Saturday, January 7, 2012

FIFTEENTH : The Best For You


Maya sedang mengatur bunga-bunga dalam vas sebagai penghias ruangan di apartemen baru mereka. Dengan ujung ekor matanya dia mengamati suaminya yang sedang bersantai di sofa sambil membaca buku. Mereka telah tiga hari menikah dan Maya masih belum terbiasa melihat Masumi bersantai seperti itu. Masumi yang dikenalnya adalah sosok yang enerjik dan sibuk. Dia terbiasa dikelilingi banyak bawahan yang siap menjalankan semua perintahnya. Selain itu Masumi adalah jenis pribadi yang memiliki aura kekuasaan yang kental.  Maya terbiasa melihatnya selalu memegang kendali, dingin, sinis, dan penuh perhitungan.

Maya masih harus berusaha keras membiasakan diri melihat Masumi dalam pakaian casual, jeans dan polo shirt serta hanya berkaus kaki. Selama berhari-hari mereka memang hanya asyik menikmati dunia baru mereka dan tak mengijinkan siapapun untuk berbagi. Teman-teman Maya dari Teater Mayuko dan Ikkakuju cukup pengertian untuk memberi waktu kepada pasangan baru itu menikmati bulan madu mereka. Sementara untuk urusan pekerjaan baik Maya maupun Masumi sepakat untuk tidak membicarakannya. Topik tersebut sangat sensitif dan keduanya masih menikmati manisnya sebagai pasangan suami istri sehingga membahas hal seberat itu sungguh tak bisa dimaafkan. 
Tapi jauh di lubuk hati keduanya teramat sangat sadar bahwa saat itu sedang mendekat.

Sementara Masumi meski asyik membaca buku tentang teori management namun pikirannya tidak sedang berada pada barisan kalimat yang ada di hadapannya. Meski tak melihat Masumi sangat merasakan keberadaan Maya di seberang ruangan. Bahkan meski mereka terpisah jarak beberapa meter Masumi seolah bisa merasakan helaan nafas istrinya, aroma hangat, halus, dan lembutnya, bahkan gerak tangan serta kakinya. Masumi pun tahu bahwa Maya meski pura-pura sibuk namun sesungguhnya istrinya itu pun sedang memperhatikan dirinya.

Bulan madu mereka selama tiga hari ini benar-benar luar biasa. Tak hentinya mereka saling mempelajari satu sama lain, meski kadang masih malu-malu berusaha meneliti setiap detil, setiap lekukan dan tonjolan, menikmati keberadaan satu sama lain. Sungguh perasaan bahagia tak terkatakan karena setiap membuka mata di pagi hari melihat orang tercinta berada dalam jangkauan. Bisa meraih dan memeluk dengan erat tanpa halangan, menghirup aroma keintiman dan menenggelamkan diri kembali dalam pusaran gairah yang begitu intens yang tak menyisakan ruang sedikitpun untuk kepura-puraan. 

Akhirnya karena merasa sia-sia saja membaca buku, Masumi melemparkan bukunya ke meja dan melompat bangkit. Dengan langkah-langkah panjang dihampirinya istrinya di seberang ruangan. Meski baru musim semi, namun sore itu Maya sedang mengenakan salah satu koleksi busana musim panas dari desainer terkenal. Celana khaki yang panjangnya hanya sebatas bawah pinggul dan atasan dari sutera putih berbola-bola mungil warna lembayung yang cantik. Kerutan menghiasi batas dada dan pinggang atasannya dengan tali tipis yang menempel ringkih di kedua bahu lembutnya. Masumi sangat mengagumi selera fashion Maya sekarang. Kalau dulu Maya selalu tampil bersahaja sekarang Maya tampil elegan, berkelas, namun tetap simpel tanpa meninggalkan kesan muda dan ceria. Bila sempat terpikir untuk menjadikan Maya brand ambassador dari divisi fashion Daito, maka sekarang dibuangnya jauh-jauh ide itu. Masumi tak akan sudi mengumpankan Maya bulat-bulat kepada Daito.

Menyadari langkah Masumi Maya menoleh dan tersenyum. Senyum sejuta watt yang sanggup membuat Masumi membuang segala akal sehatnya. Kalau dia pernah menganggap senyuman Maya di panggung sebagai Aldis sempat menghipnotisnya, maka senyum Maya yang khusus ditujukan untuknya sekarang sanggup membuatnya gila. Maka tanpa sepatah kata, diraihnya Maya dalam pelukannya.

