Saturday, August 13, 2011

The Last Choice (3)

“Apa yang telah kau lakukan padaku, Sev?” tanya Katty seolah linglung.

“Menciummu.”

“Kenapa?”

Sev meraih Katty, menempatkan lengannya di bahu gadis itu dan menatapnya lekat-lekat. “Asal kau tahu, Katty, mulai saat ini kaulah gadisku. Aku sudah memutuskannya.”

“Ha? Kau bercanda?”

Namun melihat keseriusan di mata Sev Katty ragu kalau lelaki itu bercanda. “Kenapa?” tanyanya masih belum mengerti.

“Sudah waktunya.”

“Tetapi...”

“Katty, kau cukup mengenalku dengan baik. Aku juga mengenalmu sangat baik. Kita saling cocok, hubungan kita selama ini begitu solid. Kau single, aku juga. Kita tidak sedang terlibat hubungan dengan siapapun. Apa lagi yang diributkan sih? Kita tinggal melanjutkan saja apa yang sudah terjalin selama ini.”

“Sev, jangan lecehkan inlegensiku! Aku tahu hubungan kita selama ini bukanlah hubungan seperti itu. Kau pikir aku begitu saja dengan omong kosongmu soal melanjutkan hubungan yang selama ini terjalin. Hubungan apa?”

“Yang kumaksud sayangku, kalau selama ini kau menganggap kita sebagai kakak adik, maka sudah saatnya kau merubahnya. Aku sudah lama sekali tak menganggapmu sebagai adik perempuanku lagi. Bagaimana aku bisa menganggapmu adik bila dalam pikiranku adalah mencium bibir seksimu itu?”

“Sev, kau vulgar!”

“Dan sebaiknya kau terima saja semua itu, oke? Tak ada ruginya kau punya hubungan asmara denganku. Aku laki-laki, sehat, normal, dan tidak suka yang aneh-aneh.”

Katty mengangkat alisnya. “Benarkah?”

“Aku bisa membuktikannya.”

“Kau tidak masuk akal sama sekali!”

“Dan kau keras kepala! Namun aku akan sangat menikmati menaklukanmu,” Sev menyeringai. “Bagaimana? Toh kita sudah bertunangan. Kau lihat kan betapa nasib begitu mendukung kita?”

“Kau melakukannya semata-mata kerena kekonyolan Virginia.”

“Siapa bilang? Gadis bodoh itu hanya memperlancar jalanku, namun tak ada hubungannya sama sekali dengan ini. Sudahlah Katty, kita bisa menghemat energi dengan menghentikan semua omong kosong tentang persaudaraan ini dan kita lanjutkan hubungan kita dalam dimensi baru. Kita saling tertarik kan? Jangan bilang kau tidak menikmati ciumanku.”

Katty memandang Sev dengan garang namun untuk membantah dia tidak menemukan kata-kata yang tepat. Bungkam memang lebih aman. Sev pasti bisa membalikkan semua argumennya. Dia pengacara handal kan? “Terserah apa maumulah,” Katty berlagak tak peduli.

“Katty...Katty, perempuan-perempuan lain akan bersedia menggadaikan nenek mereka untuk tawaran ini dan kau malah tak peduli. Kau melukai egoku sayang,” Sev geleng-geleng kepala dan menarik Katty mendekat dalam pelukannya.

“Kenapa kau tidak mencari cewek lain saja seperti biasanya,” Katty sedikit merajuk, menyandarkan kepalanya di dada Sev.

Sev tertawa. “Aku hanya mau denganmu. Titik. Tapi agaknya aku perlu waktu lama untuk membangun kepercayaan dalam dirimu bahwa akulah laki-laki yang paling tepat untukmu. Persepsimu akan diriku sebagai sahabat atau saudara laki-laki sudah terlalu kuat. Kau belum mempercayaiku sepenuhnya sebagai seorang laki-laki. Agaknya hatimu yang beku itu perlu dicairkan lebih dulu.”

Katty mendongakkan kepala. Matanya yang indah dan bening begitu lugu mencari-cari kebenaran kata-kata Sev dalam tatapan gelap itu.

