Thursday, December 29, 2011

Run To You (1)


Sinar matahari sudah terasa hangat pada pukul sembilan di suatu pagi bulan Agustus, dengan bias-bias sinarnya yang berpendar keemasan menembus jendela-jendela tinggi ruang pertemuan St. Norbert Hospital yang telah dipenuhi sosok-sosok berseragam. Duduk berderet mengisi barisan kursi di aula luas itu, para perawat, baik siswa yang sedang berpraktek maupun yang sudah menjadi tenaga professional, menikmati kegiatan saling menyapa dan bergossip, mengisi sedikit waktu yang tersisa sebelum kuliah umum dimulai. Namun sekelompok perawat yang mendapat giliran jaga malam, hanya duduk diam kelelahan dan melawan segala kantuk demi menghadiri ceramah ilmiah tentang tata cara perawatan pada pasien pasca pembedahan dengan teknologi terbaru yang akan disampaikan sendiri oleh professor yang mempopulerkan metode tersebut. Padahal harusnya saat ini mereka menikmati mandi berendam dengan air panas yang akan melarutkan segala kepenatan, untuk kemudian menikmati sarapan pagi dengan segelas teh panas sebelum pergi ke tempat tidur. Namun suster kepala sudah mewanti-wanti mereka untuk hadir kecuali yang sedang bertugas, agar tidak membuat malu direktur yang telah bersusah payah menghadirkan professor yang berkebangsaan Belanda tersebut. Hanya karena direktur dan prof bersahabat dekat maka sang prof bersedia menyelipkan acara tersebut disela jadwalnya yang padat.
Dan di tengah-tengah baris pertama duduk siswa perawat tahun terakhir Lucy Prendergast, gadis kurus mungil dengan rambut merah wortel yang dipotong pendek, sekuat tenaga berusaha memicingkan mata hijau cemerlangnya yang seperti salah tempat berada di wajahnya yang sederhana. Kelelahan setelah bertugas di bangsal anak-anak semalam menyisakan lingkaran gelap di seputar matanya dan sama sekali tak bisa memberi nilai tambah pada penampilannya. Seragamnya yang berupa setelan blus dan celana berwarna biru beku telah kusut di sana sini. Setelah menyelesaikan laporan untuk operan terhadap petugas shift berikut, dia memang hanya sempat menyambar setumpuk sandwich dan segelas susu hangat sebelum berderap menuju aula menyusul rekan-rekannya yang telah lebih dulu berangkat, di bawah tatapan judes suster kepala. Tanpa sempat memperbaiki penampilan wajah dan rambutnya.
Lucy mungkin akan langsung tertidur begitu pantatnya menyentuh kursi keras aula andai saja rekan di sebelahnya tidak buru-buru menyikut rusuknya dan memintanya tetap memincingkan mata karena suster kepala, seperti biasa, bersama dua asistennya serta seorang petugas memasuki panggung dan menyiapkan catatan. Seolah memang pengaturan waktu yang tepat, direktur masuk mendampingi sosok yang ditunggu-tunggu. Seketika terdengar suaran decakan kagum dari seantero aula manakala orang yang diharapkan sebagai professor itu berjalan menuju ke barisan tempat duduk di atas panggung yang menghadap langsung ke aula. Mata-mata lelah dan mengantuk seketika terpincing lebar-lebar. Begitupun wajah-wajah sebal perawat  yang sedang dalam masa cuti, yang semula hadir dengan sangat berat hati karena mengorbankan jatah libur yang terbatas, segera merubah penyesalan menjadi kelegaan karena rela bersusah payah hadir. Karena jauh dari penampilan direktur yang sudah botak dan agak kuno karena usia senja, professor yang dimaksud justru masih teramat muda dengan penampilan yang akan membuat perempuan manapun menoleh dua kali.
