Maya sedang mengatur bunga-bunga dalam vas sebagai penghias
ruangan di apartemen baru mereka. Dengan ujung ekor matanya dia mengamati
suaminya yang sedang bersantai di sofa sambil membaca buku. Mereka telah tiga
hari menikah dan Maya masih belum terbiasa melihat Masumi bersantai seperti
itu. Masumi yang dikenalnya adalah sosok yang enerjik dan sibuk. Dia terbiasa
dikelilingi banyak bawahan yang siap menjalankan semua perintahnya. Selain itu
Masumi adalah jenis pribadi yang memiliki aura kekuasaan yang kental. Maya terbiasa melihatnya selalu memegang
kendali, dingin, sinis, dan penuh perhitungan.
Maya masih harus berusaha keras membiasakan diri melihat
Masumi dalam pakaian casual, jeans dan polo shirt serta hanya berkaus kaki.
Selama berhari-hari mereka memang hanya asyik menikmati dunia baru mereka dan
tak mengijinkan siapapun untuk berbagi. Teman-teman Maya dari Teater Mayuko dan
Ikkakuju cukup pengertian untuk memberi waktu kepada pasangan baru itu
menikmati bulan madu mereka. Sementara untuk urusan pekerjaan baik Maya maupun
Masumi sepakat untuk tidak membicarakannya. Topik tersebut sangat sensitif dan
keduanya masih menikmati manisnya sebagai pasangan suami istri sehingga
membahas hal seberat itu sungguh tak bisa dimaafkan.
Tapi jauh di lubuk hati keduanya teramat sangat sadar bahwa
saat itu sedang mendekat.
Sementara Masumi meski asyik membaca buku tentang teori
management namun pikirannya tidak sedang berada pada barisan kalimat yang ada
di hadapannya. Meski tak melihat Masumi sangat merasakan keberadaan Maya di
seberang ruangan. Bahkan meski mereka terpisah jarak beberapa meter Masumi
seolah bisa merasakan helaan nafas istrinya, aroma hangat, halus, dan
lembutnya, bahkan gerak tangan serta kakinya. Masumi pun tahu bahwa Maya meski
pura-pura sibuk namun sesungguhnya istrinya itu pun sedang memperhatikan
dirinya.
Bulan madu mereka selama tiga hari ini benar-benar luar
biasa. Tak hentinya mereka saling mempelajari satu sama lain, meski kadang
masih malu-malu berusaha meneliti setiap detil, setiap lekukan dan tonjolan,
menikmati keberadaan satu sama lain. Sungguh perasaan bahagia tak terkatakan
karena setiap membuka mata di pagi hari melihat orang tercinta berada dalam
jangkauan. Bisa meraih dan memeluk dengan erat tanpa halangan, menghirup aroma
keintiman dan menenggelamkan diri kembali dalam pusaran gairah yang begitu
intens yang tak menyisakan ruang sedikitpun untuk kepura-puraan.
Akhirnya karena merasa sia-sia saja membaca buku, Masumi
melemparkan bukunya ke meja dan melompat bangkit. Dengan langkah-langkah
panjang dihampirinya istrinya di seberang ruangan. Meski baru musim semi, namun
sore itu Maya sedang mengenakan salah satu koleksi busana musim panas dari
desainer terkenal. Celana khaki yang panjangnya hanya sebatas bawah pinggul dan
atasan dari sutera putih berbola-bola mungil warna lembayung yang cantik.
Kerutan menghiasi batas dada dan pinggang atasannya dengan tali tipis yang
menempel ringkih di kedua bahu lembutnya. Masumi sangat mengagumi selera
fashion Maya sekarang. Kalau dulu Maya selalu tampil bersahaja sekarang Maya
tampil elegan, berkelas, namun tetap simpel tanpa meninggalkan kesan muda dan
ceria. Bila sempat terpikir untuk menjadikan Maya brand ambassador dari divisi
fashion Daito, maka sekarang dibuangnya jauh-jauh ide itu. Masumi tak akan sudi
mengumpankan Maya bulat-bulat kepada Daito.
