Wednesday, August 10, 2011

The Last Choice (2)

Seperti biasa Sev mengemudikan mobil canggihnya dengan keterampilan dan kecepatan yang cukup memukau. Katty selalu menikmati saat-saat bermobil dengan Sev karena Katty sendiri, di luar penampilannya yang mungil dan lembut, sangat memuja kecepatan yang seringkali membuat Jolly, kepala pelayan Sev, berkali-kali menyampaikan kepada Sev agar mengingatkan Miss Katty untuk berhati-hati saat mengemudi. Peringatan yang sia-sia saja karena orang yang mengajari Katty cara ngebut tak lain dan tak bukan adalah Sev sendiri. Begitu meluncur ke jalan raya keduanya segera lupa dengan segala perdebatan antara mereka dan tenggelam dalam obrolan seru tentang mobil. Keduanya sama-sama berminta mengganti kendaraan mereka dengan yang lebih canggih. Katty mendengarkan dengan baik saran Sev karena untuk yang satu ini Sev terbukti lebih menguasai.

Setiba di London Sev menurunkan Katty di depan kantor penerbit di Bloomsburry setelah mengatur pertemuan mereka kembali saat makan siang di Connaught Hotel. “Aku akan berada di bar pukul dua belas tiga puluh dan menunggumu.”

Katty berdiri di trotoar depan kantor mendongakkan kepala memandang Sev di depannya, mengernyit tidak yakin. “Apakah urusanmu akan selesai saat itu? Aku tahu kau akan sangat sibuk. Sungguh, aku tidak apa-apa pergi sendiri. Aku akan baik-baik saja.”

“Tidak, aku punya cukup waktu untukmu.” Sebuah jawaban yang tak terbantahkan lagi.

Tepat saat itu seorang kenalan di penerbitan lewat dan melihat Katty dan Sev berdiri di trotoar bergegas menghampiri. “Katty! Sungguh luar biasa. Aku tidak langsung menyadari saat membaca koran tadi pagi bahwa kaulah yang bertunangan,” Jane wanita yang penuh energi sangat antusias dengan berita itu. Dia menjabat tangan Katty erat-erat. “Selamat. Dan apakah ini Prince Charmingnya?” tanyanya menunjuk kepada Sev.

Sev, berdiri dengan pongah dengan senyum di ujung bibirnya membuat Katty jengkel setengah mati. Kalau saja suasana sepi pasti sudah ditendangnya kaki panjangnya itu. Namun Katty, di luar segala temperamennya yang meledak-ledak bila berada di depan Sev, menunjukkan perilaku seorang Lady kelas atas dengan senyum sopan nan lembut dan memperkenalkan Sev kepada Jane. Dan meski tak melihat Katty bisa merasakan Sev tertawa terbahak-bahak di dalam hati.

“Baiklah, aku tinggalkan kalian pasangan bahagia ini untuk apapun yang kalian bicarakan,” Jane berpamitan. “Sampai jumpa di dalam, Katty, Sev!”

Ditinggalkan berdua Katty menggerutu sebal. “Buang segala cengiran tololmu itu Sev!”

“Hei, aku hanya menjaga nama baikmu di depan temanmu,” tak urung cengirannya semakin lebar juga. “Nah, sayang, sebagai tunangan yang baik, lebih baik kau cepat masuk untuk mengurusi apapun itu sehingga nanti waktu makan siang kita tidak terlambat,” seolah belum cukup Sev mendaratkan ciuman di bibir Katty, kuat dan cepat. “Aku pasti akan merindukanmu,” bisiknya berolok-olok di telinga Katty.