“Masumi? Hei? Ada apa?” tanya Maya, masih heran dengan sikap aneh suaminya yang sekarang makin sering dilakukannya, seolah ada dorongan misterius yang membuat lelaki itu sering bergegas menghampirinya dan memeluknya erat-erat.

“Aku rindu kamu,” kata Masumi ringan.

“Aku tidak kemana-mana.”

“Benarkah?” Masumi tersenyum. “Bila kau tak datang memelukku, maka aku yang datang untuk memelukmu,” tambahnya seraya membungkukkan tubuhnya agar bisa menenggelamkan wajahnya di gerai rambut Maya.

“Kau akan sakit punggung bila terus-terusan membungkukkan badan begitu,” tegur Maya lembut.

“Aku akan terima resiko itu sebagai imbalan punya istri yang begitu pendek,” jawab Masumi. Ada sinar jahil berkilat di matanya yang segera disadari Maya. “Aku tak ambil pusing bila kau sakit pinggang. Toh itu badanmu sendiri,” rajuknya. “ Hanya saja memalukan sekali punya suami tua renta dan bungkuk,” cibirnya.

Masumi memencet hidung Maya dengan gemas sebelum akhirnya mencium hidung mungil itu dengan lembut. Milikku, pikirnya possesif. Hidung mungil ini milikku, senyum ini, bahkan jiwa ini milikku. Dan dengan satu gerakan yang semakin sering dia lakukan dan semakin mudah, digendongnya Maya yang wajahnya memerah bak udak rebus mengantisipasi apa yang akan terjadi kemudian. Dan benar saja saat Masumi menjatuhkannya di sofa tempat dia tadi membaca buku, Maya tak mau membuka matanya yang terpejam.

“Maya...” bisik Masumi gemas.

Saat akhirnya Maya membuka mata wajah Masumi sudah begitu dekat hingga dia bisa merasakan hembusan nafasnya yang panas. Dan Maya pun mengangkat tangannya, menelusuri wajah tampan dan keras itu dengan ujung jarinya. Tak henti dia meyakinkan dirinya bahwa wajah yang begitu indah milik lelaki gagah itu sekarang sudah menjadi miliknya. Suaminya. Ya, Masumi adalah suaminya, lelaki yang akan melindunginya, lelaki kepada siapa dia akan membaktikan dirinya, mencintainya, belahan jiwanya. Semua terasa pas. Tak ada keraguan apapun lagi. Dia akan mencintai tanpa syarat. Seperti Akoya mencintai Ishin. Seperti Mayuko mencintai Ichiren. Dan kini kisahnya sendiri dimulai, kisah Maya dan Masumi. Apapun yang terjadi di luar sana menjadi tidak penting lagi.

Masumi menatap mata Maya yang balas menatapnya, membaca kelebatan fikiran yang terpancar dari sinar mata perempuan itu. “Maya...”

“Aku mencintaimu, Masumi, sangat mencintaimu. Tahukah kau artinya?” tanya Maya lirih.

Masumi mengangguk dalam-dalam. “Aku tahu. Karena akupun mencintaimu, sepenuh hatiku.”

Dengan itu mereka saling memahami.

Beberapa saat kemudian mereka masih saling berpelukan. Masih tenggelam dalam sensasi yang baru mereka rasakan. Masih dengan setengah bermimpi Maya menyandarkan tubuhnya di dada suaminya. Lalu matanya menangkap buku yang teronggok di meja bekas dilempar Masumi tadi serta membaca judulnya. Sebersit fikiran yang sejak tadi mengganggu menghampiri kepalanya.

“Masumi...”

“Hm...,” Masumi sedang asyik membelai rambut istrinya, matanya setengah terpejam menghirup aroma yang begitu disukainya itu.

“Bulan madu kita sudah berjalan tiga hari.”

“Iya. Kenapa? Kita merencanakan seminggu kan?”

“Apakah seminggu tidak terlalu berlebihan untukmu?”

Masumi membuka matanya, siaga dengan pertanyaan istrinya yang tiba-tiba. “Maksudmu?”

“Aku tak terbiasa melihatmu bersantai. Aku terbiasa melihatmu selalu dengan notebook, dokumen-dokumen, serta gadget canggih yang mengatur jadwal dan kegiatanmu. Aku tak terbiasa melihatmu begitu santai, hal yang kau lakukan dalam tiga hari ini. Aku tak melihatmu membuka tas kerja, aku tak melihatmu membuka notebookmu, bahkan aku tak pernah mendengar suara ponselmu. Ini tidak normal. Ini seolah bukan dirimu.”