Menyadari langkah Masumi Maya menoleh dan tersenyum. Senyum
sejuta watt yang sanggup membuat Masumi membuang segala akal sehatnya. Kalau
dia pernah menganggap senyuman Maya di panggung sebagai Aldis sempat menghipnotisnya,
maka senyum Maya yang khusus ditujukan untuknya sekarang sanggup membuatnya
gila. Maka tanpa sepatah kata, diraihnya Maya dalam pelukannya.
“Masumi? Hei? Ada apa?” tanya Maya, masih heran dengan sikap
aneh suaminya yang sekarang makin sering dilakukannya, seolah ada dorongan
misterius yang membuat lelaki itu sering bergegas menghampirinya dan memeluknya
erat-erat.
“Aku rindu kamu,” kata Masumi ringan.
“Aku tidak kemana-mana.”
“Benarkah?” Masumi tersenyum. “Bila kau tak datang
memelukku, maka aku yang datang untuk memelukmu,” tambahnya seraya
membungkukkan tubuhnya agar bisa menenggelamkan wajahnya di gerai rambut Maya.
“Kau akan sakit punggung bila terus-terusan membungkukkan
badan begitu,” tegur Maya lembut.
“Aku akan terima resiko itu sebagai imbalan punya istri yang
begitu pendek,” jawab Masumi. Ada sinar jahil berkilat di matanya yang segera
disadari Maya. “Aku tak ambil pusing bila kau sakit pinggang. Toh itu badanmu
sendiri,” rajuknya. “ Hanya saja memalukan sekali punya suami tua renta dan
bungkuk,” cibirnya.
Masumi memencet hidung Maya dengan gemas sebelum akhirnya
mencium hidung mungil itu dengan lembut. Milikku, pikirnya possesif. Hidung
mungil ini milikku, senyum ini, bahkan jiwa ini milikku. Dan dengan satu
gerakan yang semakin sering dia lakukan dan semakin mudah, digendongnya Maya
yang wajahnya memerah bak udak rebus mengantisipasi apa yang akan terjadi
kemudian. Dan benar saja saat Masumi menjatuhkannya di sofa tempat dia tadi
membaca buku, Maya tak mau membuka matanya yang terpejam.
“Maya...” bisik Masumi gemas.
Saat akhirnya Maya membuka mata wajah Masumi sudah begitu
dekat hingga dia bisa merasakan hembusan nafasnya yang panas. Dan Maya pun
mengangkat tangannya, menelusuri wajah tampan dan keras itu dengan ujung
jarinya. Tak henti dia meyakinkan dirinya bahwa wajah yang begitu indah milik
lelaki gagah itu sekarang sudah menjadi miliknya. Suaminya. Ya, Masumi adalah
suaminya, lelaki yang akan melindunginya, lelaki kepada siapa dia akan
membaktikan dirinya, mencintainya, belahan jiwanya. Semua terasa pas. Tak ada
keraguan apapun lagi. Dia akan mencintai tanpa syarat. Seperti Akoya mencintai
Ishin. Seperti Mayuko mencintai Ichiren. Dan kini kisahnya sendiri dimulai,
kisah Maya dan Masumi. Apapun yang terjadi di luar sana menjadi tidak penting
lagi.
Masumi menatap mata Maya yang balas menatapnya, membaca
kelebatan fikiran yang terpancar dari sinar mata perempuan itu. “Maya...”
“Aku mencintaimu, Masumi, sangat mencintaimu. Tahukah kau
artinya?” tanya Maya lirih.
Masumi mengangguk dalam-dalam. “Aku tahu. Karena akupun
mencintaimu, sepenuh hatiku.”
Dengan itu mereka saling memahami.