Katty membelalakkan mata sebelum buru-buru berbalik pergi, meninggalkan Sev berpuas diri di sana menertawakan kekonyolan itu. Lelaki itu menunggu hingga Katty masuk dalam pintu kaca baru kemudian kembali ke mobil dan meluncur pergi. Katty mengamati kepergian Sev dari balik kaca berwarna gelap. Sev baginya tepat sama seperti sebelumnya, seorang teman, seseorang untuk bersandar dan orang yang selalu tahu apa yang harus dilakukan. Saat dia memberikan namanya di meja resepsionis, Katty memutuskan dia akan mengikuti saja apapun yang direncanakan oleh Sev. Tindakan Virginia memang keterlaluan. Meski Katty tak tahu apa yang akan menyambutnya di dalam kantor nanti, namun baginya semua akan baik-baik saja. Dia bukanlah orang yang menonjol dalam pergaulan. Teman-temannya mungkin akan sedikit menggodanya, menyampaikan selamat berbahagia, dan kemudian sibuk dalam urusan masing-masing dan melupakannya.

Namun pasti tidak demikian halnya dengan Sev. Meski tak mengatakan keberatan sama sekali, Katty yakin bahwa resiko yang ditanggung oleh Sev lebih berat lagi karena dia seorang public figure. Setelah sekian tahun mengencani gadis-gadis cantik nan glamor dan terkenal, Katty tak bisa membayangkan betapa perasaan Sev, harga diri dan citranya akan tercoreng karena ‘dipaksa’ bertunangan dengan gadis sebelah rumah yang tidak istimewa macam dirinya. Virginia tahu betul cara menjatuhkan Sev sebagai hukuman karena tidak menuruti keinginannya. Katty membuang jauh-jauh segala kegusarannya dan berjalan mantap menuju tangga dan menghadapi pekerjaannya.

Katty tak memerlukan waktu lama untuk menemui koleganya. Mereka telah bekerja sama cukup lama untuk saling memahami cara kerja masing-masing. Dalam waktu singkat pekerjaan membuat ilustrasi buku panduan kesehatan untuk anak-anak itu telah menjadi miliknya, berikut juga desain sampul buku. Untuk yang terakhir ini Katty agak tidak terlalu familier namun dia berjanji akan mendiskusikannya lebih lanjut saat beberapa desain pendahuluan telah dibuatnya. Itu artinya dia masih harus bolak-balik ke London. Hal itu mengingatkannya kepada teman yang akan menyewa flatnya. Sebelum lupa Katty buru-buru menghubunginya dan membuat janji temu untuk besok sore.

Puas dengan semuanya Katty melangkah keluar gedung. Dia mksi dan masih harus sedikit berjalan untuk mendapatkan taksi dan lalu lintas teramat padat siang itu. Katty tiba di Connaught Hotel terlambat sepuluh menit dan mendapati Sev telah berada di bar tanpa menunjukkan tanda ketidak sabaran sedikitpun. Pastilah Sev sudah banyak berlatih dari cewek-ceweknya yang menganggap terlambat setengah ataupun satu jam bukanlah masalah. Para lelaki tak akan keberatan menunggu mereka.

Katty duduk menghadap Sev. “Maaf, aku kesulitan mendapat taksi. Kau sudah menunggu lama?”

Sev tersenyum. “Tidak masalah. Aku juga baru beberapa menit tiba. Mau minum apa?”

Sambil menikmati minuman mereka bertukar cerita. Sebetulnya kebanyakan Katty yang berceloteh karena Sev bukan jenis orang yang suka membicarakan pekerjaan dengan orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum. Lagipula hal itu akan sia-sia karena Katty pasti juga tak akan mengerti sedikitpun bahasa-bahasa hukum yang rumit. Sebaliknya Katty dengan antusiasme anak kecil menceritakan tentang job yang baru saja diterimanya juga tentang komisi yang baru didapatnya dari hasil ilustrasi terdahulu. Selanjutnya karena sama-sama menyadari bahwa mereka berdua kelaparan keduanya pun bergerak menuju restoran. Sev menggamit lengan Katty dengan lembut dan membawanya ke meja yang telah dia pesan.

Di meja makan Sev mengatakan kembali rencananya untuk mengantar Katty berbelanja.

“Kau pasti akan bosan sampai mati,” Katty masih berusaha menolak.

“Tidak. Kita akan meninggalkan mobil di sini dan berjalan kaki.”

“Tetapi aku akan mencoba ke Harrods atau Liberty.”

“Kenapa kita tidak coba Bond Street atau Sloane Street saja?”