“Jangan pandang aku seperti itu, sayang, aku tak akan bisa menahan diri lagi. Kamar yang luas, tempat tidur di dekat kita, dan kau dalam pelukanku, apa lagi yang akan dipikirkan seorang laki-laki sepertiku kalau bukan untuk mencumbumu hem...?”

Katty buru-buru melepaskan diri. “Kau keterlaluan sekali,” omelnya.

Sev terbahak-bahak.

Memenuhi janjinya Sev membawa Katty makan malam keluar.

“Kalau kau pikir aku akan langsung takluk padamu hanya karena kau puji aku gara-gara gaun ini, maka kau salah besar. Aku bukanlah Virginia maupun salah satu kelinci-kelinci pirang berdada melon yang biasa kau kencani sesukamu itu,” komentar Katty pedas pada wajah Sev yang memuji penampilannya malam itu.

“Ya ampun Katty, tidak bisakah kau menerima pujian dengan anggun layaknya seorang lady? Tapi aku sudah terbiasa dengan segala omelanmu. Jadi bila kau bersikeras untuk membuat segalanya sesulit mungkin agar aku mundur, maka kau juga salah besar. Aku akan sangat menikmati menaklukanmu,” Sev mengirimkan senyum mautnya yang mungkin akan membuat gadis lain akan meleleh. Namun Katty malah melengos.

Seperti biasa pertengkaran mereka tak pernah berlangsung lama. Sev seorang teman bicara yang menyenangkan sementara Katty memuji dirinya cukup cerdas untuk mengimbangi obrolan Sev dengan komentar-komentar yang tepat. Katty tak tahu koneksi macam apa yang digunakan Sev sehingga mereka mendapatkan meja di restoran kelas satu yang Katty tahu pasti daftar tunggunya sudah berbulan-bulan.

“Kalau begini gayamu dalam menaklukkan cewek-cewek cantik, tak heran kalau kau selalu sukses,” komentarnya sambil menikmati creme brulee yang mengilat keemasan dengan indah, disajikan dalam mangkuk-mangkuk elegan yang pasti membuat para kolektor rela merogoh kocek ratusan pound untuk memilikinya.

“Aku lupa bahwa kadang mulutmu yang pedas itu begitu menjengkelkan membuatku ingin mencekikmu,” sahut Sev gemas sambil menyesap anggur mahal yang menemani makan malam mereka.

“Demi kebaikanmu sendiri lebih baik kau selalu mengingat hal itu.”

Makan malam yang lezat disertai anggur yang bagus agaknya melancarkan lidah mereka dalam membangun suasana intim. Saat makan malam berakhir keduanya sudah saling tertawa bersama. Bahkan Katty sudah tidak memprotes ketika Sev menggenggam erat tangannya yang berada di atas meja sebelum membawanya ke bibir dan menciumnya mesra.

“Sudahkah kukatakan bahwa malam ini kau cantik sekali?” tanya Sev tiba-tiba, masih menggenggam tangan Katty.

“Meski akal sehatku mengatakan bahwa semua itu omong kosong, tapi baiklah, kuterima pujianmu. Entah mengapa malam ini aku juga untuk pertama kalinya merasa cukup cantik. Mungkin karena kau begitu tampan dan aktingmu cukup bagus menjadikanku seolah gadis yang paling beruntung karena berkencan dengan orang hebat macam kamu. Aku sudah berkali-kali mendapati tatapan iri para perempuan yang memandangi kita berdua,” kata Katty terus terang.

“Sayang, kadang kejujuranmu itu begitu menyebalkan,” Sev menyeringai. “Andai ini bukan tempat umum yang beradab, pasti sudah kubungkam mulut cantikmu itu dengan bibirku.”

Setelah makan malam Sev membawa Katty ke club yang sangat trendy dan glamour untuk berdansa. Katty belum pernah berdansa di tempat seperti itu. Dia hanya berdansa pada acara-acara sosial biasa seperti pesta natal.