Beberapa saat kemudian mereka masih saling berpelukan. Masih
tenggelam dalam sensasi yang baru mereka rasakan. Masih dengan setengah
bermimpi Maya menyandarkan tubuhnya di dada suaminya. Lalu matanya menangkap
buku yang teronggok di meja bekas dilempar Masumi tadi serta membaca judulnya.
Sebersit fikiran yang sejak tadi mengganggu menghampiri kepalanya.
“Masumi...”
“Hm...,” Masumi sedang asyik membelai rambut istrinya,
matanya setengah terpejam menghirup aroma yang begitu disukainya itu.
“Bulan madu kita sudah berjalan tiga hari.”
“Iya. Kenapa? Kita merencanakan seminggu kan?”
“Apakah seminggu tidak terlalu berlebihan untukmu?”
Masumi membuka matanya, siaga dengan pertanyaan istrinya
yang tiba-tiba. “Maksudmu?”
“Aku tak terbiasa melihatmu bersantai. Aku terbiasa
melihatmu selalu dengan notebook, dokumen-dokumen, serta gadget canggih yang
mengatur jadwal dan kegiatanmu. Aku tak terbiasa melihatmu begitu santai, hal
yang kau lakukan dalam tiga hari ini. Aku tak melihatmu membuka tas kerja, aku
tak melihatmu membuka notebookmu, bahkan aku tak pernah mendengar suara
ponselmu. Ini tidak normal. Ini seolah bukan dirimu.”
“Aku sedang berbulan madu dan tidak ingin diganggu
pekerjaan,” kata Masumi singkat.
“Aku mengenalmu tidak hanya setahun dua tahun, Masumi. Dan
aku tahu bahwa pekerjaan sudah menjadi identitasmu. Sama seperti arti akting
bagiku. Kau begitu mencintai pekerjaanmu, menghabiskan hidupmu di situ, sama
seperti aku mencintai dan menghabiskan hidup untuk akting. Kita bertemu karena
kedua hal itu. Namun sekarang haruskah kau berubah hanya karena kita sudah
menjadi suami istri? Haruskah kau menjadi pribadi yang lain?”
Masumi merenungi sejenak perkataan istrinya. “Langsung ke
pokok permasalahan, eh?” tanyanya sambil tertawa kecil. “Ketika aku
merencanakan pernikahan ini, aku seolah mendorong gunung dan lautan untuk
mengosongkan jadwalku. Aku ingin memberimu bulan madu yang sempurna tanpa
gangguan karena aku tak bisa memberimu upacara pernikahan yang layak untukmu.
Aku telah membuatmu kehilangan banyak hal yang penting dalam hidupmu, dan aku
tak sanggup mengembalikan semua yang telah kurenggut itu. Satu-satunya milikku
yang berharga hanyalah pekerjaan, maka kuputuskan mengorbankan waktu bekerjaku yang berharga
itu untukmu. Aku menempatkanmu jauh di atas pekerjaanku, Maya, dan ternyata aku
tak menyesalinya karena kusadari bahwa kau jauh lebih berharga dibanding
pekerjaan itu. “
Maya bergerak dalam pelukan Masumi. Dipandangnya wajah
tampan itu. “Masumi, aku tak mau kau terpaksa berubah hanya karena aku. Aku
akan baik-baik saja meski kau sibuk bekerja. Aku tak akan mengeluh bila waktu
bulan madu kita kau habiskan untuk menelepon dan mendiktekan berbagai perintah
kepada sekretarismu. Aku menerima kau yang seperti itu, seperti kau yang
menerimaku lengkap dengan segala kebodohanku. Aku tak mau kau memberi lebih
banyak lagi untukku. Aku tak akan sanggup untuk membalasnya.”
“Kau sudah membalasnya dengan berlebihan hanya dengan mencintaiku,
dengan menerima diriku yang seperti ini.”
Mendengar Masumi mengatakan hal itu membuat dada Maya terasa
penuh dan tak terasa air mata menetes di pipinya. Dengan lembut dia mendekatkan
wajahnya dan mencium bibir Masumi dengan lembut. “Terimakasih, belahan jiwaku,
karena telah mencintaiku dengan begitu dalam,” bisiknya.
