Saturday, July 23, 2011

THIRTEENTH : Dancing With The Stars

Kedai minum sederhana itu tak berubah meski sudah bertahun-tahun berada di pinggir jalan kecil sebuah gang di kota Tokyo yang padat. Laju kemajuan yang mewarnai daerah pemukiman di sepanjang lokasi itu seolah tak berpengaruh sama sekali. Hanya saja sekarang pengunjungnya yang berubah. Orang-orang lama telah banyak pergi digantikan wajah-wajah baru. Kecuali seorang lelaki paruh baya bercambang tebal dan berkaca mata yang sedang menikmati sake botol keduanya. Lelaki itu tidak seperti orang lain pada umumnya yang sebentar-sebentar mengecek waktu di jam tangan ataupun mengecek pesan di ponsel. Dia minum dengan tenang dan menikmatinya seolah tidak ada satu pun urusan di dunia yang bisa mengganggunya.

Namun dia menoleh dan wajahnya yang keras tersenyum manakala seorang lelaki muda di pertengahan tiga puluhan dengan dandanan rapi dan mahal memasuki kedai kecil itu dan mengedarkan pandangannya mencari seseorang. Saat dijumpainya sosok yang dicarinya, lelaki itu melangkah mendekati kursi dimana si cambang berkaca mata duduk.

“Pak Hayami, lama sekali tidak berjumpa,” sapanya ramah kepada yang lebih muda.

“Pak Kuronuma, maaf membuat Anda menunggu,” lelaki muda itu membungkuk sedikit sebelum akhirnya duduk.

Kepada penjual tua, yang dipanggil Kuronuma meneriakkan pesanannya, yang disambut dengan hangat oleh Masumi.

“Seperti masa lalu,” katanya sambil menuang sake ke mangkuk kecil di depannya.

“Iya, seperti masa lalu,” jawab Pak Kuronuma. “Meski saya sangat heran saat Anda mau menemui saya di sini, Pak Hayami. Karena orang penting seperti Anda tak akan melewatkan waktu berada di tempat seperti ini hanya sekedar untuk minum dan mengobrol saja.

Masumi tertawa. “Setelah sekian lama ternyata Anda tak kehilangan ketajaman dalam berbicara.”

Mereka menikmati minuman selama beberapa saat sambil berbicara sesuatu yang tidak begitu penting. Pak Kuronuma berbicara tentang pementasan yang sedang dikerjakannya sebelum akhirnya menyinggung soal pementasan kembali Bidadari Merah.

“Persatuan Drama Nasional sudah menghubungi saya sehubungan dengan kembalinya Maya ke Jepang,” katanya ringan. “Perlu sedikit waktu untuk kembali mengumpulkan tim yang dulu sekaligus menyesuaikan jadwal karena baik Maya dan Sakurakoji, kedua pemeran utama, saat ini sedang sibuk dengan proyek pribadi mereka. Dan bukankah mereka dua-duanya sekarang bekerja di bawah manajemen milik Daito?”

“Benar sekali,” Masumi mengiyakan. “Pementasan Bidadari Merah sendiri masih memerlukan persiapan yang tidak sedikit. Terutama berkaitan dengan tender perusahaan mana yang mendapat kesempatan sebagai penyelenggaranya.”

Pak Kuronuma tertawa. “Saya tidak akan heran kalau nanti Daito yang akan memenangkannya.”

“Anda yakin?”

“Dengan Anda, Pak Masumi Hayami yang berada di pucuk pimpinan Daito, apa yang tidak mungkin? Meski Pak Eisuke Hayami ayah Anda punya sejarah yang tidak menyenangkan dengan Bu Mayuko, namun bukan berarti Anda di posisi yang sama dengan beliau ketika berhadapan dengan Maya Kitajima.”

Masumi kembali tertawa. “Terima kasih atas pujian Anda,” diteguknya sakenya sebelum melanjutkan, “Saya akan menikah, Pak Kuronuma.”

“Oh, sudah waktunya memang. Siapa kali ini calonnya? Apa dari publik figur yang saya kenal?” tanya Pak Kuronuma, tetap datar tanpa menunjukkan ketertarikan sedikitpun.

“Anda mengenalnya dengan baik karena gadis yang akan saya nikahi itu Bidadari Merah itu sendiri, Maya Kitajima.”