“Clubnya bagus sekali,” pujinya sambil mengamati suasana ramai di sekeliling mereka. Musik yang menghentak dan energi yang terpancar dari para pengunjung begitu memacu adrenalin Katty. Di sini, dalam kilau lampu yang berpendar Katty merasa begitu muda dan bebas. “Pantas Virginia begitu memujamu bila kau sering membawanya ke tempat seperti ini. Gadis itu memang terlahir untuk berpesta.”

“Aku membawanya karena kau yang minta,” kata Sev mengingatkan. “Dan seandainya aku tahu kau juga suka pergi ke tempat seperti ini dan bukannya selalu mengkritikku dengan gaya seorang Lady dari jaman Victoria itu, aku pasti sudah menyeretmu kesini bertahun-tahun lalu.”

Lalu Sev segera menarik Katty ke lantai dansa. Katty cukup sering berdansa dengan Sev untuk mengetahui bahwa dia seorang penari yang baik. Dan Katty sendiri memiliki kelincahan alami dalam mengikuti irama musik. Malam itu band sedang memainkan lagu-lagu Elvis. Dan Sev serta Katty tiba ketika lagu-lagu slow mulai dimainkan. Sev meraih tangan kanan Katty, meletakkan tangan kiri gadis itu ke bahunya dan melingkarkan lengan di tubuh Katty. Secara otomatis Katty mengikuti langkahnya, bergoyang lembut mengikuti irama. Katty mendongak memandang Sev. Meski dia memakai sepatu bertumit tinggi namun matanya hanya menjangkau ke leher Sev saja.

“Ada apa hm...?” tanya Sev memandang gadis dalam pelukannya.

“Entahlah. Aku merasa hidupku bergerak cepat ke arah perubahan besar yang tak sanggup kutolak sejak tadi pagi. Dan untuk pertama kali aku merasa begitu muda.”

“Demi Tuhan sayang, usiamu baru dua puluh delapan. Kau belum lagi tiga puluh. Kadang aku begitu tidak sabar ingin menarikmu keluar dari sarang kenyamananmu itu. Namun berkali-kali aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa itu bukan cara yang tepat. Bahwa kau cukup bahagia dengan dirimu yang begitu bersahaja seperti itu.”

“Apakah aku begitu menyedihkan?”

“Tidak. Kau keras kepala, bermulut tajam, menjengkelkan, namun kau juga begitu manis dan mudah disayangi. Kau berhati hangat. Bukan menyedihkan. Andai kau tahu betapa ekspresi wajahmu saat ini.”

Tiba-tiba Sev mengetatkan lengan yang melingkari tubuh Katty serta menariknya berputar, memaksa Katty mengalungkan lengan di leher lelaki itu. Beberapa kali Katty harus berakhir dalam posisi tubuh merapat dan bersentuhan dengan tubuh maskulin Sev, melebihi standar kedekatan yang berlaku. Katty merasa dadanya menggesek kemeja Sev, merasakan paha Sev menempel ke kakinya, dan Demi Tuhan, Sev menempatkan sebelah tungkainya di atara kedua kaki Katty. Tiba-tiba Katty merasa kepanasan. Sensasi aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebuah fenomena fisik yang belum siap diterimanya.

“Sev...”

“Ya?”

“Sev,” Katty merasa meleleh. Dia bersandar sepenuhnya dalam pelukan Sev. Kakinya masih bergoyang mengikuti gerakan Sev namun lelaki itu menyangga seluruh berat tubuhnya. “Kurasa kau memelukku terlalu erat,” suaranya bergetar.

Sev menundukkan kepalanya dan suaranya membelai daun telinganya. “Tidak sayang, pelukanku sangat pas.”

Tentu saja. Terutama bila Sev menginginkan gadisnya meleleh seperti ini. Namun ungkapan protes Katty agaknya tak lebih sekedar ungkapan karena pada kenyataannya Katty sama sekali tak berusaha sedikitpun menarik diri dari lingkaran hangat tubuh Sev yang memeluknya. Kehangatan yang terasa pas dan nyaman saat tubuhnya bersandar pada tubuh Sev, kelembutannya berpadu tepat dengan kekerasan tubuh lelaki itu. Terus terang Katty menyukainya. Apalagi ketika Sev lebih mengetatkan pelukannya.