Namun bagi Lucy yang memang sudah sangat mengantuk serta punya kebiasaan alami mudah tertidur kapan pun dan di mana pun, hal terakhir yang terekam dalam benaknya adalah sosok tinggi besar berambut pirang dengan mata biru dan dagu berbelah. Playboy, desisnya sebelum memejamkan mata dan tertidur nyenyak tanpa menghiraukan kehebohan di sekelilingnya saat professor tampan naik ke mimbar dan dengan suara bariton yang dalam memulai ceramah.
Tiga hari sebelumnya.
Professor Fraam der Linssen sedang duduk menikmati sepoci kopi panas, seperti menjadi kebiasaannya selama ini setelah praktek sore hari menjelang makan malam. Bersamanya Dokter Derek De Groot, kolega yang sekaligus kenalan lama ayahnya. Dr. De Groot telah dua tahun bekerja di klinik yang dimiliki Fraam bersama beberapa koleganya dan menjadi dokter tetap di sana. Fraam sendiri hanya sempat datang berkunjung sekali-kali karena dia memiliki tempat praktek pribadi selain memiliki pasien di beberapa rumah sakit dan kesibukannya mengajar atau seminar di berbagai negara. Di usianya yang menjelang empat puluh Fraam memang berada di puncak karir. Tergolong muda untuk pencapaian setinggi itu, hasil kerja keras tak kenal lelah selama bertahun-tahun, yang kini juga membelitnya dengan kesibukan yang terkadang jarang menyisakan waktu bersantai baginya. Kecuali dia bisa memaksa sekretaris pribadinya untuk mengatur jadwal seketat mungkin demi istirahat nyaman selama beberapa hari di villa miliknya di tepi pantai atau pondok di pedesaan. Kadang dia juga bersantai menikmati matahari tropis di Hawaii atau Bahama.
“Ke mana lagi kali ini, Fraam?” tanya Dr. De Groot sambil menyalakan pipanya.
“St. Norbert Hospital, London,” sahutnya singkat.
“St. Norbert huh?”
Fraam menoleh ke dokter yang lebih tua itu. “Punya kenalan di sana? Selain Sir Wyatt tentunya.”
“Putri temanku, Lucy, kudengar menjadi siswa perawat di sana. Lucy Prendergast, teman Mies. Dulu waktu masih kecil pernah ke sini beberapa kali. Mungkin kalian pernah bertemu tetapi kau pasti lupa. Sudah lama sekali. ”
Fraam berfikir sejenak dan menggabungnkan sebentuk wajah dengan sebuah nama. Lucy. Kurus. Berambut wortel dan mata berkilat sehijau zamrud, dua gigi depannya yang ompong dan pemarah. Kombinasi luar biasa yang tak mungkin terlupakan. Bahkan untuk ukuran seorang gadis kecil. Fraam teringat bagaimana Lucy berkelahi bak satria kecil melawan Jaan, kakak Mies, meski Jaan tiga tahun lebih tua dan juga jauh lebih besar, hanya karena gadis itu tak mau diolok-olok tentang gigi susunya yang baru tanggal. Waktu itu dia sudah menjadi dokter muda sementara Lucy masih di tahun-tahun awal SD.
“Dokter Prendergast adalah temanku di universitas. Pria yang rendah hati dan sederhana. Cukup puas hanya dengan menjadi dokter umum di desa. Keputusan yang akhirnya disesalinya manakala si bungsu Lucy berminat menjadi dokter. Namun apa daya dua kakak laki-lakinya semua belum lulus sementara keuangan terbatas. Dua anak perempuan yang lain telah menikah semua. Punya lima anak di jaman sekarang ini memang seolah terlalu optimis.”
“Pasti Lucy masih sangat muda kalau dia sekarang masih di tahun akhir sekolah perawat,” komentar Fraam ringan.
“Dua puluh satu tahun, karena dia setahun lebih muda dari Mies.”
Mies yang sedang dibicarakan tiba-tiba muncul. Tinggi semampai dengan rambut berwarna pirang madu membingkai wajah cantiknya, penampilan yang terlalu berlebihan untuk profesinya sebagai resepsionis di klinik. Namun selamanya kecantikan Mies memang bagaikan anggrek, eksotis dan tak terjangkau.
“Papa,” dia memanggil ayahnya. Manakala dilihatnya Fraam berada di sana, serta merta dia menghambur dan memeluk Fraam. “Fraam!” serunya.
