Thursday, August 4, 2011

FOURTEENTH : Because You're You

Masumi seorang early riser. Biasanya tak peduli selelah apapun dia bekerja, selarut apapun dia lembur, dia akan selalu bangun di pagi hari saat fajar menyingsing. Maka meski dia dan Maya baru memejamkan mata dini hari saat ini Masumi sudah terjaga. Suara kicau burung pagi yang hinggap di pepohonan serta pantulan sinar matahari yang remang-remang menembus jendela yang sempat dia tutup semalam untuk mengantisipasi bila mereka bangun terlambat dan menghindari menjadi obyek tontonan orang iseng, mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Maya berbaring dalam pelukannya. Kecapekan dan tertidur nyenyak. Masumi tak ingin mengusiknya. Namun melihat bibirnya mungilnya yang sedikit terbuka Masumi tak bisa menahan diri untuk tidak menciumnya. Dipagutnya pelan bibir yang semalam telah mebawanya terbang ke awang-awang itu. Maya mendesah, mengeluarkan suara-suara tidak jelas, sebelum akhirnya tenang lagi saat Masumi menggosok lembut punggungnya. Masumi meletakkan kepalanya di bantal yang juga dipakai Maya, refleks gadis itu meringkuk mendekat dan masuk kembali ke pelukannya yang hangat dan posesif.

Perasaannya pada Maya begitu kuat hingga memenuhi rongga dadanya. Belum pernah ada wanita lain yang sanggup meruntuhkan kendali dirinya seperti Maya. Ia juga belum pernah menginginkan wanita lain sebesar ini, tidak akan menunggu lama seperti ia menunggu Maya. Maya mengalihkan ketidakbahagiaannya akan hidupnya yang keras dan dingin selama ini. Karena dia Masumi tak meratapi kegersangan hatinya meski bayang-bayang masa depan mereka berdua masih sangat mengusik benaknya. Namun demi Maya Masumi harus kuat dan membuatnya berhasil seberat apapun tantangan yang harus mereka hadapi.

Kening Masumi mengerut sedikit saat ia memeluk Maya. Hidungnya menghirup aroma yang telah sangat familier dengan indra penciumannya itu, tangannya meluncur menyusuri tubuh mungil yang sedang terlelap itu, berusaha mematri setiap lekukan dan tonjolan dan menguncinya dalam ingatannya. Maya adalah pusat hidupnya sekarang, dia tak akan mengijinkan apapun memisahkan mereka berdua. Maya bergerak sedikit dan Masumi menghentikan tangannya yang tadi membelai-belai, cukup puas hanya dengan memeluknya. Matanya menatap langit-langit pondok yang sederhana.

Adegan itu meledak di benak Masumi. Pesta dari pernikahannya yang terdahulu dengan Shiori Takamiya. Gemerlap kemewahan, tamu-tamu kehormatana kelas atas membanjiri loby hotel bintang lima, aneka makanan dan sampanye yang tak pernah terlambat dihidangkan oleh barisan waiters yang berjumlah puluhan, bahkan mungkin ratusan. Shiori yang berdiri di sampingnya, tampak cantik dalam busana pengantin yang gemerlap hasil rancangan designer Paris, sibuk menebar senyum dan menyalami para undangan. Maya berhak mendapatkan semua itu, batinnya pilu. Maya tak layak diperlakukan begini, pesta yang sederhana, seadanya, sunyi, terpencil dan tersembunyi, hanya dihadiri oleh teman-temannya, bahkan ibu kandungnya pun tak bisa lagi hadir menyaksikan kebahagiaan putrinya. Semua karena dirinya. Masumi merengkuh kembali istrinya erat-erat, meminta maaf dalam setiap hembusan nafasnya, betapa besar pengorbanan yang diberikan oleh Maya hanya untuk bersamanya.

Maya menggeliat dalam pelukannya dan mengangkat kepala untuk menatap mata suaminya. Tampak ada kesenduan di sana. “Ada apa?”