“Aku sedang berbulan madu dan tidak ingin diganggu pekerjaan,” kata Masumi singkat.

“Aku mengenalmu tidak hanya setahun dua tahun, Masumi. Dan aku tahu bahwa pekerjaan sudah menjadi identitasmu. Sama seperti arti akting bagiku. Kau begitu mencintai pekerjaanmu, menghabiskan hidupmu di situ, sama seperti aku mencintai dan menghabiskan hidup untuk akting. Kita bertemu karena kedua hal itu. Namun sekarang haruskah kau berubah hanya karena kita sudah menjadi suami istri? Haruskah kau menjadi pribadi yang lain?”

Masumi merenungi sejenak perkataan istrinya. “Langsung ke pokok permasalahan, eh?” tanyanya sambil tertawa kecil. “Ketika aku merencanakan pernikahan ini, aku seolah mendorong gunung dan lautan untuk mengosongkan jadwalku. Aku ingin memberimu bulan madu yang sempurna tanpa gangguan karena aku tak bisa memberimu upacara pernikahan yang layak untukmu. Aku telah membuatmu kehilangan banyak hal yang penting dalam hidupmu, dan aku tak sanggup mengembalikan semua yang telah kurenggut itu. Satu-satunya milikku yang berharga hanyalah pekerjaan, maka kuputuskan  mengorbankan waktu bekerjaku yang berharga itu untukmu. Aku menempatkanmu jauh di atas pekerjaanku, Maya, dan ternyata aku tak menyesalinya karena kusadari bahwa kau jauh lebih berharga dibanding pekerjaan itu. “

Maya bergerak dalam pelukan Masumi. Dipandangnya wajah tampan itu. “Masumi, aku tak mau kau terpaksa berubah hanya karena aku. Aku akan baik-baik saja meski kau sibuk bekerja. Aku tak akan mengeluh bila waktu bulan madu kita kau habiskan untuk menelepon dan mendiktekan berbagai perintah kepada sekretarismu. Aku menerima kau yang seperti itu, seperti kau yang menerimaku lengkap dengan segala kebodohanku. Aku tak mau kau memberi lebih banyak lagi untukku. Aku tak akan sanggup untuk membalasnya.”

“Kau sudah membalasnya dengan berlebihan hanya dengan mencintaiku, dengan menerima diriku yang seperti ini.”

Mendengar Masumi mengatakan hal itu membuat dada Maya terasa penuh dan tak terasa air mata menetes di pipinya. Dengan lembut dia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Masumi dengan lembut. “Terimakasih, belahan jiwaku, karena telah mencintaiku dengan begitu dalam,” bisiknya.

Malam hari saat Maya sudah terlelap di sebelahnya, dengan perlahan Masumi bangkit dari tempat tidur dan berjalan menghampiri jendela. Dibukanya tirai hingga sinar bulan yang pucat menembus masuk ke dalam ruangan. Kemudian dijangkaunya mantel kamar dan dengan perlahan membuka pintu serta melangkah keluar. Beberapa menit kemudian, dengan batang rokok menyala ditangan, dia berdiri di balkon, memandangi kota Tokyo yang terhampar di depannya. Dia teringat malam pertamanya berdua Maya, tidur di kamar sederhana yang terbuka jendelanya dibawah hamparan sejuta bintang. Sejuta bintang milik mereka. Dan saat sebuah bintang jatuh berkelebat di angkasa, untuk pertama kalinya dia berani mengungkapkan permohonannya. Meski dia merasa begitu konyol sesudahnya. Masumi Hayami, Jendral Perang dari Daito, berharap pada bintang jatuh? Pasti tak akan ada yang percaya. Kecuali Maya.

Pembicaraannya dengan Maya tadi kembali terngiang-ngiang di telinganya. Mengingatkannya pada sesuatu yang berusaha dilupakannya, paling tidak selama bulan madu ini. Ya Tuhan, beri aku waktu sebentar lagi untuk membahagiakan istriku sebelum segalanya di luar kendali, pintanya dalam hati. Meski berusaha menunda, bahkan kalau bisa memungkiri kenyataan yang ada, namun jauh di relung hatinya, di dalam akal sehatnya, Masumi tahu bahwa dia harus bersiap menghadapi perang besar yang akan menghadang di depan. Dia memang telah memiliki bermacam strategi, telah meneliti dan menguji strateginya dari segala sudut dan optimis semua akan sanggup dia atasi. Namun lawan yang dihadapinya juga memiliki cara berfikir sepertinya. Tidak banyak yang tahu bahwa Eisuke Hayami memiliki otak dengan lorong-lorong bak labirin yang bisa menimbuklan terjadinya sejuta kemungkinan. Masumi yang berada langsung di bawah komando dan didikannya merasakan langsung dan menjadi saksi hidup betapa orang tua itu bisa menjadi musuh yang sangat tangguh, dingin, kejam, dan menakutkan. Perlu nyali besar hanya untuk memikirkan mengalahkannya.