“Tahukah kau kalau aku memimpikan memelukmu seperti ini bertahun-tahun lalu?” gumamnya di telinga Katty. Dan Katty berjengit terkejut ketika bibir Sev membelai daun telinganya. Juga ujung lidahnya. “Jangan khawatir sayang, aku tak akan mencumbumu saat ini juga meski seluruh insting dalam diriku berteriak untuk membawamu pulang dan menguncinya di kamarku untuk menikmati dirimu untukku sendiri. Kita akan menjalaninya pelan-pelan, sepelan yang bisa kutolerir.”

Katty kembali mendongakkan wajah menatap Sev. Bibirnya yang ranum tampak bergetar. “Sev, apa yang dilakukan oleh gadis-gadis lain dalam situasi seperti ini?” tanyanya lugu.

Sev menggeram, “Katty sayang, yahukah kau bahwa keluguanmu itu membuatku gila?” dan serta merta dia mendaratkan ciuman panas ke bibir Katty. Mereka berhenti bergerak. Bahkan hingga lagu berakhir. “Sepertinya kita harus pergi dari sini atau aku tak akan bisa mengembalikan akal sehatku lagi.” Sev dengan wajah mengeras buru-buru menarik Katty pergi.

Meski malam telah larut namun jalanan kota London seolah tidak pernah sepi. Tanpa banyak berbicara Sev mengemudikan mobilnya menuju arah flat Katty berada.

“Melihat dari reaksimu kepadaku rupanya kau sudah cukup lama hidup selibat. Kapan kau mengencani cewek terakhirmu, Sev?” tanya Katty ringan.

Sev mengejang sejenak sebelum tawanya pecah. “Ya ampun gadisku sayang, kau benar-benar tahu bagaimana mematikan hasrat seorang laki-laki.”

“Masuk akal kan?”

Pertanyaan yang tidak perlu jawaban. Sebaliknya Sev malah mengulurkan tangannya meraih tangan Katty dan menciumnya. “Kita jalani pelan-pelan, oke? Hingga saatnya nanti tidak ada lagi keraguan di kepala mungilmu itu.”

Flat Katty terasa kosong ketika Sev membuka pintu. Lelaki itu menyalakan semua lampu dan mengecek semua pintu dan jendela. Katty tertawa melihat kelakuannya.

“Kau berlebihan, Sev. Tingkahmu itu menggelikan karena kau kan baru sekali ini masuk ke flatku,” katanya sambil tertawa. “Bertahun-tahun aku hidup sendiri di sini dan aku mampu menjaga diriku sendiri. Jangan katakan kejadian hari ini memunculkan sisi posesif dirimu secara tiba-tiba begitu.”

Sev mengerutkan alisnya menatap gadis yang menertawakannya itu. “Aku harusnya melakukannya bertahun-tahun lalu. Katika kau bercerita bahwa kau telah membeli tempat tinggal sendiri, betapa khawatirnya kami, aku dan kedua orang tuaku. Namun aku meyakinkan ayah ibuku bahwa gadis kecil mereka telah beranjak dewasa dan kami harus membiarkanmu bebas seperti itu. Kau berhak menerimanya setelah semua perlakuan yang kau dapat dari ibu tirimu itu. Tahukah kau betapa tiap saat aku ingin datang menyeretmu pulang, aku sangat khawatir kalau-kalau kau terjatuh ke tangan lelaki yang tidak pantas. Namun kemudian kau kembali ke Stockley House tetap sebagai Katty yang kami kenal, dewasa dan berakal sehat, barulah aku bisa bernafas lega.”

“Padahal saat itu kupikir kau sedang tenggelam dengan karir cemerlangmu, gaya hidup gemerlap dan hedonis serta barisan cewek-cewek mutakhirmu.”