Pak Kuronuma begitu terkejut hingga sake yang diminumnya tersembur dari mulutnya. “Anda serius?”

“Anda cukup tahu kalau saya tak pernah main-main dengan omongan saya.”

“Maya sendiri? Apakah sudah mengetahui rencana Anda?”

“Kami membicarakan pernikahan ini bersama, dan baik saya maupun setuju untuk meminta Anda dan Pak Genzo sebagai wakil dari keluarga Maya.”

Pak Kuronuma terdiam sejenak. “Itu berarti kalian telah berhubungan entah sejak kapan.”

Masumi tersenyum “Resminya memang belum cukup lama. Namun perasaan kami sudah bertaut cukup lama,” Masumi tersenyum mengingat begitu lama dia sudah mendambakan Maya. “Sayangnya saat ini kami sama sekali belum bisa mengumumkan hubungan kami. Banyak hal yang masih harus menjadi pertimbangan. Tetapi setidaknya kami ingin menikah dulu secara resmi dan layak. Maya gadis yang baik dan pantas mendapat semuanya. Pernikahan di kuil dan direstui oleh keluarga dan teman.”

“Anda sudah menghubungi Pak Genzo.”

“Belum. Saya akan ke lembah plum untuk bertemu beliau. Namun saya ingin mengurus legalitas pernikahan kami secara hukum lebih dulu. Dan terus terang ini tidak mudah karena saya harus sembunyi dari kejaran wartawan.” Masumi terdiam beberapa lama. “Kenapa anda tidak terdengar terlalu heran?”

“Entahlah. Mungkin jauh di otak saya, saya mengetahui bahwa ini akan terjadi. Anda orang hebat, begitu juga Maya. Terus terang saya jarang memuji artis yang pernah bekerja dengan saya. Namun gadis itu istimewa. Cocok untuk orang seperti Anda. Kalian akan jadi pasangan yang luar biasa. Kalau saya boleh membantu, biarlah saya yang menemui Pak Genzo. Rasanya sudah lama sekali saya tidak bertemu beliau. Kira-kira kapan Anda ingin melangsungkan pernikahan?”

“Secepat mungkin,” jawab Masumi mantap.

Malam itu Masumi pergi ke kantornya kembali setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Pak Kuronuma sekaligus berjanji untuk saling mengabari. Pak Kuronuma agaknya tak banyak tanya dan cukup memahami keinginan mereka untuk merahasiakan pernikahan dari publik.Bantuannya untuk menjelaskan maksud mereka kepada Pak Genzo sungguh sangat Masumi hargai. Dia tak menyangka bahwa kebaikan tanpa pamrih itu masih ada. Dan Masumi yakin Pak Kuronuma melakukannya semata-mata karena Maya.Namun Masumi masih harus melakukan banyak hal sebelum dia bisa hidup tenang berdua dengan Maya dan memulai mimpi mereka. Masumi ingin yang terbaik bagi Maya meski untuk saat ini semua serba tidak pasti dan penuh resiko. Masumi tidak akan ragu bahwa Maya akan menerima dan mencintai dirinya apa adanya. Namun Masumi sebagai laki-laki tak ingin calon istrinya harus menderita karenanya. Kehadirannya harusnya untuk melindungi dan menguatkan, bukan untuk menambah beban derita hidup Maya.

Di kantornya yang sepi Masumi kembali bekerja dengan serius. Namun kali ini bukan untuk Daito melainkan untuk dirinya sendiri. Masumi harus mempertimbangkan bermacam strategi dan menghitung dengan matang segala resiko dan keuntungan. Masumi cukup percaya diri bahwa dirinya seorang bussinesman yang hebat. Namun demi Maya dia tak mau gegabah. Apalagi yang harus dihadapinya nanti bukanlah orang sembarangan melainkan gurunya sendiri, Eisuke Hayami. Di tengah keheningan malam, hanya bunyi kemeresek kertas dan keyboard laptop yang menemani Masumi bekerja keras dan berkonsentrasi penuh. Namun bunyi getar ponselnya membuatnya menoleh. Saat melihat layar ponselnya, Masumi langsung mengangkatnya tanpa basa basi.

“Ada kabar bagus, Hijiri?” tanyanya to the poin.