Masumi menggeleng dan berusaha tersenyum, menyentuh lembut pipi Maya dengan bagian belakang jemarinya. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang merasakan kebahagiaan karena terbangun di sisimu,” ia meyakinkan Maya. Maya kelihatan masih mengantuk dan sangat sensual, matanya setengah terpejam, pipinya merona sehat dan segar, dan bibir mungil itu tampak sedikit bengkak akibat dilumat bibir Masumi yang kuat.

Maya melihat ke sekeliling. Menyadari jendela yang semalam mereka buka telah tertutup dan pagi telah menjelang. Ia mengangkat tangan dan menyentuh wajah Masumi, sama seperti cara lelaki itu menyentuhnya. Matanya menelusuri wajah Masumi dengan lembut, memuaskan hasrat hatinya, meneliti setiap garis dan kerut. Maya sama sekali tak sadar akan ekspresi wajahnya. Tetapi Masumi melihatnya dan dadanya hampir meledak karena sesak. Ingin ia berkata “Jangan mencintaiku seperti itu, aku takut kau terluka,” namun tak diucapkannya. Penting baginya untuk meyakini Maya mencintainya seperti itu. Sebagai balasannya, dikecupnya bibir Maya, sekali, dua kali, Maya mengerang dan membalasnya. Dan mereka pun kembali melanjutkan kemesraan yang telah terjalin sejak semalam.

Karena mereka berencana kembali ke Tokyo siang hari, maka Maya dan Masumi berkemas untuk meninggalkan pondok. Maya melirik dengan iri ke kopor Masumi yang tertata rapi. Miliknya sendiri begitu berantakan dan kacau hingga dia sedikit kesulitan menemukan beberapa barang yang dibutuhkannya. Melihat istrinya mencebik jengkel, Masumi tertawa dan mengambil alih memberesi kopor Maya. Dia juga memilihkan baju yang akan dikenakan Maya untuk perjalanan nanti.

“Sepertinya aku akan sangat menikmati mendandanimu nanti,” katanya sambil tersenyum.

Karena urusan berbenah dikerjakan oleh Masumi maka Maya memilih pergi ke dapur dan membantu Pak Genzo menyiapkan makan siang. Namun lagi-lagi Maya merasa sangat tak berguna karena Pak Genzolah yang pada akhirnya memasak semuanya. Saat Maya, Masumi dan Pak Genzo makan bersama, dengan iseng, karena tahu benar kapasitas Maya sebagai seorang koki, Masumi menggoda dengan menunjuk semua hidangan yang ada di meja.

“Ini masakanmu?” tanya Masumi menunjuk irisan sukiyaki di mangkuk.

“Bukan,” Maya menggeleng.

“Ini?”

“Bukan juga.”

“Lalu yang ini?”

“Ehm... itu Pak Genzo yang menumisnya.”

“Sayang, lalu mana makanan yang kau masak? Aku ingin sekali memakannya,” Masumi bertanya dengan sabar.

Malu-malu Maya menunjuk labu rebus di piring. “Aku yang mengiris dan merebusnya,” katanya pelan.

Pak Genzo menyembunyikan senyum di balik batuk-batuk kecilnya sementara Masumi dengan sumpitnya langsung mengambil hidangan itu. “Enak sekali,” pujinya. “Mungkin karena kau memasaknya dengan sepenuh hati, sehingga perasaanmu tersampaikan kepadaku lewat labu rebus ini,” katanya sambil tersenyum membesarkan hati Maya.

Setelah makan siang keduanya segera meluncur menuju Tokyo. Maya duduk dengan bahagia di sebelah Masumi yang menyetir mobilnya dengan tenang. Peristiwa kemarin seolah dalam mimpi. Namun keberadaan lelaki gagah di sampingnya meyakinkan dirinya bahwa semua itu nyata dan mereka telah sah menjadi sepasang suami istri. Tangannya dengan lembut memegang kalung rantai emas yang melingkar di leher, dimana cincin kawinnya tergantung. Masumi melirik melalui kaca spion, tersenyum melihat kelakuan istrinya dan meraih tangan Maya serta meletakkannya di dadanya, tempat cincin serupa tergantung juga di sana. Kemudian mengangkatnya ke wajahnya dan mengecup punggung tangan mungil itu dengan mesra.

Memasuki kota Tokyo barulah Maya sedikit protes ketika Masumi mengambil jalur ke arah timur kota, dan bukannya di jalur barat tempat apartemen Maya berada.

