gara-gara tersandung tempat payung yang terlalu besar,” Masumi mengembalikan logika Maya.

“Tahu tidak Masumi kalau kau itu menjengkelkan? Dan semakin menjengkelkan karena kau hampir selalu benar!” Maya bersungut-sungut.

Urusan membayar pun jadi bahan pertengkaran di antara mereka.

“Sejak kapan kau keberatan menerima uangku?” ejek Masumi. “Lagipula dimana-mana suami selalu membayar kebutuhan belanja istrinya. Ya kan, Pak?” Masumi meminta persetujuan penjual yang mengangguk-angguk mengiyakan, membuat wajah Maya memerah antara jengkel dan malu.

Tetapi mereka kompak setuju untuk memasak sendiri di rumah untuk makan makan siang dan tidak jajan di kafe-kafe yang banyak tersebar di pusat pertokoan itu. Entah kenapa suasan domestik dalam apartemen kecil dan sederhana itu terasa magis bagi mereka. Namun meski dikatakan memasak bersama tetapi pada kenyataannya Masumilah yang banyak turun tangan sementara Maya hanya sebagai tenaga bantuan. Bahkan memotong sayuran pun Maya tak sanggup memenuhi standar Masumi yang menuntut kesempurnaan.

“Kau ini pasti akan menjadi suami yang cerewet,” keluh Maya. “Kalau kau mau menikah denganku kau harus menerima aku yang tidak bisa apa-apa begini.”

“Tapi apa tidak bisa sih kamu belajar, Maya?”

“Kalau belajar akting memasak aku bisa, tetapi kalau belajar memasak sungguhan, aku tidak bisa berjanji apapun.”

Masumi melototkan matanya dengan gemas. “Kamu ini...” gerutunya.

Akhirnya setelah melalui segala perdebatan dan pertengkaran, hidangan makan siang lengkap terhidang juga di meja. Keduanya makan dengan lahap.

“Biasanya aku selalu mengawali makan dengan meminum alkohol untuk menggugah selera, ternyata bertengkar denganmu efeknya sama saja,” kata Masumi dengan tertawa. “Kita pasti akan menjadi pasangan yang luar biasa, Maya. Bayangkan saja seperti apa anak-anak kita nanti.”

“Kuharap mereka berwajah tampan sepertimu.”

“Kalau perempuan, aku ingin anak kita mungil sepertimu, Maya. Karena gadis-gadis macam kamu sangat enak untuk disayang-sayang,” sembur Masumi sambil terbahak-bahak.

“Kok rasanya aku tidak dipuji sama sekali ya?” rajuk Maya. “Tetapi mudah-mudahan semua mewarisi kecerdasan dan kepandaianmu, Masumi. Karena kalau mewarisi kebodohanku, kasihan sekali mereka.”

“Siapa bilang kamu bodoh, Maya? Kamu itu jenius, tahu? Kau pikir Bu Mayuko akan mempercayakan Bidadari Merah kepadamu kalau menurut dia kamu bodoh?”

“Entahlah. Aku tak merasa jenius sama sekali. Aku bisa sejauh ini menjadi artis karena aku suka akting,” jawab Maya sederhana. Sesuatu yang sama sekali tak bisa dibantah oleh Masumi. “Kira-kira kapan waktu yang tepat untuk kita menikah, Masumi? Terus terang aku akan sangat sibuk bulan ini. Besok jadwal syutingku sudah keluar, dan pasti aku akan dibuat kalang kabut karena sangat padat. Membintangi drama televisi seperti mengingatkanku kepada masa lalu. Saat itu aku masih kecil, dan Mizuki sangat disiplin dan ketat dalam mengatur jadwalku. Kau pun sangat tidak bersahabat,” Maya mengenang masa lalu.

“Waktu itu kan kondisinya sangat tidak mungkin, Maya. Kalau saat itu juga kita sudah terlibat hubungan seperti ini, bisa-bisa hidupku berakhir di penjara dengan tuduhan pedofil,” Masumi tersenyum. “Tapi kuharap kau lebih hati-hati kali ini, Maya. Musuhmu banyak dan tidak semua dari mereka akan senang terhadap kesuksesanmu. Berjanjilah kamu untuk tidak sembrono dan biarkan aku tidur nyenyak tanpa mengkhawatirkan kau akan mendapat celaka. Belajarlah dari masa lalu.”