“Aku tidak munafik Katty bahwa aku menikmati hidupku dulu. Aku menikmati berpesta dengan gadis-gadis cantik. Namun semua itu hanya pengisi waktu. Hanya sesuatu yang kulakukan sambil lalu. Aku bahkan tak bisa mengingat dengan benar nama dan wajah perempuan yang terakhir kukencani. Dan itu lebih setahun yang lalu. Saat ini kalau kau cukup memperhatikanku aku lebih banyak berada di Drake Castle daripada di London. Dan satu-satunya gadis yang “kukencani atas permintaanmu” ingat? Hanyalah adik tololmu itu dan aku kalau tidak mengingat betapa pusingnya kau mengurusi dia, pasti sudah kutingglkan dia berbulan-bulan yang lalu. Aku baru tahu bahwa ada makhluk yang begitu membosankan dan begitu tak berotak serta menjengkelkan seperti dia yang pernah diciptakan Tuhan.”

Katty terbahak-bahak mendengar ungkapan Sev tentang Virginia. Akhirnya mereka bergelung berdua di sofa ruang duduk Katty sambil menikmati seteko kopi kental dan berbincang ringan mengenai segala hal. Katty dengan nyaman bersandar di dada Sev sementara lelaki itu mempermainkan rambutnya yang sudah terlepas dari sanggul dan tergerai indah di bahunya. Katty tak ingat sudah berapa ratus kali dia tertidur di pangkuan Sev. Namun saat itu mereka sama-sama memposisikan diri sebagai saudara. Paling tidak dari pihak Katty. Sedangkan saat ini, dengan dimensi baru hubungan mereka Katty ternyata tak merasakan kejengahan sedikitpun. Sev sebagai kakak maupun sebagai ‘kekasih’ tetap membuatnya merasa nyaman.

“Apakah kau akan mengundangku bermalam sekarang?” tanya Sev setelah beberapa lama.

“Jangan aneh-aneh, Sev,” tegurnya lembut. “Kau sudah mengorbankan sepanjang hari ini bersamaku. Besok kita berdua sama-sama sibuk.”

“Kapan kau berencana kembali ke Oxford?”

“Mungkin dua hari lagi. Besok temanku datang dan aku akan menghabiskan sepanjang hari berbenah. Lusa aku masih harus ke kantor penerbitan untuk membicarakan berbagai detil. Baru besoknya aku bisa pulang ke Oxford.”

“Apakah kau keberatan bila kita kembali Sabtu pagi? Tidak apa-apa kan kalau kau menungguku?”

Katty berfikir sejenak. “Hm... boleh juga.”

Akhirnya dengan enggan, setelah menciumnya untuk terakhir kali hari itu Sev beranjak pergi.

***

Katty mengenal Simon Parker selama lima tahun. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai akunting di penerbitan tempat Katty bekerja itu sedang mengalami masa paling gelap dalam hidupnya. Setelah menikah lebih dari lima belas tahun dan memiliki dua anak yang beranjak remaja, tiba-tiba istrinya yang baru pulang dari wisata ke Bahama memutuskan menceraikannya demi seorang kekasih yang baru berusia dua puluh lima tahun. Tak hanya itu, selain dibayang-bayangi harus membayar tunjangan perceraian yang bisa menghabiskan seluruh gajinya, rumah dan anak-anaknya pun terancam terenggut darinya. Maka ketika dia menceritakan kepada Katty tentang niatnya mencari tempat tinggal, Katty tak keberatan menawarkan flatnya. Lagi pula Simon seorang bapak rumah tangga, pasti bisa mengurus flat itu beserta tanaman koleksi Katty di balkon dengan baik.

Lebih awal dari janjinya untuk datang sore hari, Simon muncul di depan pintu flatnya pada pukul sembilan pagi. Dia memutuskan mengambil libur hari itu untuk membantu Katty berbenah sekaligus mulai pindah ke tempat barunya. Mendapat tambahan dua tangan begitu tentu saja Katty tak menolak.

Flat Katty tidak terlalu besar namun berada di lingkungan yang bagus dan nyaman. Katty menempati dua lantai dari bangunan itu dengan menjadikan lantai atas sebagai studio dan balkon tempat dia membuat sebuah kebun kecil. Di masa awal keberadaannya di London, flat ini sudah menjadi tempat tinggal baginya meski tak bisa dipungkiri dibandingkan Stockley House kenyamanan yang diberikan tidak ada apa-apanya. Namun sekarang Stockley House telah menjadi miliknya dan dia tak membutuhkan tempat ini lagi.