“Saya sudah menemukan orang yang Anda cari Pak, dan sudah pula berhasil membuat kontak dengan beliau. Saat ini yang bersangkutan sedang dalam perjalanan panjang namun akan singgah selama kurang lebih tiga hari di Singapura minggu depan. Bila Anda berkenan, beliau berjanji untuk meluangkan waktu menemui beliau di sana.”

Masumi menghabiskan waktu beberapa saat untuk berbincang dengan Hijiri tentang bermacam hal yang berkaitan dengan pekerjaan, hingga akhirnya Hijiri berkomentar pendek. “Tentang orang yang ingin Anda temui itu Pak Hayami, sama sekali tidak ada yang tahu apa maksud Anda, bahkan juga saya.”

“Apakah itu menjadi masalah, Hijiri?”

“Tidak, terutama bagi saya. Namun saya ingin memastikan bahwa semuanya aman di tangan saya, Pak Hayami. Saya juga akan membantu sebisa saya tanpa Anda harus mengatakan apa rencana Anda.”

“Terima kasih Hijiri, atas tawaranmu.”

Minggu berikutnya, Masumi menunggu Maya di depan pintu apartemennya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, namun belum ada tanda-tanda kepulangan gadis itu. Sebelumnya Masumi sudah menelepon Rei untuk memastikan Maya tidak menginap. Dia sengaja tidak menelepon Maya untuk memberinya kejutan. Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya Masumi mendengar suara mobil berhenti di depan. Tak lama kemudian dia melihat sosok mungil yang dicintainya muncul di koridor. Maya tampak sangat kelelahan sehingga dia tidak menyadari keberadaan Masumi di depan pintu apartemennya. Barulah ketika jarak keduanya tinggal lima meter gadis itu menyadari siapa yang berada di sana.

“Masumi!” teriaknya bahagia tak tertahan.

“Sstt...,” Masumi memberi tanda agar Maya jangan ribut. “Nanti tetanggamu bangun.”

Maya bergegas membuka pintu apartemennya. “Sudah lama menunggu?”

“Sekitar lima belas menit,” jawab Masumi mengikuti Maya masuk apartemen dan melepas sepatunya sebelum dengan Maya. Ruangan yang sempit itu semakin terasa sempit dengan kehadiran Masumi yang memenuhi ruangan dengan tubuh tingginya. Keduanya segera melepas pakaian hangat mereka dan menuju ruang tengah, dimana Masumi segera menarik Maya dalam pelukannya. “Mana ciuman untukku, hmm...?”

Maya menengadahkan wajahnya dengan mata berbinar. Namun Masumi diam saja, tak juga bergerak menciumnya. Maya mengerutkan kening dengan heran dan bibirnya cemberut.

“Aku ingin kau memberinya,” kata Masumi.

Maya pun tanpa ragu segera mengalungkan lengannya di leher Masumi dan menariknya membungkuk mendekati wajahnya. Setelah berada di jangkauan wajahnya diciumnya lembut bibir Masumi. Lelaki itu pun tak kuasa menahan godaan lebih lama lagi dan membalas ciumannya dengan menggelora. Tak berapa lama keduanya asyik berpelukan di depan televisi, tempat favorit mereka, menikmati segelas coklat panas.

“Kau habis dari pesta?” tanya Maya baru menyadari Masumi yang memakai baju sutra seputih salju dan tuxedo. Setelannya pun berwarna hitam formal.

“Iya, makan malam bersama kolega yang telah lama menjadi rekanan di Daito,” Masumi menjawab santai.

“Perempuan?” Maya bertanya menyelidik.

“Mereka pasangan yang sudah berumur. Namun mereka membawa seorang putri mereka.”

“Cantik?”

“Sangat cantik.”

“Pintar?”

“Dia lulusan sekolah desain interior di Paris.”

“Apa yang kau lakukan dengannya?”

“Kami berdansa satu atau dua lagu, aku tak ingat.”

Tiba-tiba Maya berdiri. “Lantas kenapa kau kemari? Apakah perempuan itu menolakmu?” katanya ketus.

Masumi memandang gadisnya yang sedang merajuk. Binar-binar jenaka berpendar di matanya. “Kau cemburu, Maya?”

“Siapa bilang? Aku hanya tidak suka dijadikan pilihan terakhir setelah kau ditolak perempuan lain.”