“Iya, Masumi, aku berjanji akan sangat berhati-hati. Lagipula Rei ada bersamaku. Dia seorang teman yang bisa diandalkan. Tetapi bila keadaan sudah sangat tidak memungkinkan bagi kami berdua, boleh kan aku menghubungimu?”

“Pasti. Andaipun aku tak bisa datang secara langsung, selalu ada Mizuki dan Hijiri yang bisa diandalkan.”

Mereka pun berbincang mengenang masa lalu, pahit getir perjalanan karir mereka. Masumi bercerita bagaimana dia harus mengawali karir di Daito sejak kanak-kanak dengan membantu tukang bersih-bersih agar bisa mendapat informasi dari para karyawan. Dari cerita Masumi memang terdengar keras dan sedih. Eisuke bukanlah orang yang menyenangkan. Selain keras tak kenal ampun juga sangat licik tak kenal belas kasihan. Semua perlakuan itu membentuk Masumi menjadi pribadi yang keras dan dingin dan mengubur dalam-dalam semua kebaikan dan kehangatan dirinya.

“Baik Bu Mayuko maupun Pak Eisuke sepertinya orang yang sangat keras. Tetapi tanpa mereka kita tidak bisa seperti ini,” kata Maya datar.

“Kalau kau tahu apa yang ada di otak ayahku, kau tak kan sudi mensejajarkannya dengan gurumu yang hebat itu, Maya. Bisa-bisa Bu Mayuko bangkit dari kubur mendengarmu bicara seperti itu,” tegur Masumi.

“Itu karena aku belum kenal Eisuke Hayami. Aku hanya mendengar ceritanya saja.”

“Soal pernikahan kita bicara nanti dengan Pak Genzo dan Pak Kuronuma, Maya. Kurasa mereka cukup sebagai wakil keluargamu. Nanti akan kita bicarakan jalan paling baik. Mereka berdua sangat paham dengan kondisi kita berdua, meski kondisi paling akhir mereka pasti tidak sangka bahwa sekarang kita resmi menjadi sepasang kekasih. Oh ya, bagaimana kabarnya Sakurakoji? Kau sudah bertemu dia?”

“Sudah, dia datang saat aku baru kembali dari Yokohama bersamamu dulu. Kenapa?”

“Tidak, aku hanya mungkin akan sangat tidak suka kalau mendengar gossip antara kalian berdua.”

“Masumi, kau ini aneh. Bukankah gossip itu bagian dari pekerjaanmu? Malah baru saja kau juga digossipkan menjalin hubungan cinta yang panas dengan gadis yang kau ambil dari pinggir jalan. Coba, bagaimana aku tidak cemburu?” canda Maya.

“Itu sama sekali tak lucu, Maya!” hardiknya tak sabar.

Sore harinya Masumi harus pergi karena urusan pekerjaan, membuat Maya harus menghabiskan Sabtu malam sendirian. Mereka berdua tak bisa memastikan kapan pertemuan selanjutnya. Masing-masing akan sangat sibuk dengan pekerjaan. Namun keduanya sangat optimis akan kebahagiaan masa depan mereka. Setelah Masumi pergi dengan dijemput Hijiri, Maya menelepon Rei. Kawannya itu mengundang Maya untuk bermalam di apartemen lama mereka. Mereka berencana menghabiskan malam minggu dengan berlatih sesi terakhir sebelum pertunjukan minggu depan. Ajakan yang tak mungkin ditolak oleh Maya. Karena sementara teman-temannya berlatih, Maya pun menghafalkan naskah untuk drama seri televisinya.

***

Syuting drama televisi Daisuki benar-benar menguras energi Maya. Daisuki adalah human drama tentang seorang gadis yang menderita mental disorder atau keterbelakangan mental. Gadis itu diperankan oleh Maya. Membaca naskah itu membuat Maya menitikkan air mata. Namun Maya tetap memerlukan waktu untuk memahami perannya dengan baik. Sutradara berbaik hati memberinya banyak refferensi film-film dokumenter tentang orang-orang sejenis. Selain itu Maya juga mendapatkan guru akting pribadi yang disediakan oleh manajemen Daito untuk membimbing aktingnya. Namun tak puas dengan semua itu, Maya memutuskan pergi ke pusat rehabilitasi anak-anak cacat mental.