Kepada Simon Katty menyewakan tempat beserta seluruh perabotannya. Kecuali beberapa barang pribadi Katty. Khusus untuk studio sudah sejak lama Katty memindahkannya ke Oxford. Jadi sekarang yang harus dibenahi tidak terlalu banyak. Dibantu oleh Simon yang cekatan menjelang senja seluruh barang-barang Katty telah selesai dibenahi dan perusahaan ekspedisi yang disewa Katty sudah datang untuk mengirimnya ke Stockley House. Yang disisakan Katty hanyalah barang-barang pribadi yang dibutuhkannya bila dia harus menginap di London. Dan semua sudah terkunci rapi di kamar di lantai atas yang memang akan tetap dipertahankan oleh Katty.

Untuk makan malam Simon menawarkan diri berbelanja di toko yang berada tak sampai satu blok dari lokasi mereka berada. Tentu Katty menerimanya dan menyanggupi untuk memasak makan malam bagi mereka berdua. Saat mereka berdua asyik di dapur telepon berbunyi.

“Sebaiknya kau yang angkat, Simon. Ini toh sudah akan menjadi tempat tinggalmu,” Katty menyarankan.

Tak sampai semenit Simon telah kembali. “Seorang lelaki bernama Sev mencarimu. Namun ketika kukatakan siapa diriku, dia mengatakan akan datang langsung kemari.”

“Oh, itu Sev, temanku,” kata Katty datar.

“Teman istimewa?”

“Bisa dikatakan begitu.”

“Apakah itu teman yang ramai diperbincangkan di kantor sebagai tunanganmu?”

“Tepat sekali.”

Simon tertawa lebar. “Selamat Katty, aku turut bergembira dengan berita bahagiamu itu.”

Katty menyeringi. “Ironis bukan, apa yang terjadi pada kit berdua?”

“Tidak juga. Apa yang terjadi padaku tak bisa lagi kusesali. Meski sebenarnya aku menyalahkan kebodohanku sendiri. Harusnya aku menyadari sejak dulu bahwa ada yang salah dalam pernikahanku. Tetapi semua sudah terlambat.”

Ketika mengatur meja makan Katty baru menyadari ponselnya yang tergeletak di sana. Ternyata Sev telah beberapa kali menelepon. Namun karena Katty mengaktifkan mode silent wajar bila akhirnya Sev memilih meneleponnya di flat. Ah, biarlah, pikir Katty, sebentar lagi juga Sev katanya mau datang.

Ternyata Sev datang saat dia sedang menikmati makan malam bersama Simon. Mendengar bel pintu berbunyi kontan lelaki berpostur sedang dengan raut muka sederhana itu meloncat untuk membukakan. Namun agaknya keramahannya tak disambut dengan baik karena sebentar kemudian Sev berderap mendatangi Katty di dapur dengan muka tegang penuh kemurkaan.

“Hai, Sev, aku tak menyangka kau kemari,” Katty yang tak memiliki firasat sedikitpun akan alasan kemarahan di wajah Sev menyapanya ramah seperti biasa. “Kau sudah bertemu Simon kan? Dia yang akan menyewa flat ini.”

“Ya, aku sudah bertemu dengannya,” kata Sev pendek. Matanya tak lepas dari Katty yang sedang duduk. “Kulihat sepertinya kalian sedang makan malam. Kuharap aku tak mengganggu keakraban kalian.”

Uh oh... rupanya masalah berada di sini. “Maaf, kami sedang makan. Kau sudah makan? Belum? Mau bergabung bersama kami?”

“Iya, Sev, boleh kan kupanggil kau Sev? Kau bisa bergabung bersama kami. Tunanganmu ini pintar juga memasak,” Simon menimpali dengan ramah, sama sekali tak menyadari betapa gelap tatapan Sev.

“Terima kasih atas tawarannya. Saat ini yang perlu kau lakukan Katty, yaitu segera kemasi barangmu dan kita pergi dari sini.”

“Sev!”