Mereka sedang melangkah di anak tangga pertama hotel ketika Katty kembali menyarankan Sev untuk meninggalkannya. “Kau akan sangat membencinya Sev, jangan bilang aku belum mengingatkanmu saat kau akan jengkel dan tidak sabar ingin membunuhku. Aku kalau tidak terpaksa juga paling malas harus keluar masuk toko pakaian. Aku tidak pernah ke butik.”

Dengan keras kepala Sev meraih lengan Katty dan membimbingnya berjalan. “Kenapa tidak?”

“Karena aku tidak cantik, tidak modis....Demi Tuhan, kenapa kau tanya juga sih? Apa kepalamu perlu ditinju dulu? Masak kau tidak menyadarinya? Kau toh punya mata dan matamu tidak buta untuk melihat siapa aku.”

Sev tertawa terbahak-bahak. “Baiklah Tuan Putri, kita akan coba beberapa tempat. Aku tahu satu dua butik yang cukup bagus. Dan kau akan menyadari bahwa dalam beberapa hal kau salah. Seperti biasa.”

Katty berhenti berjalan dan memandang Sev dengan curiga. Katty tak pernah keberatan Sev tidak mengingkari kenyataan akan penampilannya yang biasa-biasa saja. Sepanjang hubungan mereka toh Sev tak pernah mempermasalahkan. Namun Katty lebih tertarik kepada hal yang lain. “Bagaimana kau tahu tentang butik?” tanyanya penasaran.

Sev kembali tergelak. “Jangan usil, Katty,” katanya dan kembali membimbingnya berjalan.

Mereka berhenti di depan sebuah pintu kaca elegan, yang berhiaskan ber vas-vas bunga eksotis, lambaian scarf pada sebuah kursi mungil nan elegan, serta manekin yang mengenakan dress hitam dengan potongan luar biasa langsing.

“Kursinya bagus sekali,” Katty berkomentar, tertarik dengan furniture.

“Memang bagus, tetapi kau tidak bisa memakainya kemana-mana,” sahut Sev sambil membuka pintu dan menyeretnya memasuki butik.

Interior dalam butik membuat Katty tak bisa berkata apa-apa. Namun Severus tak sedikitpun menampakkan keinginan untuk membantu. Lelaki itu dengan tenang duduk menyamankan diri di sofa yang disediakan untuk menunggu. Katty membelalakkan mata ke arah Sev yang tersenyum jail dengan tatapan mematikan saat seorang pramuniaga menghampiri dan menawarkan bantuan.

“Hijau,” celetuk Sev tiba-tiba membuat Katty dan pramuniaga itu menoleh serempak. “Tunanganku akan sangat menarik dalam gradasi warna hijau-biru cemerlang, taffeta kalau ada. Tunjukkan saja koleksi kalian dalam warna-warna itu.”

Katty berjalan menghampiri dan duduk di sebelah Sev. “Kau gila ya? Aku tak pernah pakai warna-warna terang,” bisiknya.

“Itu salahmu sendiri. Warna-warna yang kau pakai selama ini khusus untuk orang buta warna,” ejeknya. Lalu saat pramuniaga dibantu seorang asistennya kembali dengan sekumpulan gaun-gaun musim panas berwarna terang. Sev menelitinya satu per satu. “Coba semuanya, sayang,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata kepada Katty.

“Ukuran dua belas kan? Kami memilihkan yang sesuai untuk tunangan anda. Dia memiliki potongan bahu dan garis dada yang indah untuk ditonjolkan,” kata pramuniaga kepada Sev seolah Katty hanyalah boneka pajangan.

Bersungut-sungut Katty memasuki ruang pas. Namun begitu mencoba antusiasme aneh menyerbu Katty. Gaun-gaun bertali mungil berwarna eksotik yang melekat lembut di badannya, setelan berpotongan sederhana namun nyaman dalam warna meriah yang membuat warna coklta mata dan rambutnya seolah tertutupi, maupun aneka rok berpotongan lebar melambai, blus asimetris yang saling silang rumit namun begitu rapuh dan cantik membuatnya terperangah terpesona. Bahkan ketika dia harus keluar masuk ruang pas untuk memamerkannya kepada Sev bak fotomodel amatir, Katty merasa senang. Gadis itu tak menggerutu meski Sev dengan gaya tunangan betulan memutuskan memilih beberapa potong sekaligus.