Fraam tertawa sambil mendaratkan kecupan di pipi Mies.
“Kau jahat sekali, jarang mampir ke rumah. Aku sudah lama ingin kau ajak keluar!” rajuknya manja.
“Maaf, manis, aku sibuk sekali.”
“Bagaimana kalau akhir minggu ini kau bawa aku makan malam dan berdansa.”
“Sekali lagi maaf. Aku sudah punya janji.”
“Perempuan mana kali ini?” Mies cemberut.
Fraam hanya tertawa. “Akhir minggu ini aku pasti masih berada di London.”
“Aku ingin sekali pergi ke London. Tetapi Papa tak pernah mengijinkan.”
Dr. De Groot tertawa. “Kau tidak usah ke London. Bagaimana kalau kita undang saja temanmu, Lucy, ke sini? Kalian sudah lama tidak bertemu kan?”
“Lucy! Iya, pasti asyik kalau dia mau datang ke sini. Aku sudah lupa bagaimana dia sekarang. Kalau dia datang aku bisa mengasah Bahasa Inggrisku kembali.”
Dan sekarang Fraam sedang menatap ke seluruh  wajah-wajah yang memandang penuh perhatian kepadanya. Perasaan geli yang sering dia rasakan kembali membuatnya berusaha menyembunyikan seringaian dalam hati. Selalu begini. Tak bisa dicegah bayangan seorang professor adalah sosok botak gendut pendek yang pelupa dengan setelan yang bertambal di sikunya. Mana mereka duga bila Fraam sangat jauh dari itu semua. Fraam menyadari sepenuhnya daya tarik fisik yang dimilikinya.
Tak perlu waktu lama bagi Fraam untuk menarik seluruh perhatian seluruh hadirin. Dalam beberapa saat semua berkonsentrasi mendengar ceramahnya, menyerap setiap kata dan informasi yang dia katakan. Gaya pidato Fraam enak didengar. Ilmiah tanpa berkesan membosankan. Pemilihan kata yang tepat dan efisien menghindari kesan bertele-tele serta mudah difahami. Keterampilan yang dia dapat sebagai perpaduan bakat otak cemerlang yang dianugerahkan kepadanya serta pengalaman bertahun-tahun dalam mengisi seminar di berbagai belahan dunia. Semua mendengarkan dengan seksama kecuali sesosok kepala berambut cepak berantakan berwarna wortel menyala yang terus tertunduk hampir sejak kedatangannya tadi.
Lucy Prendergast! Hampir seketika Fraam mengenali gadis itu. Tak banyak gadis berambut wortel yang berkeliaran dan cocok sekali dengan deskripsi Lucy. Masih kurus meski tak terlalu tinggi. Fraam bersedia menunggu hingga bisa mengetahui warna matanya untuk membuatnya yakin seratus persen.
Namun Lucy sama sekali tak mau bersusah payah membuka matanya. Memang dia menyempatkan diri membuka mulutnya, mengumandangkan ucapan selamat datang seraya berdiri menghormati kedatangan direktur dan professor karena teman di sebelahnya menariknya. Namun dia segera kembali memejamkan mata saat menghempaskan tubuhnya kembali ke kursi, dan tertidur dengan damai sepanjang ceramah. Tak peduli suara dalam dan berat dengan aksen asing yang berasal dari mimbar yang tepat berada di atas kepalanya, menjelaskan semua point utama tentang angütis obliterans dan penanganan pasien yang diperlukan. Lucy dan teman-temannya memang telah berbagi pengertian yang salah bahwa duduk di dua baris pertama dalam sebuah forum adalah posisi paling aman dari perhatian mata penceramah di atas podium. Mereka percaya bahwa para pembicara selalu melihat melalui atas kepala mereka sehingga secara otomatis posisi terdekatdengan podium akan terlewati dan fokus pembicara akan beralih ke peserta dengan tempat duduk di bagian belakang. Pengertian yang membuat Lucy kembali melanjutkan tidurnya. Segalanya pasti baik-baik saja jika si professor tidak memulai melemparkan beberapa pertanyaan, menunjuk secara acak dari peserta yang mengikuti ceramahnya. Saat dia bertanya, “Dan yang menjawab pertanyaan tersebut adala...” matanya menjelajah wajah-wajah penasaran yang menatapnya penuh harap. Dan kepala gadis yang diduganya sebagai Lucy, yang tertunduk kembali mengusik rasa penasarannya. Ayolah, Luce... dongakkan wajahmu dan buka matamu agar aku yakin bahwa kau memang Lucy kecil yang pemarah itu.