Namun Katty tahu kadang Sev benar-benar tak terbantahkan. Dan sekarang adalah salah satu dari saat itu.

“Kau menyebalkan sekali bila bersikap keterlaluan begini,” gerutu Katty ketika setengah jam kemudian mereka telah meluncur dalam mobil Sev membelah lalu lintas London yang padat.

“Aku berusaha menghubungimu sepanjang sore karena aku akan mengajakmu makan malam di tempatku. Tetapi kau tak menjawab ponselmu. Kau pasti memahami betapa terkejutnya aku ketika menghubungi flatmu, diterima oleh seorang laki-laki. Dan aku tak lebih terkejut ketika aku datang seorang laki-laki menyebalkan menyambutku sok ramah seolah dialah tuan rumah di tempatmu,” gerutunya.

“Ya ampun, Sev, itu toh cuma Simon.”

“Kau tak pernah mengatakan bahwa teman yang akan menyewa flatmu itu seorang laki-laki!” raungnya.

“Sev, kau sangat keterlaluan! Simon itu temanku sejak lama. Apa salahnya aku menolongnya? Asal kau tahu saja bahwa dia baru saja kehilangan istri, anak dan rumahnya.”

“Tapi kau tak ada alasan untuk bersikap begitu ramah padanya. Kau tak harus memasak makan malam untuknya. Kalau kau ingin teman makan malam, kau hanya perlu menghubungiku. Lagipula aku sangat tak suka lelaki lain melihatmu begitu seksi begitu.”

Katty membelalakkan mata. Kemudia meneliti penampilannya. Sepanjang hari karena melakukan aktifitas fisik Katty memang hanya mengenakan celana jeans pendek yang mempertontonkan seluruh tungkainya yang padat berisi dan t-shirt sederhana tanpa lengan yang nyaman. Semua Katty pilih berdasarkan segi kepraktisan. Sama sekali tak ada dalam pikirannya untuk tampil seksi. Namun melihat betapa sewotnya Sev, tak urung tawanya meledak. “Kalau aku tak mengenalmu secara baik, pasti aku sudah menganggap kau ini cemburu.”

Di luar dugaan Sev meminggirkan mobilnya dan berhenti. Pada Katty yang menatapnya penuh tanya, dia berkata, “Kalau kau ingin tahu bagaimana aku kalau sedang cemburu, kau tinggal mengingat ini,” serta merta tanpa peringatan diterkamnya Katty dalam rengkuhannya yang erat dan bibirnya menghujam bibir lembut Katty, keras dan panas menggelora, dan membuat gadis itu terpana. Sesaat keduanya melepaskan diri dengan terengah-engah berusaha mengembalikan nafas mereka. “Dan sekarang sayangku, kalau kau pikir aku akan diam saja dan membiarkanmu tinggal di flatmu bersama laki-laki lain, maka kau gila. Karena mulai saat ini kau harus tinggal denganku. Tidak ada pilihan lain.”

7 comments:

  1. OMG....severus....aku sukaaa banget,ternyata dia mencintai katty sejak lama.dan kayaknya dia hrs banyak menahan rasa cemburunya,mengingat katty orangnya terlalu baik pd orang lain.makash updateannya sis Olly.

    ReplyDelete
  2. uwaaaaaaaaa.......mantabzzzzz sev love u..... muaaaach..olly keren mau lagi :P

    ReplyDelete
  3. posesif sev, hahahahhaha

    ReplyDelete
  4. Hiyaa,, ini dia tokoh fiktif yg hotttt!!! Mau donk 'severus" versi nyatanya hiks,, pasti beruntung banget! BY: DENI

    ReplyDelete
  5. huwaaaaaaaaaaaaaaaa severusss aku padamuuuuhh....

    ReplyDelete
  6. Ya ampuuuuuuuun..!! Seeeev..!! Huaaaaa.. mbak olly Hebaaat.. ayooo update lagiiiiii.. ayoooo..

    *penggermar baru mbak Olly. ndathiya (>,<)

    ReplyDelete
  7. yaoloooo...heuheuheuheuuu.....sukkkaaaaaaaaa

    ReplyDelete