Tawa Masumi meledak. Membuat Maya semakin marah. Namun tawa Masumi kontan berhenti ketika melihat air mata meleleh di pipi Maya. Segera diraihnya Maya ke dalam pelukannya. “Maafkan aku, Mungil, karena telah menggodamu. Sepertinya kau sedang lelah sekali hingga bad mood begini,” bisiknya di telinga Maya dan dengan lembut diciumnya air mata Maya. “Kau tahu kan, bahwa kau satu-satunya gadis yang mengisi hatiku belasan tahun terakhir ini? Hingga aku melakukan segala cara untuk selalu dekat denganmu meski itu penuh resiko?”

“Aku sangat merindukanmu, namun kau sekalipun tak menghubungiku. Meski aku tahu bahwa kau begitu sibuk, namun aku tak bisa menahan kekhawatiranku sehingga aku berfikir yang tidak-tidak,” Maya mengakui dengan malu. “Lalu kau datang tiba-tiba begini.”

Masumi mengecup lembut dahi Maya.“Maya, buanglah semua keraguanmu. Meski aku tak menghubungimu namun tak pernah sekalipun aku melupakanmu. Kalau menuruti naluriku bisa-bisa aku seharian menungguimu di lokasi pengambilan gambar dan memarahi siapapun yang dekat denganmu. Kau ingin aku begitu?”

Maya menggeleng pelan.

“Aku tidak menghubungimu karena tidak mau merusak konsentrasi dan reputasimu. Aku tahu betapa pentingnya akting bagimu. Untuk itulah aku harus menahan diri.”

“Maafkan aku, Masumi, karena sudah cemburu tanpa sebab.”

“Tidak apa-apa. Akupun begitu. Di masa lalu entah sudah berapa kali aku cemburu. Waktu kau berpacaran dengan Satomi atau waktu kau begitu dekat dengan Sakurakoji,” Masumi berbicara seolah melamun. “Cemburu itu sangat tidak enak, apalagi karena kita tidak yakin dengan perasaan orang yang kita cintai.”

“Masumi, Satomi memang pernah singgah di hatiku, namun hanya sesaat. Aku sudah lama melupakannya. Sedangkan Sakurakoji bagiku tak lebih dari lawan main bagiku. Di hatiku hanya ada kamu,” Maya menangkup wajah Masumi dengan kedua telapak tangannya. “Maafkan aku.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, selama kita saling yakin dengan perasaan masing-masing,” dengan kata-kata itu Masumi kembali mencium Maya dengan lembut. “Sebetulnya aku ke sini selain karena aku sangat rindu, aku juga ingin mengataka kepadamu bahwa kita sudah bisa bisa menentukan tanggal pernikahan sekaligus merencanakan semuanya.”

“Benarkah?” Maya membelalakkan matanya.

“Benar, kita sudah bisa melakukan beberapa persiapan.”

Berdua mereka pun sepakat menentukan hari dan tempat mereka akan menikah. Sengaja mereka menunggu hingga jadwal tayang drama televisi Maya berakhir, yang berarti kurang dari dua bulan mendatang, dan sebelum kepastian pementasan Bidadari Merah diumumkan. Selain itu adalah waktu paling masuk akal buat mereka berdua, juga karena adanya beberapa persiapan khusus yang harus dilakukan oleh Masumi. Dalam adat tradisional pernikahan di musim semi diyakini sebagai hari baik dalam sistem kalender Jepang kuno. Maya dan Masumi membutuhkan semua keberuntungan yang bisa mereka dapatkan demi pernikahan mereka yang jauh dari ideal ini.

Sudah pukul dua dinihari ketika akhirnya Masumi berpamitan pulang.

“Aku benci setiap melihatmu keluar dari pintu itu meninggalkanku,” rajuk Maya manja.

“Kau pikir aku suka harus berpisah denganmu?” Masumi membelai rambut Maya. “Sabarlah, nanti akan tiba waktunya kita selalu berdua dan kau bisa melihatku setiap saat hingga kau bosan setengah mati,” Masumi tersenyum.

“Apakah kau sibuk sekali dengan pekerjaanmu?”

“Iya,” Masumi mengangguk. Kemudian seperti berfikir sebentar dia berhenti sesaat sebelum mengatakan, “Aku akan ke Singapura, pesawatku akan berangkat jam tujuh pagi ini.”