Malam hari saat Maya sudah terlelap di sebelahnya, dengan
perlahan Masumi bangkit dari tempat tidur dan berjalan menghampiri jendela.
Dibukanya tirai hingga sinar bulan yang pucat menembus masuk ke dalam ruangan.
Kemudian dijangkaunya mantel kamar dan dengan perlahan membuka pintu serta
melangkah keluar. Beberapa menit kemudian, dengan batang rokok menyala
ditangan, dia berdiri di balkon, memandangi kota Tokyo yang terhampar di depannya.
Dia teringat malam pertamanya berdua Maya, tidur di kamar sederhana yang
terbuka jendelanya dibawah hamparan sejuta bintang. Sejuta bintang milik
mereka. Dan saat sebuah bintang jatuh berkelebat di angkasa, untuk pertama
kalinya dia berani mengungkapkan permohonannya. Meski dia merasa begitu konyol
sesudahnya. Masumi Hayami, Jendral Perang dari Daito, berharap pada bintang
jatuh? Pasti tak akan ada yang percaya. Kecuali Maya.
Pembicaraannya dengan Maya tadi kembali terngiang-ngiang di
telinganya. Mengingatkannya pada sesuatu yang berusaha dilupakannya, paling
tidak selama bulan madu ini. Ya Tuhan, beri aku waktu sebentar lagi untuk
membahagiakan istriku sebelum segalanya di luar kendali, pintanya dalam hati.
Meski berusaha menunda, bahkan kalau bisa memungkiri kenyataan yang ada, namun
jauh di relung hatinya, di dalam akal sehatnya, Masumi tahu bahwa dia harus
bersiap menghadapi perang besar yang akan menghadang di depan. Dia memang telah
memiliki bermacam strategi, telah meneliti dan menguji strateginya dari segala
sudut dan optimis semua akan sanggup dia atasi. Namun lawan yang dihadapinya
juga memiliki cara berfikir sepertinya. Tidak banyak yang tahu bahwa Eisuke
Hayami memiliki otak dengan lorong-lorong bak labirin yang bisa menimbuklan
terjadinya sejuta kemungkinan. Masumi yang berada langsung di bawah komando dan
didikannya merasakan langsung dan menjadi saksi hidup betapa orang tua itu bisa
menjadi musuh yang sangat tangguh, dingin, kejam, dan menakutkan. Perlu nyali
besar hanya untuk memikirkan mengalahkannya.
Namun Masumi sudah menyatakan tekad akan melawannya bila
sedikit saja Eisuke dengan pasukan Daitonya menyentuh istrinya. Seumur hidup
baru kali ini Masumi memiliki keinginan sekuat ini, mencurahkan segala energi
untuk mencapai ambisi pribadinya. Selama ini dia bekerja keras hanya karena dia
tak tahu harus berbuat apa lagi untuk mengisi hidupnya. Dia sudah
bertahun-tahun menjadi robot yang membanting tulang demi kejayaan Daito.
Sekarang dia ingin berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri. Untuknya dan Maya.
Maya terbangun saat merasakan kekosongan di sebelahnya.
Meski masih dengan mata terpejam, diraihnya Masumi dan mendapati tempat itu
kosong. Segera dia membuka matanya. Dalam keremangan kamar yang hanya mendapat
sinar dari rembulan musim semi di luar dia bisa melihat sosok suaminya berdiri
di balkon. Masumi tampak berfikir keras. Sampai sejauh ini Masumi memang sama
sekali tak pernah mengatakan dengan terus terang segala kemungkinan bila
pernikahan mereka terekspos. Hubungan Masumi dengan Daito, hubungan Maya dengan
Dewan Kesenian, maupun posisi Maya sebagai pemegang Hak Pementasan Bidadari
Merah serta posisi Masumi sebagai Direktur Daito, salah satu perusahaan yang
akan mengikuti tender pementasan cerita agung tersebut.
