Sinar matahari sudah terasa
hangat pada pukul sembilan di suatu pagi bulan Agustus, dengan bias-bias sinarnya
yang berpendar keemasan menembus jendela-jendela tinggi ruang pertemuan St.
Norbert Hospital yang telah dipenuhi sosok-sosok berseragam. Duduk berderet
mengisi barisan kursi di aula luas itu, para perawat, baik siswa yang sedang
berpraktek maupun yang sudah menjadi tenaga professional, menikmati kegiatan
saling menyapa dan bergossip, mengisi sedikit waktu yang tersisa sebelum kuliah
umum dimulai. Namun sekelompok perawat yang mendapat giliran jaga malam, hanya
duduk diam kelelahan dan melawan segala kantuk demi menghadiri ceramah ilmiah
tentang tata cara perawatan pada pasien pasca pembedahan dengan teknologi
terbaru yang akan disampaikan sendiri oleh professor yang mempopulerkan metode
tersebut. Padahal harusnya saat ini mereka menikmati mandi berendam dengan air
panas yang akan melarutkan segala kepenatan, untuk kemudian menikmati sarapan
pagi dengan segelas teh panas sebelum pergi ke tempat tidur. Namun suster
kepala sudah mewanti-wanti mereka untuk hadir kecuali yang sedang bertugas,
agar tidak membuat malu direktur yang telah bersusah payah menghadirkan
professor yang berkebangsaan Belanda tersebut. Hanya karena direktur dan prof
bersahabat dekat maka sang prof bersedia menyelipkan acara tersebut disela
jadwalnya yang padat.
Dan di tengah-tengah baris
pertama duduk siswa perawat tahun terakhir Lucy Prendergast, gadis kurus mungil
dengan rambut merah wortel yang dipotong pendek, sekuat tenaga berusaha
memicingkan mata hijau cemerlangnya yang seperti salah tempat berada di
wajahnya yang sederhana. Kelelahan setelah bertugas di bangsal anak-anak
semalam menyisakan lingkaran gelap di seputar matanya dan sama sekali tak bisa
memberi nilai tambah pada penampilannya. Seragamnya yang berupa setelan blus
dan celana berwarna biru beku telah kusut di sana sini. Setelah menyelesaikan
laporan untuk operan terhadap petugas shift berikut, dia memang hanya sempat
menyambar setumpuk sandwich dan segelas susu hangat sebelum berderap menuju
aula menyusul rekan-rekannya yang telah lebih dulu berangkat, di bawah tatapan
judes suster kepala. Tanpa sempat memperbaiki penampilan wajah dan rambutnya.
Lucy mungkin akan langsung
tertidur begitu pantatnya menyentuh kursi keras aula andai saja rekan di
sebelahnya tidak buru-buru menyikut rusuknya dan memintanya tetap memincingkan
mata karena suster kepala, seperti biasa, bersama dua asistennya serta seorang
petugas memasuki panggung dan menyiapkan catatan. Seolah memang pengaturan
waktu yang tepat, direktur masuk mendampingi sosok yang ditunggu-tunggu. Seketika
terdengar suaran decakan kagum dari seantero aula manakala orang yang
diharapkan sebagai professor itu berjalan menuju ke barisan tempat duduk di
atas panggung yang menghadap langsung ke aula. Mata-mata lelah dan mengantuk
seketika terpincing lebar-lebar. Begitupun wajah-wajah sebal perawat yang sedang dalam masa cuti, yang semula hadir
dengan sangat berat hati karena mengorbankan jatah libur yang terbatas, segera
merubah penyesalan menjadi kelegaan karena rela bersusah payah hadir. Karena
jauh dari penampilan direktur yang sudah botak dan agak kuno karena usia senja,
professor yang dimaksud justru masih teramat muda dengan penampilan yang akan
membuat perempuan manapun menoleh dua kali.