Maya mendongak memandang wajah calon suaminya. “Berapa lama kau ke Singapura?”

“Mungkin dua atau tiga hari, aku belum yakin, tergantung urusannya.”

“Apakah urusan Daito?”

Masumi menatap gadis itu. “Bukan. Ini untuk masa depan kita. Aku harus menemui seseorang di sana, bagian dari rencanaku.”

“Apakah kau akan membaginya denganku?”

“Nanti, bila saatnya tiba. Untuk saat ini semua masih konsep yang berputar-putar di kepalaku. Yang perlu kau lakukan hanyalah percaya padaku. Aku ingin yang terbaik untukmu.”

“Tapi aku tak mau kau perlakukan seperti anak kecil. Aku sudah dewasa. Mungkin aku bodoh dan tak bisa memahami cara berfikirmu yang rumit. Namun bukan berarti aku tidak ingin tahu.”

“Sabarlah, Maya, semua ada saatnya. Tunggulah. Saat semuanya terjadi kaulah orang pertama yang berhak tahu dan kaulah orang pertama yang merasakan resikonya bila sampai gagal. Aku tak mau mencelakakanmu.”

“Menikahiku akan sangat beresiko, bukan?”

“Itulah letak tantangannya dan sangat sepadan dengan imbalannya. Siap melaluinya bersamaku?”

“Pasti,” Maya mengangguk mantap. Kemudian seperti teringat sesuatu, Maya menuju ke tempat gantungan dimana tasnya berada. Setelah mencari-cari sejenak, akhirnya dia mengeluarkan serenceng kunci, memilih satu yang berbandul Big Ben dan memberikannya kepada Masumi. “Ini kunci apartemen ini, untukmu, agar kau bisa datang sewaktu-waktu.”

Masumi menerima kunci itu dengan senyum lebar. “Akhirnya...” dan diciumnya Maya kuat- kuat sebelum akhirnya dengan enggan beranjak pergi.

***

Musim dingin telah berakhir digantikan musim semi yang indah. Pucuk-pucuk pepohonan telah menunjukkan tunas-tunasnya dan meski udara masih dingin namun matahari telah bersinar cerah sepanjang hari. Malam itu Masumi menemani ayahnya yang tengah berbincang-bincang dengan Asa, pendamping setianya, di ruang keluarga kediaman Hayami yang mewah. Masumi menatap jauh keluar jendela. Pernikahannya berlangsung empat hari lagi dan Maya beserta teman-temannya telah pergi keluar kota untuk mempersiapkan segalanya. Sebetulnya Masumi juga ingin pergi. Tetapi selain karena Maya melarangnya dengan dalih Masumi akan lebih banyak berguna di Tokyo dari pada ke luar kota bersamanya, juga karena masih ada beberapa urusan yang ingin dia selesaikan. Surat ijin pernikahan sudah mereka daftarkan bersama dua hari lalu, dimana Maya dan Masumi harus sembunyi-sembunyi untuk pergi ke kantor pemerintahan setempat. Untungnya petugas yang menerima sudah begitu tua hingga tidak mengenali Maya sebagai artis ternama maupun Masumi yang sering muncul di surat kabar dan majalah bisnis, karena mereka memang berasal dari dua dunia yang berbeda. Sekarang meski secara hukum keduanya sudah sah sebagai suami istri, mereka sepakat untuk menunggu hingga upacara pernikahan shinto yang akan dilangsungkan di kuil sebelum menjalani kehidupan sebagai pasangan suami istri.

“Masumi, apakah aku sudah mengatakan kepadamu bahwa aku akan pergi ke Perancis Selatan dalam dua hari ini?”

Suara ayahnya memecahkan lamunan Masumi dan membuat lelaki itu menoleh memandang orang tua yang sedang duduk di kursi roda.

“Belum, Ayah,” jawabnya singkat. “Bukankah Ayah baru saja pulang dari Hawaii?”

“Ah, kemanapun aku pergi, apalah artinya? Toh semua urusan Daito sudah kau tangani dengan baik, sampai bosan aku mendengarnya. Mondar mandir di rumah juga membuat semua pelayan kewalahan saja mengurusi orang tua cerewet seperti aku. Lagipula umurku semakin tua, aku tak tahu lagi sampai kapan aku masih bisa menikmati bersenang-senang.”