Maya tahu pasti sangat berat bagi Masumi untuk berada di
kedua sisi yang saling berseberangan itu. Dan status Maya sebagai istrinya juga
berperan sangat besar dalam menentukan segala keputusannya. Andai aku lebih
pintar, Masumi pasti tak harus menanggung semua ini sendirian. Paling tidak dia
bisa membicarakannya kepadaku, pikir Maya masygul.
Malam itu baik Maya maupun Masumi, meski akhirnya berada
dalam satu peraduan, namun sama-sama tidak bisa tidur dan tenggelam dalam
pikiran masing-masing.
Pagi hari, seperti biasa, Maya terbangun merasakan dekapan
hangat Masumi di belakangnya. Merasakan punggungnya menempel erat pada dada
bidang Masumi, merasakan nafas hangat Masumi menerbangkan anak-anak rambutnya,
serta merasakan bibir dan lidahnya menelusuri batang lehernya. Merasakan
kebahagiaan itu Maya menggeliat pelan dalam rengkuhan lengan kekar Masumi.
“Maya...”
“Hmm?”
“Apakah kau tidak keberatan bila hari ini aku bekerja di
rumah?”
Maya terdiam sebentar. Lalu berputar untuk menghadap Masumi.
Dengan matanya yang sekarang terbuka sepenuhnya ditatapnya Masumi dalam-dalam.
Meski tak terlihat Maya bisa merasakan bahwa pribadi Masumi yang lama,
Masuminya, seorang penguasa, sudah kembali. Maya tersenyum lebar. “Sudah mulai
sadar ya?” seringainya jahil.
Melihat seringaian istrinya Masumi cemberut. “Apakah kau
sudah bosan berada dekat denganku? Ya ampun, Maya, kita toh menikah baru empat
hari?”
“Bukannya bosan. Kalau kau hari ini bekerja, paling tidak
aku bisa punya waktu jalan-jalan bersama Rei. Lagipula ketika kau bersikap
sebagai suami yang baik begitu aku jadi tidak punya kesempatan untuk
menjahilimu. Apa asyiknya kalau aku harus menuruti semua maumu? Kau sudah
mendapatkannya dari semua bawahanmu. Menjadi suami baik-baik tidak cocok dengan
citramu. Apa kata Nona Mizuki kalau tahu kau seperti ini?” cibir Maya.
“Aku menikah denganmu, bukan dengan Mizuki,” kata Masumi dan
dengan gemas membungkam mulut Maya yang hendak melontarkan kata-kata balasan
dengan bibirnya.
“Masumi, aku harus menelepon Rei,” kata Maya megap-megap
disela ciuman Masumi.
“Kau bisa melakukannya nanti,” Masumi menggelitik pangkal
leher Maya dengan bibirnya.
“Aku juga harus bersiap-siap untuk jalan-jalan,” Maya
berusaha mengelak.
“Masih banyak waktu,” Masumi tetap tak peduli.
“Kau sebaiknya cepat-cepat bekerja atau kau akan kehilangan
jutaan yen,” Maya mencoba taktik lain.
“Tidak apa-apa. Kau lebih berharga...” Masumi melancarkan
kecupan-kecupan panas di wajah Maya.
“Masumi...”
“Diamlah.”
Dan seperti biasa, Masumi sangat kuat.
Seusai mandi Maya mematut dirinya di cermin, bersiap memenuhi
janjinya untuk keluar bersama Rei. Karena Maya sibuk berdandan maka Masumi
kebagian semua tugas domestik untuk menyiapkan sarapan yang simpel untuk
mereka.
“Maya, sarapan sudah siap,” kata Masumi sambil memasuki
kamar mereka. Melihat istrinya masih mengenakan mantel mandi dia berkata,
“Perlu aku pilihkan pakaian?”