Namun Masumi sudah menyatakan tekad akan melawannya bila sedikit saja Eisuke dengan pasukan Daitonya menyentuh istrinya. Seumur hidup baru kali ini Masumi memiliki keinginan sekuat ini, mencurahkan segala energi untuk mencapai ambisi pribadinya. Selama ini dia bekerja keras hanya karena dia tak tahu harus berbuat apa lagi untuk mengisi hidupnya. Dia sudah bertahun-tahun menjadi robot yang membanting tulang demi kejayaan Daito. Sekarang dia ingin berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri. Untuknya dan Maya. 

Maya terbangun saat merasakan kekosongan di sebelahnya. Meski masih dengan mata terpejam, diraihnya Masumi dan mendapati tempat itu kosong. Segera dia membuka matanya. Dalam keremangan kamar yang hanya mendapat sinar dari rembulan musim semi di luar dia bisa melihat sosok suaminya berdiri di balkon. Masumi tampak berfikir keras. Sampai sejauh ini Masumi memang sama sekali tak pernah mengatakan dengan terus terang segala kemungkinan bila pernikahan mereka terekspos. Hubungan Masumi dengan Daito, hubungan Maya dengan Dewan Kesenian, maupun posisi Maya sebagai pemegang Hak Pementasan Bidadari Merah serta posisi Masumi sebagai Direktur Daito, salah satu perusahaan yang akan mengikuti tender pementasan cerita agung tersebut.

Maya tahu pasti sangat berat bagi Masumi untuk berada di kedua sisi yang saling berseberangan itu. Dan status Maya sebagai istrinya juga berperan sangat besar dalam menentukan segala keputusannya. Andai aku lebih pintar, Masumi pasti tak harus menanggung semua ini sendirian. Paling tidak dia bisa membicarakannya kepadaku, pikir Maya masygul. 

Malam itu baik Maya maupun Masumi, meski akhirnya berada dalam satu peraduan, namun sama-sama tidak bisa tidur dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Pagi hari, seperti biasa, Maya terbangun merasakan dekapan hangat Masumi di belakangnya. Merasakan punggungnya menempel erat pada dada bidang Masumi, merasakan nafas hangat Masumi menerbangkan anak-anak rambutnya, serta merasakan bibir dan lidahnya menelusuri batang lehernya. Merasakan kebahagiaan itu Maya menggeliat pelan dalam rengkuhan lengan kekar Masumi.

“Maya...”

“Hmm?”

“Apakah kau tidak keberatan bila hari ini aku bekerja di rumah?”

Maya terdiam sebentar. Lalu berputar untuk menghadap Masumi. Dengan matanya yang sekarang terbuka sepenuhnya ditatapnya Masumi dalam-dalam. Meski tak terlihat Maya bisa merasakan bahwa pribadi Masumi yang lama, Masuminya, seorang penguasa, sudah kembali. Maya tersenyum lebar. “Sudah mulai sadar ya?” seringainya jahil.

Melihat seringaian istrinya Masumi cemberut. “Apakah kau sudah bosan berada dekat denganku? Ya ampun, Maya, kita toh menikah baru empat hari?”

“Bukannya bosan. Kalau kau hari ini bekerja, paling tidak aku bisa punya waktu jalan-jalan bersama Rei. Lagipula ketika kau bersikap sebagai suami yang baik begitu aku jadi tidak punya kesempatan untuk menjahilimu. Apa asyiknya kalau aku harus menuruti semua maumu? Kau sudah mendapatkannya dari semua bawahanmu. Menjadi suami baik-baik tidak cocok dengan citramu. Apa kata Nona Mizuki kalau tahu kau seperti ini?” cibir Maya.

“Aku menikah denganmu, bukan dengan Mizuki,” kata Masumi dan dengan gemas membungkam mulut Maya yang hendak melontarkan kata-kata balasan dengan bibirnya. 

“Masumi, aku harus menelepon Rei,” kata Maya megap-megap disela ciuman Masumi.