“Tunggu saja, sayang, aku ada kejutan kecil untukmu,” katanya santai sambil mengedipkan sebelah mata kepada Maya.

Saat mereka memasuki sebuah blok apartemen mewah dengan penjagaan sekuriti di pintu masuk, kemudian menuju ke area parkir pribadi di bawah tanah, Maya mulai mencerna sesuatu.

“Apartemen?”

“Tunggu saja.”

Masumi menghentikan mobilnya di tempat parkir yang terletak di lantai 4, kemudian membukakan pintu untuk Maya sebelum mengambil kopor-kopor mereka. Masih penuh tanda tanya Maya mengikuti suaminya memasuki sebuah lift dan melihat lelaki itu memencet nomor. Mereka berdiri dalam diam ketika lift meluncur naik dengan suara lembut, berhenti di lantai 10. Saat mereka berjalan menyusuri koridor berkarpet tebal, Maya memegang lengan Masumi yang membawa dua kopor mereka, mengikuti kemana lelaki itu melangkah, bertanya-tanya dalam diam. Di depan pintu nomor 5 Masumi berhenti, mengeluarkan sebuah kunci dan setelah meletakkan kopor-kopor di lantai dengan santai membuka pintu.

“Selamat datang, Bidadariku...” ucapnya mesra dan dalam sekali gerak dibopongnya Maya memasuki apartemen.

“Masumi...”

“Aku menerima ucapan terimakasih nanti saja. Dan aku akan memintanya dengan caraku sendiri,” bisiknya di leher Maya, menciumi aroma yang berdetak lembut disana, tempat favoritnya. Masumi membawa istrinya mengelilingi seluruh apartemen luas itu dalam gendongannya.

“Ini dirancang untuk ruang tamu, namun sebelumnya kita harus memilih perabot yang cocok dulu,” katanya saat mereka memasuki ruangan luas yang masih kosong.

“Memilih perabot bersamamu kita hanya sibuk berputar-putar dan bertengkar,” sahut Maya.

“Tidak masalah. Aku menikmati bertengkar denganmu. Lagipula mungkin di dunia ini akulah satu-satunya lelaki yang tahu cara membungkam mulutmu,” Masumi nyengir, dan seolah membuktikan kata-katanya, diciumnya kuat-kuat Maya, di mulut, dan membuat keduanya kehabisan nafas.

Ruangan berikut yang mereka jelajahi adalah dapur. Menyatu dengan ruang makan, dapur itu telah dilengkapi dengan peralatan masak yang modern.

“Sepertinya aku hanya akan tersesat di sini,” keluh Maya. “Aku tak tahu sama sekali cara menggunakan peralatannya.”

“Aku yang akan mengajarimu,” kata Masumi ringan sambil membawa Maya kembali ke ruang depan. Maya terbelalak menyadari bahwa di belakang pintu dia menemui sebuah tempat payung besar yang dulu dipilihnya namun ditolak oleh Masumi. “Masumi, tempat payung itu...aku tak menyangka kau menyukainya.”

“Aku tidak mengatakan tidak menyukainya. Aku hanya bilang bahwa kalau kau mau tempat payung sebesar itu, maka kau harus memiliki apartemen yang cukup besar terlebih dahulu. Dan kurasa apartemen ini cocok ukurannya untuk tempat payung kesukaanmu itu.”

Maya memandang Masumi dengan mata berkaca-kaca. “Terimakasih, Masumi, kau menghargai pilihanku.”

“Maya, hanya karena sebuah tempat payung kau terharu seperti itu?”

“Tahukah kau kadang aku sangat rendah diri bersamamu? Kau berasal dari kelas yang sangat berbeda dariku. Kadang di sampingmu aku merasa begitu rendah dan bodoh. Jadi sangat penting bagiku kau menerima aku dan seleraku yang rendah ini...”

Masumi membungkam bibir istrinya dengan bibirnya. “Aku mencintai kau karena kau adalah kau, Maya. Kau sangat mengagumkan hanya dengan menjadi dirimu sendiri.”