Ketika pramuniaga menyarankan sepatu dan sandal serta tas tangan Sev memintanya menunjukkan beberapa koleksi. Lagi-lagi Katty mencoba aneka alas kaki itu. Dari yang nyaman dipakai berjalan hingga yang bertali rumit dan sama sekali tak praktis namun sangat cantik di kaki Katty yang mungil. Hingga tak terasa tiga jam telah berlalu. Dengan lelah Katty membanting tubuhnya di sebelah Sev, menerima segelas sampanye dingin yang ditawarkan Sev. Laki-laki itu tertawa puas. Dan seolah sudah menjadi kewajibannya Sev memberikan kartu kreditnya kepada pramuniaga sementara barang belanjaan mereka dikemas dalam kotak-kotak yang pasti akan memenuhi bagian belakang mobil Sev.

Katty membelalakkan mata tak setuju melihat Sev. “Aku punya cukup uang untuk membayarnya,” protesnya. “Lagipula apa yang dipikirkan pramuniaga itu melihatmu membayari semua pakaianku?”

“Biarkan pramuniaga itu berfikir semaunya. Kita toh sudah mengatakan bahwa kita bertunangan,” kata Sev santai dan binar-binar jahil kembali muncul di mata gelapnya.

“Itu kau yang mengatakan, bukan aku.”

“Aku melakukannya untuk kita berdua. Dan sepertinya akan lebih bagus lagi kalau kita beri dia sedikit bahan gossip,” dan sebelum Katty sempat mencerna apa maksud ucapan Sev, lelaki itu sudah mendaratkan sebuah ciuman di bibir Katty.

“Kau keterlaluan!” bisik Katty marah. “Dua kali kau menciumku hari ini.”

“Dan kupastikan ini bukan yang terakhir,” Sev mengedipkan matanya. “Kita bertunangan, ingat? Kita perlu banyak latihan agar tidak canggung bila harus muncul di depan umum.”

Menyebutkan kata latihan membuat Katty menyadari satu hal. “Apakah kau akan membawaku menemui teman-temanmu? Sungguh Sev, permainan konyol Virginia ini harus segera diakhiri. Aku tak mau kau mendapat malu.”

“Lebih baik bebaskan kepala imutmu itu dari masalah tersebut, Katty, biarkan aku yang urus semuanya. Oke?”

Tatapan mata Sev begitu dalam dan mantap, begitu menentramkan. Katty memegang lengannya dan tanpa sadar dia menggerakkan kepalanya dan mencium pipi Sev. “Terimakasih atas semuanya. Kalau tidak ada kau dan keluargamu, aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku dulu.”

“Hei, kau akan baik-baik saja dengan atau tanpa aku. Kau kuat.”

“Benarkah?” Katty mengeritkan alis mata indahnya. “Namun begitu tetap saja apa yang kita beli hari ini sia-sia,” bibirnya mengerucut. “Sev, tidakkah terpikir olehmu bahwa kau membelikanku terlalu banyak? Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan dengan gaun-gaun sebanyak itu?” Katty kembali bersungut-sungut.

“Kau akan memakainya untuk makan malam bersamaku, juga kita akan pergi berdansa. Serahkan saja semua padaku. Lagipula sebagai pasangan kita diharapkan untuk sering terlihat bersama.”

“Begitu ya?” Katty berfikir sejenak. “Sev, apakah penting bagimu aku tampil sempurna? Sebagus apapun gaunku, aku tetap seperti ini. Tak akan membuat banyak perbedaan.”

“Jangan konyol, Katty, aku tahu persis siapa kamu,” kata Sev santai dan kembali membimbing Katty keluar butik setelah meminta semua barang dikirim ke mansionnya, dan bukannya ke flat Katty. “Toh kita akan membawanya pulang ke Stockley House dengan mobilku. Tak ada gunanya untuk meletakkannya di flatmu yang sebentar lagi kau sewakan. Kalau kau mau mencobanya bisa kau lakukan di tempatku. Aku punya banyak kamar kosong di sana,” Sev menjelaskan dengan santai, menjawab pandangan protes Katty.