“Sangat khas Maya,” gerutu Rei yang harus pontang panting kewalahan menyusun jadwal lagi yang harus mundur akibat permintaan Maya.

“Satu minggu, tak lebih,” kata produser memberi ultimatum.

Maya pun segera bergegas menuju Okinawa tempat pusat rehabilitasi itu berada. Di daerah yang terkenal dengan produk pertaniannya itu Maya berada selama seminggu dan berbaur bersama para penderita cacat mental. Maya menolak ditemani Rei. Dan Rei yang sudah mengenal Maya sekian lama membiarkan saja. Untuk urusan manajemen Maya memang sama sekali tak becus. Namun untuk urusan akting, tak ada Maya pasti tak akan bersedia berkompromi dengan siapapun. Tanpa sadar dia sudah menetapkan standar sendiri dalam kelas aktingnya. Dan para produser atau sutradara yang memakainya sebagai artis mau tidak mau menerima syarat dari Maya itu tanpa terkecuali karena hasilnya memang sepadan. Maya pekerja keras dan memegang prinsip totalitas dalam menjalankan peran yang dipercayakan kepadanya. Itulah kunci utama yang membawanya hingga seperti sekarang. Kecintaannya kepada akting tanpa pamrih, bahkan dia tidak melihat materi sebagai target utamanya. Karena di dalam hatinya dia tetaplah gadis kecil lugu yang mencintai seni peran dengan sepenuh hati dan bersedia melakukan apapun untuk menghayati peran itu.

Masumi mendatangi apartemen Maya suatu malam. Entah kenapa dia merasa sangat rindu pada gadis itu. Sudah sekian lama sejak pertemuan terakhirnya mereka tak saling bertemu. Bahkan tidak juga melalui telepon. Makanya dia heran ketika membunyikan bel tak ada tanggapan sama sekali. Bahkan setelah beberapa kali. Kemanakan dia? Apakah masih di lokasi syuting? Musim tanyang drama seri yang akan dibintangi Maya memang kurang dari dua bulan. Untuk sebuah drama dengan kontrak sepuluh episode waktu selama itu pasti menuntut pengaturan jadwal yang padat.

Dunia drama seri televisi di Jepang memang sangat berbeda dengan negara yang lain. Bila drama seri di negara semacam amerika selalu melempar produk ke pemirsa, menunggu reaksi mereka dari rating baru kemudian ditentukan berapa episode yang akan ditayangkan dan mengambil iklan di tengah jalan, maka drama Jepang kebalikannya. Sebuah produksi biasanya sudah dipersiapkan jauh sebelum musim tayang, termasuk penentuan jumlah episode maupun perusahaan yang menjadi sponsor. Bahkan seringkali proses produksi harus sudah selesai sebelum tayang karena selanjutnya waktu lebih banyak digunakan untuk promosi. Kalaupun nantinya ketika ditayangkan ratingnya tinggi, bukan berarti bisa mengambil sponsor lagi. Kecuali bila ada rencana dibuat season kedua atau selanjutnya.

Namun tetap saja Masumi tidak bisa menerima alasan ketidak-beradaan Maya di apartemennya. Saat mencoba menghubungi ponselnya pun hanya menerima pemberitahuan bahwa ponsel sedang tidak aktif. Satu-satunya alasan hanyalah menelepon Rei Aoki. Gadis itu pasti tahu dimana Maya berada. Tanpa membuang waktu lagi Masumi keluar dari lingkungan apartemen Maya dan menghubungi Rei. Dari Rei Masumi mendapat informasi tentang keberadaan Maya dan kapan rencananya gadis itu pulang. Masumi mengucapkan terima kasih dengan datar. Padahal gejolak dalam hatinya begitu membara. Selain kerinduan yang sangat juga perasaan tidak enak karena Maya pergi tanpa memberi tahu kepadanya. Bagaimana bila gadis itu kena musibah atau ada sesuatu yang menggnggunya? Masumi pasti akan merasa sangat khawatir. Maka Masumi dengan cepat menghubungi Hijir untuk mengatur orang yang akan mengawasi Maya dari kejauhan.