“Kau bisa melakukannya nanti,” Masumi menggelitik pangkal leher Maya dengan bibirnya.

“Aku juga harus bersiap-siap untuk jalan-jalan,” Maya berusaha mengelak.

“Masih banyak waktu,” Masumi tetap tak peduli.

“Kau sebaiknya cepat-cepat bekerja atau kau akan kehilangan jutaan yen,” Maya mencoba taktik lain.

“Tidak apa-apa. Kau lebih berharga...” Masumi melancarkan kecupan-kecupan panas di wajah Maya.

“Masumi...” 

“Diamlah.”

Dan seperti biasa, Masumi sangat kuat.

Seusai mandi Maya mematut dirinya di cermin, bersiap memenuhi janjinya untuk keluar bersama Rei. Karena Maya sibuk berdandan maka Masumi kebagian semua tugas domestik untuk menyiapkan sarapan yang simpel untuk mereka. 

“Maya, sarapan sudah siap,” kata Masumi sambil memasuki kamar mereka. Melihat istrinya masih mengenakan mantel mandi dia berkata, “Perlu aku pilihkan pakaian?”

Maya menoleh kepada suaminya yang tampan yang sekarang sudah berdiri di belakangnya. “Boleh.”

Masumi pun membuka lemari pakaian dan memilih dari koleksi baju Maya yang ada. Dia berfikir untuk menambah koleksi pakaian Maya. Beberapa model baju sudah berkelebat di otaknya. Paris, aku akan mengajaknya ke Paris berbelanja dan berbulan madu lagi, pikirnya. Sebuah rencana yang membuatnya semakin ingin cepat-cepat menyelesaikan semua rencananya.

Setelah membantu istrinya berpakaian, sebuah hobi baru yang ternyata sangat disukainya, mendandani Maya, Masumi memperhatikan saat dia mengoleskan lipstick di bibir mungilnya yang menggemaskan. Tiba-tiba sebersit ide jahil menghampiri kepalanya. “Maya,” panggilnya lembut. Istrinya bereaksi dengan menolehkan kepalanya ke arah Masumi. Secepat kila Masumi mengecup bibir Maya kuat-kuat dan membuat berantakan riasan bibirnya.

“Masumi!” jerit Maya kesal.

Dengan terbahak-bahak, menghindari serbuan Maya yang melempar sisir ke arahnya, Masumi melompat keluar dari kamar.

Seusai sarapan, masih ada waktu satu jam sebelum Maya bertemu Rei di stasiun. Setelah membenahi meja Maya menyusul suaminya yang sudah siap dengan notebook dan dokumen yang tersusun di meja di ruangan yang telah disulap menjadi ruang kerjanya.

“Masumi...”

Masumi menoleh menatap istrinya. “Ada apa?”

“Masumi, aku tahu bahwa aku ini bodoh sehingga tak akan bermanfaat dalam meringankan beban pekerjaanmu. Tetapi sebagai istrimu aku paling tidak ingin tahu apakah yang akan kau lakukan berikutnya? Kupikir kau tak mungkin akan berada di Daito. Keadaannya akan sangat tidak enak bagi kau dan aku meski aku sama sekali tak meragukan kemampuan dan niatmu.”

Masumi terdiam sejenak. “Duduklah, Maya, karena apa yang akan kita bicarakan ini sangatlah serius, bukan obrolan pengisi waktu,” undang Masumi.

Setelah istrinya duduk di sampingnya di kursi panjang yang ada di ruang kerja itu, Masumi meraih kedua tangan Maya dan menggenggamnya. “Maya, sebelumnya aku ingin kau yakin dan percaya sepenuhnya kepadaku. Aku ingin tidak ada keraguan di antara kita. Bila aku memutuskan tak memberitahu apapun padamu, itu semata-mata demi kebaikanmu sendiri.”

“Tapi Masumi...”

“Maya, kau tahu dan pernah merasakan sendiri seperti apa Daito, atau Eisuke Hayami, memperlakukan musuh-musuhnya. Kau ingat kan bagaimana aku dulu? Aku yang bertanggung jawab terhadap penderitaan gurumu, kehancuran teatermu, kematian ibumu, tolong... jangan potong omonganku,” kata Masumi melihat Maya membuka mulut. “Aku tahu kau bahwa kau sudah memaafkan semua itu, tetapi aku tak akan pernah melupakan semua yang telah kulakukan padamu dulu. Daito musuh yang sangat kuat, percayalah, dan tidak bisa diremehkan sama sekali. Jadi aku harus sangat berhati-hati kali ini karena ini seperti melawan diriku sendiri, melawan otakku sendiri, melawan orang yang meski tak mau kuakui, adalah ayahku. Meski kami tak berhubungan darah, namun emosi, pikiran dan jiwa kami sangat tertaut. Aku sangat mengenal Eisuke seperti juga Eisuke mengenal diriku. Bisa jadi apa yang kupikirkan saat ini sudah pula terpikir oleh orang tua itu, atau sebaliknya. Dan dalam semua itu aku tak mau kau terluka. Tolong demi ketentramanku, percayalah padaku, pada setiap apa yang kulakukan. Kalaupun nanti kau harus terluka, percayalah bahwa itu yang terbaik untukmu.”