Namun bagi Lucy yang memang
sudah sangat mengantuk serta punya kebiasaan alami mudah tertidur kapan pun dan
di mana pun, hal terakhir yang terekam dalam benaknya adalah sosok tinggi besar
berambut pirang dengan mata biru dan dagu berbelah. Playboy, desisnya sebelum
memejamkan mata dan tertidur nyenyak tanpa menghiraukan kehebohan di
sekelilingnya saat professor tampan naik ke mimbar dan dengan suara bariton
yang dalam memulai ceramah.
Tiga hari sebelumnya.
Professor Fraam der Linssen
sedang duduk menikmati sepoci kopi panas, seperti menjadi kebiasaannya selama
ini setelah praktek sore hari menjelang makan malam. Bersamanya Dokter Derek De
Groot, kolega yang sekaligus kenalan lama ayahnya. Dr. De Groot telah dua tahun
bekerja di klinik yang dimiliki Fraam bersama beberapa koleganya dan menjadi
dokter tetap di sana. Fraam sendiri hanya sempat datang berkunjung sekali-kali
karena dia memiliki tempat praktek pribadi selain memiliki pasien di beberapa
rumah sakit dan kesibukannya mengajar atau seminar di berbagai negara. Di
usianya yang menjelang empat puluh Fraam memang berada di puncak karir.
Tergolong muda untuk pencapaian setinggi itu, hasil kerja keras tak kenal lelah
selama bertahun-tahun, yang kini juga membelitnya dengan kesibukan yang
terkadang jarang menyisakan waktu bersantai baginya. Kecuali dia bisa memaksa
sekretaris pribadinya untuk mengatur jadwal seketat mungkin demi istirahat
nyaman selama beberapa hari di villa miliknya di tepi pantai atau pondok di
pedesaan. Kadang dia juga bersantai menikmati matahari tropis di Hawaii atau
Bahama.
“Ke mana lagi kali ini, Fraam?”
tanya Dr. De Groot sambil menyalakan pipanya.
“St. Norbert Hospital, London,”
sahutnya singkat.
“St. Norbert huh?”
Fraam menoleh ke dokter yang
lebih tua itu. “Punya kenalan di sana? Selain Sir Wyatt tentunya.”
“Putri temanku, Lucy, kudengar
menjadi siswa perawat di sana. Lucy Prendergast, teman Mies. Dulu waktu masih
kecil pernah ke sini beberapa kali. Mungkin kalian pernah bertemu tetapi kau
pasti lupa. Sudah lama sekali. ”
Fraam berfikir sejenak dan
menggabungnkan sebentuk wajah dengan sebuah nama. Lucy. Kurus. Berambut wortel
dan mata berkilat sehijau zamrud, dua gigi depannya yang ompong dan pemarah.
Kombinasi luar biasa yang tak mungkin terlupakan. Bahkan untuk ukuran seorang
gadis kecil. Fraam teringat bagaimana Lucy berkelahi bak satria kecil melawan
Jaan, kakak Mies, meski Jaan tiga tahun lebih tua dan juga jauh lebih besar,
hanya karena gadis itu tak mau diolok-olok tentang gigi susunya yang baru
tanggal. Waktu itu dia sudah menjadi dokter muda sementara Lucy masih di
tahun-tahun awal SD.
“Dokter Prendergast adalah
temanku di universitas. Pria yang rendah hati dan sederhana. Cukup puas hanya
dengan menjadi dokter umum di desa. Keputusan yang akhirnya disesalinya
manakala si bungsu Lucy berminat menjadi dokter. Namun apa daya dua kakak
laki-lakinya semua belum lulus sementara keuangan terbatas. Dua anak perempuan
yang lain telah menikah semua. Punya lima anak di jaman sekarang ini memang
seolah terlalu optimis.”
“Pasti Lucy masih sangat muda
kalau dia sekarang masih di tahun akhir sekolah perawat,” komentar Fraam
ringan.
“Dua puluh satu tahun, karena
dia setahun lebih muda dari Mies.”