“Kalau itu kemauan Ayah, aku tak akan mencegahnya.”

“Sebetulnya bila kau mau memberiku apa yang paling aku inginkan, mungkin aku akan sangat kerasan di rumah.”

“Apa itu ayah? Bukankah semua perintah ayah sudah aku kerjakan?”

“Seorang cucu, aku ingin seorang cucu, dua atau lebih juga akan sangat aku terima.”

“Ayah sudah tahu jawabanku.”

Eisuke tertawa terbahak-bahak. “Kau dingin sekali ya? Bahkan tak mau susah payah berbasa-basi.”

“Rasanya tak perlu lagi kita berbasa basi, Ayah, kita terlalu mengenal satu sama lain untuk buang-buang waktu dengan berbasa-basi.”

“Tahukah kau, Masumi, bahwa dalam khayalanku yang paling gila, aku berharap kau lepas kendali dengan seorang wanita hingga membuatnya hamil dan memberiku seorang cucu. Mungkin aku tak keberatan dengan keberadaan cucu hasil kecelakaan seperti itu. Tetapi orang dingin sepertimu tak mungkin lepas kendali,” Eisuke menertawakan dirinya sendiri.

Masumi hanya diam saja, memandangi kilau keemasan dari whiskey di tangannya. Andai saja ayahnya tahu.

“Kalau memang Ayah ingin pergi malam ini juga aku akan mengontak Mizuki untuk mengurusi semuanya sementara Paman Asa bisa mulai bersiap-siap,” katanya datar tanpa ekspresi.

“Kau sudah tak sabar kan?” tanya Eisuke tiba-tiba.

Masumi tercekat. “Apa maksud Ayah?” tanyanya dingin.

Eisuke terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, “Kau sudah sangat tak sabar ingin aku cepat-cepat pergi agar tak memberimu pertanyaan dan tugas yang aneh.”

“Kupikir begitu. Semakin cepat ayah pergi semakin baik. Kebosanan membuat ayah berfikir yang tidak-tidak.”

***

Musim semi yang indah seolah tersenyum di hari pernikahan mereka. Lembah plum berseri cerahdengan datangnya hari bahagia sang bidadari. Masumi, dalam kimono sutra hitam, dengan didampingi oleh Pak Kuronuma dan istrinya, duduk tenang menunggu kedatangan mempelai wanita. Ingatannya melayang saat memandangi interior kuil tua itu. Kuil yang sangat bersejarah bagi dia maupun Maya. Di kuil ini, bertahun-tahun yang lalu, dalam curahan hujan deras, saat dia menghabiskan malam bersama Maya yang tertidur dalam pelukannya. Sekarang, kuil tampak cerah dalam hiasan perayaan yang didekorasi khusus untuk pernikahannya. Sinar matahari membiaskan warna kuning keemasan melalui jendela kuil yang membuat suasana bermandikan cahaya.

Sesaat kemudian rombongan mempelai wanita telah tiba. Maya, dengan didampingi Pak Genzo dan Rei, berjalan pelan menuju tempat upacara. Maya mengenakan kimono pengantin berwarna putih, dengan penutup kepala tsuni kakushi yang dipenuhi ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya, sebagai simbol yang menutup semua tanduk kecemburuan, keakuan dan egoisme. Menempelkan penutup kepala pada kimono berwarna putih juga juga melambangkan ketetapan hatinya untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesediannya untuk melaksanakan perannya dengan kesabaran dan ketenangan. Wajahnya dirias dengan bedak putih khas pengantin tradisional Jepang. Dari dekorasi, suasana maupun busana yang dikenakan semua yang hadir, seolah membawa kembali Jepang tempo dulu dalam aura upacara yang magis. Masumi hampir menitikkan air mata menatap mempelai wanitanya yang tertunduk malu di samping Pak Genzo. Begitu lugu dan murni seolah semua dalam mimpi.