Saat Maya akhirnya kembali ke Tokyo Rei memberitahu tentang telepon Masumi.

“Aku memang sengaja mematikan telepon, Rei agar konsentrasiku tidak terganggu. Lagipula aku kan tidak selalu harus melaporkan apa yang kulakukan kepada Masumi. Masumi pasti faham hal itu mengingat aku juga tidak pernah ikut campur urusan bisnisnya. Kurasa aku cukup dewasa untuk menjalani hubungan yang seperti ini,” Maya beralasan yang menurut Rei cukup masuk akal.

Maya tak lagi mengingat masalah tersebut karena dia segera disibukkan dengan jadwal syuting yang padat. Tak jarang dia harus berada di lokasi hingga dini hari. Keseluruhan lawan mainnya adalah orang-orang yang mudah di ajak bekerja sama. Karena ini lebih kepada drama keluarga, maka dalam membangun chemistry di antara mereka sutradara menkondisikan suasana pengambilan gambar seperti sebuah keluarga. Meski pengambilan gambar lebih banyak dilakukan di studio yang settingnya telah diubah menjadi sebuah apartemen sederhana sebuah keluarga yang terdiri dari ibu yang sudah janda dengan dua anak yang sudah dewasa, laki-laki dan perempuan, yang salah satunya adalah tokoh yang diperankan oleh Maya, namun tak jarang mereka harus melakukan pengambilan gambar di luar ruangan. Seperti di toko roti tempat Maya bekerja maupun di arena bermain tempat Maya seringkali membawa “bayi perempuannya” bermain.

Suatu malam Maya baru kembali ke apartemennya pukul sebelas ketika dia melihat Masumi telah menunggu di depan gedung. Wajahnya bersinar melihat kehadiran kekasihnya itu. Tanpa prasangka Maya berlari mendekati Masumi dan memeluknya, sama sekali tak sadar dengan reaksi dingin Masumi.

“Masumi, akhirnya kita bisa bertemu,” serunya bahagia. Maya pun segera membuka pintu apartemennya dan menarik tangan Masumi mengajaknya masuk. “Sudah lama kau menungguku? Aku sebetulnya sangat ingin meneleponmu, tetapi aku kuatir mengganggu kesibukanmu,” Maya dengan lincah melepas sepatunya, menyalakan lampu dan menuju ke ruang tengah. Dia membuka sarung tangan dan mantel hangatnya, melipat dan menumpuknya di meja. Melihat Masumi masih mematung di tengah ruangan, dia segera menghampiri. “Sini, lepas dulu sarung tangan dan mantelmu.” Katanya sambil sibuk melepas benda-benda itu dari Masumi, kemudian melipat dan menumpuknya menjadi satu dengan miliknya.

Masumi masih diam saja. Namun Maya seperti tak memperhatikan karena dia segera beranjak ke dapur. “Kau mau teh? Atau kopi? Sayang aku tak pernah menyimpan minuman beralkohol. Lain kali kalau aku berbelanja akan kuingat untuk membelinya agar bila kau datang kau bisa menikmatinya. Kau tinggal sebutkan saja apa merk kesukaanmu. Aku tak begitu kenal dengan minuman jenis itu,” Maya menyalakan kompor, menjerang air dalam teko dan menyiapkan cangkir untuk teh.

“Maya...” keluh Masumi akhirnya. Segala kemarahan dan kekhawatirannya seakan menguap melihat gadis itu. Wajahnya yang lugu tampak tidak memahami sama sekali perasaan Masumi. Akhirnya Masumi menyerah dan duduk di meja dapur menunggu Maya menyiapkan minuman apapun itu.

“Bagaimana pekerjaanmu, Masumi? Kau sibuk? Apakah kau pergi ke luar kota? Aku minggu yang lalu harus pergi ke Okinawa. Aku tinggal selama seminggu di rehabilitasi orang cacat mental di sana. Wah, benar-benar pengalaman yang luar biasa. Aku jadi ingat ketika aku memerankan Hellen Keller dan memakai villamu untuk berlatih. Oh ya, Rei bilang kau menelepon. Maaf aku tak mengaktifkan teleponku. Ku pikir kau sangat sibuk sehingga tak akan sempat menghubungiku,” Maya nyerocos panjang lebar. “Oh ya, kau tampak diam saja. Apa kau begitu lelah?”