Mata Fraam berkilau geli. Lucy bahkan sepertinya tak bergeming sedikitpun dari posisi duduk tertunduknya. Tetapi dia berani bertaruh bahwa gadis itu sedang tertidur.
“Siswa perawat yang duduk di tengah baris pertama,” katanya lembut.
Lucy, yang kembali tulung rusuknya disikut dengan keras oleh teman di sebelahnya yang nervous, membuka mata hijaunya lebar-lebar dan menatap langsung ke penceramah. Masih kaget karena baru bangun tidur Lucy sama sekali tak punya ide apa yang telah dikatakan oleh professor dan jawaban apa yang diharapkan untuk diucapkannya. Dia membelalakkan mata kepada sosok tampan berwajah datar yang berdiri di atas panggung di depannya. Dia tidak pernah melihat mata yang begitu tajam, namun dia tahu mata itu menatapnya begitu dingin seolah ingin membekukannya hingga ke tulang. Tanpa dapat dicegah wajah Lucy memanas dan dia yakin tanpa melihat cermin pun pastinya wajah capeknya sekarang sudah merah padam. Tapi itu bukannya karena malu, tetapi lebih karena marah dan jengkel karena dia benar-benar benci bila dibangunkan dari tidurnya dengan mendadak. Maka dia menjawab dengan suara yang jernih dan terkontrol, “Saya tidak mendengar apa yang Anda katakan, sir. Saya tertidur.”
Ekspresi professor tetap datar, meski Lucy yakin seratus persen pria itu sedang tertawa terbahak-bahak dalam hati. Maka dia menambahkan dengan sopan, “Maaf, sir,” dan nyengir dengan lega saat pandangan professor beralih kepada beberapa tangan yang teracung di belakangnya. Lucy tak akan heran kalau yang menjawab adalah Martha Inskip. Luar biasa manis, luar biasa cerdas, selalu mendapat nilai tertinggi untuk urusan akademik namun paling rendah dalam praktek.
Professor masih menanyakan beberapa pertanyaan setelahnya namun tak pernah sekalipun melihat ke arah Lucy. Dan Lucy yang sudah hilang semua kantuknya terpaksa mendengarkan dengan penuh sesal semua sesi tanya jawab tersebut. Hingga saat semua berakhir. Lucy tak bisa menduga lain ketika Suster kepala didampingi Suster Pengajar mendekati tempatnya duduk. Tatapan mata keduanya sudah meneriakkan adanya masalah tanpa Lucy harus menduga lagi.
“Ruang persiapan aula, Suster Prendegrast,” kata Suster Pengajar ketus.
Lucy hanya memutar bola mata dengan sebal, lalu mengacak rambut wortel cepaknya dengan gusar. Dia mengulur waktu selama mungkin hingga ruangan hampir kosong sebelum melangkah gontai menuju ruang persiapan di belakang panggung. Ucapan Good Luck! dari rekan-rekannyahanya ditanggapinya dengan cengiran. Dia tak mengharapkan keberuntungan apapun. Namun pasti sangat absurd bila dia harus dikeluarkan di tahun terakhirnya hanya karena masalah konyol dengan professor sok keren itu yang tidak bisa mentolerir kantuk seorang perawat yang selesai berdinas malam. Maka dia melangkah gontai, menyebrangi panggung menuju ke ruang kecil di belakangnya yang biasa digunakan sebagai ruang tunggu atau persiapan. Di sana dia mendapati Direktur bersama professor didampingi baik oleh Suster Kepala maupun Suster Pengajar. Melihat kemunculannya di pintu Suster Kepala langsung berdiri.
“Suster Prendegrast, kami akan meninggalkanmu untuk meminta maaf secara layak kepada Professor der Linssen dan menyesali perbuatanmu yang memalukan institusi secara umum serta Direktur secara pribadi,” katanya tajam.