Setelah semua yang berkepentingan hadir, teman-teman Maya dari Teater Mayuko dan Ikkakuju, dengan Pak Kuronuma sebagai wakil dari keluarga Masumi dan Pak Genzo sebagai wali Maya, upacara pemurnian yang dipimpin pendeta pun dimulai. Mereka mengikuti dengan khidmat saat bait-bait mantra dibacakan. Setelah itu kedua mempelai mengikuti ritual sansakudo, berdua mereka bergiliran menghirup sake sebanyak sembilan kali dari tiga mangkuk yang disediakan. Kemudian Maya dan Masumi diikuti Pak Genzo dan Pak Kuronuma serta seluruh teman Maya, duduk saling berhadapan. Dengan mantap kedua mempelai mengucapkan janji pernikahan yang diakhiri dengan bersama seluruh keluarga meminum sake sebagai tanda pertalian dua keluarga yang baru saja terbina melalui sepasang mempelai. Upacara sederhana namun khidmat itu diakhiri dengan keluarnya sesaji ranting sakaki yang ditujukan kepada Dewa Shinto untuk mengusir roh-roh jahat.

Malu-malu Maya melirik suami barunya yang duduk tegak di sebelahnya. Kepalanya tertunduk dan pipinya memerah menyadari bahwa statusnya sekarang telah berubah. Menyadari tatapan tersembunyi istrinya, Masumi menoleh. Senyum bahagia menghiasi wajahnya. Dengan lembut diraihnya tangan Maya dan diremasnya pelan penuh sayang. Ungkapan sederhana yang cukup mengundang komentar dari teman-teman Maya dan membuat gadis itu semakin tersipu.

Jamuan makan siang berlangsung di pondok lembah plum dengan hidangan tradisional khas Jepang yang khusus dipesan dari katering. Pak Genzo berbaik hati meminjamkan pondok itu untuk acara resepsi sederhana maupun untuk malam pengantin, yang diterima dengan sangat sukacita oleh Maya dan Masumi karena pondok itu lebih berkesan dan menyimpan banyak kenangan dibandingkan hotel. Menjelang sore, saat petugas katering telah membereskan semuanya, semua pergi ke hotel, meninggalkan Maya dan Masumi untuk melewatkan waktu pertama mereka bersama sebagai sepasang suami istri. Siul-siulan usil dari teman-teman Maya yang menggoda keduanya membuat wajah gadis itu memerah seperti udang rebus. Sedangkan Masumi menerima segala godaan usil itu dengan senyum lebar.

***

Di kamar pengantinnya, dengan harum semerbak mawar jingga yang memenuhi sudut-sudut ruangan, malam itu Maya menanti dengan gugup kehadiran suaminya. Rambutnya yang panjang tergerai lepas di pundak. Tanpa riasan dengan mengenakan piyama tidur berwarna seputih salju berhiaskan bunga-bunga sakura merah, Maya duduk di atas futon yang terhampar di tengah ruangan menanti malam pertamanya sebagai seorang istri. Sesaat kemudian Masumi memasuki kamar. Tubuh tegapnya berbalut kimono tidur warna gelap, begitu gagah dan tampan membuat Maya tercekat tak percaya bahwa lelaki inilah yang telah menjadi seuaminya. Senyum Masumi lembut dan mesra menyambut tatapan gugup mata bening istrinya. Dia pun segera duduk di belakang Maya dan menarik gadis itu dalam pelukannya.

“Kau gugup, sayang?”

Maya mendongak. Bibirnya yang mungil tampak merah alami dan begitu ranum membuat Masumi tak tahan dan segera mendaratkan ciuman di sana. “Akhirnya aku memilikimu, rasanya hampir tak percaya,” desahnya di bibir Maya.

Malu-malu Maya merebahkan kepalanya di dada bidang Masumi. Lelaki itu meraih tangannya, mencium telapak tangannya sebelum akhirnya mengecup jemarinya satu persatu.

“Masumi...”

“Hmm...”

“Apakah kau keberatan bila kita menghabiskan malam ini di bawah kilau bintang?”

Masumi memandang istrinya. Melihat tatapan permohonan di sana. Kemudian senyum terkembang di bibirnya. “Tentu, sayang. Dan apakah kau tahu betapa cantiknya kau hari ini, bidadariku?”

Maya tersipu. “Kau hanya menggodaku,” tampiknya malu-malu.

“Tidak. Aku sungguh-sungguh,” dan seolah ingin membuktikan kesungguhannya, Masumi mencium Maya dengan penuh gelora.