Masumi menatap gadis di depannya. Dia pasti telah beraktifitas sejak pagi hari karena wajahnya pun tampak begitu lelah. Namun matanya begitu bening dan senyumnya begitu tulus dan ceria tanpa prasangka. Pasti dalam otaknya yang sangat sederhana itu tak pernah terpikir bagaimana Masumi merasa marah, khawatir, dan sangat terabaikan. Maya yang dikenalnya memang seperti ini, hidup di dunianya sendiri, dunia pelangi yang hanya mengijinkan Masumi untuk mengagumi keindahannya namun tidak bisa menggenggamnya. Masumi merutuki kebodohannya. Harusnya dia sudah memahaminya dan tidak buang-buang waktu dengan prasangka yang bukan-bukan. Masumi bangkit kemudian berdiri membelakangi Maya dan memeluknya dari belakang. “Aku sangat merindukanmu,” bisiknya lembut sambil menyandarkan kepalanya di kepala Maya dan memejamkan mata menikmati aroma Maya yang sangat disukainya. “Sudah lama sekali aku tak memeluk dan menciummu. Padahal kau adalah calon istriku.”

Maya menggenggam tangan Masumi yang memeluknya. “Kau marah kepadaku ya, Masumi, karena aku tidak mengabarimu tentang kepergianku?” tanyanya. Maya mendongakkan kepalanya menatap wajah Masumi. “Maaf, kupikir kau sudah mengerti seperti aku mengerti dirimu. Aku takkan pernah mempertanyakan seluruh aktifitasmu karena aku tahu kau sangat mencintai pekerjaanmu, sama seperti aku mencintai akting.”

“Tetapi aku sangat mengkhawatirkanmu, Maya,” desah Masumi.

“Buanglah kekhawatiran itu dari dalam hatimu. Kehidupanku memang begini, kau harus percaya bahwa aku bisa menjaga diri. Kau juga pasti melalui kehidupan yang keras. Tetapi aku percaya kau begitu kuat dan hebat. Karena kau Masumiku.Dan coba lihat sekarang, kita mampu melaluinya kan?” Maya tersenyum lembut.

Masumi segera mencium gadis itu dalam-dalam. “Semakin cepat aku menikahimu semakin baik. Besok aku harus segera menemui Pak Kuronuma dan Pak Genzo. Kau tahu, Maya, hanya kau yang mampu membuat emosiku naik turun begini. Bersamamu hidupku pasti akan sangat menarik,” dengan kata-kata itu Masumi kembali mencium Maya dan memeluknya erat.

12 comments:

  1. Wahhh baguuuus sekali sista...oya salam kenal....sampai blushing bacanya...walau blm tau ending tk yg asli tp aku suka tkmu...tq ya sista...Anastasia

    ReplyDelete
  2. @anastasia: 'lam kenal juga. waduh seneng dipuji, serasa di awang2 hehehe.... enjoy!

    ReplyDelete
  3. heuheuheuuu...okeh kak olly...

    ReplyDelete
  4. wow pernikahan yg dirahasiakan...menarik tak sabar kelanjutannyaaaaaaaa

    ReplyDelete
  5. Iya tuh, pernikahan yang dirahasiakan, ngga kepikiran ide begitu, great!

    BTW, tulisannya mbak olly makin bagus lho....

    ReplyDelete
  6. wooow akhirnya.....
    Gimana reaksinya orang2 nanti setelah mereka tau klo MM dah menikah ya???apa nanti mereka akan tetep tinggal terpisah dulu karena musti ngerahasia in pernikahannya....hememmmemem pengen tau giman jadinya .....

    Thanx sista.....bagus bgt

    ReplyDelete
  7. Wah.ceritanya bagus sekali.jadi makin penasaran nunggu kelanjutannya.pernikahan yang dirahasiakan dab rencana masumi selanjutnya. Btw,salam kenal dulu,sudah masuk dan baca, tapi belum permisi sama yang punya. 2 thumbs up.lifang

    ReplyDelete
  8. kerennn... terhipnotis bacanya,,,
    makaci olly..

    --Chuuby--

    ReplyDelete
  9. Ahhhhh blm ada lanjutannya .... Sediiih banget....

    ReplyDelete