“Aku belum pernah ke tempatmu.”

“Sudah saatnya kan?”

Mereka kembali berjalan ke arah hotel untuk mengambil mobil Sev.

“Apa rencanamu selanjutnya?” tanya Sev saat mereka bermobil dalam lalu lintas London yang padat merayap.

Katty menggeleng, “Kembali ke flat, aku perlu membereskan beberapa barang sebelum temanku datang besok sore. Juga studioku. Aku memang telah mengangkut hampir semuanya ke Stockley House, namun bukan berarti barangku yang tertinggal berjumlah sedikit.”

“Bagaimana kalau kita mampir ke tempatku dulu? Kita bisa minum-minum sebelum aku mengantarmu kembali ke flat.”

Katty ragu sejenak. “Kalau kau tak keberatan.”

Sev tertawa. “Tempatku bukan rumah jagal, Katty.”

“Aku tak bermaksud untuk usil Severus. Apa yang kau simpan di rumahmu, dengan siapa kau tinggal sama sekali bukan urusanku. Aku hanya tak mau kau menganggapku ikut campur kehidupan pribadimu. Mengerti?”

“Benarkah?” Sev menatapnya seolah tak percaya. “Wah, aku tersinggung berat nih, kalau kau tak peduli dengan kehidupan pribadiku.”

“Sev!” Katty membelalakkan mata.

“Oke...oke..., jangan marah Katty. Seharian ini moodmu benar-benar kacau.”

“Kau pun pasti akan kacau kalau berada dalam posisiku.”

“Oh ya? Bukankah kita berada di posisi yang sama.”

“Ah, entahlah Sev, aku bingung.”

“Katty, aku kan sudah bilang, tidak usah bingung. Jalani saja semuanya. Aku tak keberatan kok.”

“Lalu setelah ini apa, Sev? Kita bertunangan secara pura-pura. Kemudian? Apa kita tunggu beberapa lama lalu putus diam-diam? Betapa tidak masuk akalnya semua ini. Huh! Dasar Virginia. Ingin kucekik saja lehernya. Memang selama ini apa sih yang kau janjikan padanya Sev, sehingga dia bisa semarah ini?”

“Aku tak menjanjikan apapun. Aku kan sudah mengatakannya kepadamu. Dia saja yang berekspektasi terlalu tinggi. Dari semula adikmu itu kan memang tukang cari gara-gara. Harusnya sejak dulu kamu sudah menendangnya dari Stockley House.”

“Mana aku tega? Dia satu-satunya kerabat yang kumiliki,” Katty mendesah. “Apakah aku terlalu lemah, Sev?”

Sev memandang gadis di sebelahnya. “Tidak, kau sangat baik hati. Itu kelebihanmu. Aku kagum sekali padamu Katty karena di jaman seperti ini masih ada orang sepertimu.”

Katty tertawa getir. “Padahal menjadi baik hati itu kuno, menjadi baik hati itu tidak masuk akal dan mengada-ada.”

Sev mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Katty yang berada di pangkuannya. “Jangan berubah, oke?”

Katty mengangguk pelan.

Mansion tempat tinggal Sev berada di lantai tujuh. Sebuah properti luas, mencakup dua lantai dan berkamar tiga dengan dapur dan ruang makan terpisah. Demi Tuhan, memiliki dapur dan ruang makan terpisah adalah sebuah mimpi bagi Katty mengingat harga tanah di London yang permeter perseginya begitu mencekik leher. Selain itu desain interiornya benar-benar menggambarkan selera Sev yang maskulin dan mahal.

“Tempatmu bagus sekali, Sev,” Katty ter kagum-kagum saat memasuki ruangan. Kepalanya berputar meneliti setiap detail dalam ruangan.

“Kau menyukainya?”

“Tentu. Hanya orang buta yang tidak suka dengan tempat tinggal sebagus ini. Meski secara pribadi aku lebih menyukai rumah di pedesaan dengan halaman dan kebun yang luas, namun memiliki tempat seperti ini pasti aku tak akan menolak.”