Akhirnya Masumi membawa istrinya memasuki ruang terakhir, kamar tidur. Maya membelalak kagum pada ruangan luas yang didominasi tempat tidur berukuran king size itu. Semua perabot telah lengkap mulai dari nakas, lampu tidur hingga gorden. Namun Masumi mengabaikan ketertarikan istrinya tentang tempat tidur, membawanya membuka lemari pakaian mereka yang besar. Maya kembali dikejutkan oleh keberadaan bajunya yang telah berderet rapi di sana, bersanding dengan baju-baju Masumi. Entah mengapa, melihat pakaian mereka terletak dalam satu tempat menimbulkan kesan intim tersendiri.

“Rei berbaik hati mengangkut bajumu dari apartemenmu dan memindahkannya kesini tadi pagi,” kata Masumi menjelaskan. Kemudia dibawanya Maya memasuki kamar mandi. Lagi-lagi Maya terkagum-kagum dengan kemewahannya.

“Ini terlalu indah.”

“Untukmu, tidak ada yang terlalu indah. Kau layak menerima semua ini. Kau istriku. Meski aku menyesal karena tidak bisa memberimu pesta pernikahan yang pantas kau terima, setidaknya terimalah hadiah dariku ini,” bisik Masumi mesra sambil membawa Maya ke ranjang mereka dan merebahkan istrinya di sana.

Beberapa saat kemudian, saat keduanya tengah berpelukan, mengantuk dan lelah, Maya berbisik pelan, “Sayang, aku tidak bermaksud mengganggu ketentramanmu. Tetapi apakah pintu depan sudah kau kunci? Dan seingatku kopor-kopor kita masih di luar pintu karena kau terlalu bersemangat untuk menggendongku.”

Masumi terperangah sebentar. Lalu secepat kilat disambarnya mantel kamar dan dia melesat ke depan, meninggalkan Maya yang tertawa terbahak-bahak.

Siang hari Maya dan Masumi menikmati waktu berdua. Mereka menonton rekaman sebuah drama klasik Jepang di layar televisi besar di ruang keluarga. Masumi duduk berselonjor menyandarkan punggungnya ke sofa sementara Maya membaringkan kepalanya di paha Masumi.

“Rasanya aku sudah lama sekali tidak berlibur seperti ini,” kata Masumi sambil membelai-belai rambut istrinya.

“Lalu berapa lama kau merencanakan liburan pernikahan kita ini?”

“Mungkin lima atau enam hari. Kenapa?”

“Aku hanya heran kenapa kau sama sekali tak pernah kelihatan membuka ponselmu. Kau bahkan tidak membuka laptopmu. Memangnya Nona Mizuki tidak mencarimu?”

Masumi tertawa. “Mizuki pasti bingung setengah mati. Aku mematikan semua ponselku, aku juga tak mengatakan apapun tentang aktifitasku selama hari-hari pernikahan kita ini.”

“Ha?” Maya yang terheran-heran bangkit dari posisi tidurnya dan memandang suaminya dengan heran. “Benarkah? Nona Mizuki juga tak tahu kalau kau membeli apartemen ini?”

“Tidak. Aku memilih semuanya sendiri. Sama seperti mawar-mawar jingga serta hadiah yang kukirim kepadamu dulu. Bagiku kau terlalu berharga untuk kuwakilkan kepada sekretarisku.”

Maya sangat tersentuh dengan ucapan sederhana itu. Ditangkupnya wajah suaminya. Kemudian pelan diciumnya bibir Masumi, “Terima kasih karena mencintaiku sedalam itu,” bisiknya. “Kau pastinya sangat beruntung memiliki orang-orang yang loyal kepadamu seperti Hijiri dan Mizuki.”

Masumi terdiam sejenak. Dipandangnya wajah istrinya. “Mereka loyal karena namaku masih Masumi Hayami. Mereka adalah orang-orang yang berhutang budi kepada ayahku. Namun nanti saat aku melepas semuanya, mereka akan kembali kepada Eisuke Hayami, tuan mereka yang sebenarnya.”

“Begitukah?”

“Mungkin mereka akan tetap loyal kepadaku. Namun posisi mereka akan sangat sulit. Aku tak mau merepotkan mereka.”