Mies yang sedang dibicarakan
tiba-tiba muncul. Tinggi semampai dengan rambut berwarna pirang madu membingkai
wajah cantiknya, penampilan yang terlalu berlebihan untuk profesinya sebagai
resepsionis di klinik. Namun selamanya kecantikan Mies memang bagaikan anggrek,
eksotis dan tak terjangkau.
“Papa,” dia memanggil ayahnya.
Manakala dilihatnya Fraam berada di sana, serta merta dia menghambur dan
memeluk Fraam. “Fraam!” serunya.
Fraam tertawa sambil
mendaratkan kecupan di pipi Mies.
“Kau jahat sekali, jarang
mampir ke rumah. Aku sudah lama ingin kau ajak keluar!” rajuknya manja.
“Maaf, manis, aku sibuk
sekali.”
“Bagaimana kalau akhir minggu
ini kau bawa aku makan malam dan berdansa.”
“Sekali lagi maaf. Aku sudah
punya janji.”
“Perempuan mana kali ini?” Mies
cemberut.
Fraam hanya tertawa. “Akhir
minggu ini aku pasti masih berada di London.”
“Aku ingin sekali pergi ke
London. Tetapi Papa tak pernah mengijinkan.”
Dr. De Groot tertawa. “Kau
tidak usah ke London. Bagaimana kalau kita undang saja temanmu, Lucy, ke sini?
Kalian sudah lama tidak bertemu kan?”
“Lucy! Iya, pasti asyik kalau
dia mau datang ke sini. Aku sudah lupa bagaimana dia sekarang. Kalau dia datang
aku bisa mengasah Bahasa Inggrisku kembali.”
Dan sekarang Fraam sedang
menatap ke seluruh wajah-wajah yang
memandang penuh perhatian kepadanya. Perasaan geli yang sering dia rasakan
kembali membuatnya berusaha menyembunyikan seringaian dalam hati. Selalu
begini. Tak bisa dicegah bayangan seorang professor adalah sosok botak gendut
pendek yang pelupa dengan setelan yang bertambal di sikunya. Mana mereka duga
bila Fraam sangat jauh dari itu semua. Fraam menyadari sepenuhnya daya tarik
fisik yang dimilikinya.
Tak perlu waktu lama bagi Fraam
untuk menarik seluruh perhatian seluruh hadirin. Dalam beberapa saat semua berkonsentrasi
mendengar ceramahnya, menyerap setiap kata dan informasi yang dia katakan. Gaya
pidato Fraam enak didengar. Ilmiah tanpa berkesan membosankan. Pemilihan kata
yang tepat dan efisien menghindari kesan bertele-tele serta mudah difahami.
Keterampilan yang dia dapat sebagai perpaduan bakat otak cemerlang yang
dianugerahkan kepadanya serta pengalaman bertahun-tahun dalam mengisi seminar
di berbagai belahan dunia. Semua mendengarkan dengan seksama kecuali sesosok
kepala berambut cepak berantakan berwarna wortel menyala yang terus tertunduk
hampir sejak kedatangannya tadi.
Lucy Prendergast! Hampir
seketika Fraam mengenali gadis itu. Tak banyak gadis berambut wortel yang
berkeliaran dan cocok sekali dengan deskripsi Lucy. Masih kurus meski tak
terlalu tinggi. Fraam bersedia menunggu hingga bisa mengetahui warna matanya
untuk membuatnya yakin seratus persen.