Maya menoleh kepada suaminya yang tampan yang sekarang sudah
berdiri di belakangnya. “Boleh.”
Masumi pun membuka lemari pakaian dan memilih dari koleksi
baju Maya yang ada. Dia berfikir untuk menambah koleksi pakaian Maya. Beberapa
model baju sudah berkelebat di otaknya. Paris, aku akan mengajaknya ke Paris
berbelanja dan berbulan madu lagi, pikirnya. Sebuah rencana yang membuatnya
semakin ingin cepat-cepat menyelesaikan semua rencananya.
Setelah membantu istrinya berpakaian, sebuah hobi baru yang
ternyata sangat disukainya, mendandani Maya, Masumi memperhatikan saat dia
mengoleskan lipstick di bibir mungilnya yang menggemaskan. Tiba-tiba sebersit
ide jahil menghampiri kepalanya. “Maya,” panggilnya lembut. Istrinya bereaksi
dengan menolehkan kepalanya ke arah Masumi. Secepat kila Masumi mengecup bibir
Maya kuat-kuat dan membuat berantakan riasan bibirnya.
“Masumi!” jerit Maya kesal.
Dengan terbahak-bahak, menghindari serbuan Maya yang
melempar sisir ke arahnya, Masumi melompat keluar dari kamar.
Seusai sarapan, masih ada waktu satu jam sebelum Maya
bertemu Rei di stasiun. Setelah membenahi meja Maya menyusul suaminya yang
sudah siap dengan notebook dan dokumen yang tersusun di meja di ruangan yang
telah disulap menjadi ruang kerjanya.
“Masumi...”
Masumi menoleh menatap istrinya. “Ada apa?”
“Masumi, aku tahu bahwa aku ini bodoh sehingga tak akan
bermanfaat dalam meringankan beban pekerjaanmu. Tetapi sebagai istrimu aku
paling tidak ingin tahu apakah yang akan kau lakukan berikutnya? Kupikir kau
tak mungkin akan berada di Daito. Keadaannya akan sangat tidak enak bagi kau
dan aku meski aku sama sekali tak meragukan kemampuan dan niatmu.”
Masumi terdiam sejenak. “Duduklah, Maya, karena apa yang
akan kita bicarakan ini sangatlah serius, bukan obrolan pengisi waktu,” undang
Masumi.
Setelah istrinya duduk di sampingnya di kursi panjang yang
ada di ruang kerja itu, Masumi meraih kedua tangan Maya dan menggenggamnya.
“Maya, sebelumnya aku ingin kau yakin dan percaya sepenuhnya kepadaku. Aku
ingin tidak ada keraguan di antara kita. Bila aku memutuskan tak memberitahu
apapun padamu, itu semata-mata demi kebaikanmu sendiri.”
“Tapi Masumi...”
“Maya, kau tahu dan pernah merasakan sendiri seperti apa
Daito, atau Eisuke Hayami, memperlakukan musuh-musuhnya. Kau ingat kan
bagaimana aku dulu? Aku yang bertanggung jawab terhadap penderitaan gurumu,
kehancuran teatermu, kematian ibumu, tolong... jangan potong omonganku,” kata
Masumi melihat Maya membuka mulut. “Aku tahu kau bahwa kau sudah memaafkan
semua itu, tetapi aku tak akan pernah melupakan semua yang telah kulakukan
padamu dulu. Daito musuh yang sangat kuat, percayalah, dan tidak bisa
diremehkan sama sekali. Jadi aku harus sangat berhati-hati kali ini karena ini seperti
melawan diriku sendiri, melawan otakku sendiri, melawan orang yang meski tak
mau kuakui, adalah ayahku. Meski kami tak berhubungan darah, namun emosi,
pikiran dan jiwa kami sangat tertaut. Aku sangat mengenal Eisuke seperti juga
Eisuke mengenal diriku. Bisa jadi apa yang kupikirkan saat ini sudah pula
terpikir oleh orang tua itu, atau sebaliknya. Dan dalam semua itu aku tak mau
kau terluka. Tolong demi ketentramanku, percayalah padaku, pada setiap apa yang
kulakukan. Kalaupun nanti kau harus terluka, percayalah bahwa itu yang terbaik
untukmu.”