Sev menghampiri Katty dan meraih lengannya. “Mari kita berkeliling.”

“Bolehkah?” tanya Katty heran.

“Kenapa tidak? Aku tak menyembunyikan apapun disini. Kau boleh mengenduskan hidungmu di setiap kolong dan ceruk dan aku takkan keberatan.”

“Wah, padahal aku sudah mengharap melihat salah satu dari cewek koleksimu itu keluar telanjang bulat dari balik selimut,” Katty nyengir.

“Katty!”

“Oke, oke, aku akan menjadi perempuan usil yang akan meneliti setiap pojok tempat tinggalmu.”

Berdua mereka berkeliling melihat setiap detail dan sudut dalam mansion mewah itu. Katty dengan pandangannya yang kritis mengoreksi beberapa ornamen, namun juga menyetujui beberapa pilihan Sev yang memang berselera tinggi terhadap segala hal. Tujuan mereka mula-mula adalah dapur yang berperalatan canggih dan modern. Di dapur seperti ini aku bisa bikin usaha katering, komentar Katty ringan. Dan Sev yang tahu kemampuan Katty yang tergolong lumayan dalam masak memasak hanya tertawa karena seperti juga halnya Katty yang di rumahnya selalu diladeni barisan pelayan, tidak membuat mereka berdua menjadi pribadi yang manja. Keduanya sanggup mengurus segala hal dengan atau tanpa bantuan. Mereka melanjutkan ke ruang makan yang menghadap langsung ke jendela yang menampilkan lanskap kota London, ruang tamu, ruang duduk, ruang kerja hingga ke kamar-kamar yang meski tidak ditempati namun tetap terjaga rapi dan bersih. Semuanya berukuran luas dan berfurniture bagus. Elegan tapi mahal. Mewah namun tidak berlebihan. Selain itu juga berkesan hangat, jauh dari kesan kaku dan dingin. Sev pasti menggaji tinggi petugas cleaning service nya melihat betapa rapi dan bersih tempat tinggalnya.

Mereka sampai di pintu terakhir yang dibuka oleh Sev dengan cengiran lebar. “Ini kamar tidurku,” katanya.

Katty melongok ke dalam ruangan dan dibuat terkagum-kagum oleh luasnya kamar tersebut. Dilapisi karpet aubusson tebal berwarna terakota, dengan tempat tidur yang luas dan lemari besar. Semua perabot dalam ruangan itu sangat maskulin. Mulai dari warna hingga modelnya. Namun yang membuatnya lebih menakjubkan adalah sisi dinding yang berupa lapisan kaca jendela menampilkan pemandangan kota London yang spektakuler menuju ke balkon.

“Dengan kamar sebagus ini, wajar bila kau memiliki koleksi begitu banyak cewek-cewek cantik,” komentarnya. “Mereka pasti betah berada di sini.”

“Katty, please, jangan menghakimi seperti itu. Aku cukup punya prinsip untuk tidak membawa perempuan ke tempat pribadiku. Dan semua hubunganku didasari suka sama suka. Tanpa komitmen. Aku selalu jujur kepada mereka tentang apa yang ku mau. Kalau mereka setuju dan tidak keberatan, kenapa tidak?”

“Oh ya? Apakah itu menjadikanmu merasa lebih baik?” Katty menatap Sev dengan mata membulat.

“Tidak juga. Aku bukan orang suci sepertimu. Tetapi setidaknya aku jujur dengan diriku sendiri. Aku laki-laki normal dan sehat. Aku memiliki kebutuhan.”

“Kau hanya perlu menikah baik-baik, Sev.”

“Betul. Bagaimana bila kau saja yang menikah denganku?” Sev mengerling genit.

“Sev! Kau keterlaluan! Aku berusaha omong serius kau malah berolok-olok.” Katty membelalakkan matanya sewot. “Apakah Virginia pernah ke sini?”

“Tidak pernah, meski bukan berarti dia tidak pernah mencoba. Kau satu-satunya perempuan yang pernah masuk kesini. Selain petugas kebersihan tentu saja.”