Namun Lucy sama sekali tak mau
bersusah payah membuka matanya. Memang dia menyempatkan diri membuka mulutnya,
mengumandangkan ucapan selamat datang seraya berdiri menghormati kedatangan
direktur dan professor karena teman di sebelahnya menariknya. Namun dia segera
kembali memejamkan mata saat menghempaskan tubuhnya kembali ke kursi, dan
tertidur dengan damai sepanjang ceramah. Tak peduli suara dalam dan berat
dengan aksen asing yang berasal dari mimbar yang tepat berada di atas
kepalanya, menjelaskan semua point utama tentang angütis obliterans dan
penanganan pasien yang diperlukan. Lucy dan teman-temannya memang telah berbagi
pengertian yang salah bahwa duduk di dua baris pertama dalam sebuah forum
adalah posisi paling aman dari perhatian mata penceramah di atas podium. Mereka
percaya bahwa para pembicara selalu melihat melalui atas kepala mereka sehingga
secara otomatis posisi terdekatdengan podium akan terlewati dan fokus pembicara
akan beralih ke peserta dengan tempat duduk di bagian belakang. Pengertian yang
membuat Lucy kembali melanjutkan tidurnya. Segalanya pasti baik-baik saja jika
si professor tidak memulai melemparkan beberapa pertanyaan, menunjuk secara
acak dari peserta yang mengikuti ceramahnya. Saat dia bertanya, “Dan yang menjawab
pertanyaan tersebut adala...” matanya menjelajah wajah-wajah penasaran yang
menatapnya penuh harap. Dan kepala gadis yang diduganya sebagai Lucy, yang
tertunduk kembali mengusik rasa penasarannya. Ayolah, Luce... dongakkan wajahmu
dan buka matamu agar aku yakin bahwa kau memang Lucy kecil yang pemarah itu.
Mata Fraam berkilau geli. Lucy
bahkan sepertinya tak bergeming sedikitpun dari posisi duduk tertunduknya.
Tetapi dia berani bertaruh bahwa gadis itu sedang tertidur.
“Siswa perawat yang duduk di
tengah baris pertama,” katanya lembut.
Lucy, yang kembali tulung
rusuknya disikut dengan keras oleh teman di sebelahnya yang nervous, membuka
mata hijaunya lebar-lebar dan menatap langsung ke penceramah. Masih kaget
karena baru bangun tidur Lucy sama sekali tak punya ide apa yang telah
dikatakan oleh professor dan jawaban apa yang diharapkan untuk diucapkannya.
Dia membelalakkan mata kepada sosok tampan berwajah datar yang berdiri di atas
panggung di depannya. Dia tidak pernah melihat mata yang begitu tajam, namun
dia tahu mata itu menatapnya begitu dingin seolah ingin membekukannya hingga ke
tulang. Tanpa dapat dicegah wajah Lucy memanas dan dia yakin tanpa melihat
cermin pun pastinya wajah capeknya sekarang sudah merah padam. Tapi itu
bukannya karena malu, tetapi lebih karena marah dan jengkel karena dia
benar-benar benci bila dibangunkan dari tidurnya dengan mendadak. Maka dia
menjawab dengan suara yang jernih dan terkontrol, “Saya tidak mendengar apa
yang Anda katakan, sir. Saya tertidur.”
Ekspresi professor tetap datar,
meski Lucy yakin seratus persen pria itu sedang tertawa terbahak-bahak dalam
hati. Maka dia menambahkan dengan sopan, “Maaf, sir,” dan nyengir dengan lega
saat pandangan professor beralih kepada beberapa tangan yang teracung di
belakangnya. Lucy tak akan heran kalau yang menjawab adalah Martha Inskip. Luar
biasa manis, luar biasa cerdas, selalu mendapat nilai tertinggi untuk urusan
akademik namun paling rendah dalam praktek.
Professor masih menanyakan
beberapa pertanyaan setelahnya namun tak pernah sekalipun melihat ke arah Lucy.
Dan Lucy yang sudah hilang semua kantuknya terpaksa mendengarkan dengan penuh
sesal semua sesi tanya jawab tersebut. Hingga saat semua berakhir. Lucy tak
bisa menduga lain ketika Suster kepala didampingi Suster Pengajar mendekati
tempatnya duduk. Tatapan mata keduanya sudah meneriakkan adanya masalah tanpa
Lucy harus menduga lagi.
“Ruang persiapan aula, Suster
Prendegrast,” kata Suster Pengajar ketus.