Saat wajah-wajah kaku itu berlalu Lucy harus berhadapan dengan professor yang duduk tenang di sofa gendut berwarna kuning norak di ruangan itu. Apapun yang dipikirkan lelaki itu sama sekali tak nampak dari ekspresi wajahnya yang datar. Lelaki itu bangkit dan berjalan menghampiri Lucy. Tubuh jangkungnya seolah mengintimidasi Lucy. Matanya tajam, biru, dan dingin, memandang langsung ke mata hijau Lucy.
“Namamu Prendergast?” dan saat Lucy mengangguk: “Nama yang cukup aneh.”
Komentar yang cukup menyulut kemarahan Lucy hingga dia langsung menimpali dengan ketus, “Saya sudah mengatakan maaf.”
“Oh, ya, benar sekali. Meski itu tak menampik kenyataan bahwa bukan aku yang memaksa kau untuk kemari.”
Lucy memandang ke wajah lelaki yang mungkin usianya sudah menjelang akhir tiga puluh itu. Baru disadarinya tatapan tersinggung dan lelah yang ada di sepasang mata biru itu hingga timbul rasa iba di hati Lucy. “Saya cukup tahu kalau harga diri Anda terluka, Sir. Tapi itu tidak perlu. Saya yakin semua teman saya menganggap Anda luar biasa tampan. Dan kalaupun saya tertidur itu sama sekali tak ada hubungannya dengan wajah Anda. Saya akan tetap tertidur meski yang berbicara adalah Brad Pitt.”
Wajah lelaki itu berkedut seolah terkejut. Namun alih-alih mengomentari kata-kata Lucy, lelaki itu hanya berkata, “ Kamu sedang dinas malam, Miss-er-Prendergast.” Pernyataan yang bukan pertanyaan.
“Ya. Bangsal anak-anak memang selalu sibuk. Dan semalam sudah tak terkatakan lagi karena harus mengawasi tujuh anak-anak hanya dengan tiga orang petugas, bukannya saya mengeluh. Namun kuliah Anda benar-benar dilaksanakan di saat yang sangat tidak tepat untuk saya. Apalagi tadi pagi saya sarapan banyak sekali, sehingga tindakan duduk mendengarkan ceramah sesudahnya benar-benar fatal,” dan saat professor tidak berkata apa-apa, Lucy menambahkan dengan gaya keibuan,”Saya duga Anda pasti seorang ayah yang baik dan penuh perhatian pada istri dan anak Anda.”
“Aku belum punya anak, juga belum menikah,” dia terlihat geram. “Kau berbicara seolah kau ini ibu dari banyak anak. Kau sudah menikah, Miss Prendergast?”
“Saya? Tidak. Saya pasti akan dipanggil Mrs bila saya sudah menikah. Lagipula siapa yang akan menikahi saya, Sir? Tetapi saya punya banyak saudara laki-laki dan perempuan. Sangat menyenangkan dalam keluarga besar,” kata Lucy ceria.
Tetapi professor menanggapinya dengan suara dingin, “Kau keterlaluan, Nona, juga kurang ajar. Kau tidak seharusnya menjadi perawat, kau lebih layak menjadi istri yang usil dan cerewet yang suka sok memberi nasihat yang tidak perlu.”
Lucy berusaha tidak memerah malu akibat kata-kata professor, tetapi dengan berani dia menatap ke mata biru dingin itu dengan sinar mata hijau yang menyala-nyala, “Saya tak menyalahkan Anda yang berusaha memulihkan harga diri Anda, Professor. Sekarang kita sudah imbang kan?”
Lucy tidak menunggu diusir, dia langsung ambil langkah seribu meninggalkan lelaki jangkung yang masih melotot marah itu. Memang dikiranya aku tidak marah? Omelnya dalam hati. Seenaknya saja menilai karakter orang padahal mereka belum saling mengenal. Wajar dia tetap membujang di usia setua itu. Siapa pula mau jadi istri laki-laki pemarah macam dia? Dengan emosi masih membara Lucy berderap menuju ke asrama perawat, menyesali sisa-sisa jam tidurnya yang banyak berkurang.
Tetapi mana Lucy tahu bahwa di tempatnya gadis itu meninggalkannya Fraam sedang tertawa terbahak-bahak.