Obrolan mereka terpotong oleh suara telepon dari bagian sekuriti di lantai bawah yang mengabarkan kedatangan kurir dari butik yang mengantarkan hasil belanjaan mereka. Saat onggokan kotak-kotak itu menumpuk di meja kopi ruang duduk Sev, Katty menatapnya dengan bersungut-sungut. “Karena dikirim ke sini aku jadi tidak bisa bersenang-senang dengan mencobanya,” gerutunya.

“Kau masih bisa mencobanya. Kau bisa pakai kamarku.”

“Eh?”

“Katty, kamarku di sini sama dengan di Drake House. Kalau di Drake House kau bisa bebas keluar masuk, kenapa di sini tidak? Kau bahkan bebas mengacak-acaknya seperti yang biasa kau lakukan di Drake House.”

Tanpa menunggu undangan dua kali Katty meloncat ke kamar Sev. “Sev, bantu aku angkat kotak-kotak itu!” teriaknya sambil melesat menuju lantai atas.

Sev hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Katty. Dia sudah sangat terbiasa dengan perubahan mood Katty. Padahal baru saja dia menolak mentah-mentah berbelanja pakaian, tapi lihat sekarang, dia begitu gembira bak anak umur lima tahun di taman bermain. Dan Sev seperti biasa, selalu tertular oleh antusiasme Katty yang lugu. Gadis itu begitu mudah marah, namun dengan cepat dia akan memaafkan. Meledak-ledak pada satu sisi, namun bisa jadi tertutup dan pendiam pada saat yang lain. Bila dia tertawa dia akan membawa keceriaan bagi semuanya. Namun saat sedih, dia bisa membuat orang di sekelilingnya kalang kabut ingin kembali menyenangkannya. Disukai kawan, disayangi oleh orang-orang yang bekerja padanya. Dan Sev, sudah puluhan tahun mengenal dan menyayanginya dan setelah sekian lama dia semakin sulit mengendalikan perasaannya bila berada di dekat Katty.

Katty sangat sibuk di ruang kamar mandi Sev sementara lelaki itu hanya menikmati suara jerit kegembiraan gadis itu dengan duduk di kursi berlengan yang ada di kamar pribadinya. Sesekali dia tersenyum membayangkan Katty berputar-putar di depan cermin memamerkan segala pakaian dan pernak pernik yang telah mereka beli bersama. Pintu kamar mandi menjeplak terbuka. Sev mengangkat wajah dengan terkejut. Katty meluncur keluar dari sana dalam balutan dress panjang berwarna hijau gelap yang misterius. Dress itu berbahu terbuka, hanya disangga dua helai tali tipis dan dengan potongan simple yang membungkus ketat tubuh Katty yang mungil, namun menonjolkan segala lekuk kewanitaannya.

“Sev, apa kau pikir gaun ini terlalu vulgar untukku?” tanya Katty sambil berputar di depan Sev, menampakkan belahan gaun yang memanjang hingga jauh di atas lututnya.

Sev sedikit menelan ludah. Dia sering menjumpai Katty dalam celan pendek yang ketat atau pun baju renang. Demi Tuhan, mereka kan tumbuh bersama? Namun baru kali ini Katty terlihat begitu seksi di matanya. “Perempuan lain memakai bahan yang jauh lebih sedikit dari ini,” katanya berusaha tenang meski melihat lekuk pinggul dan dada Katty yang berisi terekspose begitu rupa membuatnya tidak rela bila harus dinikmati laki-laki lain.

“Tapi potongan dadanya terlalu rendah. Lihat kan?” Gadis itu dengan polosnya menunjuk ke arah dadanya. “Lagi pula aku terlihat gemuk dengan gaun ketat begini.”

“Kau tidak gemuk. Proporsimu pas. Memang begitulah wanita diciptakan dengan segala lekuknya. Tolong jangan berfikiran untuk mulai berdiet dengan semua makanan kelinci itu. Aku tak tahan. Oke? Gadis-gadis yang kerempeng itu sudah membuatku muak. Lagi pula apa salahnya dengan menonjolkan sedikit dadamu? Pramuniaga di butik tadi berkata benar bahwa potongan dadamu bagus.”