“Masumi aku tak ingin kau terluka.”

“Aku kuat, Maya, sama sepertimu. Ijinkanlah, untuk sekali ini, aku melakukan yang terbaik untukmu, istri yang sangat kucintai. Dan jangan pertanyakan apapun. Untuk kali ini tolong ikuti semua perkataanku. Pilihanmu hanya ada dua, mempercayaiku dengan mutlak atau tidak sama sekali.”

Maya menatap nanar wajah keras suaminya. Berbagai perasaan yang bergolak di dalam dadanya tak mampu untuk diungkapkan. Namun dia harus membuat keputusan. Pikirannya tahu bahwa Masumi akan berjuang keras sendirian, namun di dasar hatinya dia juga menyadari Masumi membutuhkan kekuatan dan dukungannya. Dukungan yang bisa dia berikan hanya dengan dia mempercayainya tanpa ragu, mencintainya tanpa syarat. Akhirnya Maya mengangguk, “Baiklah Masumi, aku mempercayaimu dan aku berjanji untuk tidak mempertanyakan kembali apapun keputusanmu,” katanya lirih.

“Terimakasih, sayangku, aku membutuhkan kepercayaan itu,” Masumi bernafas lega, meremas lembut kedua tangan Maya yang berada dalam genggamannya, untuk kemudian membawa kedua tangan itu ke mulutnya dan menciumnya lembut. “Ingatlah Maya, bila semua sudah terjadi, bila kau ragu dimana kau harus berpijak, bila kau kehilangan jejakku, maka satu kata yang harus kau pegang, nagareboshi-bintang jatuh, disitulah ada aku.”
***

15 comments:

  1. smoga dan berharap hub MM akan baik2 saja

    ReplyDelete
  2. moga gak.ada riak2 tajam yg menusuk khidupan mrka k dpan..... biarkan mrka bahagia

    ReplyDelete
  3. Memangnya ada apa sih? Sepertinya gaswat *bingung* nunggu kelajutannya aja deh...semoga semua baik2 aja ya
    -mn-

    ReplyDelete
  4. next chapter nampaknya akan ada badai nih
    MH vs EH....

    ReplyDelete
  5. akhirna apdate juga MM.... semoga MM tetap bersatu walau badai datang menerpa.. MM SEMANGATTTTT.....

    wienna

    ReplyDelete
  6. dan perang pun sepertinya akan segera dimulai.
    Berharap semuanya baik2 saja.

    ReplyDelete
  7. Sukaaa bgd... Ow ow ow oww ... Trimakasihh mom atas suguhannyaa... Suka sukaa sukaaaaa.... Dilanjutin lg yaa

    ReplyDelete
  8. terima kasih sis olly akhirnya MM update lagi..

    ReplyDelete
  9. Duuhhh...berharapnya sih nothing happen seriously thd MM...tp,sptny bkl ada sad scene di update selanjutnyh...

    maya....percaya tanpa syarat ya sm masumi

    Sptny kisah cinta para bidadari merah begitu penuh liku

    ReplyDelete
  10. weh weh...tambah seru niih. gak sia2 nunggu lama buat kelanjutannya....good job sist.

    ReplyDelete
  11. sip sip
    babak baru di mulai
    cant wait to see next chapter

    pernikahan mereka masih lum diketahui media kan
    weitsss...pasti seru nih kl dah ktauan ^^

    ReplyDelete
  12. mang apa yg permintaan masumi ke bintang jatuh?

    ReplyDelete
  13. lanjutannyaa gimana ? serrru pastinya.

    ReplyDelete
  14. lanjutan lanjutan minta lanjutan *riri*

    ReplyDelete
  15. Sabar ya semuanya... Kalo udah selesai dibikin pasti di aplod kalo blm diaplod berarti belum selesai dibikin. Ok? Hehehe...

    ReplyDelete