Maya mengelus wajah Masumi dengan sayang. “Masumi, percayakah kau kalau kukatakan bahwa sebenarnya kau adalah orang yang sangat baik?”

“Bila yang mengucapkan adalah bibir ini, dan bila aku cukup baik bagimu, maka jawabannya ya, aku percaya.”

“Lalu kapankah kau akan mengenalkanku kepada ayahmu?”

“Saat ini Eisuke Hayami masih berada di luar negeri. Begitu pulang nanti aku akan membawamu menemuinya. Kau siap?”

Maya mengangguk mantap. “Iya.”

“Termasuk saat aku harus melepas semuanya?”

“Pasti.”

Sementara itu jauh di pedalaman Perancis, seperti biasa Eisuke menikmati sinar matahari menyengat di taman villa yang ditempatinya.

“Apakah sudah saatnya kita berkemas pulang, Tuan?” tanya Asa, pembantunya yang setia.

“Jangan dulu, biarkan mereka menikmati bulan madu dulu. Meski aku yakin bahwa Masumi pun pasti tak sabar menunggu kepulanganku dan menjalankan seluruh rencananya, apapun itu.”

“Tetapi Tuan Hayami sama sekali tak terlihat gusar.”

“Gusar? Kenapa harus gusar? Masumi itu aku yang menemukan dan mendidiknya. Dia benar-benar laki-laki yang luar biasa. Aku sangat tak sabar menunggu kejutan apalagi yang akan dia buat,” Eisuke tertawa terbahak-bahak. “Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ayah melihat putranya menjadi laki-laki hebat. Meski dia bukan darah dagingku, tetapi ikatanku dan dia lebih kuat dari itu. Dia hanya perlu waktu untuk memahaminya.”

“Termasuk bila dia meninggalkan Daito?”

“Dia tak akan bisa meninggalkan Daito. Selama aku masih hidup Daito akan selalu terikat dengan Masumi sekuat apapun usahanya untuk melepaskan diri. Aku sendiri yang akan memastikan bahwa kaki Masumi selamanya akan dirantai bersama Daito.”

13 comments:

  1. Thanks for the update..!!! Penasaran sama rencana eisuke selanjutnya :-D ho..ho..ho... *rini*

    ReplyDelete
  2. wahhhh makin deg2an dng akhir cerita nya ni... thx mbak olly... :)

    ReplyDelete
  3. senang sekali akhirnya mm menikah and bahagia
    gimana ya endingnya? HE aja y sis Olll :)
    di tunggu apdetannya
    hehehe..teteup...

    ReplyDelete
  4. emang deh eisuke gak ada yg bisa ngalahin, bisa tau semua yg direncanakan Masumi wuiiih makin penasaran nih olly, pengen tau gimana nati saat mereka bertiga ketemu....mudah2an eisuke merestui hubungan maya n masumi ya.... :)

    ReplyDelete
  5. Luv it, Mbak Olly... thanks yaaa...^^

    ReplyDelete
  6. Sista olly...wah ffnya menghanyutkan jd iri deh sm MM he..he...he... Cm aga serem aja sm reaksi eisuke...oke ditunggu update selanjutnya...tq sista...good job...anastasia

    ReplyDelete
  7. Olly...makasih updateannya....mesraaaaa banget,tp deg2an liat eisuke,moga2 dia nggak rencanain yg jahat sama MM.

    ReplyDelete
  8. olly, ayo dooong tamatin MM nya, udah gag sabar nih mw tau endingnya gmana

    ReplyDelete
  9. Hai, salam kenal... baru aja selesai baca dari Second - Fourteenth. Nagih banget nih hehehee...
    Makasih loh udah share, ditunggu kelanjutannya yaa ;)

    ReplyDelete
  10. Hai sis Olly...sedang sibukkah??? Belum ada kelanjutannya za.....sudah lama sekali sis....ditunggu nih karya selanjutnya.....tq

    ReplyDelete
  11. salam kenal mba olly,,,inih masih belum kelar yah???

    ReplyDelete
  12. Has sista olly...
    salam kenal, saya penasaran sama story mm ini kapan nih updatenya...

    ReplyDelete
  13. sista ditunggu updatenya...

    ReplyDelete