20 comments:

  1. hay hay
    sperti biasa sis olly
    ceritanya segar dan bikin penasaran
    feeling ku mengatakan mereka berdua berjodoh
    wakakakak *sotoy*

    ReplyDelete
  2. pasti mereka berjodoh kan yg jd pemeran utamanya mereka berdua

    ReplyDelete
  3. ahhhhhhhhhhhhhhh,,, sistaaaa!!! PAsti mereka jadian kannn?? aih! karakter tokoh dan kejelasan fisiknya bagus banget lhooo .. Tak ada bosannya aq komen: layak diterbitkan,, seperti novel dastan hihihihi... I want it more sistaaa

    ReplyDelete
  4. Hoho...cerita baru yg gak kalah menarik dg cerita2 sebelumnya :)

    ReplyDelete
  5. kayak nya perang antara mereka akan membikin seru crt nya...spt MM

    lanjutkan ya sist olly jgn lama2..pleaseeee..
    Merci..
    ^_^

    ReplyDelete
  6. wow...cerita baru yg segar,suka banget sist Olly,thx updateannya.

    ReplyDelete
  7. wakakaka....dan aku pun disini yg membacanya tertawa terbahak-bahak sista...

    thanx a lot

    narty

    ReplyDelete
  8. seruuuuuu........langsung berimajinasi fisik sang professor wkwkwkkkkkk

    ReplyDelete
  9. I love this story ^^. Thx Sis Olly

    ReplyDelete
  10. seperti biasa kereeeeeeeeennn <3

    ReplyDelete
  11. bagus...sekali..tunggu lanjutannya..sis olly

    ReplyDelete
  12. sis olly...end nya jangan lama -lama yah.
    mirip Masumi yg beda umurnya jauhh.
    i like it

    ReplyDelete
  13. baru ch 1 tp udah menjanjikan,,spt biasa deh kl olly udah bkn story,,lanjoootttt updatenyahh

    muah,,muah buat olly

    ReplyDelete
  14. baru chapter 1 tp udah menjanjikan,,sprt biasa deh kl olly udah bkn story

    di tunggu ya updatenyah lagih
    muah,,muah buat olly :)

    ReplyDelete
  15. Bagussss.... Fraam bikin gemesss deh pasti dia perfect abisss orangnya dah tajir,cakep,smart,dll... lanjuttttt ^^
    -mn-

    ReplyDelete
  16. ayo donk oly....lanjutannya mana * tidak sopan*
    -wi2n-

    ReplyDelete
  17. waaaaaa.... fresh..........can`t wait.....can`t wait......

    ReplyDelete
  18. sis olly..koq part 2-nya gak bisa dibuka yah??? padahal hatiqu sdh deg2an pgn baca lanjutannya... :(

    ReplyDelete
  19. part 2 nyah kok ga bisa kebuka olly,,,???
    kenafaahh??

    ReplyDelete
  20. pindah aja neng... ke rumah baru ya...

    ReplyDelete