“Severus!”

“Oh, ayolah Katty, kita toh mengenal cukup lama dan bagiku sudah bukan masalah lagi untuk mengomentari bentuk tubuhmu kan?” Sev mengingat sesuatu. “Kamu ingat dulu, kira-kira waktu aku berusia dua belas dan kau lima tahun. Kita berenang di sungai pada musim panas dan kau tak mengenakan apapun sama sekali,” Sev tertawa mengingatnya.

“Iya, setelah itu aku harus menerima cubitan dan pukulan yang menyakitkan dari pengasuhku,” Katty bersungut-sungut.

“Dan aku harus menerima ceramah yang membuat telinga berdenging selama lebih dua jam di ruang studi dari ayahku.”

Katty duduk di tempat tidur Sev yang luas. “Lucu ya, betapa lama kita sudah saling mengenal. Meski aku tak punya saudara laki-laki, namun mengenalmu sudah cukup bagiku.”

“Benarkah?”

“Iya,” angguk Katty mantap. “Kembali ke gaun ini, Sev, memang kau pikir aku butuh gaun seperti ini untuk dipakai kemana? Aku tak pernah berkencan. Kegiatan sosial yang kuikuti hanyalah pertemuan dengan ibu-ibu dari jemaat gereja ataupun pesta di perusahaan yang itupun jarang terjadi. Kupikir kalau kau mau membelikanku gaun seperti ini, harusnya kau juga menyiapkan juga teman kencan untukku.”

“Kalau kau berani berfikir untuk mengajak lelaki lain untuk berkencan denganmu, maka aku tak akan segan-segan mencekikmu. Gaun itu hanya akan kau pakai untuk berkencan denganku. Kita telah bertunangan, ingat?”

“Ya ampun Sev, seserius itukah arti olok-olok Virginia bagimu?”

“Aku melakukannya bukan untuk Virginia sialan itu. Aku melakukannya untukmu.”

“Untukku? Apa perlunya?”

“Apa perlunya? Nona, biar kukatakan apa yang perlu bagimu. Sudah saatnya kau meninggalkan dunia fantasimu yang tak tersentuh itu dan mulai menghadapi kenyataan. Sudah saatnya kau menerima kodratmu sebagaimana layaknya perempuan. Kau bukan lagi gadis kecilku dulu. Kau sudah dewasa. Jadi sudah waktunya kau menyadari bahwa aku bukanlah kakak laki-laki bagimu. Aku seorang laki-laki. Paham?”

Katty menatap mata Sev dengan mata membelalak.

“Sev...”

Tanpa menunggu lama Sev pun segera meraih Katty, memeluknya erat dan menciumnya. Ciuman itu semula begitu lembut, membelai bibir indah Katty yang masih begitu lugu. Bibir Katty begitu manis. Hingga Sev menginginkan lebih. Sev memperdalam ciumannya, mengabaikan desah keterkejutan Katty saat dia menerobos membuka bibirnya dengan ujung lidahnya. Katty begitu terpana saat mulut Sev yang panas terasa membobardir mulutnya. Dia tergagap dan terengah kehabisan nafas hingga Sev melepaskan bibirnya.

“Sev...” bisiknya bergetar.

“Akhirnya kau sadar kan Katty bahwa aku laki-laki? Yang terdiri dari darah dan daging?”

Katty mendongak menatap wajah lelaki itu. Tatapan Sev begitu tajam dan penuh gelora.

5 comments:

  1. bagozzzz, akhirnya sadar juga ^_^
    sperti biasa, di tunggu apdetannya sist olly

    ReplyDelete
  2. OMG sista olly baru chap 2 udah blushing....bgmn selanjutnya???

    ReplyDelete
  3. akhirnya...katty sadar kalau sev menyukainya lebih dari saudara laki - laki. woh....semakin penasaran sis Olly, thx updateannya.

    ReplyDelete
  4. hm...nahan nafas olly bagosss lanjut darling makin seru nih

    ReplyDelete
  5. ah sist olly, bersambungnya kok pas lagi seru....

    ReplyDelete