Lucy hanya memutar bola mata
dengan sebal, lalu mengacak rambut wortel cepaknya dengan gusar. Dia mengulur
waktu selama mungkin hingga ruangan hampir kosong sebelum melangkah gontai
menuju ruang persiapan di belakang panggung. Ucapan Good Luck! dari
rekan-rekannyahanya ditanggapinya dengan cengiran. Dia tak mengharapkan keberuntungan
apapun. Namun pasti sangat absurd bila dia harus dikeluarkan di tahun
terakhirnya hanya karena masalah konyol dengan professor sok keren itu yang
tidak bisa mentolerir kantuk seorang perawat yang selesai berdinas malam. Maka
dia melangkah gontai, menyebrangi panggung menuju ke ruang kecil di belakangnya
yang biasa digunakan sebagai ruang tunggu atau persiapan. Di sana dia mendapati
Direktur bersama professor didampingi baik oleh Suster Kepala maupun Suster
Pengajar. Melihat kemunculannya di pintu Suster Kepala langsung berdiri.
“Suster Prendegrast, kami akan
meninggalkanmu untuk meminta maaf secara layak kepada Professor der Linssen dan
menyesali perbuatanmu yang memalukan institusi secara umum serta Direktur
secara pribadi,” katanya tajam.
Saat wajah-wajah kaku itu
berlalu Lucy harus berhadapan dengan professor yang duduk tenang di sofa gendut
berwarna kuning norak di ruangan itu. Apapun yang dipikirkan lelaki itu sama
sekali tak nampak dari ekspresi wajahnya yang datar. Lelaki itu bangkit dan
berjalan menghampiri Lucy. Tubuh jangkungnya seolah mengintimidasi Lucy.
Matanya tajam, biru, dan dingin, memandang langsung ke mata hijau Lucy.
“Namamu Prendergast?” dan saat
Lucy mengangguk: “Nama yang cukup aneh.”
Komentar yang cukup menyulut
kemarahan Lucy hingga dia langsung menimpali dengan ketus, “Saya sudah
mengatakan maaf.”
“Oh, ya, benar sekali. Meski
itu tak menampik kenyataan bahwa bukan aku yang memaksa kau untuk kemari.”
Lucy memandang ke wajah lelaki
yang mungkin usianya sudah menjelang akhir tiga puluh itu. Baru disadarinya
tatapan tersinggung dan lelah yang ada di sepasang mata biru itu hingga timbul
rasa iba di hati Lucy. “Saya cukup tahu kalau harga diri Anda terluka, Sir.
Tapi itu tidak perlu. Saya yakin semua teman saya menganggap Anda luar biasa
tampan. Dan kalaupun saya tertidur itu sama sekali tak ada hubungannya dengan
wajah Anda. Saya akan tetap tertidur meski yang berbicara adalah Brad Pitt.”
Wajah lelaki itu berkedut
seolah terkejut. Namun alih-alih mengomentari kata-kata Lucy, lelaki itu hanya
berkata, “ Kamu sedang dinas malam, Miss-er-Prendergast.” Pernyataan yang bukan
pertanyaan.
“Ya. Bangsal anak-anak memang
selalu sibuk. Dan semalam sudah tak terkatakan lagi karena harus mengawasi
tujuh anak-anak hanya dengan tiga orang petugas, bukannya saya mengeluh. Namun
kuliah Anda benar-benar dilaksanakan di saat yang sangat tidak tepat untuk
saya. Apalagi tadi pagi saya sarapan banyak sekali, sehingga tindakan duduk
mendengarkan ceramah sesudahnya benar-benar fatal,” dan saat professor tidak
berkata apa-apa, Lucy menambahkan dengan gaya keibuan,”Saya duga Anda pasti
seorang ayah yang baik dan penuh perhatian pada istri dan anak Anda.”
“Aku belum punya anak, juga
belum menikah,” dia terlihat geram. “Kau berbicara seolah kau ini ibu dari
banyak anak. Kau sudah menikah, Miss Prendergast?”
“Saya? Tidak. Saya pasti akan
dipanggil Mrs bila saya sudah menikah. Lagipula siapa yang akan menikahi saya,
Sir? Tetapi saya punya banyak saudara laki-laki dan perempuan. Sangat menyenangkan
dalam keluarga besar,” kata Lucy ceria.