“Masumi aku tak ingin kau terluka.”
“Aku kuat, Maya, sama sepertimu. Ijinkanlah, untuk sekali
ini, aku melakukan yang terbaik untukmu, istri yang sangat kucintai. Dan jangan
pertanyakan apapun. Untuk kali ini tolong ikuti semua perkataanku. Pilihanmu
hanya ada dua, mempercayaiku dengan mutlak atau tidak sama sekali.”
Maya menatap nanar wajah keras suaminya. Berbagai perasaan
yang bergolak di dalam dadanya tak mampu untuk diungkapkan. Namun dia harus
membuat keputusan. Pikirannya tahu bahwa Masumi akan berjuang keras sendirian,
namun di dasar hatinya dia juga menyadari Masumi membutuhkan kekuatan dan
dukungannya. Dukungan yang bisa dia berikan hanya dengan dia mempercayainya
tanpa ragu, mencintainya tanpa syarat. Akhirnya Maya mengangguk, “Baiklah
Masumi, aku mempercayaimu dan aku berjanji untuk tidak mempertanyakan kembali
apapun keputusanmu,” katanya lirih.
“Terimakasih, sayangku, aku membutuhkan kepercayaan itu,”
Masumi bernafas lega, meremas lembut kedua tangan Maya yang berada dalam
genggamannya, untuk kemudian membawa kedua tangan itu ke mulutnya dan
menciumnya lembut. “Ingatlah Maya, bila semua sudah terjadi, bila kau ragu
dimana kau harus berpijak, bila kau kehilangan jejakku, maka satu kata yang
harus kau pegang, nagareboshi-bintang jatuh, disitulah ada aku.”
***
smoga dan berharap hub MM akan baik2 saja
ReplyDeletemoga gak.ada riak2 tajam yg menusuk khidupan mrka k dpan..... biarkan mrka bahagia
ReplyDeleteMemangnya ada apa sih? Sepertinya gaswat *bingung* nunggu kelajutannya aja deh...semoga semua baik2 aja ya
ReplyDelete-mn-
next chapter nampaknya akan ada badai nih
ReplyDeleteMH vs EH....
akhirna apdate juga MM.... semoga MM tetap bersatu walau badai datang menerpa.. MM SEMANGATTTTT.....
ReplyDeletewienna
dan perang pun sepertinya akan segera dimulai.
ReplyDeleteBerharap semuanya baik2 saja.
Sukaaa bgd... Ow ow ow oww ... Trimakasihh mom atas suguhannyaa... Suka sukaa sukaaaaa.... Dilanjutin lg yaa
ReplyDeleteterima kasih sis olly akhirnya MM update lagi..
ReplyDeleteDuuhhh...berharapnya sih nothing happen seriously thd MM...tp,sptny bkl ada sad scene di update selanjutnyh...
ReplyDeletemaya....percaya tanpa syarat ya sm masumi
Sptny kisah cinta para bidadari merah begitu penuh liku
weh weh...tambah seru niih. gak sia2 nunggu lama buat kelanjutannya....good job sist.
ReplyDeletesip sip
ReplyDeletebabak baru di mulai
cant wait to see next chapter
pernikahan mereka masih lum diketahui media kan
weitsss...pasti seru nih kl dah ktauan ^^
mang apa yg permintaan masumi ke bintang jatuh?
ReplyDeletelanjutannyaa gimana ? serrru pastinya.
ReplyDeletelanjutan lanjutan minta lanjutan *riri*
ReplyDeleteSabar ya semuanya... Kalo udah selesai dibikin pasti di aplod kalo blm diaplod berarti belum selesai dibikin. Ok? Hehehe...
ReplyDelete