Malam itu, mereka memadamkan lampu ruangan dan membiarkan tirai jendela terbuka. Sinar bulan memancar lembut menembus kaca jendela, dan di atas sana sejuta bintang berpendar mengiringi perpaduan mereka yang pertama sebagai dua jiwa yang menyatu. Masumi membimbing istrinya yang masih begitu muda dan lembut mengarungi puncak-puncak kenikmatan asing yang selama ini tak pernah dikenalnya. Penuh kesabaran dengan sentuhan lembut ujung jari dan bibirnya Masumi mengajari Maya bagaimana seharusnya seorang perempuan diperlakukan. Maya menggeletar kala gelombang demi gelombang yang membawanya ke puncak dan menghempaskannya hingga tak berdaya dalam rengkuhan Masumi yang juga meregang dalam ledakan gairahnya.

“Masumi, itu tadi apa?” tanya Maya pelan sambil menyelusupkan wajahnya yang bersimbah peluh ke dada bidang Masumi, menghirup aroma Masumi yang begitu khas dan sangat disukainya.

“Itulah cinta,” bisik Masumi sambil bergerak menjangkau leher Maya dan menghujaninya dengan ciuman-ciuman yang membuat Maya mendesah tak berdaya.

Malam itu mereka berdua saling belajar menjelajah kenikmatan yang timbul kala kedua tubuh bersentuhan, dengan bebas berusaha mengenal lebih intim dan memuaskan keingintahuan akan pasangannya. Maya yang semula masih malu-malu akhirnya dengan penuh percaya diri berusaha memberi suaminya kenikmatan sebesar yang telah diterimanya. Membuat Masumi mengerang tak berdaya di bawah sentuhan magis itu.

Sementara di sebuah villa yang terpencil di Perancis Selatan, Eisuke duduk terpekur di beranda ditemani pendampingnya yang setia.

“Informan menelepon untuk mengabarkan bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan di kuil yang ada di Lembah Plum, Tuan,” Asa memberi laporan dengan suara pelan dan kepala tertunduk.

Eisuke, melamun memandang halaman yang cerah bermandikan sinar matahari, seolah tak mendengar laporan Asa.

10 comments:

  1. Akhirnya....:terengah-engah- setelah sekian lama selesai juga bagian ini. Ternyata susah banget bikin adegan yang "sopan" itu. Apalagi kalo otak udah penuh adegan ala harle yang dahsyat, dibela-belain ampe puasa baca harle biar ga teracuni!
    Pokoknya selamat dinikmati edisi ini, atas kurang lebihnya mohon dimaklumi.

    ReplyDelete
  2. salam kenal mba Olly. Ceritanya bagus2...
    kapan nich bikin cerita versi harle lagi.. di tunggu ya..

    ReplyDelete
  3. Hmm... knp "adegan" ny dibikin terlalu sopan gitu? kan mereka udah slg jatuh cinta sekian lama, kok kyny "adekan klimaks"ny jd biasa gini? *efek krn terlalu byk baca harle n haer*
    Tp secara garis besar, ceritany bagus... ayo lanjutkan... lebih cepat lebih baik... *penasaran baca crt lanjutanny*

    ReplyDelete
  4. Ahaha...ternyata eisuke hayami gak pernah ketinggalan berita ya?! Nice story, ollie :-) *rini*

    ReplyDelete
  5. ollie.... good job.... keren banget ceritanya...^_^
    daku sampai terharu hiks...hiks...hiks...
    moga-moga si eisuke kagak bikin masalah baru lagi....(ngarep... mode on)

    ReplyDelete
  6. suka bgd de mbak olly... thengkyuh ..:)

    ReplyDelete
  7. KereEn aduh seneng deh MM bahagia...tp kok eisuke bs tau ya...duhh....

    ReplyDelete
  8. salam..baru ketemu blog ini..senangnya...
    kok di bagian ini merasa kkasihan dng eisuke ya...
    merasakan rasaanya kesepian diantara gelombang keegoisan bukan hal yg nyamaan..apa lg dmasa tua..

    ReplyDelete
  9. Bagus sis.... Tp kalo ada adegan harle nya... Lbh mantap lg.... Hahaha. Tp ni jg uda bgs bgt..

    ReplyDelete
  10. Bagus sis.... Tp kalo ada adegan harle nya... Lbh mantap lg.... Hahaha. Tp ni jg uda bgs bgt..

    ReplyDelete