Tetapi professor menanggapinya
dengan suara dingin, “Kau keterlaluan, Nona, juga kurang ajar. Kau tidak
seharusnya menjadi perawat, kau lebih layak menjadi istri yang usil dan cerewet
yang suka sok memberi nasihat yang tidak perlu.”
Lucy berusaha tidak memerah
malu akibat kata-kata professor, tetapi dengan berani dia menatap ke mata biru
dingin itu dengan sinar mata hijau yang menyala-nyala, “Saya tak menyalahkan
Anda yang berusaha memulihkan harga diri Anda, Professor. Sekarang kita sudah
imbang kan?”
Lucy tidak menunggu diusir, dia
langsung ambil langkah seribu meninggalkan lelaki jangkung yang masih melotot
marah itu. Memang dikiranya aku tidak marah? Omelnya dalam hati. Seenaknya saja
menilai karakter orang padahal mereka belum saling mengenal. Wajar dia tetap
membujang di usia setua itu. Siapa pula mau jadi istri laki-laki pemarah macam
dia? Dengan emosi masih membara Lucy berderap menuju ke asrama perawat,
menyesali sisa-sisa jam tidurnya yang banyak berkurang.
Tetapi mana Lucy tahu bahwa di
tempatnya gadis itu meninggalkannya Fraam sedang tertawa terbahak-bahak.
hay hay
ReplyDeletesperti biasa sis olly
ceritanya segar dan bikin penasaran
feeling ku mengatakan mereka berdua berjodoh
wakakakak *sotoy*
pasti mereka berjodoh kan yg jd pemeran utamanya mereka berdua
ReplyDeleteahhhhhhhhhhhhhhh,,, sistaaaa!!! PAsti mereka jadian kannn?? aih! karakter tokoh dan kejelasan fisiknya bagus banget lhooo .. Tak ada bosannya aq komen: layak diterbitkan,, seperti novel dastan hihihihi... I want it more sistaaa
ReplyDeleteHoho...cerita baru yg gak kalah menarik dg cerita2 sebelumnya :)
ReplyDeletekayak nya perang antara mereka akan membikin seru crt nya...spt MM
ReplyDeletelanjutkan ya sist olly jgn lama2..pleaseeee..
Merci..
^_^
wow...cerita baru yg segar,suka banget sist Olly,thx updateannya.
ReplyDeletewakakaka....dan aku pun disini yg membacanya tertawa terbahak-bahak sista...
ReplyDeletethanx a lot
narty
seruuuuuu........langsung berimajinasi fisik sang professor wkwkwkkkkkk
ReplyDeleteI love this story ^^. Thx Sis Olly
ReplyDeleteseperti biasa kereeeeeeeeennn <3
ReplyDeletebagus...sekali..tunggu lanjutannya..sis olly
ReplyDeletesis olly...end nya jangan lama -lama yah.
ReplyDeletemirip Masumi yg beda umurnya jauhh.
i like it
baru ch 1 tp udah menjanjikan,,spt biasa deh kl olly udah bkn story,,lanjoootttt updatenyahh
ReplyDeletemuah,,muah buat olly
baru chapter 1 tp udah menjanjikan,,sprt biasa deh kl olly udah bkn story
ReplyDeletedi tunggu ya updatenyah lagih
muah,,muah buat olly :)
Bagussss.... Fraam bikin gemesss deh pasti dia perfect abisss orangnya dah tajir,cakep,smart,dll... lanjuttttt ^^
ReplyDelete-mn-
ayo donk oly....lanjutannya mana * tidak sopan*
ReplyDelete-wi2n-
waaaaaa.... fresh..........can`t wait.....can`t wait......
ReplyDeletesis olly..koq part 2-nya gak bisa dibuka yah??? padahal hatiqu sdh deg2an pgn baca lanjutannya... :(
ReplyDeletepart 2 nyah kok ga bisa kebuka olly,,,???
ReplyDeletekenafaahh??
pindah aja neng... ke rumah baru ya...
ReplyDelete